Sejarah Perkembangan Tharekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) di Indonesia

Tharekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) adalah sebuah tarekat yang merupakan hasil unifikasi dua tharekat besar, yaitu Tharekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Penggabungan kedua tersebut kemudian dimodifikasi sedemikian rupa sehingga terbentuk sebuah tarekat yang mandiri dan berbeda dengan tarekat induknya. Perbedaan itu terutama terdapat dalam bentuk-bentuk riyadah dan ritualnya. Penggabungan dan modifikasi yang demikian ini memang yang terjadi dalam tarekat Qadiriyah.

Pada tahun 1878 M seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syaikh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping ada yang menyebutkan bahwa beliau adalah juga mursyid Tarekat Naqsyabandiyah.[1] Tetapi beliau menyebutkan silsilah tarekatnya hanya dari sanad Tarekat Qadiriyah.[2] Sampai sekarang belum ditemukan, dari sanad mana beliau menerima bai’at Tarekat Naqsyabandiyah.
Sebagai seorang mursyid yang sangat alim, Syekh Ahmad Khatib memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya karena dalam Tarekat Qadiriyah ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mencapai derajat mursyid, tetapi yang jelas pada masanya telah terdapat pusat penyebaran Tarekat Naqsabandiyah, baik di Makkah pun di Madinah sehingga sangat dimungkinkan ia mendapat bai’at Tarekat Naqsyabandiyah dari kemursyidan tarekat tersebut. Kemudian, ia menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, dan mengajarkan pada murid-muridnya yang berasal dari Indonesia.[3]
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut dimungkinkan atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersifat saling melengkapi, terutama dalam hal jenis zikir dan metodenya.
Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada zikir jahr nafy al-isbat, sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah menekankan model zikir sirr Ism atau zikir lathif. Dengan penggabungan itu, diharapkan para muridnya dapat mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih efektif dan efisien.
Di dalam kitab Fathul ‘Arifin dinyatakan bahwa sebenarnya tarekat ini tidak hanya merupakan unifikasi dari dua tarekat tersebut, tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi dari lima ajaran tarekat, yaitu: Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Anfasiyah, Junaidiyah, dan Muwafaqah.[4] Hanya saja, karena yang diutamakan adalah ajaran Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, maka tarekat ini diberi nama Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Konon tarekat ini tidak berkembang selain di kawasan Asia Tenggara.
Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadhu’ dari Syekh Ahmad Khatib yang sangat alim itu kepada pendiri kedua tarekat tersebut, sehingga ia tidak menisbatkan nama tarekatnya kepada dirinya. Padahal, kalau melihat modifikasi ajaran dan tata cara ritual tarekatnya itu, sebenarnya lebih tepat kalau dinamakan dengan Tarekat Khatibiyah/Sambasiyah karena tarekat ini merupakan hasil ijtihadnya.
Syekh Ahmad Khatib Sambas memiliki banyak murid dari beberapa daerah di kawasan Nusantara dan beberapa orang khalifah. Di antara khalifah-khalifahnya yang terkenal dan kemudian menurunkan murid-murid yang banyak sampai sekarang adalah Syekh Abd al-Karim dari Banten, Syekh Talhah dari Cirebon, dan Syekh Ahmad Hasbullah dari Madura.
Tarekat ini berkembang dengan cukup pesat setelah Syekh Ahmad Khatib Sambas digantikan oleh Syekh Abd al-Karim Banten sebagai syekh tertinggi tarekat tersebut. Syekh Abd al-Karim adalah pimpinan pusat terakhir yang diakui dalam tarekat ini. Sejak wafatnya, tarekat ini terpecah menjadi sejumlah cabang yang masing-masing berdiri sendiri dan berasal dari ketiga khalifah pendirinya tersebut di atas.[5]
Sedangkan khalifah-khalifah yang lain, seperti: Muhammad Ismail ibn Abd. Rakhim dari Bali, Syekh Yasin dari Kedah Malaysia, Syekh H. Ahmad Lampung dari Lampung, dan M. Ma’ruf ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang, berarti dalam sejarah perkembangan tarekat Ini.[6]
Syekh Muhammad Ismail (Bali) menetap dan mengajar di Makkah. Sedangkan Syekh Yasin setelah menetap di Makkah, belakangan menyebarkan tarekat ini di Mempawah Kalimantan Barat. Adapun H. Lampung dan M. Ma’ruf al-Palembangi Mereka membawa ajaran tarekat ke daerahnya masing-masing.[7]
Penyebaran tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) di daerah Sambas (asal daerah Syekh Ahmad Khatib), dilakukan oleh dua khalifahnya yaitu Syekh Nuruddin dari filipina dan Syekh Muhammad Sa’ad putra asli Sambas.[8]
Sebagaimana pesantren di pulau Jawa, maka penyebaran yang dilakukan oleh para khalifah Syekh Ahmad Khatib diluar pulau Jawa kurang berhasil. Sehingga sampai sekarang ini, keberadaanya tidak begitu dominan.
Setelah wafatnya Syekh Ahmad Khatib, maka kepemimpinan tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Mekkah dipegang oleh Syekh Abd. Karim al-Bantani. Dan semua khalifah Syekh Ahmad Khatib menerima kepemimpinan ini. Tetapi setelah Syekh Abd Karim al-Bantani meninggal, maka khalifah tersebut kemudian melepaskan diri dan masing-masing bertindak sebagai mursyid yang tidak terikat kepada mursyid yang lain. Dengan demikian berdirilah kemursyidan-kemursyidan baru yang independent.[9]
Khalifah Syekh Ahmad Khatib yang berada di Cirebon yaitu Syekh Talhah adalah orang yang mengembangkan tarekat ini secara mandiri. Kemursyidan yang dirintis oleh Syekh Talhah ini kemudian dilanjutkan oleh KH. Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad di Tasikmalaya dan K.H. Thahir Falaq di Pegentongan Bogor.
KH. Abdullah Mubarak mendirikan pusat penyebaran tarekat ini di wilayah Tasikmalaya (Suryalaya). Sebagai basisnya dirikanlah Pondok Pesantren Suryalaya, dan belakangan nama beliau sangat terkenal dengan panggilan “Abah Sepuh”. Kepemimpinan tarekat yang berada di Suryalaya ini setelah meninggalnya Abah Sepuh digantikan oleh Abah Anom. Beliau adalah putera Abah Sepuh, bernama Sahibul Wafa’ Tajul Arifin.[10]
Di Jawa Timur, pusat penyebaran TQN yang sangat besar adalah Pondok Pesantren Rejoso, Jombang. Dari sini TQN menyebar ke berbagai penjuru di Tanah Air.[11] Tarekat ini berkembang melalui Syekh Ahmad Hasbullah, berasal dari Madura dan salah satu khalifah Syekh Ahmad Khatib, tetapi beliau juga tinggal di Makkah sampai wafatnya. Tarekat ini kemudian dibawa ke Jombang oleh KH. Khalil dari Madura (menantu KH. Tamim, pendiri Pondok Pesantren Darul ‘Ulum, Jombang), yang telah memperoleh ijazah dari KH. Ahmad Hasbullah di Makkah. Selanjutnya, K.H. Khalil menyerahkan kepemimpinan ini kepada iparnya, yaitu KH. Ramli Tamim. Setelah KH. Ramli wafat, panji kemursyidan digantikan oleh K.H. Musta’in Ramli (anak KH. Ramli sendiri).[12] Kemudian dilanjutkan oleh adiknya, K.H. Rifai’i Ramli. Sepeninggal KH. Rifa’i, jabatan mursyid selanjutnya dipegang oleh adik KH. Mustain yang lain, yaitu KH. Ahmad Dimya Ramli sampai sekarang.[13]
Di Lampung, TQN dikembangkan oleh Syekh Arsyad Alwan Banten, murid Syekh Abdul Karim Banten. Syekh Arsyad Alwan Banten menyebarkan TQN sampai ke Lampung dan membaiat Muhammad Shaleh (w. 1940 M). Dari Muhammad Shaleh mengangkat anaknya KH. Ahmad Shabir menjadi mursyid TQN sampai sekarang.[14]
Diperoleh data bahwa di Jawa Tengah ada dua Pondok Pesantren sebagai pusat penyebaran TQN, yaitu Pesantren al-Futuhiyah Mranggen dan pesantren al-Nawawi Berjan Purworejo, namun Zamakhsyari Dhofier hanya menyebut lima Pondok Pesantren sebagai pusat penyebaran TQN di Jawa, yaitu (1) Pesantren Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, (2) Pesantren pegentongan Bogor Jawa Barat, (3) Pesantren Rejoso Jombang Jawa Timur, (4) Pesantren Tebuireng Jombang JawaTimur, (5) Pesantren al-Futuhiyah Mranggeng Jawa Tengah, tidak menyebut Pesantren al-Nawawi. Dengan demikian Keterangan Zamakhsyari Dhofier kurang teliti.[15]
Di Mranggen, TQN dibawa oleh KH. Ibrahim al-Brumbungi, khalifah Syekh Abd al-Karim al-Bantani. Beliau bertindak sebagai mursyid yang mandiri.[16] TQN berkembang di Mranggen di bawah kemursyidan KH. Mu’liy ibn Abd al-Rahman, seorang mursyid dan guru utama yang mengajar di Pesantren al-Futuhiyah, Mranggen. Ia telah menulis beberapa risalah yang dibaca secara luas, bahkan sampai ke kemursyidan KH. Muhammad Ali Kuala Tungkal sebagai buku pegangan, antara lain: al-Futuhat al-Rabbaniyyah fi al-‘Araqah al-Qadiriyyah wa al-Naqsyabandiyah dan ‘Umdah al-Salik fi Khair al-Masalik.
KH. Mu’liy mempunyai garis keguruan ganda dalam TQN. Dalam bukunya disebutkan, ia lebih mengutamakan gurunya yang di Banten, dari Abd al-Karim melalui Kyai Asnawi Banten dan Kyai Abd al-Latif Banten; tetapi ia juga menyebutkan seorang guru dari daerahnya sendiri, Mbah Abd al-Rahman dari Menur (sebelah Timur Mranggen), yang memperoleh ijazah dari Ibrahim al-Brumbungi (dari Brombong, di daerah yang sama), yang juga merupakan seorang khalifah Abd al-Karim.[17] Setelah KH. Mu’liy wafat pada tahun 1981, kepemimpinan tarekat ini dipegang oleh puteranya yang bernama M. Lutfil Hakim sampai saat ini.[18]
Sepulang dari Makkah, Syekh Zarkasyi bermukim di Desa Baledono Kedunglo, Purworejo, dan berguru kepada KH. Shaleh Darat di Semarang untuk memperdalam ilmu syari’at. Di samping menjadi guru Syekh Zarkasyi, KH. Shaleh Darat adalah juga teman belajar tarekat ketika masih di Makkah.
Kemudian KH. Shaleh Darat menganjurkannya untuk mendirikan masjid di Dukuh Berjan, dengan membekali dua batu merah. Mulai saat itulah berdiri sebuah mesjid yang kemudian berkembang menjadi pondok pesantren bernama Miftahul ‘Ulum (sekarang bernama Pondok Pesantren al-Nawawi).[19]
Sejak Syekh Zarkasyi menjadi mursyid (1860-1914), ia memiliki sejumlah murid dari berbagai daerah: Magelang, Temanggung, Purworejo, dan daerah sekitarnya, bahkan dari Johor, Malaysia.
Pada masa Sultan Abu Bakar (Tumenggung Abu Bakar) berkuasa di Kesultanan Johor, beliau pernah berkirim surat kepada Syekh Zarkasyi Berjan, yang pada intinya memohon kepada syekh itu untuk berkenan mengirimkan seorang guru TQN. Menyikapi permohonan tersebut, maka Syekh Zarkasyi mengirimkan seorang muridnya yang bernama Syekh Sirat untuk mengajarkan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Johor, Malaysia. Syekh Sirat berasal dari Dusun Buntil, sebuah dusun di sebelah Utara Dusun Berjan, dan masih dalam wilayah Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Purworejo, Jawa Tengah.
——————–
[1] Zurkani Yahya, Asal-usul Tarekat Qadiryah wa Naqsabndiyah dan perkembangannya, dalam: Harun Nasution, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah: Sejarah, Asal-usul, dan perkembangannya, (Tasikmalaya: IAILM, 1990), hlm. 83.
[2] Dari berbagai silsilah yang penulis dapatkan disemua cabang, silsilah ini bersumber pada satu sanad, yaitu dari syekh Abd al-Qadir al-jailani. Lihat misalnya: Muhammad Usman ibn Nad al-Isaqi, al-Khujah al-Wafiyah al-Adab wa Kafiyah al-Ikr ‘Inda Sadah al-Qadiriyah al-Naqsbandiyah, (Surabaya: al-Fitrah, 1994), hlm. 16-18
[3] Martin van Bruinessen, Tarekat Qadiriyah wa Naqsbandiyah, (Bandung: Mizan Anggot Ikapi, 1992), hlm. 100
[4] Ahmad Khatib Sambas, Fathul ‘Arifin, (Surabaya: Syarikat Bengkulu Indah), hlm. 2
[5] Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 92
[6] Ibid, hlm. 92
[7] Ibid, hlm. 93
[8] Hawas Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya Di Nusantara, (Surabaya: Al-ihlas, 1990), hlm. 177
[9] Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 94
[10] Zurkani Yahya, Op. Cit., hlm. 88
[11] Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 96
[12] Ibid, 96
[13] Kharisdun Aqib, Al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, (Surabaya : Dunia Ilmu, 1998) hlm. 55-56
[14] Ahmad Rahman, K.H. Ahmad Shabir: Biografi Sosial Intlektual, Jurnal Penelitian Agama dan Kemasyarakatan, Pena Mas No. 40, th ke-14, (Jakarta : Balitbang Departemen Agama, 2001), hlm. 58
[15] Zamkhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang pandangan HIdup Kiyai, (Jakarta: LP3S, 1994). hlm. 90. Penelitian ini merupakan tambahan terhadap hasil penelitian Martin van Bruinessen dan Zamakhsyari Dhofier yang menyebutkan hanya pesantren al-Futhiyah, Mranggen, yang dipimpin oleh Mursyid K.H. Mjli, sebagai pusat penyebaran TQN di Jawa Tengah.
[16] Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 94-95
[17] Ibid, hlm. 95
[18] Ibid, hlm, 95
[19] Syekh Zarkasyi atau kurun waktu dengan Syekh Shaleh Darat Semarang; di mana yang kedua ini merupakan guru Syekh Zarkasyi sendiri.

