Gunung Kawi Malang Jawa Timur

Gunung Kawi merupakan tempat Ziarah Spiritual Wisatawan Lokal hingga Mancanegara.



Gunung yg berada di Malang, Jawa timur ini terdapat dua area Wisata Yaitu

1. Pasarean Gunung Kawi

Lokasi Jl Pesarean Sumbersari Wonosari Kec Wonosari Kabupaten Malang Jawa Timur

~ Makam Eyang Jugo/Kanjeng Kyai Zakaria II (wafat 22 Januari 1871) dan Raden Mas Imam Soedjono (wafat 8 Februari 1876). Mereka adalah tokoh bangsawan yang ikut menentang penjajah dibawah kepemimpinan Pangeran Diponegoro.

~ Masjid Gunung Kawi

~ Klenteng Gunung Kawi

~ Gedung pertunjukan wayang kulit

2. Keraton Gunung Kawi 

Lokasi Area Gn Pitrang Balesari Kec Ngajum Kabupaten Malang

~ Dibangun pada tahun 861 M berdasarkan tulisan yang tertera pada Prasasti Batu Tulis di puncak Gunung Kawi. Pertapaan ini dibangun oleh Mpu Sendok (penguasa Mataram) pada masa dinasti Syailendra setelah berdirinya Candi Borobudur

~  Tempat para Raja Kediri, Mataram Kuno bertapa dan Moksa 

~ Tempat bertapanya para pendiri Singasari dan Majapahit

~ Sanggar Pamujaan dan tempat Moksa Prabu Kameswara Raja Kediri

~ Makam Ki Tunggul Manik dan Nyi Tunggul Menik

~ Vihara Dewi Kwan Iem

Pesona Alam Gunung Kawi sejuk dan tenang untuk wisata religius dan begitu khusus. Penulis menepis jika Gunung Kawi yang banyak orang tahu bahwa disana tempat mencari Pesugihan, tetapi Gunung Kawi adalah Gunung Sakral yang memiliki energi pantulan besar serta energi Spiritual Tinggi. Banyak Raja Nusantara di masa lalu melakukan Meditasi di Gunung Kawi untuk menggapai Kesejatian.

Pada tahun 2017 penulis di undang para Tokoh Spiritual untuk Acara Ruwatan dan Pagelaran Budaya Wayang Kulit di area parkir wisata Keraton Gunung Kawi yg diselenggarakan Perusahaan Indofood dan Bogasari.





Eyang Bathoro Katong Ponorogo Jawa Timur

Lokasi Plampitan Setono Kec Jenangan Kabupaten Ponorogo Jawa Timur
                                              





Kyai Ageng Kasan Besari Ponorogo Jawa Timur

Kyai Ageng Muhammad Hasan Besari

Lokasi Jinontro Tegalsari Kec Jetis 
Kabupaten Ponorogo Jawa Timur












Raden Jafar Shodiq Sunan Kudus Jawa Tengah

~ Sunan Kudus (Raden Jafar Shodiq)
Lokasi Kauman Pejaten Kec Kota Kudus Kab Kudus Jawa Tengah


Ki Ageng Tarub Grobogan Jawa Tengah

Lokasi Desa Tarub Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan Jawa Tengah




