Astana Imogiri Tempat Para Raja Jawa

Makam Raja-Raja Mataram di puncak bukit ini dibangun atas gagasan Sultan Agung. Bukit ini dinamakan Pajimatan Girirejo, terletak di Bantul, arah selatan Kota Yogyakarta, tak jauh dari pantai selatan. Imogiri berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Jawa Kuna, Ima dan Giri, Ima berarti Kabut, Giri berarti Gunung. secara utuh Imogiri memiliki arti Gunung yang berkabut, karena Imogiri terletak di kaki Bukit Merak (lembah). Diapit dua aliran sungai disebelah barat dan timur, yaitu sungai opak dan sungai celeng. Pembangunan kompleks makam raja-raja di Imogiri ini dimulai pada 1632, atau memasuki dekade kedua era Sultan Agung. Pusat pemerintahan Kesultanan Mataram Islam kala itu berada di Kotagede, dekat pusat Kota Yogyakarta dan sekarang area pemakaman ditempatkan di puncak bukit Imogiri.

Untuk mencapainya harus menaiki tingkat yang berjumlah 409 anak tangga dengan kemiringan 45 derajat dan lebar sekitar 4 meter. Menurut mitos setempat, barangsiapa saat menaiki anak tangga itu dapat menghitung jumlahnya dengan tepat, maka keinginannya akan terkabul. Sebagaimana namanya, kompleks makam Imogiri memang diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi raja-raja Mataram Islam dan raja-raja turunannya, hingga terbelahnya Dinasti Mataram menjadi dua kerajaan yang masih eksis hingga saat ini, yakni Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi tiga wilayah utama, yaitu Astana Kesultanan Agung, Wilayah Makam Raja-raja Surakarta, dan Wilayah Makam Raja-raja Yogyakarta.

Di kawasan Astana Kesultanan Agung terdapat makam Sultan Agung, Kanjeng Ratu Batang (istri Sultan Agung), Amangkurat II (pendiri Kasunanan Kartasura setelah runtuhnya Mataram Islam), dan Amangkurat III (raja kedua Kasunanan Kartasura). Sedangkan di wilayah makam raja-raja Surakarta dikebumikan Pakubuwana I (raja ketiga Kasunanan Kartasura) dan para penguasa Kasunanan Surakarta dari Susuhunan Pakubuwana II hingga Pakubuwana XII. Terakhir adalah wilayah makam raja-raja Yogyakarta untuk sebagai tempat persemayaman terakhir para pemimpin Kasultanan Yogyakarta, dari Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I hingga Hamengkubuwana IX, kecuali Hamengkubuwana II yang dimakamkan di Kotagede, bekas ibukota Mataram Islam. 

Di tembok sebelah timur luar makam Sultan Agung, terdapat 3 makam misterius yang asal-usulnya sulit sekali untuk dilacak. Hanya nama Cindeamoh tertulis dipagar tembok makam. Konon, dulu sebelum di pugar, separo nisannya, di dalam rumah cungkup makam Sultan Agung, ini menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara Sultan Agung dengan Kyai Cindeamoh. Di samping makam Kyai Cindeamoh, terdapat pohon Randu Alas yang telah tumbuh ratusan tahun yang mitosnya sering terlihat sosok Naga bersayap. 

Sosok Kyai Cindeamoh, dikatakan sebagai abdi-dalem terkasih Sultan Agung dan merupakan empu keris keraton. Silsilah Kyai Cindeamoh sangat samar. Di samping makamnya, ada bangunan makam Tumenggung Suponto. Agak kebawah tanpa peneduh merupakan makam Tumenggung Nolodermo. Pengkhianatan Tumenggung Endranata  membuat Sultan Agung murka. Panglima perang Mataram itu pun diadili dan dijatuhi hukuman mati. Tubuhnya dipenggal menjadi tiga bagian. Ketiga potongan tubuh ini kemudian ditanam di jalur anak tangga yang mengarah ke kompleks pemakaman raja-raja di Imogiri, sehingga jasad si pengkhianat terinjak-injak oleh orang yang sedang menaiki anak tangga tersebut.

Sejarawan Belanda, H. J. De Graaf dalam penelitiannya mengemukakan beberapa hal yang menarik disimak. Menurut De Graaf (1986), gelar Sultan bukanlah gelar yang sejak awal digunakan oleh cucu Panembahan Senapati itu. Awalnya ia menggunakan gelar Sunan atau Susuhunan. Menurut Anthony Reid (1999), pun gelar ini dikenakan sejak 1624 setelah ia berhasil menaklukan Jawa lebih luas dari penguasa manapun sejak surutnya Majapahit. Gelar ini sekaligus juga menandaskan bahwa secara spiritual ia berdiri sejajar dengan para Wali. 

Banyak di antara para Peziarah dalam melakukan ritual, selain berdzikir juga tak sedikit di antara mereka yang berjalan mengitari tembok makam Searah dengan arah jarum jam. Mereka melakukan hitungan ganjil. Bisa tiga, tujuh, sembilan, sebelas atau bahkan sepuas hatinya (manteb), asalkan jatuh pada angka ganjil.

Bagi orang Islam-Jawa yang sosiokulturalnya cenderung berwarna pedesaan ketimbang perkotaan, ternyata mereka punya anggapan bahwa melakukan ritual kubur dan mengelilingi makam raja-raja di Imogiri nilai atau maknanya tidak berbeda dengan orang pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah.