Ketauhidan Para Wali Allah Sama


Ilmu pengetahuan para Wali tentang kehadiran Allah adalah sama. Mereka sering mengadakan diskusi tentang kehadiran Allah, dan mereka sama-sama meng-Esa-kan Allah. Perbedaan yg terjadi adalah penampilan kehidupan di dunia. 

Ada pula perbedaan dalam berdakwah ilmu tauhid. Imam Syafii dengan Imam Maliki, yg sudah sama-sama mengenal kehadiran Tuhan pun, terdapat pula perbedaan cara berdakwah.
Imam Syafii lebih cenderung menyampaikan dengan mengikuti tatacara kehidupan didalam masyarakat. Imam Syafii berpendapat "Kalau orang banyak sudah melaksanakan demikian, biarkanlah kita merubahnya pelan-pelan, sebab kalau kita merubahnya secara drastis, justru kita yg dianggap mereka gila".
Imam Maliki menjawab "Kalau yg disampaikan orang banyak tidak mengenai sasaran, sebaiknya kita katakan yg sebenarnya kepada mereka, agar mereka menyadari. Mungkin hal ini berat, namun apa boleh buat".
Maksud Imam Syafii, bahwa biarkanlah sementara orang yg belum mengenal Allah, mereka menyembah sekehendaknya. Sedangkan Imam Maliki berpendapat, bahwa beritahukan bahwa sebelum menyembah Allah, hendaklah mengenal Allah. Ini sejalan dengan hadist Nabi SAW, "Awaluddini Makrifatullah" artinya mula-mula beragama adalah makrifat kepada Allah.
Tapi perbedaan itu tidak menjadikan perpecahan diantara mereka. Mereka tetap dalam Ukhuwah Bashariyah. Sebab perbedaan dalam penyampaian memang harus tidak sama. Ada penyampaian berqalam dalam bentuk sasra, dan ini banyak dicontohkan oleh para Wali di Nusantara ini.
Misalnya dengan pupuh Suluk Linglung Sunan Kalijaga. Ada pula dengan syair, misalnya syair perahu yg disampaikan oleh Syekh Hamzah Fansuri. Ada pula yg melalui filsafat , misalnya Ibnu Arabi yg berpendapat , bahwa keadaan Rohani, hendaklah disifati oleh dirinya sendiri. Oleh sebab itu dirinya hendaklah menempati posisi yg positif menuju Rohani dalam aspek Ketuhanan. Ada pula dengan melalui syariat atau aqidah, kekeramatan yg bersifat metafisika, sebagaimana yg disampaikan oleh Nabi Musa.
Sedangkan yg masih mencari ibarat orang yg sedang mendaki bukit, berhutan lebat dan bertebing curam. Sasaran mereka ialah sampai kepuncak bukit. Mereka harus berjuang mencari dan menempuh perjalanan. Ada yg berjalan berputar-putar. Ada yg berjalan lurus, kadang sering jatuh. Apabila mereka sedang menempuh jalan ini dan lalu berbicara tentang kehadiran Tuhan, kemungkinan akan terjadi kebohongan atau manipulasi.

Sebuah cerita menarik dari seseorang yg naik haji, sampai di Mekah dengan khusuknya dia mencium Hajar Aswad , dia bersyukur kepada Tuhan, sebab sudah berhasil mencium berulang kali. Kajian hakikatnya tidaklah demikian, Ia menemukan batu, tapi bukan menemukan Allah.
disini pentingnya....mereka yg berjuang di jalan Allah haruslah punya ilmu dan kemampuan untuk mencari dan menemukan kehadiran Allah. 

Mengutip ceramah Kyai Zaenudin mz, kemampuan menuju kehadiran Allah harus dengan iman, bukan dengan kemampuan otak. Ada pertanyaan yg sering disampaikan kepada saya "Apakah para Wali itu sudah ber Haji ? ". Seorang Mursyid sudah dapat menilai tingkat akal yg bertanya. Suatu pertanyaan yg tidak menampilkan iman dan akal. Tetapi seorang guru tauhid harus menjawab, meskipun salah persepsi. Jawabnya ringkas " Sudah bahkan hampir setiap malam" Kenapa salah persepsi? Sebab pengertian berhaji menurut yg pertama tidak sama dengan pengertian haji yg diketahui oleh sang guru Mursyid. Berhaji yg pertama ialah berkunjung secara fisik ke Mekkah. Jadi kalau si penanya ingin melanjutkan pelajaran tauhid, maka sang Guru menyarankan supaya di tunda dulu. Tetapi sang Guru akan menjelaskan terlebih dahulu arti haji yg sebenarnya, kalau dia mau dan menerima, kalau tidak, tentu tidak akan di paksa. titik. 