Kurang lebih pada tahun 1300 M, ada utusan (mubalig) dari Arab yaitu Syaikh Jumadil Kubro. Beliau mempunyai putri bernama Ny. Thobiroh dan Ny. Thobiroh mempunyai putra Syeh Maulana. Disaat itu Syaikh Maulana mendapat perintah mengembangkan syariat Islam di pulau jawa sangat berat. Hal tersebut dikarenakan orang-orang Jawa banyak yang masih memeluk agama Hindu Budha, dan orang-orang jawa pada saat itu ahli bertapa, hingga orang Jawa banyak yang tebal kulitnya. Maka dari itu Syeh Maulana mulai memasukkan syareat Islam di tengah – tengah masyarakat Jawa, yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara bertapa keatas pohon giyanti yang sangat besar, dimana diatas pohon tersebut terdapat tumbuhan simbar. Bertepatan itu di Surabaya terdapat Kerajaan Temas, rajanya bernama Singawarman dan mempunyai putri yang bernama Nona Telangkas. Dikala itu Nona Telangkas sudah dewasa, namun belum ada remaja yang berani meminangnya. Setelah itu Nona Telangkas diperintah oleh ayahnya supaya menjalankan bertapa ngidang yaitu masuk hutan selama 7 tahun, tidak boleh pulang atau mendekat pada manusia dan tidak boleh makan kecuali daun yang ada di hutan tersebut. Sehingga Nona Telangkas mempunyai nama Kidang Telangkas. Pada saat akan selesai bertapa, di tengah hutan tersebut Nona Telangkas melihat ada Telaga yang sangat jernih airnya. Kemudian dia mau mandi di telaga tersebut setelah melepas semua pakaian dia melihat di dalam air terdapat bayangan pria yang sangat tampan. Namun dikala itu Nona Telangkas telah terlanjur melepaskan semua pakaiannya. Akhirnya terpaksa menjeburkan diri di telaga tersebut, sambil mengucapkan dalam ucapan bahasa jawa “mboh gus wong bagus “.    
Setelah selesai mandi maka Nona Telangkas kembali pulang ke Kerajaan Temas (Surabaya) untuk menghadap orang tuanya. Namun Nona Telangkas disaat itu ternyata sudah dalam keadaan hamil maka setelah menghadap ayahnya beliau ditanya “Siapakah suamimu, sehingga engkau pulang dalam keadaan hamil ? “ Ditanya ayahnya berulang-ulang, dia tidak bisa menjawab. Namun di dalam hatinya Nona Telangkas teringat dalam pertapanya dikala akan selesai, dimana dia mandi di dalam telaga yang sangat jernih airnya, dan ternyata di dalam air tersebut terdapat bayangan pria yang sangat tampan. Maka disaat ditanya oleh sang ayah dia tidak bisa menjawab, namun didalam hatinya menjawab seperti diatas.
Maka akhirnya dia kembali masuk hutan untuk mas mencari tersebut. Disaat sampai di tengah hutan Nona Telangkas melahirkan bayi, sampai sekarang tempat tersebut diberi sebutan desa Mbubar. Setelah jabang bayi lahir lalu diajak mencari telaga, yang akhirnya menjumpai telaga yang terdapat bayangan pria yang tampan tersebut. Kemudian si jabang bayi diletakkan ditepi sendang telaga dan ditinggal pulang ke kerajaan Themas. Siapakah sebenarnya orang yang kelihatan bayangannya didalam sendang telaga, ternyata beliau adalah Kanjeng Syeh Maulana Maghribi yang sedang bertapa diatas pohon Giyanti. Dikala si jabang bayi Nona telangkas diletakkan dipinggir sendang telaga, Syeh Maulana berkata “ Nona Telangkas keparingan amanateng Allah kang bakal njunjung drajatmu kok ora kerso “ (dalam Bhs jawa).Yang akhirnya Syeh Maulana turun dari pertapanya dan menimang jabang bayi, kemudian dibuatkan tempat yang sangat indah yaitu Bokor Kencono . Dikala itu Dewi Kasian ditinggal wafat suaminya yang bernama Aryo Penanggungan, belum mempunyai putra, karena sayangnya Dewi Kasian terhadap suaminya, walau sudah wafat setiap saat dia selalu menengok makam suaminya. Maka dikala itu Syeh Maulana Maghribi membawa putranya yang telah dimasukkan bokor kencono dan diletakkan disamping makam Aryo Penanggungan. Di malam itu juga kebetulan Dewi Kasian keluar dari rumah menengok kearah makam suaminya, kelihatan sinar yang menjurat keatas dari arah makam suaminya, apakah sebetulnya sinar yang menjurat dari arah makam suaminya tersebut ? Ternyata setelah didekati adalah sebuah bokor kencono yang sangat indah, dan dibuka bokor tersebut ternyata didalamnya terdapat jabang bayi yang sangat mungil dan lucu sekali. Disaat itu Dewi kasian sangat terperanjat hatinya melihat si jabang bayi tersebut, dengan tidak disadari akhirnya bokor berisi jabang bayi dibawa pulang dengan lari dan mengucapkan : “kangmas Penanggungan wis sedo, kok kerso maringi momongan marang aku “. (dalam Bhs Jawa).Kabar mengenai orang yang telah meninggal tetapi bisa memberikan kepada istri jandanya, telah tersiar sampai ke pelosok negeri. Masyarakat berbondong – bondong ingin menyaksikan kebenaran berita tersebut, Akhirnya Dewi Kasian yang asalnya tidak punya harta benda apa – apa menjadi janda yang kaya raya, dari uluran orang – orang yang datang tersebut. Kemudian jabang bayi diberi nama Joko Tarub karena dikala masih bayi diambil Dewi Kasian dari atas makam Aryo Penanggungan yang makamnya dibuat makam Taruban. Pada usia kanak-kanak Joko tarub atau Sunan Tarub mempunyai kesenangan atau hobi menangkap kupu-kupu di ladang. Setelah masuk di tengah hutan bertemu orang yang sangat tua, dia diberi aji – aji tulup yang namanya tulup Tunjung Lanang. Tulup inilah yang akhirnya menjadi aji-aji sangat luar biasa untuk Kiai Ageng Tarub/ Sunan Tarub. Diwaktu mendapat tulup tersebut dia pulang dengan cepat menyampaikan berita kepada ibunya (Dewi Kasian) dan mengatakan bahwa dia di tengah hutan dijumpai seorang yang sangat tua memberi aji – aji tulup kepadanya. Namun karena sayangnya, Dewi Kasian tidak memperbolehkan putranya masuk hutan, karena khawatir kalau dimakan hewan buas atau dibunuh orang yang tidak senang kepadanya.
Namun karena Joko tarub tidak takut lebih-lebih mempunyai aji – aji tulup tersebut, maka Joko Tarub tetap senang masuk hutan untuk mencari burung. Sampai diatas gunung Joko Tarub mendengar suara burung yang sangat indah bunyinya yaitu burung perkutut. Kemudian didekati dan dilepaskan anak tulup kearah burung tersebut namun gagal. Akhirnya Joko Tarub berfikir dan menganggap bahwa burung ini tidak burung biasa. Kemudian terdengar lagi suara burung dari arah selatan, didekati dan dilepaskan lagi anak tulup kearah burung namun tidak mengenai burung itu dan ternyata anak tulup itu mengenai dahan jati. Tempat yang ditinggalkan burung tadi sekarang dinamai Dukuh Karang Getas. Karena sedihnya Joko tarub maka tempat yang ditinggalkan, sekarang dinamai Dukuh Sedah. Kemudian terdengar lagi suara burung dari arah selatan, didekati dari posisi yang strategis (burung dalam keadaan terpojok), maka anak tulup dilepaskan dan ternyata tidak kena dan burung terbang lagi ke selatan.
