Ki Ageng Pamanahan

Kiai Gede Mataram sebelum pindah ke alas Mentaok pemberian Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang dikenal sebagai Kiai Gede Pamanahan atau Ki Ageng Pamanahan. Ia putra dari Kiai Gede Ngenis atau Ki Ageng Ngenis, dari Laweyan (sebelah timur Pajang) cucu dari Kiai Gede Sela atau Ki Ageng Selo. Kiai Gede Sela ini putra  dari Ki Getas Pandawa yang nikah dengan  putri Ki Ageng Ngerang Jadi Kiai Gede Mataram ini buyut (cicit) dari Ki Getas Pandawa. Ki Getas Pandawa memiliki  putra-putri sebanyak tujuh orang yakni :

1. Ki Ageng Selo

2. Nyi Ageng Pakis.

3. Nyi Ageng Purna.

4.  Nyi Ageng Kare.

5.  Nyi Ageng Wanglu.

6.  Nyi Ageng Bokong.

7.  Nyi Ageng Adibaya.

Sedang  Kiai Ageng Selo dikaruniai putra-putri juga sebanyak tujuh orang seperti ayahnya masing masing adalah :

1.  Nyi Ageng Lurung Tengah.

2.  Nyi Ageng Saba.

3.  Nyi Ageng Bangsri.

4.  Nyi Ageng Jati.

5.  Nyi Ageng Patanen.

6.  Nyi Ageng Pakis Dadu.

7.   Ki Ageng Ngenis.

Sungguh suatu kebetulan atau memang sudah kehendak Tuhan, bila Ki Getas Pandawa putranya cuma satu yaitu Ki Ageng Selo yang menempati urutan pertama (Sulung) giliran Ki Ageng Sela putranya juga cuma satu yaitu Ki Ageng Ngenis namun menempati urutan terakhir (Bungsu)  kebalikan dengan ayahnya. Ki Ageng Pamanahan  adalah  putra Ki Ageng Ngenis, nama kecilnya ialah Bagus Kacung aslinya dari Grobogan dekat Purwadadi, ikut ayahnya mengabdi di Kerajaan Pajang. Kebetulan Sultan Hadiwijaya itu saudara  seperguruan dengannya  dalam  Olah Kanuragan dan spiritual kepada Ki Ageng  Selo. Maka tak heran bila ia adalah Andi yang disayangi dan dihormati Sultan, bahkan  anaknya  yang bernama Danang  Sutawijaya  menjadii  anak angkat Sultan. Kepribadian Ki Ageng Pemanahan sederhana suka mengalah dalam  menghadapi setiap masalah, baginya  mengalah itu bukan berarti kalah tetapi merupakan kemenangan yang tertunda. Sesudah memperoleh anugerah tanah yang terletak di Alas Mentaok dari Sultan Hadiwijaya, dalam perjalanan ke daerahnya yang baru, Kiai Gede Pemanahan  selanjutnya  bernama Kiai Gede Mataram.  Keberangkatannya dari Pajang  berlangsung secara sederhana tanpa kebesaran. Kiai Gede Mataraman berjalan didepan, kemudian istri dan anak-anaknya dalam deretan panjang, dengan membawa  berbagai macam barang  dan bekal. Apa  saja yang termasuk keperluan rumah tangga dibawa semua, tidak ada sepotong barangpun yang ditinggalkan. Maka tidak mengherankan apabila perjalanan mereka lamban. Versi lain menceritakan bahwa perjalanan dimulai dari daerah asalnya  (Grobogan) dengan disertai istri, anak-anaknya  dan  seluruh kerabat serta pen-duduk Desa yang mau ikut. Perjalanan membentuk barisan  panjang mengurai  mengular,  maka tidak mengherankan  perjalanan terasa lamban. Keperluan yang dibawa tidak beda alias sama. Upacara keberangkatan Kiai Gede Pemanahan dari Pajang biasa-biasa  saja. Ini berlawanan  dengan Serat Kandha (hal. 504) yang masih menceritakan penyerahan sebuah piagam secara resmi. Mengenai permukimsn Kiai Gede Pamanahan atau  Kiai  Gede  Pemanahan di Mataram, Babad Tanah Jawi  (Meinsma, Babad, hal. 66-67)  cuma  dicerita- kan hal-hal yang menggembirakan yaitu Alam  membantu dengan panen yang berlimpah, bahkan air sumur tampak  jernih. Perdagangan berkembang dengan pesat. Banyak orang-orang yang menetap di sana. Ki Gede Pamanahan yang sudah  berganti  nama menjadi Ki Ageng Mataram, bersama kaumnya menikmati kehidupan tanpa kesulitan apa pun. Namun, ia  melakukan tapa disebabkan ia mendengar  dan  mengetahui apa yang pernah diramalkan oleh Sunan Giri bahwa dikelak  kemudian hari, di Mataram akan muncul  Raja-Raja besar yg berkuasa atas seluruh  tanah Jawa dan ramalan yang  mengatakan  kelak keturunannya akan menjadi Raja. Dan berharap bahwa keturunannya menjadi Raja dikemudian hari.


- DR.H.J de Graaf  "Awal Kebangkitan Mataram" Penerbit PT Pustaka Gtafitipers, Cetakan Pertama 1985.