Syaikh Mansur Al Hallaj

Kehidupan al Hallaj, adalah perjalanan spiritualitas yang total. Sehari-hari dia menggumamkan kerinduannya yang mencekam, menggetarkan dan menenggelamkan eksistensinya ke dalam Tuhan, baik melalui Tuhan yang turun ke dalam hatinya (Hulul), maupun ruhnya yang naik menyatu dengan-Nya (Ittihad) dan kesaksian atas kesatuan semesta (Wihdah al Wujud). Al Hallaj menempuhnya melalui pengembaraan di belantara realitas, penjelajahan semesta dan pendakian yang tertatih-tatih dan terkantuk-kantuk. Tetapi juga keriangan, keindahan dan pesona-pesona. Lihat, ketika dia bicara ini :

Diam, hening, bisu, mengetahui, menemukan lalu tenggelam

Tanah lempung, api, cahaya, dingin, bayang-bayang lalu matahari

Duka, datar, terjal, sungai, lautan lalu kering

Mabuk, cerah, rindu, merapat, bergabung lalu keintiman

Tergenggam, terbuka, lepas, terpencar, terhimpun lalu lenyap-senyap

penerimaan, penolakan, ketertarikan, sebutan, tersingkap lalu mengenakan baju (Diwan Qasidah 4: Perjalanan)

Deklarasi al Hallaj yang monumental, yang menggetarkan: “Ana al Haq”(Akulah Kebenaran/Tuhan), memperoleh response dan tafsir yang beragam. Jalaludin al Rumi bilang : “Banyak orang menganggap ini ucapan amat berbahaya. Tetapi sejatinya ia adalah puncak kerendah-hatian (tawadhu’). Jika dia mengatakan :”Aku hamba Kebenaran (Ana Abd al Haq), dia telah menetapkan dua entitas, Dualitas; dirinya dan Tuhan. Jika dia mengatakan : “Ana al Haq”, dia telah meniadakan dirinya dan menyerahkannya kepada angin. Ucapan “Ana al Haq” sama dengan “Ana ‘adam” (aku tiada), Dialah Totalitas Absolut-Universal (Huwa al Kulliyyah). Tak ada Eksistensi kecuali Allah. Aku dengan seluruh eksistensiku adalah tiada. “Ana Lastu Syai-an”(Aku bukanlah apa-apa). Inilah kerendah-hatian yang paling tinggi (Hadza al Tawadhu’ A’zham)”. (Fihi ma Fihi, Pasal 11: “Perlihatkan kepadaku segala hal”, h. 84).

Sufi lain bilang : Ketika al Hallaj berteriak :”Akulah Kebenaran”, dia adalah terompet yang ditiup oleh nafas Tuhan”. Yang lain bilang : “Dia juru bicara jiwa ketuhanan melalui lidah kemanusiaan”. Yang lain lagi bilang ;”Aku di situ, bukan kehampaan murni, melainkan sebagai penyucian diri yang ditarik menuju bentuk-bentuk wujud yang lebih tinggi dan akhirnya melebur dalam Tuhan yang dalam ucapan Husain al Nuri (w.295 H/908 M):”terbentuk dalam sifat-sifat Tuhan”(al Takhalluq bi Akhlaq Allah). Nabi menganjurkan : “Takhallaqu bi Akhlaq Allah”(Berakhlak-lah dengan Akhlaq Tuhan/pakailah etika Tuhan). Dll.

Gagasan Kemanunggalan atau Kesatuan Eksistensi Semesta, bukan hanya milik al Hallaj. Hampir semua sufi besar yang tercerahkan bicara tentang gagasan ini. Abu Bakar al Syibli bilang: “Akulah Sang Waktu”, Abu Yazid al Bisthami berucap :”O, Betapa Maha Sucinya Aku”. Ibnu Arabi mengatakan : “Seorang sufi melihat Allah dalam Ka’bah, dalam Masjid, dalam Gereja dalam Kuil”. Syibli, sahabatnya yang hadir saat eksekusi Hallaj, membisikkan kepada temannya: “Hallaj dan Aku memiliki kepercayaan yang sama, tapi kegilaanku menyelamatkan diriku, sedangkan kecerdasan telah menghancurkan dirinya”

Para mistikus besar bicara tentang Kesatuan Eksistensi (Wahdah al Wujud) di atas. Bagi para bijakbestari itu,  di alam semesta ini hanya ada Dia, karena seluruhnya hancur dan tak bermakna. Ini digambarkan oleh Abd Wahab al Sya’rani (w. 973), sufi besar lain, dalam bait-bait puisi ini :

Seluruhnya, selain Dia adalah bintang yang lenyap.