 Sumber :
Yayasan Alam Melayu Sriwijaya


TQN Berjan Purworejo

Foto : Bersama Gus Ridho Badal TQN Godean Jogjakarta

Biografi singkat KH. NAWAWI BERJAN PURWOREJO TOKOH DIBALIK BERDIRINYA JAMIYYAH AHLITH THORIQOH AL- MU'TABAROH AN-NAHDLIYYAH (JATMAN)"

Almaghfurlah Simbah KH. Nawawi Lahir pada hari Selasa Kliwon, 10 Januari 1916, Beliau KH. Nawawi kalau dirunut Silsilah atau garis Nasab beliau masih keturunan Sultan Agung Prabu Hanyokrokusomo (Raden Mas Djatmiko) dari Salah satu Putranya ke 6 yakni Sinuhun Sayyid Tegal Arum atau Sultan Amangkurat Agung yang dimakamkan di daerah Tegal, Adapun putra putri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusomo:

1. Pangeran Tumpo Nangkil atau Raden Muhammad Kosim

2. Pangeran Ronggo Kawijen

3. Bendoro Raden Ayu Winonga

4. Pangeran Ngabehi Loring Pasar

5. Sayyid Abdul Ghaffar atau Raden Purbaya atau Mbah Kyai Kalisoka dimakamkan di Desa Kalisoka Tegal

6. Sayyid Tegal Arum atau Sinuhun Sultan Amangkurat Agung, beliaulah yang menggantikan kedudukan menjadi Sulthan atau Raja Mataram Islam Darussalam