Tempat tersebut sekarang menjadi Dukuh Pojok. Burung terbang ke selatan dan hinggap diatas pohon asam oleh Joko Tarub dilepaskan lagi anak tulup kearah burung tetapi terbang lagi ke selatan, tempat yang ditinggalkan tadi menjadi Dukuh Karangasem. Diwaktu mengejar burung keselatan Joko Tarub merenungi burung tersebut, dalam ucapannya mengatakan ini burung atau godaan. Tempat merenungi Joko Tarub sekarang dinamai Desa Godan Joko Tarub mengejar terus burung kearah selatan, tempat melihatnya Joko Tarub sekarang dinamakan Dukuh Jentir. Joko Tarub terus melacak burung kearah tenggara kemudian berjumpa lagi dengan burung yang hinggap di pohon tetapi burung tersebut tidak bersuara. Setelah burung itu terbang lagi ke selatan dan tempat yang ditinggalkan tadi dinamakan Dukuh Pangkringan. Kemudian Joko Tarub melacak kearah selatan, setelah sampai ditempat yang sangat rindang disitulah burung terbunyi lagi.Namun Joko Tarub mendengar suara wanita yang baru berlumban (mandi) di dalam sendang. Disaat itu Joko Tarub lupa burung yang dikejar dia beralih mengintai suara wanita yang mandi di dalam sendang Ternyata para bidadari yang sedang dilihat, akhirnya Joko Tarub mengambil salah satu pakaiannya bidadari yang dengan tutup kemudian dibawa pulang dan disimpan dibawah tumpukan padi (lumbung) ketan hitam. Joko Tarub kembali lagi ke Sendang dengan membawa sebagian pakaian ibunya. Setelah sampai didekat sendang ternyata para bidadari sudah terbang kembali ke surga. Tinggal satu yang masih mendekam ditepi sendang dengan merintih dan berkata : “sopo yo sing biso nulung aku, yen wadon dadi sedulur sinoro wedi, yen kakung sanggup dadi bojoku“. Disaat itu Joko Tarub mendekati dibawah pohon sambil mendengarkan ucapan bidadari tersebut dan menolong bidadari dengan melontarkan pakaian ibunya. Setelah bidadari berpakaian diajak pulang kerumah ibunya dan disampaikan kepada ibunya bahwa putri ini adalah putri dari sendang yang baru terlantar dan minta tolong kepada siapun : Jika yang menolong pria akan dijadikan suaminya. Akhirnya Joko tarub menikah dengan bidadari tersebut yang bernama Nawang Wulan. Adapun sendang yang dibuat lomban para bidadari, sekarang dinamakan sendang Coyo.Kemudian Joko Tarub dengan Nawang Wulan mempunyai tiga putri yaitu : Nawang sasi, Nawang Arum, Nawang Sih. Pada waktu bayinya, Nawang Sih mengalami satu riwayat yang sangat hebat yaitu dikala Nawang Sih masih di ayunan, ibunya mau mencuci pakaian di sungai dan berpesan pada Joko Tarub agar mengayun putrinya dan jangan membuka kekep (penutup masakan). Namun setelah Nawang Wulan pergi ke sungai, Joko Tarub penasaran akan pesan istrinya, maka dibukalah kekep tersebut, setelah melihat didalam kukusan, ternyata yang dimasak istrinya hanya satu untai padi. Joko Tarub mengucapkan (Masya Allah, Alhamdulilah istriku yen masak pari sak uli ngeneki tho, lha iyo parine ora kalong – kalong. Tak lama kemudian istrinya datang lalu membuka masakan tersebut, ternyata masih utuh padi untaian. Kemudian istrinya menegur suaminya bahwa pasti kekep tadi dibuka, sehingga terjadi pertengkaran. Akhirnya Nawang Wulan menyadari sehingga harus dibuatkan peralatan dapur (lesung, alu, tampah) Setelah kejadian itu Nyi Nawang Wulan kalau mau masak harus menumbuk padi dulu, sehingga lambat laun padi yang ada di lumbung makin habis. Setelah sampai padi yang bawah sendiri yaitu padi ketan hitam, ternyata pakaiannya diletakkan disitu dan diambil kemudian menghadap suaminya. Akhirnya terjadi pertengkaran yang hebat, ternyata yang mengambil pakaiannya waktu disendang dulu adalah Joko Tarub sendiri. Kemudian Nyi Nawang Wulang ingin pulang kembali ke surga dan berpesan kepada suaminya : Bila putrinya menangis minta mimik agar diletakkan didepan rumah diatas anjang – anjangTetapi setelah Nawang Wulan sampai di Surga di tolak oleh teman-temannya karena sudah berbau manusia. Kemudian Nyi Nawang Wulan turun lagi ke bumi namun tidak ada maksud kembali kerumah suaminya. Dia ingin bunuh diri naik di gunung Merbabu meloncat ke laut selatan. Setelah sampai di laut selatan Nyi Nawang Wulan perperang dengan Nyi loro Kidul, dan akhirnya Nyi Nawang Wulan mendapat kejayaan, sehingga laut selatan dikuasai oleh Nyi Nawang Wulan. Jadi yang ada dilaut selatan ada tiga putri yaitu : Nyi Nawang Wulan, Nyi Loro Kidul, Nyi Blorong. Setelah Joko Tarub ditinggal Nyi Nawang Wulan dia hidup dengan putrinya Nawang Sih. Disaat itu di Kerajaan Majaphit yang diperintah Prabu Browijoyo kelima ditinggal wafat istrinya, sehingga Prabu Browijoyo sakit dan tidak mau menduduki kursi kerajaan, dan setiap malam kalau tidur ditepi Kerajaan. Suatu malam dia bermimpi bila sakitnya ingin sembuh maka harus mengawini putri Wiring Kuning, kemudian raja terbangun dari tidurnya. Akhirnya para patih diperintah untuk mengumpulkan semua putri – putri. Setelah diteliti dan disesuaikan dengan mimpinya tersebut akhirnya menjumpai putri Wiring Kuning yang ternyata adalah pembantunya sendiri. Akhirnya dikawinilah putri tersebut dan dilarang untuk keluar dari taman kaputren karena malu jika ketahuan orang bahwa raja mengawini pembantunya sendiri. Setelah jabang bayi lahir raja Brawijaya memanggil saudaranya (Juru Mertani) supaya memelihara dan mengasuh bayi tersebut. Kemudian bayi tersebut diberi nama Bondan Kejawan (Lembu Peteng).Dimasa kanak-kanak Bondan Kejawan, ayah asuhnya atau Juru Mertani akan membayar pajak kekerajaan disaat itu Bondan Kejawan mendengar bahwa ayahnya akan kekerajaan dan dia ingin ikut tetapi tidak diperbolehkan. Namun dia lari dulu dan sampai di Kerajaan dia langsung masuk dan naik keatas kursi raja. Kemudian membunyikan Bende Kerajaan. Sang raja mendengar bunyi bende kerajaan dan marahlah, anak tersebut ditangkap dan dimasukkan kedalam sel kerajaan. Tidak lama kemudian datanglah Juru Mertani dengan membawa padi untuk membayar pajak. Selesai membayar pajak dia menghadap sang raja dan menanyakan anak kecil yang membunyikan bende kerajaan. Diberitahukan kepada sang raja bahwa anak kecil itu putra sang raja sendiri. Kemudian raja memanggil anak kecil itu dan membawa kaca untuk melihat wajahnya sendiri dengan wajah anak tersebut. Ternyata Beliau yakin dan percaya bahwa anak tersebut putranya sendiri. Kemudian Juru Mertani disuruh sang raja untuk mengantarkan putranya ke Saudaranya yaitu Ki Ageng Tarub dan putranya agar diasuh dan dipeliharanya. Disaat itu Ki Ageng Tarub mengasuh dua anak kecil yaitu Bondan Kejawan dan anaknya sendiri. Setelah masuk remaja Bondan Kejawan diperintah ayah asuhnya agar bertapa ngumboro yaitu disuruh ke sawah selama tujuh tahun dan tidak boleh pulang kalau belum diambil. Setelah sampai waktunya Nawang Sih diperintah ayahnya supaya memasak yang enak, setelah memasak agar mengambil saudaranya Bondan Kejawan yang berada ditengah sawah. Setelah sampai dekat gubug yang ditempati Bondan Kejawan, Disaat itu Bondan Kejawan sedang istirahat diatas gubug.
Nawang Sih memanggil Bondan Kejawan dari bawah gubug. Bondan Kejawan terperanjat atas panggilan Nawang Sih karena tidak tahu akan kedatangannya, sehingga Bondan Kejawan jatuh dari atas gubug dan memegang bahunya Nawang Sih. Sampai dirumah Nawang Sih memberitahukan orang tuanya bahwa tadi bahunya dipegang oleh Bondan Kejawan. Tetapi sang ayah malah memberi tahu Nawang Sih akan dijodohkan dengan Bondan Kejawan, dan akhirnya mereka menikah. Kemudian lahirlah anak yang diberi nama Ki Ageng Getas Pandowo (Ki Abdulloh). Bondan Kejawan meneruskan Bopo Morosepuh dan diberi nama Ki Ageng Tarub II, sedang Ki Ageng Getas Pandowo diberi nama Ki Ageng Tarub III. Tempat pertapaan Bondan Kejawan (Lembu Peteng) sekarang terdapat disebelah tenggara makam Ki Ageng Tarub I, dukuhan sebelahnya dinamakan Desa Barahan. Selanjutnya Ki Ageng Tarub III (Getas Pandowo) mempunyai putri banyak dan yang terkenal adalah Ki Ageng Abdurrohman Susila (Ki Ageng Selo).
Adapun adanya Ki Ageng Tarub adalah merupakan suatu karomah dari Allah yang diberikan kepada Syeh Maulana Maghribi dengan Dewi Telangkas (Nona Telangkas) yang melahirkan Ki Ageng Tarub. Adapun karomah yang diberikan Allah kepada Ki Ageng Tarub I yaitu kawin dengan Bidadari yaitu Nawang Wulan. Adapun cucu Ki Ageng Tarub I adalah Ki Ageng Selo yang mendapat karomah dari Allah yaitu dapat menangkap petir. Dari Beliaulah terlahir raja-raja ditanah jawa. Makam Ki Ageng Tarub terletak di desa Tarub Kecamatan Tawangharjo ± 10 km dari Kabupaten Grobogan.
Ditulis oleh: Taufiq Yusuf - sumber Grobogan.org
                            