Dalam mata para bijak bestari ia adalah ketiadaan

Tak ada apapun, kecuali Allah

Sekumpulan nama dalam alamraya tak ada,

Yang tampak hanyalah Dia

Selain Dia, dalam semesta, tak berarti

Karena dirinya sendiri, tak mungkin mewujud

(Baca: Zaki Mubarak, al Tashawwuf al Islami, h.195).

Para sufi besar adalah pribadi-pribadi tulus dengan pikiran-pikiran yang mengundang daya tarik yang luar biasa bagi rakyat. Mereka adalah para reformer sejati. Pandangan-pandangan dan sikap-sikap mereka sangat kritis terhadap kehidupan glamor dan korup para penguasa atas nama rakyat. Para sufi menekankan pelayanan masyarakat, kebersahajaan, ketulusan, kebersihan hati, toleransi yang luas dan mencintai sesama. Cahaya yang mereka pancarkan dari jiwa dan pikiran yang bersih telah menyedot gairah rakyat yang tertindas di mana-mana. Dan kata-kata mereka pun sampai. Kehadiran mereka dengan dukungan besar rakyat jelata yang diam, telah menggoyahkan kemapanan status quo. Kekuasaan politik beralih ke arah mereka. Sementara itu, ketika banyak orang mengejar dan memuaskan diri dengan simbol-simbol dan baju-baju eksoteris yang mengecoh, kaum sufi mencari Essensi yang esoteris dan ingin bersembunyi di tanah tak dikenal. Ketika banyak orang manggut-manggut di depan kekuasaan atau hasrat puja-puji rakyat, kaum sufi tak menjunjung tinggi-besar apapun kecuali Sang Essensi. Tak pelak, seluruh pikiran dan gerak mereka seperti itu mengancam sekaligus meruntuhkan kewibawaan dua otoritas maha perkasa : otoritas politik (struktral) dan otoritas keagamaan (kultural).

Karuan saja, otoritas-otoritas tersebut lalu menggunakan tangan kekuasaannya untuk menyingkirkan, mengkerangkeng dan melenyapkan para mistikus itu, dengan berbagai cara. Sejumlah sufi yang sudah disebut, dan masih banyak lagi yang lain,  mengalami nestapa sebagaimana atau serupa al Hallaj. Murid dan pembela Al Hallaj paling gigih, ‘Ain Qudhat al Hamdani, misalnya, mengalami hal serupa dengan guru dan pujaannya itu. Dia, (w. 1130 M), dihukum mati tepat di pintu sekolah tempat dia mengajar. Tubuhnya dibungkus kain dan dibakar. Abunya ditaburkan ke udara.

Imam Jalal al Suyuti, salah satu pembela Ibnu Arabi yang gigih, mengatakan : “Ma Kana Kabirun fi ‘Ashr Illa Kana Lahu ‘Aduwn min al Safalah”(Orang besar dalam sejarah selalu punya musuh orang-orang bodoh).

Hati dan jiwa pencintamu merinduimu

Kelezatan bertemu engkau

O, betapa damai


Gagasan Pluralisme Mansur Al Hallaj

Pikiran dan pengalaman Hulul, Ittihad atau Wahdah al Wujud tak pelak melahirkan gagasan Pluralisme agama-agama. Itu keniscayaan. Baginya semua agama adalah sama. Para pemeluk agama tak pernah berhenti mencari Sang Realitas, melalui beragam jalan, dan berbagai nama. 

Abddullah bin Thahir Al Uzdi menceritakan : “ Aku bertemu dengan seorang Yahudi sebuah pasar di Baghdad. Kepada si Yahudi itu aku sempat bilang: Hai anjing!. Tak dinyana Husain bin Manshur lewat dan memandangku dengan wajah marah. Katanya ; “hentikan anjingmu menyalak”, lalu pergi. Begitu kami usai bertengkar, aku menemuinya dan minta maaf. Husain mengatakan: “Anakku, semua agama adalah milik Allah. Setiap golongan memeluknya bukan karena pilihannya, tetapi dipilihkan Tuhan. Orang yang mencaci orang lain dengan menyalahkan agamanya, dia telah memaksakan kehendaknya sendiri. Ingatlah, bahwa Yahudi, Nasrani, Islam dan lain-lain adalah sebutan-sebutan dan nama-nama yang berbeda. Tetapi tujuannya tidak berbeda dan tidak berubah”. “Dia kemudian berceloteh bait-bait puisi ini”

Sungguh, aku tlah merenung panjang agama-agama

Aku temukan satu akar dengan begitu banyak cabang

Jangan kau paksa orang memeluk satu saja

Karena akan memalingkannya dari akar yang menghunjam

Seyogyanya biar dia mencari akar itu sendiri

Akar itu akan menyingkap seluruh keanggunan dan sejuta makna

Lalu dia akan mengerti

(Diwan, 50)

Pandangan Pluralisme Agama, diucapkan oleh siapa saja, Husain Manshur Hallaj atau yang lain, menggambarkan manifesto kebebasan beragama, dan tentu saja merupakan ekspresi Islami yang essensial yang melampaui perbedaan-perbedaan sektarian antara Sunny-Syi’ah dan antara sekte-sekte yang lain. Keanekaragaman individu dengan sifat kualitatif dan kepercayaan yang berbeda-beda akan senantiasa eksis di manapun dan kapanpun, dan tak bisa dilepaskan, dengan cara apapun dan oleh siapapun, dari bingkai raksasa semesta ciptaan Tuhan


Syaikh Abu Yazid Al Busthami


Sebagai seorang sufi yang masyhur melalui kisah-kisah mahabbah-nya kepada Allah, Abu Yazid Al-Busthami yang saat kecil dipanggil Thaifur mempunyai pandangan tersendiri tentang hakikat cinta kepada Allah SWT.

Al-Busthami menyatakan bahwa cinta seorang hamba kepada Allah tidak lain karena Cinta-Nya kepada hamba tersebut. Hal ini menyiratkan bahwa sesungguhnya manusia tidak akan dapat mencintai Allah, karena cinta itu sendiri hadir dari Allah untuknya.

Abu Yazid Al-Busthami berkata: “Aku baru sadar, kukira aku bisa mencintai-Nya.Ternyata cintaku kepada-Nya selama ini akibat Cinta-Nya kepadaku.”

Perkataan sufi abad ke-3 hijriah berkebangsaan Persia yang lahir pada 804 M di Bustam, Persia ini diungkap oleh Pakar Tasawuf KH M. Luqman Hakim yang ditulis dalam akun twitter pribadinya @KHMLuqman, Jumat (25/5).

Semacam kesaksian dari sufi bernama lengkap Abu Yazid Thaifur ibn Isa ibn Surusyan al-Busthami itu memberikan petunjuk kepada setiap manusia bahwa hakikat kebaikan pada dirinya tidak lain hanyalah sebab kebaikan Allah.

Kiai Luqman mencontohkan ketika seseorang berdoa kepada Allah. Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor itu memberikan penjelasan bahwa manusia tidak perlu berpikir doanya terkabul atau belum, melainkan harus bersyukur dirinya masih ditakdirkan oleh Allah untuk memanjatkan doa.

“Berdoalah dengan mewujudkan kehambaanmu kepada-Nya. Bergembira bukan karena ijabah-Nya tapi karena engkau ditakdirkan masih bisa bermunajat kepada-Nya,” ungkap Kiai Luqman.

“Berdoalah untuk menjaga kefakiranmu, kehinaanmu, kelemahanmu, ketakberdayaanmu di hadapan-Nya,” sambung penulis buku Jalan Hakikat ini.


Syaikh Ibnu Arabi Dan Eksistensi Tuhan

Syaikh Muhyiddin Ibn Arabi. Siapa yang tidak kenal dengan nama ini?. Dialah sufi paling kontroversial seperti Imam al Ghazali, dikagumi sekaligus dicaci maki sepanjang masa. 

Para pengagumnya menyebut dia sang sufi (mistikus) terbesar sepanjang sejarah, dialah sang“al Syaikh al Akbar” (guru terbesar) dan “al Kibrit al Ahmar” (sumber api). 

Tidak ada pemilik gelar seperti ini di kalangan ulama, pemikir Islam dan mistikus sepanjang zaman, kecuali dia. 

Dia menegaskan bahwa Tuhanlah satu-satunya Eksistensi yang riil. Segala hal dalam ruang semesta adalah kenihilan belaka. Lenyap. 