7. Bendoro Raden Ayu Wiratmantri

8. Pangeran Haryo Danupoyo atau Raden Mas Alit, Beliau Raden Mas Alit inilah kelak yang menggantikan Sultan Amangkurat Agung ( Sayyid Tegal Arum) utk menjadi Sulthan atau Raja Mataram Islam Darussalam, dengan Gelar Kebangsawanannya. Sultan Amangkurat Mas I (Sumber Silsilah Paneraban Pusat Sayyid Abdul Ghaffar atau Pangeran Purbaya Kalisoka Tegal)

SULTAN AGUNG PRABU HANYOKROKUSUMO (Raden Mas Djatmiko) dirunut runut ke atas bersambung dengan Sunan Giri (Sayyid Ainul Yaqin) dan terus keatas nasabnya akan bertemu kepada Baginda Rosululloh SAW, adapun Nasab Sultan Agung Prabu Hanyokrokusomo bin Prabu Hanyokrowati (Raden Mas Jolang) bin Panembahan Senopati bin Nyai Sabinah (Istri Ki. Ageng Pemanahan) bin Ki Ageng Saba bin Nyai Pandan bin Sunan Giri II (Sunan Giri Ndalem) bin Sunan Giri (Sayyid Ainul Yaqin) bin Sayyid Maulana Ishaq (Sumber dari Silsilah Paneraban Pusat Sayyid Abdul Ghaffar atau Raden Purbaya Kalisoka Tegal)

Adapun Nasab atau Silsilah KH. Nawawi Berjan Purworejo bin KH. Shiddiq Berjan bin KH. Zarkasyi Berjan bin KH. Asnawi Tempel bin KH. Nuriman Tempel bin Ky. Burhan Joho bin Ky. Suratman Pacalan bin Jindi Amoh Plak Jurang bin Ky. Dalujah Wunut bin Gusti Oro Oro Wunut bin Gusti Untung Suropati bin Sinuwun Sayyid Tegal Arum bin Sultan Agung Hanyokrokusomo (Raden Mas Djatmiko) bin Pangeran Senopati. (sumber buku Mengenal KH. Nawawi Berjan Purworejo,hal 11 sd 12), bahkan dalam salah satu sumber menyebutkan bahwa Sinuwun Sultan Agung Prabu Hanyokrokusomo juga seorang Pengamal Tarekat Syadziliyyah. Subhanalloh

NASAB KEILMUAN Ilmu Thoriqoh (Tarekat)

Silsilah Kemursyidan Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyah (TQN) dari Ayahanda beliau yakni Syech Shiddiq Berjan Bin Syech Zarkasyi Berjan Purworejo juga dari Pakdenya yakni Syech Munir Berjan bin Syech Zarkasyi Berjan Purworejo, Kemursyidan Syech Zarkasyi bin Asnawi Berjan Purworejo dari Syech Abdul Karim Al-Bantani dari Syech Achmad Khotib bin Abdul Ghoffar Sambas Kalimantan. Salah satu murid yang utama diangkat menjadi Khalifah/ Mursyid adalah Tuan Guru Ali bin Abdul Wahhab Al-Banjari Kuala Tungkal Tanjung Jabung Barat Jambi bahkan Zawiyyah atau komunitas tarekat Tuan Guru Ali merupakan Zawiyyah yang terbesar di luar Pulau Jawa, karena Acara Peringatan Haul Sultanul Auliya' Syech Abdul Qodir Al-Jaelani QSA. masuk dalam APBD Provinsi Jambi. KH. Nawawi Bin Syech Shiddiq RA. (1947-1982), juga telah mengangkat Kholifah sbb; KH. Achmad Chalwani Bin KH. Nawawi, Tuan Guru Ali bin Abdul Wahhab Al Banjari Kuala Tungkal Jambi, KH. Masduqi Syarofuddin Purworejo, KH. Abdurrahim Kebumen, KH. Zuhri Syamsuddin Wonosobo, KH. Nachrowi Magelang, KH. Baqiruddin Magelang, KH. Madchan Magelang, KH. Machfudz Magelang, KH. Mundasir Magelang, KH. Parlan Cilacap, KH. Ilyas Singapura, KH. Djazoeli Magelang. Selain itu Beliau KH. Nawawi aktif menulis dan membaca terbukti dengan menghasilkan beberapa karya meliputi kitab tentang Tarekat, kitab-kitab fiqh, dan syair-syair.

Ilmu Syari'at

Beliau KH. Nawawi pernah belajar di beberapa pesantren Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Watucongol Magelang, Krapyak Yogyakarta, Lasem Rembang, Tremas Pacitan, Jampes Kediri, Tebuireng Jombang dan Lirboyo Kediri.

ULAMA KHARISMATIK

Beliau adalah Seorang Ulama kharismatik sekaligus Ulama Thoriqoh dari Dukuh Berjan Desa Gintungan Kecamatan Gebang Kabupaten Purworejo, sebagai seorang Guru Mursyid beliau juga berperan aktif diberbagai kegiatan thoriqoh yaitu pernah menjadi Ketua | Kongres I Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabaroh pada tanggal 12-13 Oktober 1957 di legalrejo Magelang yang mengasilkan keputusan bahwa tanggal 10 Oktober 1957 adalah sebagai hari Lahirnya Jamiyyah Ahlith Thoriqoh Al- Mu'tabaroh yang pada tahun 1979 pada saat Muktamar NU ke 26 di Semarang, Jamiyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabaroh kemudian dimasukkan sebagai salah satu Badan Otonom dibawah Nahdlatul Ulama dan dikukuhkan. dengan Surat Keputusan Syuriah PBNU Nomor 137/Syur.PBNU/V/1980. Sejak itulah sampai sekarang Jam'iyyah ini dikenal dengan nama Jam'iyyah Ahli Thariqoh Al-Mu' tabaroh An- Nahdliyyah (JATMAN), bahkan beliau juga pernah ditunjuk menjadi Mudir Tsani Idaroh 'Aliyah Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh Al- Mu'tabaroh An-Nahdliyyah (JATMAN Pusat). Saat ini estafet kepemimpinan beliau dilanjutkan oleh putranya yaitu Romo KH. Achmad Chalwani Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan Purworejo.

