Candi Plaosan Klaten Jawa Tengah



Candi Plaosan Lambang Loyalitas Dan Keharmonisan. 

Tidak hanya Prambanan yang menjadi pesona sejarah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Candi Plaosan salah satunya yang dapat dijadikan referensi berlibur khususnya bagi anda para pecinta Budaya dan Sejarah. Candi Plaosan terletak di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah didirikan pada masa Rakai Panangkaran, seorang Raja yang juga mendirikan Candi Borobudur dan Candi Sewu yang berlatar belakang agama Buddha.

Tidak hanya Prambanan yang menjadi pesona sejarah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Candi Plaosan salah satunya yang dapat dijadikan referensi berlibur khususnya bagi anda para pecinta Budaya dan Sejarah. Candi Plaosan terletak di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah didirikan pada masa Rakai Panangkaran, seorang Raja yang juga mendirikan Candi Borobudur dan Candi Sewu yang berlatar belakang agama Buddha. Candi tersebut terdiri dari dua buah candi induk dan mandapa (bangunan yang digunakan untuk melakukan ritual) yang dikelilingi 58 Candi Perwara (candi pendamping) dan 194 stupa. Pada beberapa Candi Perwara dijumpai tulisan-tulisan pendek yang memberikan indikasi bahwa bangunan tersebut merupakan sumbangan dari bawahan raja sebagai wujud loyalitas.

Menurut sejarahnya, pada zaman kerajaan dulu, seorang Raja bernama Pikatan memberikan sebuah persembahan kepada Pramuda Wardhani sebagai tanda cinta. Raja Pikatan dan Wardhani memiliki perbedaan latar belakang kepercayaan, Hindu dan Buddha. Candi Plaosan merupakan persembahan cinta Raja Pikatan kepada Wardhani yang memiliki unsur campuran dua agama yaitu Hindu dan Buddha. Oleh sebab itulah maka Candi Plaosan melambangkan keharmonisan antara dua agama yang berbeda.

Yang menarik dari Candi Plaosan ini adalah parit berukuran 440m x 270m yang mengelilingi kompleks candi beserta beberapa temuan lepas berupa ribuan fragmen gerabah dan beberapa keramik asing di dalamnya. Kemungkinan besar, parit tersebut dahulu dimanfaatkan untuk menurunkan air tanah di Kompleks candi agar tanahnya menjadi padat. Konon, kerajaan zaman dahulu menganggap bahwa unsur air, gunung, dan sawah merupakan sesuatu yang suci, oleh sebab itu, candi diibaratkan sebagai gunung tempat para dewa bersemayam yang dikelilingi samudera.






Candi Ijo Sleman Jogjakarta

 





Arca NARASIMHA di CANDI IJO : Simbol Kesedihan atas Perebutan Tahta Sri Maharaja Dyah Gula oleh Rake Garung?

Salam Budaya,

Arca Narasimha ditemukan oleh BPCB DIY tahun 1975 di Candi Ijo. Narasimha merupakan penjelmaan Dewa Wisnu sebagai Singa-Manusia. Ia turun ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia dari kekejaman raksasa HiranyakaƧipu yang hanya dapat dibunuh pada waktu senja. Narasimha juga melambangkan kekacauan yang mulai muncul pada masa Kertayuga yakni awal periode klasik Jawa Tengah (awal berdirinya kerajaan Mataram Hindu abad VIII – IX M). Pemujaan terhadap Narasimha dimaksudkan supaya kekacauan segera berakhir. Ditemukan juga prasasti batu berisi 16 buah kalimat yang berupa mantra kutukan yang diulang-ulang berbunyi Om sarwwawinasa, sarwwawinasa.
Peristiwa kekacauan apa terjadi di kerajaan Medang waktu itu sehingga disimbolkan dengan pemujaan kepada Narasimha di Candi Ijo ?
Candi Ijo merupakan kompleks percandian Siwa yang berada di atas perbukitan yang cukup tinggi dan dikenal sebagai Gumuk Ijo. Bentuk dari bangunan induk Candi ijo pun sengaja dibuat menyerupai piramid lebar puncak Gunung Kailasa di Himalaya. Gunung Kailasa adalah gunung suci tempat Dewa Siwa bertahta. Menurut Groneman yang melakukan penggalian di sumuran candi induk, Candi Ijo adalah sebuah bangunan pemakaman abu jenazah seorang raja.
Dalam Prasasti Wanua Tengah III yang diterbitkan oleh Dyah Balitung tahun 908 M, terdapat raja bernama Rakai Warak Dyah Manara yang setelah meninggal mendapat sebutan " sri maha raja sang lumah i kailasa" (Sri Maharaja yang disemayamkan di Kailasa). Kailasa yang dimaksud ini bisa jadi adalah Candi Ijo.
Dalam Prasasti Wanua Tengah III juga terdapat raja bernama Dyah Gula yang lamanya bertahta sangat singkat, yaitu hanya enam bulan (5 Agustus 827M - 24 januari 828M). Bahkan ia tidak memiliki gelar Rake. Hal ini diduga karena Dyah Gula adalah putra mahkota Rakai Warak Dyah Manara yang ketika ayahnya meninggal masih berusia muda sehingga belum mempunyai wilayah kekuasaan sendiri.
Rake Garung naik tahta tanggal 24 Januari 828 dan memerintah sampai meninggal dunia sebelum atau pada tanggal 22 Februari 847 sehingga masa pemerintahannya berlangsung lebih kurang 1 9 tahun. Melihat masa pemerintahan raja pendahulunya sangat singkat maka diduga Rake Garung naik tahta dengan jalan merebut kekuasaan.
Hubungan Rake Garung dengan Rake Warak diduga adalah saudara tiri dengan ayahnya sama, yaitu Rake Panaraban, Namun Rake Warak beragama Hindu, sedangkan Rakai Garung beragama Budha seperti ayahnya. Dengan demikian Rake Garung telah merebut tahta dari keponakannya sendiri. Kesedihan pihak keluarga Rake Warak inilah yang disimbolkan dengan pemujaan arca Narasimha di Candi Ijo.
Semoga Sejarah Medang Mataram jadi Terang Benderang.