Andai saja tiada Dia

Dan tiada aku

Niscaya tiadalah yang ada

Aku sungguh melihat

Sang Kebenaran

Dalam realitas-realitas

Dalam nama-nama

Aku tidak melihat semuanya

Kecuali Aku

Fenomena-fenomena alam semesta (kosmos) adalah “Tajalliyyat” (Penyingkapan) Tuhan dalam alam semesta. 

Fenomena alam semesta dalam pandangannya adalah keindahan-keindahan yang menunjukkan Eksistensi Tuhan. 

“Tak ada pada alam semesta ini kecuali Tuhan. Segala selain Tuhan adalah ketiadaan hakiki”.

Syaikh Muhyidin Ibnu Arabi

Ibnu Arabi dikenal sebagai penulis paling produktif pada zamannya. Karyanya mencapai 200 buah. Sebagian menyebut jumlah lebih dari itu. Muhammad Qajjah, direktur kebudayaan Suriah mengatakan : “Huwa Aghzar Muallif fi Tarikh al Fikr al Islami bal la nubaaligh idza Qulna fi al al Tarikh al Basyari”(dialah penulis paling subur dalam sejarah pemikiran Islam bahkan tidak berlebihan jika saya katakan dalam sejarah pemikiran manusia).

Karya-karya Ibnu Arabi baik dalam bentuk prosa, puisi maupun “tausyihat”, kebanyakan ditulis dalam bahasa Persia. Sebagian lain dalam bahasa Arab.

Sedemikian rumitnya memahami karya-karya Ibnu Arabi, sebagian orang meragukan bahwa karya-karyanya tidak dihasilkan dari kesungguhan mental dan intelektual, melainkan dari ilham dan pengalaman mistiknya.

Dalam sebuah syair yang masyhur ia berkata,

”Hatiku telah berganti rupa jadi semua bentuk: padang rumput bagi rusa-rusa, biara bagi para rahib, kuil bagi arca-arca, Ka’bah bagi peziarah. Lembaran Taurat, Kitab Suci Alquran. Aku memeluk agama cinta, dan ke arah mana pun unta-unta menuju, cinta adalah agama dan keyakinanku.”

”Akulah anggrek yang merekah dan panen yang melimpah. Kini, angkatlah tabirku dan bacalah apa yang tertera dalam tulisanku. Apa pun yang engkau lihat pada diriku, tuliskan dalam bukumu dan ajarkan kepada semua sahabatmu.”

Ibn al-‘Arabi memperingatkan kita:

Maka berhati-hatilah agar anda tidak mengikatkan diri kepada ikatan (‘aqd) yaitu kepercayaan, doktrin, dogma, atau ajaran tertentu dan mengingkari ikatan lain yang mana pun, karena dengan demikian itu anda akan kehilangan kebaikan yang banyak; sebenarnya anda akan kehilangan pengetahuan yang benar tentang apa itu yang sebenarnya. Karena itu, hendaklah anda menerima sepenuhnya semua bentuk kepercayaan-kepercayaan, karena Allah Ta’ala terlalu luas dan terlalu besar untuk dibatasi dalam satu ikatan tanpa ikatan lain, Dia berkata: “Kemana pun kamu berpaling, di situ ada wajah Allah”, (Q 2:115)

“Waspadalah untuk tidak membatasi dirimu hanya pada satu agama saja dan menolak semua agama lain, sebab engkau akan banyak kehilangan manfaat, bahkan pengetahuan mengenai realitas tidak akan dapat engkau raih. Jadikan dirimu penampung segala kepercayaan. Sebab Tuhan terlalu besar dan terlalu luas untuk dibatasi dengan satu agama saja”.



Mistik Astrologi Syekh al-Akbar Ibnu Arabi

 


Astrologi adalah seni mistis. Sejauh menyangkut Occidental, Arab, Persia dan sebagian besar astrologi India, dasarnya adalah Filsafat Neo-Platonis dan Hermetik Sinkretik ketika berkembang di Alexandria. Tentu saja, filosofi yang berbeda tetapi cocok ini memiliki akar yang jauh lebih kuno. Juga benar bahwa astrologi berbeda dalam ekspresinya, tergantung pada budaya di mana ia dipraktikkan. Tetapi perbedaannya sebagian besar cukup dangkal. Inti dari semua strain ini adalah diktum Hermetik: Seperti di atas, Jadi di bawah ini. Ini bukan hanya perkataan atau sesuatu yang benar pada saat itu. Itu adalah Spark Ilahi dan kebenaran yang Hidup. Ini hanyalah pengantar singkat tentang prinsip-prinsip spiritual yang mendasarinya, dari sudut pandang seorang guru sufi.