Astana Ratu Kalinyamat/Sultan Hadlirin Jepara Jawa Tengah

Kanjeng Ratu kalinyamat Jepara
> Sulthan Hadlirin
> Syaikh Raden Abdul Jalil/Sunan Jepara
Lokasi Mantingan, Kec. Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah






Prabu Srimakurung Handayaningrat/Ki Ageng Pengging Sepuh Boyolali Jawa Tengah

Lokasi Gedong Jembungan Kec Banyudono Kab Boyolali Jawa Tengah

~ Sri Makurung Handayaningrat/Ki Ageng Pengging sepuh

> Dyah Ayu Retno Kedhaton Putri Prabu Brawijaya V
> Pemandian Umbul Pengging
Lokasi Dukuh Kec Banyudono Kab Boyolali Jawa Tengah

~ Ki Ageng Kebo Kenongo/Ki Ageng Pengging (ortu Mas Karebet/Joko Tingkir)


~


Syaikh Maulana Maghribi Parangtritis DIY

Syaikh Maulana Maghribi  Bukit  Parangtritis Bantul  DIY





Cepuri Parangkusumo Parangtritis DIY

Pantai Parangtritis Kec Kretek Kab Bantul DIY



Nyai Roro Kidul, demikian ejaan sebenarnya dari tulisan di Babad Tanah Jawi. Tapi entah kenapa beredar dan terkenal dengan nama yang salah baca, Kanjeng Ratu Kidul!