Di Balik Berdirinya Jam'iyyah Ahli Thariqot al- Mu'tabaroh

Secara singkat, sejarah Thariqoh al-Qhadiriyyah wa Naqsyabandiyyah berkembang di Berjan adalah merupakan hasil gabungan antara dua aliran, yakni aliran Thariqoh Qhadiriyyah dan aliran Thariqoh Naqsyabandiyyah yang gagas oleh Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar daerah Sambas Kalimantan Barat (1802-1872 M). Sedangkan aliran Thariqoh al-Qhadiriyyah pencetusnya adalah Syaikh Abdul Qhodir al- Jailani sebagai pelopor cikal-bakal aliran-aliran organisasi thariqoh dengan cabang-cabangnya di belahan penjuru dunia Islam. Sementara aliran Thariqoh Naqsyabandiyyah adalah dirintis oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Bukhari al- Naqsyabandi (717 H/1318 M-791 H/1389 M) seorang tokoh sufi yang memulai belajar tentang tasawuf kepada gurunya Baba al- Samsyi pada saat berusia 18 tahun. Syekh Ahmad Khatib Sambas telah berhasil untuk menggabungkan dua aliran Thariqoh tersebut sebagaimana tertulis dalam karya kitabnya Fath al-Arifin dengan metode jenis Dzikir yaitu Dzikir Jahr dalam Thariqoh Qhadiriyyah dan Dzikir Khafı dalam Thariqoh Naqsybandiyyah. Syekh Ahmad Khatib Sambas menjadi pelopor pemikiran Thariqoh Qhadiriyyah wa Naqsyandiyyah walaupun lama bermukim di Mekah pada pertengahan abad ke-19, maka banyak yang bersedia menjadi muridnya baik dari Negara Malaysia, Jawa dan luar Jawa. Pada perkembangannya Thariqoh wa Naqsyabandiyyah di Nusantara banyak yang bersumber kepada salah satu atau ketiga. menjadi Mursyid pertama, mulai dan Syaikh Abdul Karim paman Syekh Nawawi Banten sebagai pimpinan Thariqoh. Sedangkan muridnya meneruskan dan berjasa besar untuk mengembangkan Thariqoh wa Naqsyabandiyyah di Nusantara yaitu, Kiai Asnawi Caringan Banten (w.1937), Syekh Zarkasyi (1830-1914 M), pada tahun 1860. Sementara Syekh Zarkasyi pada periode pertama mengembangkan Thoriqoh wa Naqsyabandiyyah diteruskan pada periode kedua Muhammad Siddiq dan diteruskan ke periode ketiga yaitu KH. Nawawi Berjan Purworejo Jawa Tengah. Pada periode KH Nawawi pada mulanya tidak bersedia untuk di baiat menjadi mursyid karena alasan berjuang bersama laskar Hizbullah pada saat itu, lalu pamannya, memberanikan diri Kiai Abdul Majid Pagedangan matur untuk di baiat sebagai mursyid tapi KH. Nawawi jawabannya tetap sibuk berjuang bersama laskar Hizbullah, maka sementara kedudukan mursyid dilanjutkan oleh parmannya sendiri, Simbah Kiai Munir bin Zarkasyi. Setelah pasca perjuangan melawan penjajah, dan saudara kandung mirip ayahandanya wafat bernama Muhammad Kahfi pada hari kamis tanggal 6 Dzulqo'dah 1371/ 1950 M, maka barulah KH Nawawi berkenan untuk di baiat sebagai mursyid kepada Simbah Kiai Munir (w. 1958) Amanah yang berat sebagai pewaris pimpinan pondok pesantren dan juga sebagai mursyid Thariqoh wa Naqsyabandiyah selama 35 tahun (1947-1982). Pada saat itulah, KH Nawawi mulai merasakan keadaan terhadap aliran dan organisasi Thoriqoh yang berkembang dengan saling menyalahkan dan bahkan mengkafirkan antara aliran Thariqoh seperti Thariqoh Tijaniyyah dan Thariqoh Syathoriyyah yang sejatinya sama- sama berasal dari organisasi NU. Pada tanggal 31 Desember Tahun 1955 KH Nawawi Berjan dan KH Masruhan berdialog untuk berusaha meluruskan para penganut Thariqoh dan perlunya menyepakati dalam bentuk Jam'iyyah thoriqoh yang benar dan lurus, mana yang mu'thabaroh maupun yang tidak. Sekitar dua tahun kemudian, KH Nawawi bersilaturrahim kebeberapa daerah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah bersama Kiai Mahfudz Rembang, maka pada tahun 1957 yang didampingi oleh Kiai Abdurrahim Pagedangan sehingga melahirkan Tim Pentasheh Thariqoh yang beranggotakan enam orang diantaranya Kyai Muslih Mranggen, dan Kiai Baedlowi Lasem. Dengan keperihatinan dalam menyaksikan maraknya perpecahan dikalangan para penganut Thariqoh ini, kemudian KH Nawawi mengabadikan dalam catatan buku hariannya dengan menulis yaitu cara-cara yang menjalin hubungan persatuan berbagai panganut Thariqoh. Menurut catatan-catatan buku harian KH Nawawi, cara-cara mengeratkan ukhuwah di antara ikhwan thoriqoh. Pertama, para mursyid diberi tuntunan-tuntunan asas Thoriqoh yang semuanya asas-asas tadi dimengerti sampai tahu betul para murid dengan asas tujuan Thoriqoh hingga paham adab-adabnya murid Thoriqoh, adab kepada guru dan adab teman- teman Thoriqoh dengan inshaf, dan patuh terutama adab ma'a Allah dan Rasulnya. Kedua, supaya dianjurkan tazawur diantara mursyidin dengan para abdal satu sama lain, dengan tukar pikiran bagaimana caranya mentarbiyah murid-murid mana yang baik ditiru oleh ikhwan lain agar menambah amal khair. Ketiga, para mursyid menganjurkan kepada abdal-abdal supaya berangkat khataman, tawajuhan dan riyadloh jasmaniyah dan rohaniyah serta tafakkur yang dapat mendekatkan muroqobah hingga para ikhwan Thoriqoh bisa melatih diri inshaf kepada ajaran-ajaran Sufi yang mana bisa sabar dan Ridho pada hukum Allah, dan membuat kebaikan kepada makhluk serta cinta kepada teman-teman dan menjauhi larangan- larangan tuhan dan terus mengabdi tambahannya ilmu serta ingat kepada mati agar giat beribadah. Dengan terbentuknya panitia sementara dalam rencana penyelenggarakan kongres pertama. Maka pada tanggal 11 Agustus tahun 1956 dengan susunan kepanitiaan Pelindung KH Romli Tamim Rejo Jombang dan Ketua I KH Nawawi Berjan serta pembantu-pembantu | KH Khudlori Magelang. Hasil Presidium Kepengurusan Kongres perdana dengan Anggota KH. Mandhur, KH. Chudlori Tegalrejo, KH. Usman, KH. Chafidz Rembang, KH. Nawawi, KH. Masruchan Brumbung, dengan sidang pertama di Rejoso Jombang. Kesepakatan kongres pada tanggal 19/20 Rabiul awal 1377 atau 10 Oktober 1957 sebagai hari lahir Jam'iyyah Ahli Thariqoh al-Mu'tabaroh. Pendirian Jam'iyyah ini telah direstui oleh KH. Dalhar Watucongol, walaupun pada saat itu beliau tidak berkenan naik panggung.

Dalam kongres Jam'iyyah Ahli Thoriqoh ke 1 pada tanggal 12-13 Oktober 1957 di Tegalrejo Magelang dalam kapasitasnya sebagai ketua Panitia Kongres, KH. Nawawi dan Kyai Siraj Payaman yang paling banyak memberikan Jawaban setiap pertanyaan dari peserta, termasuk dari Kiai Mahrus Lirboyo.

KAROMAH/KERAMAT

Pada waktu wafatnya KH. Nawawi, tempat yang digali untuk pemakaman beliau tiba-tiba memancarkan cahaya sangat terang yang ditimbulkan oleh batu-batu yang menyerupai berlian/ permata. Seketika orang yang berada di sekitarnya berebut mengambil batu-batu tersebut untuk dibawa pulang ke rumahnya. Konon, semasa hidupnya beliau pernah berwasiat ketika wafat nanti supaya dimakamkan di tempat tersebut. Subhanalloh

Wafat

Beliau wafat pada hari Ahad Pahing, tanggal 4 Syawal 1982 sekitar jam 23.00 WIB. dan di makamkan di Pemakaman Keluarga Desa Bulus Gebang Purworejo, pada waktu Upacara Pemakaman doa pemberangkatan dipimpin oleh KH. Nadzir Kebarongan Banyumas dengan diamini oleh KH. Achmad Abdul Haq Dalhar ( Mbah Mad) Watucongol Magelang, KH. Mustholih Badawi Kesugihan Cilacap dan para muazziyin, muazziyat yang hadir.

Sumber:

* Buku Mengenal KH. Nawawi Berjan Purworejo hal. 38, 39, 40)

* Pondok Pesantren An-Nawawi purworejo













Sejarah Tharekat Syadziliyah

Secara pribadi Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu juga muridnya, Syaikh Abul Abbas al-Mursi, kecuali hanya sebagai ajaran lisan tasawuf, doa, dan hizib. Syaikh Ibn Atha’illah as-Sakandari adalah orang yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khasanah tarekat Syadziliyah tetap terpelihara. Syaikh Ibn Atha’illah juga orang yang pertama kali menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tarekat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya.

Melalui sirkulasi karya-karya Syaikh Ibn Atha’illah, tarekat Syadziliyah mulai tersebar sampai ke Maghrib, sebuah negara yang pernah menolak sang guru. Tetapi ia tetap merupakan tradisi individualistik, hampir-hampir mati, meskipun tema ini tidak dipakai, yang menitik beratkan pengembangan sisi dalam. Tarekat Syadziliyah sendiri tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk kesalehan populer yang digalakkan. Namun, para murid tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan Tarekat Syadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.

Sebagai ajaran, Tarekat ini dipengaruhi oleh al-Ghazali dan al-Makki. Salah satu perkataan as-Syadzili kepada murid-muridnya, “Seandainya kalian mengajukan suatu permohonan kepada Allah, maka sampaikanlah lewat Abu Hamid al-Ghazali”. Perkataan yang lainnya, “Kitab Ihya’ Ulum ad-Din, karya al-Ghozali, mewarisimu ilmu. Sementara Qut al-Qulub, karya al-Makki, mewarisimu cahaya.” Selain kedua kitab tersebut, al-Muhasibi, Khatam al-Auliya, karya Hakim at-Tarmidzi, Al-Mawaqif wa al-Mukhatabah karya An-Niffari, Asy-Syifa karya Qadhi ‘Iyad, Ar-Risalah karya al-Qusyairi, Al-Muharrar al-Wajiz karya Ibn Atha’illah.

Ketaqwaan terhadap Allah SWT lahir dan batin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara’ dan istiqamah dalam menjalankan perintah Allah SWT.

Konsisten mengikuti Sunnah Rasulullah Saw, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalu bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.

Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah SWT (Tawakkal).

Ridho kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan menerima apa adanya (qana’ah/tidak rakus) dan berserah.

Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersyukur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.

Kelima sendi tersebut juga tegak diatas lima sendi berikut :

Semangat yang tinggi, yang mengangkat seorang hamba kepada derajat yang tinggi.

Berhati-hati dengan yang haram, yang membuatnya dapat meraih penjagaan Allah atas kehormatannya.

Berlaku benar/baik dalam berkhidmat sebagai hamba, yang memastikannya kepada pencapaian tujuan kebesaran-Nya/kemuliaan-Nya.

Melaksanakan tugas dan kewajiban, yang menyampaikannya kepada kebahagiaan hidupnya.

Menghargai (menjunjung tinggi) nikmat, yang membuatnya selalu meraih tambahan nikmat yang lebih besar.

Selain itu, tidak peduli sesuatu yang bakal terjadi (merenungkan segala kemungkinan dan akibat yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang) merupakan salah satu pandangan tarekat ini, yang kemudian diperdalam dan diperkokoh oleh Syaikh Ibn Atha’illah menjadi doktrin utamanya. Karena menurutnya, jelas hal ini merupakan hak prerogratif Allah. Apa yang harus dilakukan manusia adalah hendaknya ia menunaikan tugas dan kewajibannya yang bisa dilakukan pada masa sekarang dan hendaknya manusia tidak tersibukkan oleh masa depan yang akan menghalanginya untuk berbuat positif.

Sementara itu, tokohnya yang terkenal pada abad ke delapan Hijriyah,Syaikh Ibn Abbad ar-Rundi (w. 790 H), salah seorang pensyarah kitab al-Hikam memberikan kesimpulan dari ajaran Syadziliyah: Seluruh kegiatan dan tindakan kita haruslah berupa pikiran tentang kemurahan hati Allah kepada kita dan berpendirian bahwa kekuasaan dan kekuatan kita adalah nihil, dan mengikatkan diri kita kepada Allah dengan suatu kebutuhan yang mendalam akan-Nya, dan memohon kepada-Nya agar memberi syukur kepada kita.”

Mengenai dzikir yang merupakan suatu hal yang mutlak dalam tarekat, secara umum pola dzikir tarekat ini biasanya bermula dengan Fatihat adz-dzikir. Para peserta duduk dalam lingkaran, atau kalau bukan, dalam dua baris yang saling berhadapan, dan syaikh di pusat lingkaran atau di ujung barisan. Khusus mengenai dzikir dengan al-asma al-husna dalam tarekat ini, kebijaksanaan dari seorang pembimbing khusus, mutlak diperlukan untuk mengajari dan menuntun murid. Sebab penerapan asma Allah yang keliru dianggap akan memberi akibat yang berbahaya, secara ruhani dan mental, baik bagi si pengamal maupun terhadap orang-orang di sekelilingnya. Beberapa contoh penggunaan Asma Allah yang diberikan oleh Syaikh Ibn Atha’ilah adalah sebagai berikut:

“Asma al-Latif”, Yang Halus; harus digunakan oleh seorang sufi dalam penyendirian bila seseorang berusaha mempertahankan keadaan spiritualnya.

“Al-Wadud”, Kekasih yang Dicintai; membuat sang sufi dicintai oleh semua makhluk, dan bila dilafalkan terus menerus dalam kesendirian, maka keakraban dan cinta Ilahi akan semakin berkobar;

“Asma al-Faiq”, Yang Mengalahkan; sebaiknya jangan dipakai oleh para pemula, tetapi hanya oleh orang yang arif yang telah mencapai tingkatan yang tinggi.

Tarekat Syadziliyah terutama menarik di kalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat, dan pengawai negeri. Mungkin karena kekhasan yang tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tarekat yang lainnya. Setiap anggota tarekat ini wajib mewujudkan semangat tarekat di dalam kehidupan dan lingkungannya sendiri, dan mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Oleh karenanya, ciri khas yang kemudian menonjol dari anggota tarekat ini adalah kerapian mereka dalam berpakaian. Kekhasan lainnya yang menonjol dari tarekat ini adalah “ketenangan” yang terpancar dari tulisan-tulisan para tokohnya, misalnya: asy-Syadzili, Ibn Atha’illah, Abbad.

Annemarie Schimmel menyebutkan bahwa hal ini dapat dimengerti bila dilihat dari sumber yang diacu oleh para anggota tarekat ini. Kitab ar-Ri’ayah karya al-Muhasibi. Kitab ini berisi tentang tela’ah psikologis mendalam mengenai Islam di masa awal. Acuan lainnya adalah Qut al-Qulub karya al-Makki dan Ihya Ulumuddin karya al-Ghozali. Ciri “ketenangan” ini tentu saja tidak menarik bagi kalangan muda dan kaum penyair yang membutuhkan cara-cara yang lebih menggugah untuk berjalan di atas Jalan Yang Benar.

Disamping Ar-Risalahnya Syaikh Abul Qasim Al-Qusyairy serta Khatamul Auliya’nya, Hakim at-Tirmidzi. Ciri khas lain yang dimiliki oleh para pengikut tarekat ini adalah keyakinan mereka bahwa seorang pengikut Syadzilliyah pasti ditakdirkan menjadi anggota tarekat ini sudah sejak di alam Azali dan mereka percaya bahwa Wali Qutb akan senantiasa muncul menjadi pengikut tarekat ini.

Tidak berbeda dengan tradisi di Timur Tengah, Martin Van Bruinessen menyebutkan bahwa pengamalan tarekat ini di Indonesia dalam banyak kasus lebih bersifat individual, dan pengikutnya relatif jarang, kalau memang pernah, bertemu dengan yang lain. Dalam praktiknya, kebanyakan para anggotanya hanya membaca secara individual rangkaian-rangkaian doa yang panjang (hizib), dan diyakini mempunyai kegunaan-kegunaan magis. Para pengamal tarekat ini mempelajari berbagai hizib, paling tidak idealnya, melalui pengajaran (talqin) yang diberikan oleh seorang guru yang berwenang dan dapat memelihara hubungan tertentu dengan guru tersebut, walaupun sama sekali hampir tidak merasakan dirinya sebagai seorang anggota dari sebuah tarekat.