Anda tidak akan hanya menemukan Astrologi Mistiknya dalam buku-buku yang ditulisnya tentang masalah ini. Pandangan dunianya jenuh dan termakan oleh ekspresi mistisisme - sebuah kosmos di mana semua orang saling terkait. Saya merekomendasikan bukunya Divine Governance of the Human Kingdom untuk wawasan yang lebih dalam.

Ibnu Arabī adalah seorang mistikus sufi dan filsuf Arab Andalusia, dijuluki "Anak Plato." Dia juga salah satu yang paling dikenal sebagai Astrolog dari Zaman Keemasan Islam. Lahir: 28 Juli 1165, Murcia - Meninggal: 10 November 1240 di Damaskus. Salah satu karunia terbesarnya adalah apa yang saya sebut meta - astrologi, dan artikulasi manifestasi ilahi melalui astrologi.

Sekitar usia lima belas. ia memiliki pembukaan mistik yang luar biasa atau "pembukaan." Ini disebutkan dalam kisahnya yang terkenal tentang pertemuannya dengan Averroes. Pengalaman itu mengubah dia dan hanya setelah “daya tarik ilahi” asli ini, dia memulai praktik sufinya. Ibn Arabi juga mempelajari ilmu-ilmu tradisional, seperti yang dilakukan hampir semua peramal.

Nama lengkapnya, yang sangat penting dalam tradisi Islam, yang terdiri dari sebagian besar judul dan referensi untuk garis keturunannya adalah Muhyī al-dīn Abū 'Abd Allāh Muhammad bin' Alī bin Muhammad bin Ahmad bin 'Abd Allāh bin al-'Arabī al-Tā 'ī al-Hātimī al-Andalusī

Judul Muhyī al-dīn muncul dalam naskah-naskah awal yang ditulis selama masa hidup Ibn 'Arabi, dan tampaknya bukan sekadar gelar kehormatan tetapi juga sebuah seruan sadar terhadap pandangan umum Muslim bahwa dalam setiap abad Islam akan muncul

seseorang yang akan "memperbarui" agama (mujaddid). AbūHāmid al-Ghazzālī telah diterima secara umum sebagai “reviver of religion” pada abad keenam Hijrah, dan diharapkan ada pembaruan baru untuk ketujuh.

Titus Burkhardt menulis dalam Pengantar Astrologi Mistik Iban Arabi :

Muhyiddin Ibn 'Arabi dengan cara tertentu menunjukkan realitas esensial heliosentrisisme dalam bangunan kosmologisnya: seperti Ptolemeus dan semua yang kasar pada Abad Pertengahan yang ia tugaskan kepada matahari, yang ia bandingkan dengan' Kutub '(qutb) dan untuk jantung dunia '(qalb al-'alam), sebuah posisi sentral di dalam hierarki ruang angkasa, dan ini dengan menetapkan jumlah yang sama dari langit superior dan langit inferior ke langit matahari; Namun ia memperkuat sistem Ptolemy dengan menggarisbawahi kembali simetri bola sehubungan dengan matahari: menurut sistem kosmologisnya, yang mungkin ia pegang dari Sufi Andalusia Ibn Masarrah, matahari tidak hanya di pusat enam planet yang dikenal - Mars (al-mirik.h), Jupiter (al-mushtari) dan Saturnus (az-zuhal) berada lebih jauh dari Bumi (al-ardh) daripada Matahari (ash-shams), dan Venus (az zuhrah), Merkurius (al-utarid) dan Bulan (al-qamar) yang lebih dekat -tapi di luar langit Saturnus terletak kubah langit bintang-bintang tetap (falak al-kawakib), pada saat itu. langit tanpa bintang (al-falak al-atlas), dan dua bidang tertinggi dari 'Divine Pedestal' (al-kursi) dan 'Tahta Ilahi' (al'arsh), bola konsentris yang secara simetris sesuai dengan keempat bola sub-bulan eter (al-athir), udara (al-hawa), air (al-ma) dan bumi (aJ-ardh). Demikian adalah tujuh bagian rumah besar

derajat ke kedua sisi bola matahari, Ilahi (Singgasana) melambangkan sintesis semua kosmos, dan pusat bumi ada di sana baik kesimpulan inferior dan pusat fiksasi (Burkhardt p. 12).