Bahkan ada perbedaan persepsi yang meluas dan diyakininya, bahwa antara Nyai Roro Kidul dan Kanjeng Ratu Kidul itu berbeda.

Artinya, Roro Kidul itu patih, sedangkan Kanjeng Ratu Kidul itu ratunya. 

Namun, Babad Tanah Jawi tak menyebutkan itu.

Kedudukannya berhubungan dengan Merapi-Keraton-Laut Selatan yang berpusat di Kesultanan Solo dan Yogyakarta. 

Pengamat sejarah kebanyakan beranggapan, keyakinan akan Kanjeng Ratu Kidul memang dibuat untuk melegitimasi kekuasaan dinasti Mataram.

Keraton Surakarta menyebutnya sebagai Kanjeng Ratu Ayu Kencono Sari.

Ia dipercaya mampu untuk berubah wujud beberapa kali dalam sehari.

Sultan Hamengkubuwono IX menggambarkan pengalaman pertemuan spiritualnya dengan sang Ratu; ia dapat berubah wujud dan penampilan, sebagai seorang wanita muda biasanya pada saat bulan purnama, dan sebagai wanita tua di waktu yang lain.

Nyi Roro Kidul juga dikabarkan adalah pemberi restu para Walisongo untuk menyebarkan Islam di selatan Jawa.

Dalam Serat Darmogandul, sebuah karya sastra Jawa Baru yang menceritakan jatuhnya Majapahit akibat serbuan Kerajaan Demak, 

Ni Mas Ratu Anginangin adalah ratu seluruh makhluk halus di pulau Jawa dan memiliki kerajaan di laut selatan. 

Hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad Kadhiri.

Pramoedya Ananta Toer. Dalam pidatonya saat menerima penghargaan Ramon Magsaysay 1988, Pram menyebut cerita Ratu Kidul hanya mitos.

Melalui pidato tertulis berjudul Sastra, Sensor dan Negara: Seberapa Jauh Bahaya Membaca? Pram mencoba menjelaskan bagaimana penyair Istana Mataram menciptakan mitos Nyi Roro Kidul sebagai kompensasi kekalahan Sultan Agung ketika menyerang Batavia dua kali (1628 dan 1629) serta kegagalan Sultan Agung menguasai jalur perdagangan di Pantai Utara Jawa.

Untuk menutupi kehilangan itu, penyair Jawa menciptakan Dewi Laut Nyi Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). Mitos ini melahirkan anak-anak mitos lainnya: bahwa setiap Raja Mataram memiliki seorang dewi,” kata Pram.

Menurut Pram, berangkat dari mitos Nyi Roro Kidul, muncul mitos tabu lainnya, seperti larangan memakai baju hijau di pantai selatan. Padahal, itu hanyalah bentuk kebencian penyair terhadap Kompeni. Hijau, kata Pram, mewakili warna pakaian tentara Belanda.

Dalam sebuah pidato di Istana Merdeka, 17 Juli 1959 saat melantik R.E. Martadinata sebagai Kepala Staf Angkatan Laut.

Dalam kesempatan itu, Soekarno menceritakan, sejak era Mataram Islam, terdapat tradisi bahwa seorang raja dapat menjadi besar jika beristrikan Nyi Roro Kidul.

Kemudian, dalam Musyawarah Nasional Maritim, 23 September 1963, nama Nyi Roro Kidul juga kembali muncul.

“Kepercayaan ini berisi satu simbolik bahwa tidak bisa seseorang raja, bahwa tidak bisa sesuatu Negara di Indonesia ini menjadi kuat jikalau tidak dia punya raja kawin beristrikan Ratu Roro Kidul,” kata Soekarno kala itu.

Pantai Parangkusumo dan Parangtritis di Yogyakarta sangat berhubungan dengan legenda Kanjeng Ratu Kidul. 

Parangkusumo merupakan tempat Panembahan Senapati bertemu Kanjeng Ratu Kidul. 

Saat Sri Sultan Hamengkubuwono IX meninggal tanggal 3 Oktober 1988, majalah Tempo menulis bahwa para pelayan keraton melihat penampakan Kanjeng Ratu Kidul untuk menyampaikan penghormatan terakhirnya kepada sri sultan.

Naskah tertua yang menyebut-nyebut tentang tokoh mistik ini adalah Babad Tanah Jawi. Panembahan Senopati adalah orang pertama yang disebut sebagai Raja yang menyunting Sang Ratu Kidul. (catatan: baru muncul di jaman Mataram Islam)

Penghormatan serta pemuliaan kepada Kanjeng Ratu Kidul juga terdapat pada sebuah kelenteng yang terletak di bilangan Pekojan, Jakarta Barat, yaitu di Vihara Kalyana Mitta. Terdapat kepercayaan bahwa mitos mengenal Nyi Roro Kidul (dalam hal ini, nama Nyai Roro Kidul hanya menjadi panggilan populer Kanjeng Ratu Kidul) berasal dari kepercayaan Siwa-Buddha di Indonesia, yaitu kepercayaan kepada Dewi Tara (Bodhisatwa).

Sebelum Wakanda populer, Atlantis lebih dulu dikenal sebagai utopia klasik umat manusia. Atlantis adalah lokasi peradaban maju dari masa ribuan tahun lalu yang memiliki teknologi canggih, kendaraan terbang, kekayaan alam, dihuni manusia ras unggul, dan berlokasi di Indonesia. 

Tunggu dulu, memangnya Atlantis bukan cuma mitos?

