Kisah Mistik Sultan Agung


Suatu ketika pada saat Sultan Agung Shalat Jumat rutin di Masjidil Haram, Mekah. Pada salah satu Jumat, ia berjumpa dengan penguasa Mekah dan meminta agar diizinkan membuat pasarean di dekat Masjidil Haram untuk makamnya kelak. Disana, Sultan Agung diizinkan membangun makam, tapi Sunan Kalijaga berhasil membujuk agar niat itu tidak dilaksanakan dengan alasan banyak kawula Mataram nantinya tak bisa berziarah.

Sunan Kalijaga menawarkan jalan keluar, beliau mengambil segumpal tanah dari Pasarean Nabi, dibungkusnya dalam sepotong kain, lalu dilempar kearah Pulau Jawa. Sunan Kalijaga menjelaskan, dimana tanah itu jatuh, di situlah makam boleh dibangun.

Gumpalan tanah itu jatuh di bukit Imogiri, kawasan yang menjadi pemakaman Raja-Raja Mataram Islam di kemudian hari. Sultan Agung akhirnya dimakamkan disana.

Babad Nitik, sebagai contoh tradisi babad di awal perkembangan Islam di Jawa, menjadi sangat penting. Babad ini menggambarkan kepandaian keagamaan dan kemampuan Mistik Sultan Agung, termasuk dalam menaklukkan Sumatera dan Mekah dengan cara-cara mistik.

Imogiri dilukiskan sebagai Mekah-nya Jawa dan tempat pemakaman Iskandar Agung.Beliau dikatakan mempunyai kemampuan melakukan Shalat Jumat di Mekah secara rutin. Babad ini mewakili tradisi yang, di sepanjang pemerintahan Sultan Agung, dimaksudkan untuk menegaskan legitimasi keagamaan Mataram.

Kisah lain, misalnya, tentang penentuan arah kiblat Masjid Demak. Kisah yang sangat populer ini menuturkan bagaimana akurasi arah kiblat Masjid Demak ditentukan oleh, siapa lagi kalau bukan, Sunan Kalijaga yang merentangkan kedua tangannya, tangan kanan menyentuh Ka’bah dan tangan kiri menyentuh Masjid Demak.

Ini termasuk kisah-kisah kesaktian para tokoh yang sanggup mengatasi ruang dan waktu untuk melakukan perjalanan bolak-balik antara Jawa dan Mekah. Sultan Agung adalah salah satu tokoh yang dikonstruksi sanggup melakukan hal itu. Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar, dan beberapa waliyullah lain juga dipercaya punya kemampuan itu.  

Bagi para Raja Mataram, sebelum atau sesudah pembagian Surakarta dan Yogyakarta, pusat dunia berada di tempat mereka bertakhta.