Mistisisme Ibn Arabi dalam banyak hal bersifat universal, tetapi berkenaan dengan Bulan, misalnya, keyakinannya bertepatan dengan esoterisme Islam. Bulan memainkan peran visual tertentu dalam budaya Islam. Sebagian besar negara-negara Islam memiliki Bulan sebagai bagian dari benderanya, 

namun Islam sendiri berada di bawah pemerintahan Venus karena semua peramal Arab dan Persia telah menjelaskannya.

Syaikh Jalaludin Rumi

Menurut Rumi, jalan Cinta lebih utama dibandingkan jalan Akal atau Pengetahuan. Rumi berkata:

Pencinta punya pelindung dalam pembuluh darahnya, Pencinta sibuk membicarakan Cinta yang tak dapat dibandingkan.

Kata Akal, “Rukun iman yang lima perkara sudah mencukupi, tiada lagi jalan”

Cinta menjawab, “Ada sebuah jalan, berulang kali aku melaluinya!”

Akal melihat pasar, kemudian mulai berjualan

Cinta melihat ada banyak pasar di sebalik pasar akal.
Banyak al-Hallaj mereka temui di sana, mereka meyakini jiwa cinta
Dan menolak mimbar seraya memilih tiang gantungan
Pencinta yang faqir memiliki penglihatan hati penuh pesona
Orang yang hanya mengandalkan pada akal, hatinya gelap, semua disangkalnya
Akal berkata, “ Janganlah kakimu dijejakkan di situ,
Di halaman istana hanya duri yang tumbuh!”
Cinta berkata, “Duri-duri ini semuanya milik akal yang bersarang dalam dirimu!”
Waspadalah dan diam, buanglah duri kehidupan dari telapak kaki!
Supaya kau mendapat pelindung di dalam dirimu.
Shamsi Tabriz! Kaulah matahari dalam awan kata-kata;
Apabila matahari terbit, maka setiap kata pun sirna!
~ Jalaluddin Rumi ~

Syaikh Imam Al Ghazali

Sebelum menjadi sufi, Imam Al Ghazali adalah seorang guru besar di Universitas Nizamiyah. Ia juga pemikir, filsuf, ahli kalam, ahli fikih dan ilmu-ilmu yang lainnya

Dan justru, karena ilmu-ilmu itu tidak memberikan manfaat terhadap batinnya, maka Ghazali memutuskan untuk mempraktikkan ilmunya itu dengan jalan meninggalkan seluruh aktivitasnya untuk beribadah kepada Allah SWT dan melakukan uzlah

Menurut Muhammad Sholihin, dalam bukunya "Sufisme dalam Islam",  dan setelah menulis kitab besar yang di beri nama Ihya' Ulum ad-Din, Ghazali pernah melakukan uzlah selama 120 hari, pada saat itulah beliau mendapatkan ilmu kasyf yang terkenal itu.

Menurut pengakuannya, dalam pengalaman tasawuf itu, Ghazali memperoleh secara langsung (kasyf) ilmu-ilmu yang tidak terhingga, meskipun ia tidak menunjukkan secara tegas ilmu yang diperoleh itu. Adapun kejadian uzlah-nya (menyendiri, Red) itu, secara detail diungkap sendiri oleh Ghazali dalam al-Munqidz min al-Dlalal bab Thuruq al-Shufiyah.

Lalu kualihkan tatapanku ke jalan para sufi. Kuketahui ia tak dapat dilintasi ke ujungnya tanpa ajaran dan amalannya. Dan bahwasanya inti ajarannya terletak pada pengendalian nafsu badaniah dan keberhasilan dalam membersihkan watak-watak jahat dan sifat-sifat keji, hingga hati bersih dari segalanya kecuali Allah. 

Dan makna pembersihan ini adalah makna dzikrullah, yakni mengingat Allah dan mencurahkan segala pikiran pada-Nya. Bagiku kini ajarannya lebih mudah ketimbang amalan-amalannya, maka mulailah kupelajari ajaran mereka dari berbagai kitab dan tuturan para syekh mereka, hingga kuperoleh jalan mereka dengan belajar dan menyimak, dan dengan jelas kulihat bahwa hal-hal paling ganjil pada mereka tak dapat dipelajari, melainkan melalui pengalaman, ekstasi, dan perubahan batiniah. 

Yakinlah aku bahwa kini telah kuperoleh semua pengetahuan tasawuf yang bisa dicapai melalui belajar. Selebihnya, tiada jalan kepadanya melainkan dengan mengikuti kehidupan para sufi.