Candi Barong Sleman Jogjakarta

 



Candi Barong merupakan salah satu candi peninggalan agama Hindu yang berada di kompleks Ratu Boko. Oleh karena itu, lokasinya pun berdekatan dengan candi peninggalan Kerajaan Mataram Kuno lainnya, seperti Candi Banyunibo dan Candi Ijo. 

Letak Candi Barong berada di Dusun Candisari, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Berdasarkan temuan prasasti di sekitarnya, pendiri Candi Barong diperkirakan merupakan raja Mataram Kuno yang berkuasa pada abad ke-9

Candi Borobudur Magelang Jogjakarta

 

Sekilas Sejarah Candi Borobudur

Memuliakan Buddha Mahayana

Mengutip buku Kearifan Lokal Jawa Tengah: Tak Lekang Oleh Waktu oleh Retno Susilorini, dijelaskan bahwa filosofi dari bangunan candi Borobudur bisa dilihat dari relief Karmawibhangga yang menggambarkan kehidupan manusia dan memberikan petunjuk pendirinya yakni Raja Samaratungga yang berkuasa pada tahun 782-812 masehi.

Candi yang dibangun pada masa kejayaan Wangsa Syailendra dan didirikan oleh Samaratungga ini bertujuan untuk memuliakan Buddha Mahayana sebagai kepercayaan yang banyak dianut masyarakat pada waktu itu.

Penemuan dan Pemugaran Candi Borobudur

Penemuan candi borobudur sendiri berawal dari perjalanan yang dilakukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles ke kota Semarang.

Kala itu, ia menemukan informasi bahwa di kawasan Kedu (karesidenan yang meliputi Magelang), ada beberapa susunan batu bergambar yang ditutupi semak belukar.

Kemudian pada tahun 1835, Raffles mengutus Cornelius untuk meninjau dan membersihkan bangunan tersebut bersama Residen Kedu.

Adapun pemugaran bagian Arupadhatu (puncak candi) dilakukan oleh Theodore Van Erp pada tahun 1907-1911.

Pemugaran lanjutan dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan UNESCO pada tahun 1973 - 1983. Pemugaran yang dilakukan berfokus pada bagian candi di bawah arupadhatu yang dibersihkan dan dikembalikan ke posisi semula.

Bentuk Bangunan Candi Borobudur

Bangunan candi Borobudur dibedakan menjadi tiga bagian yakni Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu.

1. Kamadhatu adalah bagian tingkat pertama hingga tingkat ketiga dari candi Borobudur. Bagian Kamadhatu memiliki relief karmawibhangga yang menggambarkan hukum pada umat manusia.

2. Rupadhatu adalah bagian tingkat keempat hingga keenam candi yang memiliki relief Lalitavistara dan Jatakamala yang menggambarkan kisah hidup sang Buddha.

3. Arupadhatu atau bagian atap candi tingkat ketujuh hingga kesepuluh. Pada bagian ini tidak ada relief namun memiliki banyak stupa yang menggambarkan pencapaian sempurna umat manusia

Candi Sukuh Dan Suku Maya


Candi Sukuh - Kab Karanganyar Jawa Tengah

Hubungan antara Suku Maya dan Asia menarik minat sejumlah sejarawan dan antropolog. Pasalnya, candi-candi yang terletak di kompleks Chichen Itza mirip dengan candi di Asia. Bahkan, ada pula yang persis dengan yang dimiliki Indonesia.

Lantas, bagaimana para ahli menjelaskan adanya persamaan antara bahasa Jepang dan Bahasa Maya.

Apakah Suku Maya dan Asia berasal dari satu nenek moyang? Ataukah mereka pernah menetap di Asia, termasuk Indonesia? 

Kompleks candi suku Maya di Chichen Itza dibangun sekitar tahun 502-522 Masehi. Ia merupakan bangunan peninggalan Suku Maya yang paling lengkap dan terawat dengan baik. Kompleks candi ini cukup luas dan tiap candi terpisah satu sama lain. Di tengah-tengah berdiri Candi El Castilo yang bentuknya menyerupai piramida dengan atap terpancung. 

Yang mengherankan, Candi El Castilo mirip dengan Candi Sukuh di Kabupaten Karanganyar,Jawa tengah.