Bagi Komunitas Turangga Seta, peradaban kuno itu ada, jejaknya tertimbun di bawah Indonesia modern, serta jauh lebih keren daripada Wakanda.

Komunitas ini bahkan mengklaim sudah berhasil menemukan lokasi persis Atlantis yang hilang: 200 mil dari pantai selatan Pulau Jawa...

Di Pantai Parangkusumo tertinggal jejak percakapan batin dengan huruf Kawi bahasa Jawa kuno.

Sang Putri dengan dandanan yang tidak sekuno yang banyak di lukis dan di bicarakan orang.

Wajah oval cantik seperti berdarah campuran dengan rambut sebahu lebih sedikit.

Dan juga bukan memakai pakaian berwarna hijau. Tidak juga pakai kemben.

...Melihat ke tengah laut miring ke kiri tidak jauh di sana ada Gunungan Emas sebagai Wahyu dan tanda wilayah kerajaan yang tak lekang oleh zaman.

Setidaknya masih ada sekarang ini.

Makam Raja Mataram Islam Kotagede DIY




Makam Raja Raja Mataram Islam Kotagede DIY

> Sulthan Hadiwijaya

> Ki Ageng Pemanahan

> Panembahan Senopati

> Ki Juru Mertani

> Sendang Seliran kakung dan Sendang putri didalam komplek makam Kotagede

> Masjid gede Mataram Sumber mata air kemuning

Lokasi jl Masjid Besar Mataram, Sayangan, Jagalan, Banguntapan, Bantul DIY

Pasarean Ki Ageng Giring /Nyi Ageng Giring Gunung Kidul DIY


Pesarean / Makam Ki Ageng Giring, Pemilik Wahyu Mataram Islam di jawa.

Berdirinya Kerajaan Islam di jawa tidak bisa lepas dari dua tokoh legendaris yaitu Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, dua tokoh inilah yg menerima wahyu mataram islam,Ki Ageng Giring saat bertapa di gunung kidul,dan Ki Ageng Pemanahan bertapa di Kembang lampir giri sekar panggang.
Ki Ageng Giring memiliki peran besar dalam berdirinya Kerajaan Mataram Islam,Pada waktu masih muda Ki Ageng Giring memiliki nama Raden Mas Kertanadi.
Berdasarkan cerita yang berkembang di kalangan masyarakat setempat, Ki Ageng Giring III adalah keturunan dari Brawijaya (Raja Majapahit).
Beliau adalah sesepuh Trah Mataram yang sangat di hormati.
Ayahanda Ki Ageng Giring adalah Prabu Brawijaya raja Majapahit, sedangkan ibunya bernama Retno Mundri.
Beliau bertemu dan berguru pada Kanjeng Sunan Kalijaga,beliau juga seperguruan dengan Ki Ageng Pemanahan. Keduanya adalah para tokoh legendaris yang mengembara dari istana untuk mengembangkan kekuatan spiritual dan mengajarkan Islam kepada penduduk setempat Perlu diketahui, bahwa setelah hancurnya kerajaan Majapahit, putra-putri Prabu Brawijaya menyebar ke berbagai wilayah di tanah Jawa, bahkan sampai Bali dan Lombok.
Ki Ageng Giring III menikah dengan Nyi Talang Warih,dari pernikahan tersebut dua orang anak, yaitu Rara Lembayung dan Ki Ageng Wonokusumo yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring IV.
Isyarat akan turunnya wahyu Kraton Mataram di perbukitan kidul atas petunjuk Sunan Kalijaga, seorang tokoh spiritual dan guru agama yg mampu melihat dengan pandangan lahir batin atas suatu persoalan masyarakat.
Oleh Sunan Kalijaga, Ki Ageng Giring III dan Ki Ageng Pemanahan dianggap sebagai santri yang mampu menjalankan tirakat dengan kuat untuk menyangga negeri, Untuk mengupas keterkaitan kisah tersebut tidak bisa lepas dari perjalanan Ki Ageng Pemanahan mengawal Sultan Hadiwijaya di Kraton Pajang.
Lahumul alfatihaah Ki Ageng Giring.

Referensi dari berbagai sumber
Lokasi foto :
Tambakrejo,Giring,Kec : Paliyan,Kab : Gunungkidul,DIY 



Khayangan Dlepih Wonogiri


Bangunsari Dlepih Kec Tirtomoyo Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah  