Hizib al-Bahr, Hizib Nashor, disamping Hizib al-Hafidzah, merupakan salah satu Hizib yang sangat terkenal dari as-Syadzilli. Menurut riwayat, hizib ini dikomunikasikan kepadanya oleh Nabi Muhammad Saw sendiri. Hizib ini dinilai mempunyai kekuatan adikodrati, yang terutama digunakan untuk melindungi selama dalam perjalanan. Ibnu Batutah menggunakan doa-doa tersebut selama perjalanan-perjalanan panjangnya, dan berhasil. Dan di Indonesia, dimana doa ini diamalkan secara luas, secara umum dipercaya bahwa kegunaan magis doa ini hanya dapat “dibeli” dengan berpuasa atau pengekangan diri dibawah bimbingan seorang guru.

Hizib-hizib dalam Tarekat Syadzilliyah, di Indonesia, juga dipergunakan oleh anggota tarekat lain untuk memohon perlindungan tambahan (Istighotsah), dan berbagai kekuatan hikmah, seperti debus di Pandeglang, yang dikaitkan dengan tareqat Rifa’iyah, dan di Banten utara yang dihubungkan dengan tarekat Qadiriyah.

Para ahli mengatakan bahwa hizib bukanlah doa yang sederhana, ia secara kebaktian tidak begitu mendalam; ia lebih merupakan mantra magis Nama-Nama Allah Yang Agung (Ism Allah A’zhim), dan apabila dilantunkan secara benar, akan mengalirkan berkah dan menjamin respon supranatural. Menyangkut pemakaian hizib, wirid, dan doa, para syaikh tarekat biasanya tidak keberatan bila doa-doa, hizib-hizib (Azhab), dan wirid-wirid dalam tarekat dipelajari oleh setiap muslim untuk tujuan personalnya. Akan tetapi mereka tidak menyetujui murid-murid mereka mengamalkannya tanpa wewenang, sebab murid tersebut sedang mengikuti suatu pelatihan dari sang guru.

Tarekat ini mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Tarekat ini terdapat di Afrika Utara, Mesir, Kenya, dan Tanzania Tengah, Sri langka, Indonesia dan beberapa tempat yang lainnya termasuk di Amerika Barat dan Amerika Utara. Di Mesir yang merupakan awal mula penyebaran tarekat ini, mempunyai beberapa cabang, yaitu: al-Qasimiyyah, al-Madaniyyah, al-Idrisiyyah, as-Salamiyyah, al-Handusiyyah, al-Qauqajiyyah, al-Faidiyyah, al-Jauhariyyah, al-Wafa’iyyah, al-Azmiyyah, al-Hamidiyyah, al-Faisiyyah dan al- Hasyimiyyah.

Yang menarik dari filosofi Tasawuf Asy-Syadzili, justru kandungan makna hakiki dari hizib-hizib itu, yang memberikan tekanan simbolik akan ajaran utama dari Tasawuf atau Tarekat Syadziliyah. Jadi tidak sekadar doa belaka, melainkan juga mengandung doktrin sufistik yang sangat dahsyat.

Di antara ucapan Syaikh Abul Hasan asy-Syadzili :

Penglihatan akan yang Haqq telah mewujud atasku, dan takkan meninggalkan aku, dan lebih kuat dari apa yang dapat dipikul, sehingga aku memohon kepada Tuhan agar memasang sebuah tirai antara aku dan Dia. Kemudian sebuah suara memanggilku, katanya “Jika kau memohon kepada-Nya yang tahu bagaimana memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan memasang tirai antara kau dan Dia. Namun memohonlah kepada-Nya untuk membuatmu kuat memiliki-Nya.” Maka aku pun memohon kekuatan dari Dia, dan Dia pun membuatku kuat, segala puji bagi Tuhan!

Aku diberi pesan oleh guruku (Syaikh Abdus Salam ibn Masyisy ra): “Janganlah engkau melangkahkan kaki kecuali untuk sesuatu yang dapat mendatangkan keridhoan Allah, dan jangan duduk di majelis kecuali yang aman dari murka Allah. Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang membantu berbuat taat kepada Allah. Jangan memilih sahabat karib kecuali orang yang menambah keyakinanmu terhadap Allah.”

Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah selama ia masih ada syahwat atau usaha ihtiar sendiri.

Janganlah yang menjadi tujuan doamu itu adalah keinginan tercapainya hajat kebutuhanmu. Dengan demikian engkau hanya terhijab dari Allah. Yang harus menjadi tujuan dari doamu adalah untuk bermunajat kepada Allah yang memeliharamu dari-Nya.

Seorang arif adalah orang yang mengetahui rahasia-rahasia karunia Allah di dalam berbagai macam bala’ yang menimpanya sehari-hari, dan mengakui kesalahan-kesalahannya di dalam lingkungan belas kasih Allah kepadanya. Sedikit amal dengan mengakui karunia Allah, lebih baik dari banyak amal dengan terus merasa kurang beramal.

Andaikan Allah membuka nur (cahaya) seorang mu’min yang berbuat dosa, niscaya ini akan memenuhi antara langit dan bumi, maka bagaimanakah kiranya menjelaskan, “Andaikan Allah membuka hakikat kewalian seorang wali, niscaya ia akan disembah, sebab ia telah mengenangkan sifat-sifat Allah SWT.




Tharekat Naqsabandiyah Khalidiyah

Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah diajarkan oleh Syekh Muhammad Ilyas bin Aly yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Guru Ilyas tahun 1864 M dan sejumlah penerusnya seperti Mbah Malik, KHR Rifa’i Afandi, KHR Abdussalam dan KHR Toriq Arif Ghuzdewan.

Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah adalah salah satu thariqah mu’tabarah yang dalam sejarah mempunyai silsilah (guru) sampai Rasulullah SAW melalui mursyid akbar (guru besar) Syekh Muhammad Bahaudin al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi.

Mbah Ilyas Kedung Paruk

Semula Mbah Guru Ilyas hanya mengajarkan thariqah ini di Grumbul Kedung Paruk Desa Ledug Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas (Purwokerto). Namun perkembangannya meluas sampai Sokaraja dan daerah-daerah sekitar (Keresidenan) Banyumas.

Penerus dan pengembang thariqah yang diajarkan oleh Mbah Guru Ilyas di Kedung Paruk adalah putra beliau dari istri Kedung Paruk Nyai Zainab (cucu Syekh Abdus Shomad/Mbah Jombor ), yaitu Syekh Muhammad Abdul Malik, sedang yang di Sokaraja adalah putra beliau dari istri Sokaraja Nyai Khatijah (putri Kiai Abu Bakar Penghulu Landrat/ Peradilan Agama), yaitu Syekh Muhammad Affandi.

Syekh Muhammad Ilyas (Mbah Guru Ilyas), memperoleh ijazah sebagai mursyid Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah dari Syekh Sulaiman Zuhdi Al Makki di Jabal Qubes Makkah Saudi Arabia. Beliau berguru memperdalam ilmu tasawuf dan berbagai disiplin ilmu lainnya di tanah suci selama 40 tahun.

Mbah Guru Ilyas adalah salah satu dari sembilan Ulama yang mendapat amanah mengajarkan dan menyebarluaskan thariqah di tanah jawa khususnya dan nusantara Indonesia pada umumnya. Dari sang guru Syekh Sulaiman Zuhdi Al Makki Selama 48 tahun (1864-1912) Mbah Guru Ilyas mengemban amanah mengajarkan dan menyebarluaskan Thariqah Naqsyabandiyah Al Khalidiyah di sekitar (Keresidenan) Banyumas.

Syekh Muhammad Abdul Malik

Beberapa saat sebelum Mbah Guru Ilyas wafat (tahun 1333 H/1912 M), kemursyidan Thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah Kedung Paruk diamanahkan kepada Syekh Muhammad Abdul Malik dan kemursyidan di Sokaraja diamanahkan kepada Syekh Muhammad Affandi. Mbah Guru Ilyas wafat dalam usia 147 tahun dimakamkan di komplek Pondok Thariqah Sokaraja Lor.

Syekh Muhammad Abdul Malik yang lebih dikenal dengan panggilan Mbah Malik, di samping mengajarkan (mursyid) Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah juga mengajarkan (mursyid) thariqah Syadziliyah dua thariqah terbesar di Indonesia. 