Setelah itu, kulihat diriku sebagaimana adanya. Segenap pamrih duniawi melanda diriku. Bahkan, pekerjaanku sebagai guru pun, suatu amalan yang terbaik, tampak sia-sia dan tiada manfaat ukhrawi, manakala kuperhatikan tujuannya aku melakukan semua itu bukan demi Allah, tetapi untuk kemegahan dan reputasi. 

Kusadari bahwa diriku berada di tepi jurang dan nyaris jatuh ke dalam api neraka jika tak segera kuperbaiki jalan-jalanku. Sadar akan ketakberdayaan, seraya mengerahkan segenap kemauan, kucari perlindungan kepada Allah, ibarat orang dilanda kesulitan tanpa berdaya lagi. Allah mengabulkan doaku, dan memudahkan aku berpaling dari kemasyhuran, kekayaan, istri, anak-anak, dan sahabat


Syaikh Abd Qosim Junaidi Al Bagdadi 1


Syekh Junayd Al Baghdadi adalah seorang tokoh sufi dan wali qutub yang sangat terkenal pada masanya, semua sufi sepakat mengakui kepemimpinannya. Dalam kitab tasawuf, beliau begitu hormat pada gurunya, Sari Saqathi, sampai-sampai beliau menolak berbicara kepada orang banyak selama gurunya masih hidup.
Pada suatu malam, dia bermimpi Rasulullah bersabda kepadanya :
"Wahai Junayd, berbicaralah kepada orang banyak, karena Allah telah membuat kata-katamu sarana untuk menyelamatkan manusia"
Ketika bangun, terpikir olehnya bahwa tingkatannya telah mengungguli tingkatan gurunya, karena Rasul telah memerintahkan dirinya untuk mengajar.
Ketika fajar menyingsing, Justru ada utusan gurunya datang ke tempat beliau dengan pesan sebagai berikut :
"Engkau tak bakal berbicara kepada orang-orang tatkala mereka mendesakmu untuk melakukan demikian, dan engkau menolak permintaan Syekh-Syekh serta permintaanku sendiri. Nah karena Rasul telah memerintahkanmu, taatilah perintah-perintahNya.
Mendengar pesan itu, Junayd berkata kepada dirinya sendiri :
"Khayalan itu tak ada dalam otakku. Aku paham bahwa guruku mengenal baik pikiran-pikiran lahir dan bathinku, serta tingkatannya lebih tinggi daripada tingkatanku, karena dia mengenal baik pikiran-pikiranku yang tersembunyi, sedangkan aku tidak mengetahui keadaannya.
Junayd lalu bergegas datang kepada gurunya dan meminta maaf. Setelah itu ia bertanya kepada Sari, "Bagaimana Syekh tahu kalau saya bermimpi tentang Rasulullah?"
Jawab Sari, "aku bermimpi menemui Tuhan, yang memberitahuku bahwa Dia telah mengutus Rasul untuk menyuruhmu mengajar"                                                                (Kisah ini mengandung petunjuk yang jelas bahwa seorang Mursyid dalam setiap hal harus mengenal betul perjalanan bathin para murid-muridnya)

Berdasarkan Kitab Kasyful Mahjub




Syaikh Abd Qosim Junaidi Al Bagdadi 2


Suatu waktu Junayd berhasrat ingin bertemu Iblis. Pada suatu hari, ketika ia sedang berdiri di Mesjid, seorang tua masuk dan memandang kearahnya. Ketakutan pun merenggut hatinya. Ketika orang tua itu mendekat, Junayd berkata kepadanya, "Siapakah engkau? karena aku tak tahan melihatmu, atau berpikir tentang dirimu?"
"Aku yang ingin kau lihat," jawab orang tua tersebut.
Mendengar itu Junayd berseru, "Wahai yang terkutuk! Mengapa engkau tak mau tunduk kepada Adam?"
Iblis menjawab, "Wahai Junayd, bagaimana engkau bisa membayangkan bahwa aku harus tunduk kepada siapapun kecuali Tuhan"
Junayd heran pada ucapan Iblis ini, tapi sebuah suara diam-diam berbisik,
"Katakan kepadanya, engkau dusta. Kalau kau telah menjadi seoarang hamba yang taat, engkau tak akan mendurhakai perintah-Nya.
Iblis ternyata mendengar suara dalam hati Junayd ini, dan berteriak,
Demi Tuhan, engkau telah membakarku! Setelah itu Iblis lenyap.
(Kisah ini menunjukan bahwa Allah menjaga wali-wali-Nya dalam segala keadaan dari godaan setan)

Berdasarkan Kitab Kasyful Mahjub