Syekh Muhammad Abdul Malik dikenal sebagai Guru Besar Thariqah An Naqsyabandiyah dan Thariqah As Syadziliyyah Indonesia. Beliau memperoleh ijazah mursyid Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah langsung dari sang ayah Syekh Muhammad Ilyas, sedang ijazah mursyid thariqah Syadziliyyah diperoleh dari Al Qutub Al’Arif Billah As Sayyid Ahmad Nahrawi Al Makki Makkah Saudi Arabia.

Di samping itu Mbah Malik juga pengamal Thariqah Qadiriyyah, Alawiyyah dan lainnya. Konon Mbah Malik mengamalkan 12 Thariqah. Namun ada  empat thariqah yakni Naqsyabandiyah Khalidiyah, Syadziliyah, Qadiriyyah dan Awwaliyyah yang beliau ajarkan kepada penerus-penerusnya.

Mbah Malik memangku kemursyidan thariqah di Kedung Paruk selama 68 tahun (1912-1980 M). Beliau wafat dalam usia 99 tahun, pada hari Kamis malam Jum’at, 2 Jumadil Akhir 1400 H/ 17 April 1980 M dan dimakamkan di belakang Masjid Bahaa-ul-Haq wa Dhiyaa-ud-Dien Kedung Paruk

Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah diturunkan (kemursyidannya) kepada Syekh Abdul Qadir (cucu Mbah Malik) dan dua thariqah terbesar (Naqsyabandiyah Khalidiyah dan Syadziliyah) diturunkan (kemursyidannya) kepada murid kesayangannya, yaitu Al Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, Pekalongan Rais ‘Am Jam’iyyah At Thariqah Mu’tabarah An Nahdiyyah Indonesia (JATMAN).

Penerus Thariqah

Penerus Syekh Muhammad Abdul Malik di Kedung Paruk adalah cucu-cucu beliau, karena beliau tidak menurunkan anak laki-laki (anak laki-laki satu-satunya yang bernama Ahmad Busyairi wafat ketika masih lajang umur 36 tahun). Satu-satunya anak perempuan Mbah Malik (Nyai Chairiyah), menurunkan 9 orang anak (3 anak laki-laki dan 6 anak perempuan).

Penerus pertama Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah adalah Syekh Abdul Qadir bin Haji Ilyas Noor cucu nomor 3, memperoleh ijazah mursyid langsung dari Mbah Malik, memangku kemursyidan selama 22 tahun (1980-2002). Syekh Abdul Qadir wafat pada hari senin 5 Muharram 1423 H/ 19 Maret 2002 M, dalam usia 60 tahun dimakamkan di belakang Masjid Bahaa-ul-Haq wa Dhiyaa-ud-Dien Kedung Paruk.

Penerus kedua Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah adalah cucu nomor 6, Syekh Sa’id bin Haji Ilyas Noor, Beliau memperoleh ijazah mursyid  dari Alhabib Almursyid Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya Pekalongan. Ia memangku kemursyidan selama 2 tahun (2002-2004). Syekh Said wafat pada hari kamis, 3 juli 2004 dalam usia 53 tahun dan dimakamkan di belakang Masjid Bahaa-ul-Haq wa Dhiyaa-ud-Dien Kedung Paruk.

Sedangkan penerus ketiga Thariqah Naqsyabandiyah al Khalidiyah adalah cucu nomor 7, Haji Muhammad bin Haji Ilyas Noor.  Ia memperoleh ijazah mursyid  dari Alhabib Almursyid Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya pada hari senin 1 Rajab 1424 H/ 18 Agustus 2004 M. Saat ini, thariqah Naqsyabandiyah Khalidiyah Kedung Paruk dipimpin oleh Haji Muhammad Ilyas Noor penerus ketiga Mbah Malik.

Nama pondok pesantren Bani Malik resmi pada tahun 2004. Sebelumnya jam’iyyah thariqah Kedung Paruk memiliki nama Pondok Pesantren Thariqah Robithoh As-shufiyah. Pergantian nama ini  untuk mengabadikan Mbah Malik, sebagaimana ungkapan Kiai Muhammad Ilyas Noor.

Perubahan nama menjadi pondok pesantren bani malik ini mulai tahun 2004. Dulu awalnya malah tanpa nama ketika tahun 1864-1980. Perubahan nama ini karena ingin mengabadikan Mbah Malik karena Beliau sebagai pendobrak, pemerkasa dakwah di sini

Mursyid Thariqah

Berikut mursyid-mursyid Thariqah Naqsyabandiyah Al Khalidiyah Sokaraja.

KHR Ilyas, Wafat 29 Shofar 1334 H (05 Januari, 1916 M)

KHR Muhammad Affandi, Wafat 1347 H (1929 M)

KHR Ahmad Rifa’i, Wafat 1388 H (1969 M)

KHR Abdusalam, Wafat  Hari Senin, 13 Rajab, 1435 H (12 Mei 2014 M)

KHR Toriq Arif Ghuzdewan MSCE

Silsilah (Guru-Guru) Thariqah

Rasululloh Muhammad SAW

Sahabat Abu Bakar-Siddiq

Sahabat Salman Al-Farisi

Syekh Qashim bin Muhammad

Syekh Ja’far Shodiq

Syekh Thaifur bin ‘Isa Abu Yazid Bustomi

Syekh Abi Hasan ‘Ali Khorqoni

Syekh Abi ‘Ali Al Fadloi

Syekh Yusuf Hamdani

Syekh Abdul Kholiq Ghujdawani

Syekh ‘Arif Riwikari

Syekh Mahmud Anjir Faghnawi

Syekh ‘Ali Romitani

Syekh Baba Samasi

Syekh Amir Kulal Khojikaniyah

Syekh Muhammad Bahauddin Naqsyabandi

Syekh ‘Alaudin ‘Aththor

Syekh Ya’qub Jarhi

Syekh Nashiruddin ‘Ubaidillah Ahror

Syekh Muhammad Zahid

Syekh Muhammad Darwisy

Syekh Muhammad Khaujaki

Syekh Muhammad Baqi Billah

Syekh Ahmad Faruqi

Syekh Muhammad Ma’shum

Syekh Muhammad Saifudin

Syekh Nur Muhammad Budwani

Syekh Habibullah Syamsuddin Jana Janan

Syekh Abdullah Dahlawi

Syekh Khalid Baghdadi

Syekh ‘Abdullah Makki

Syekh Sulaiman Qorimi

Syekh Sulaiman Zuhdi  Ismail Barusi

KHR Muhammad Ilyas

KHR Affandi Ilyas

KHR Rifa’i Afandi

KHR Abdussalam

KHR Toriq Arif Ghuzdewan


Sumber Khayaturrohman


 

Jejak Tetes Hujan

Dia tidak sempurna, tetapi dia bisa  membuatmu tertawa, membuatmu berpikir dua kali, dan mengakui sebagai manusia yang bisa membuat kesalahan, pegang dia dan berikan semampu mu. Dia juga tidak sempurna, dan kalian berdua mungkin tidak akan pernah sempurna bersama. 

Dia mungkin tidak memikirkan engkau setiap detik sepanjang hari, tetapi dia akan memberi engkau bagian dari dirinya yang dia tahu hanya engkau yang dapat menghancurkan hatinya. Jadi jangan saling menyakiti, jangan saling mengubah, jangan menganalisa, jangan berharap lebih dan semua hanya bisa saling memberi.

Tersenyumlah saat kekasih membuat engkau bahagia, beritahukan saat ia membuat engkau marah, dan rindu saat ia tidak ada. Karena orang yang sempurna tidak ada, tetapi selalu ada satu orang yang sempurna untukmu.

Pernikahan adalah janji persahabatan, yang dimiliki seseorang untuk berbagi semua pengalaman hidup.

Pernikahan tidak menjanjikan bahwa tidak akan ada masa sulit, hanya jaminan  bahwa akan selalu ada pasangan yang peduli dan yang akan selalu membantumu melewati masa-masa yang lebih baik.

Pernikahan tidak menjanjikan romantisme abadi, yang ada hanya cinta dan komitmen abadi. Pernikahan tidak dapat mencegah kekecewaan, atau kesedihan, tetapi dapat menawarkan harapan, penerimaan, dan penghiburan.

Pernikahan tidak dapat melindungi engkau dari membuat pilihan individu atau melindungi engkau dari dunia, tetapi akan membantu meyakinkan engkau bahwa ada seseorang di sisi engkau yang benar-benar peduli, yang ketika dunia menyakiti mu dan membuat mu merasa rentan. 

Pernikahan menawarkan janji bahwa akan selalu ada seseorang yang menunggu untuk mendengarkan, menghibur, dan menginspirasi.

Pernikahan adalah bergabungnya dua orang yang berbagi janji untuk berbagi sinar matahari dan bayang-bayang, tempat dimana ada sinar bercahaya, sinar yang kalian nyalakan bersama-sama, pada malam pertemuan dahulu kala.

Minggu Kliwon, 14 Januari 2024

Selamat Menempuh Hidup Baru..Nak

Jalan Cinta Ibnu Arabi

Ibn 'Arabi mengidentifikasi tiga mode akses kepada Tuhan. Syariat yang terdiri dari menerapkan aturan-aturan yang dilaporkan oleh Al-Qur'an, sunnah dan Hadits pada huruf : itu adalah cara yang paling luas, paling tidak sulit, tetapi, juga, paling tidak memuaskan karena seseorang hanya datang ke pengetahuan tidak langsung tentang Tuhan, pengetahuan langsung harus menunggu kematian. 

Jalan Hakikat, kebenaran metafisik, adalah jalan para filosof yang mencoba memahami sebab dan akibat. Akhirnya, jalan tarekat (jalan) adalah jalan spiritual dan eksoteris yang satu-satunya dapat membawa kepada “ realisasi Kebenaran di dalam hati orang-orang beriman”. 

Jalan mistik ini tidak sepenuhnya irasional bagi Ibn 'Arabi, karena justru memungkinkan pikiran untuk melepaskan diri dari dirinya sendiri, untuk melampaui akal (nafs) dan batas-batasnya, untuk mencapai Tuhan. 

Para filosof medis besar (Ibn Rusyd/Averroès, Ibn Sina/Avicenna dan Maimonides) menjadikan studi fenomena sebagai cara untuk mengenal Tuhan, sehingga menggabungkan sains dan iman. 

Ibn 'Arabi sebagian mengambil warisan ini, tetapi mengubah taruhannya: Tuhan menciptakan dunia, dan memanifestasikan dirinya dalam semua makhluk. 

“ Dunia adalah cermin bagi Tuhan ” tulisnya. Oleh karena itu, Ibn 'Arabi tidak menentang pendekatan ilmiah Averroès (tidak seperti Al-Ghazal), tetapi menganggapnya tidak lengkap, termasuk dalam Hakikat. 

Sehingga orang mukmin yang sempurna bukan lagi orang yang berusaha menjelaskan fenomena untuk mengenal Tuhan lebih baik, tetapi orang yang memahami bahwa dunia hanyalah cermin, dan oleh karena itu fenomena itu hanyalah refleksi dari Tuhan. 

Sementara filsuf mempelajari karya-karya Tuhan, mistik "melihat Tuhan bekerja ” tulis Ibn 'Arabi.

Ibn Arabi :  Antara Ada dan Tidak Ada

Ibn Arabi membawa kita dalam perjalanan untuk mengeksplorasi hubungan misterius antara keberadaan, non-eksistensi, Tuhan, dan ciptaan dalam teori realitasnya yang menarik dan kontroversial, 'Kesatuan Wujud'.

Ibnu Arabi mungkin adalah tokoh paling kontroversial dalam sejarah pemikiran Islam. Di satu sisi, ia dihormati sebagai 'Guru Terbesar' ( Al-Syekh Al-akbar ) dan dianggap sebagai juru bicara utama Islam esoteris. Di sisi lain, ia dikecam keras oleh banyak orang dengan tuduhan bid'ah, tidak percaya, menghujat, panteisme, dan bahkan ateisme. Namanya masih sangat kontroversial hingga hari ini. 

Bagaimana bisa satu orang memicu tanggapan yang bertentangan pada tingkat yang ekstrim? Jawabannya terletak pada teori Kesatuan Wujudnya ( Wehdet al-Wujud). Ibn Arabi tidak menganggap Tuhan sebagai entitas atau sesuatu yang ada, tetapi sebagai keberadaan itu sendiri.

Zikir Hati 

Ucapkan dengan lantang “Allah” sambil menggerakkan kepala ke bawah dan ke kiri, mengarahkan energi ke jantung fisik. Diam-diam tarik napas saat Anda menggerakkan kepala ke atas.

Gerakkan kepala sebagai berikut. Meskipun ini digambarkan sebagai gerakan diskrit, itu semua harus dilakukan dalam satu gerakan halus. Kepala mulai tegak, menghadap ke depan. Saat Anda mengucapkan “Allah”, putar kepala sedikit ke kiri, miringkan dagu sedikit ke kiri, dan gerakkan kepala ke bawah dalam garis lurus ke arah jantung. Saat Anda menggerakkan kepala kembali ke atas, gerakkan kembali sepanjang garis lurus yang sama, tetap berputar dan miring. Jangan menghadap ke depan sampai kepala terangkat sepenuhnya. Saat kepala tegak lurus ke atas, luruskan dan hadap ke depan. Ini melembutkan dan memperkuat jantung fisik dan membantu Anda mengingat makhluk fisik dan mental. 

Rilekskan otot-otot kecil di dada Anda. Ini bukan berarti terpuruk. Perhatikan otot-ototnya, dan mereka akan rileks. Seorang swami memberi tahu Shahabuddin, sehubungan dengan yoga, bahwa jika disana Anda bukan doa, itu hanya senam. Demikian pula, jadikan setiap meditasi sebagai doa. Jatuh cinta, jika tidak, latihan Anda hanyalah latihan.


Semuanya Engkau


Tubuh manusia yang paling dalam adalah keberadaan Tuhan yang sesungguhnya ... Semua meditasi dan kontemplasi diajarkan dengan tujuan untuk menyelaraskan keberadaan terdalam seseorang dengan Tuhan sehingga Dia melihat, mendengar, berpikir melalui kita, dan keberadaan kita adalah sinar dari cahaya-Nya.  Karena pikiran itu bebas. Mendengarkan hujan menetes dari atap, Tetesan menjadi Satu dengan aku. Apa yang harus aku sebut diri aku ? 

Apapun yang aku lihat semua itu adalah Engkau, tubuh, pikiran dan jiwa, semuanya Engkau. Iya Engkau, aku tidak. Dalam semua aspek kehidupan, peraturan ini harus diingat, bahwa bahkan dalam masalah orang tidak boleh memikirkan masalah dan dalam penyakit orang harus melupakan penyakit. Manusia sering melanjutkan kesengsaraan hidup dengan memikirkannya. Penyembuh harus dari awal sampai akhir memegang pemikiran menyembuhkan dan tidak ada yang lain. 

“Pelajaran terbesar dari mistisisme adalah untuk mengetahui semua, mendapatkan semua, mencapai semua hal dan diam. Semakin banyak murid yang bertambah, semakin rendah dia menjadi, dan ketika seseorang membuat ini mendapatkan sarana untuk membuktikan dirinya dengan cara apa pun yang lebih unggul dari yang lain, itu adalah bukti bahwa dia tidak benar-benar memilikinya. Dia mungkin memiliki percikan di dalam dirinya, tetapi obornya belum menyala. Ada pepatah mengatakan bahwa pohon yang menyandang banyak buah berbuah rendah. ”

“Cinta bermanifestasi ke arah orang-orang yang kita sukai sebagai cinta, terhadap mereka yang tidak kita sukai sebagai pemaafan ”