Konon jika berada di kawasan Kahyangan Dlepih tidak boleh mengenakan pakaian warna hijau pupus dan kain bermotif parangklitik. Bagi yang meyakini, apabila larangan (pamali) ini dilanggar maka yang bersangkutan bakal kalap (tewas). Begitu disakralkan, tempat ini kerap dimanfaatkan orang untuk meditasi dan ngalab berkah pada malam Selasa Kliwon juga Jumat Kliwon. Terlebih di malam menjelang pergantian tahun Jawa (bulan Suro). Banyak pendatang dari luar daerah, terutama dari daerah Yogyakarta dan Surakarta, bertirakatan di sana.
Kesakralan hutan Kahyangan Dlepih kian terasa manakala dijumpai beberapa petilasan serba batu. Salah satunya, petilasan Selo Gapit atau Penangkep berupa dua buah batu besar yang pada bagian atasnya saling bersentuhan mirip gapura.
Ada juga petilasan yang disebut Selo Payung karena bagian atasnya melebar menyerupai payung. Ketika didekati, tercium jelas aroma bakar dupa. Para pelaku ritual biasanya melakukan doa atau tapa di petilasan ini. Dipercaya, petilasan Selo Payung adalah tempat Raja pertama kesultanan Mataram, Raden Danang Sutawijaya atau bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa melakukan semedi.
"Nama Kahyangan ini sudah ada jauh sebelum Wangsa Sanjaya, sebelum ada Panembahan Senopati, Nyi Puju, Kyai Puju. Ketika itu masih zaman perwayangan atau kedewatan, dewa-dewi dipercaya bisa terlihat oleh manusia".
Jauh sebelum Panembahan Senopati, Kahyangan sudah digunakan oleh para Brahmana, begawan termasuk kalangan ksatria dari masa Majapahit untuk tempat bertapa. Ki Juru Martani juga pernah bertapa di Kahyangan sebelum mengabdi kepada keraton.
"Kebanyakan leluhur , terutama para brahmana dan golongan ksatria dari zaman Kadewatan, yang ingin mendekat pada para dewa akan melakukan ritual doa dan tapa disini .Tidak menutup kemungkinan zaman Mataram Kuno, Singosari Ken Arok, Majapahit Raden Wijaya juga Mataram Baru".
Kemudian batu-batu akik yang dipercaya berasal dari tasbihnya Panembahan Senopati dan Sunan Kalijaga itu pun telah dipakai para brahmana dan begawan dalam tiap upacara keagamaan. Nah, sungai berbentuk kolam di kawasan tersebut atau dikenal Kedung Pesiraman, yang airnya bersumber dari sebuah tempuran air terjun, adalah pemandian para bidadari.
Ki Ageng Pemanahan, ayah Panembahan Senopati merupakan cucu Raden Depok atau Ki Ageng Getas Pandowo. 
Raden Depok sendiri anak buah perkawinan Raden Bondhan Kejawan dengan Dewi Nawang Sih, seorang putri dari Nawang Wulan dan Jaka Tarub.







Ki Ageng Sutowijoyo Sukoharjo Jawa Tengah


Ki Ageng Bodo dan Ki Ageng Banjaransari
Lokasi Majasto Tawangsari Gg.Dua Majasto Kec Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah



Raden Ngabehi Ronggowarsito Klaten Jawa Tengah






Yang lahir di Pulau Jawa, pasti tidak asing dengan nama ini: Raden Ngabehi (R.Ng) Ronggo Warsito. Bahkan, nama ini mendapat tempat sangat khusus di dalam kehidupan manusia Jawa. Dengan demikian,  masyarakat Jawa tidak akan gampang melupakan sastrawan dan pujangga besar ini,  pada masa kejayaan keraton Surakarta Hadiningrat.
Tokoh ini hidup pada masa ke-emasan Keraton Surakarta dan dikenal sebagai  pujangga besar,  yang telah meninggalkan ‘warisan tak ternilai’, berupa puluhan serat yang mempunyai nilai dan capaian estetika menakjubkan. Ketekunannya pada sastra, budaya, teologi, dengan ditunjang oleh bakat, mendudukkan dirinya sebagai pujangga terakhir Keraton Surakarta.
R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil Bagus Burham pada tahun 1728 J, atau 1802 M. Beliau adalah putra dari Raden Mas Ngabehi (RM. Ng.) Pajangsworo. Kakeknya bergelar Raden Tumenggung ( R.T.) Sastronagoro, yang pertama kali menemukan satu jiwa yang teguh dan bakat yang besar di balik kenakalan Burham kecil,  yang memang terkenal bengal. Sastronagoro kemudian mengambil inisiatif untuk mengirimnya nyantri ke Pesantren Gebang Tinatar,  di wilayah  Ponorogo asuhan Kyai Kasan Besari.
Sebagai putra bangsawan,  Burham mempunyai seorang emban bernama Ki Tanujoyo sebagai guru mistiknya. Di masa kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang dan wijangmampu menuangkan suara jaman dalam serat-serat yang ditulisnya. Ronggowarsito memulai karirnya sebagai sastrawan dengan menulis Serat Jayengbaya ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten Anom dengan sebutan M. Ng. Sorotoko.
Dalam serat ini dia berhasil menampilkan tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo,  yang konyol dan lincah bermain-main dengan khayalannya tentang pekerjaan. Sebagai seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi kehidupan.
Pemikirannya tentang dunia tasawuf tertuang diantaranya dalam Serat Wirid Hidayatjati, pengamatan sosialnya termuat dalam Serat Kalatidha, dan kelebihan beliau dalam dunia ramalan terdapat dalam Serat Jaka Lodhang, bahkan pada Serat Sabda Jati terdapat sebuah ramalan tentang saat kematiannya sendiri.
Pertama, Ia  mengabdi pada keraton Surakarta Hadiningrat dengan pangkat Jajar. Pangkat ini membuatnya menyandang nama Mas Panjangswara. Ia adalah putra sulung Raden Mas Tumenggung Sastronagoro, pujangga kraton Surakarta, pada waktu itu.  Semasa kecil beliau diasuh oleh abdi yang amat kasih bernama Ki Tanujoyo. Hubungan dan pergaulan keduanya membuat Ranggawaraita memiliki jiwa cinta kasih dengan orang-orang kecil (wong cilik). Ki Tanudjaja mempengaruhi kepribadian Ranggawarsita dalam penghargaannya kepada wong cilik dan berkemampuan terbatas. Karena pergaulan itu, maka dikemudian hari, watak Bagus Burham berkembang menjadi semakin bijaksana.
Ketika menanjak usia dewasa (1813 Masehi), ia pergi berguru kepada Kyai Imam Besari dipondok Gebang Tinatar. Tanggung jawab selama berguru itu sepenuhnya diserahkan pada Ki Tanujoyo. Ternyata telah lebih dua bulan, tidak maju-rnaju, dan ia sangat ketinggalan dengan teman seangkatannya. Disamping itu, Bagus Burham di Ponorogo mempunyai tabiat buruk, berupa kesukaan berjudi. Dalam tempo kurang satu tahun bekal 500 reyal habis bahkan 2 (dua) kudanya pun telah dijual. Sedangkan kemajuannya dalam belajar belum nampak., Kyai Imam Besari menyalahkan Ki Tanujoyo sebagai pamong yang selalu menuruti kehendak Bagus Burham yang kurang baik itu. Akhirnya Bagus Burham dan Ki Tanujoyo dengan diam-diam menghilang dari Pondok Gebang Tinatar menuju ke suatu tempat yang pada waktu itu sibeut bernama Mara. Disini mereka tinggal di rumah Ki Ngasan Ngali saudara sepupu Ki Tanujoyo. Menurut rencana, dari wilayah Mara mereka akan menuju ke wilayah Kediri, untuk menghadap Bupati Kediri, Pangeran Adipati Cakraningrat. Namun atas petunjuk Ki Ngasan Ngali, mereka berdua tidak perlu ke Kediri, melainkan cukup menunggu kehadiran Sang Adipati Cakraningrat di Madiun saja, karena sang Adipati akan mampir di Madiun, dalam rangka menghadap ke Kraton Surakarta.
Selama menunggu kehadiran Adipati Cakraningrat itu, Bagus Burham dan Ki Tanujoyo berjualan ‘klitikan’ (barang bekas yang bermacam-macam yang mungkin masih bisa digunakan). Di pasar inilah Bagus Burham berjumpa dengan Raden Kanjeng Gombak, putri Adipati Cakraningrat, yang kelak menjadi isterinya.
Kemudian Burham dan Ki Tanujoyo meninggalkan Madiun. Kyai Imam Besari melaporkan peristiwa kepergian Bagus Burham dan Ki Tanujoyo kepada ayahanda serta neneknya di Solo/Surakarta. Raden Tumenggung Sastranegara memahami perihal itu, dan meminta kepada Kyai Imam Besari untuk ikut serta mencarinya. Selanjutnya Ki Jasana dan Ki Kramaleya diperintahkan mencarinya. Kedua utusan itu akhirnya berhasil menemukan Burham dan Ki Tanudjaja, lalu diajaknyalah mereka kembali ke Pondok Gebang Tinatar, untuk melanjutkan berguru kepada Kyai Imam Besari.
Ketika kembali ke Pondok, kenakalan Bagus Burham tidak mereda. Karena kejengkelannya, maka Kyai Imam Besari memarahi Bagus Burham. Akhirnya Bagus Burham menyesali perbuatannya dan sungguh-sungguh menyesal atas tindakannya yang kurang baik itu. Melalui proses kesadaran dan penghayatan terhadap kenyataan hidupnya itu, Bagus Burham menyadari perbuatannya dan menyesalkan hal itu. Dengan kesadarannya, ia lalu berusaha keras untuk menebus ketinggalannya dan berjanji tidak mengulangi kesalahannya, ia juga berusaha untuk memperhatikan keadaan sekitarnya, yang pada akhirnya justru mendorongnya untuk mengejar ketinggalan dalam belajar. Dengan demikian muncul kesadaran baru untuk berbuat baik dan luhur, sesuai dengan kemampuannya.
Sejak saat itu, Bagus Burham belajar dengan lancar dan cepat, sehingga Kyai Imam Besari dan teman-teman Bagus Burham menjadi heran atas kemajuan yang ia capai dalam wakatu yang tidak terlalu lama. Dalam waktu singkat, Bagus Burham mampu melebihi kawan-kawannya. Setelah di Pondok Gebang Tinatar dirasa cukup, lalu kembali ke Surakarta, dan dididik oleh neneknya sendiri, yaitu Raden Tumenggung Sastronegoro. Neneknya mendidik dengan berbagai ilmu pengetahuan yang amat berguna baginya. Setelah dikhitan pada tanggal 21 Mei l8l5 Masehi, Bagus Burham diserahkan kepada Gusti Panembahan Buminata, untuk mempelajari bidang Jaya-kawijayan dan kanuragan (kepandajan untuk menolak suatu perbuatan jahat atau membuat diri seseorang memiliki suatu kemampuan yang melebihi orang kebanyakan), kecerdasan dan kemampuan jiwani. Setelah tamat berguru, Bagus Burham dipanggil oleh Sri Paduka Paku Buwono (PB) IV dan dianugerahi restu, yang terdiri dari tiga tingkatan, yaitu :
  1. Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk mengatasi pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa halus, teguh dan berkemauan keras.
  2. Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung Sastronagoro, seorang pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal pendidikan, RT. Sastronagoro amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu dan Dasanama Jarwa. Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan dasar-dasar tentang sastra Jawa.
  3. Pembentukan rasa harga diri, kepercayaan diri dan keteguhan iman diperoleh dari Gusti Pangeran Harya Buminoto. Dari pangeran ini, diperoleh pula ilmu Jaya-kawijayan, kesaktian dan kanuragan. Proses inilah proses pendewasaan diri, agar siap dalam terjun kemasyarakat. dan siap menghadapi segala macam percobaan dan dinamika kehidupan.Bagus Burham secara kontinyu mendapat pendidikan lahir batin yang sesuai dengan perkembangan sifat-sifat kodratinya, bahkan ditambah dengan pengalamannya terjun mengembara ketempat-tempat yang dapat menggembleng pribadinya. Seperti pengalaman ke Ngadiluwih, Ragajambi dan tanah Bali. Disamping gemblengan orang-orang tersebut diatas, terdapat pula bangsawan keraton yang juga memberi dorongan kuat untuk meningkatkan kemampuannya, sehingga karier dan martabatnya semakin meningkat. Tanggal 28 Oktober 1818, ia diangkat menjadi pegawai keraton dengan jabatan Carik Kaliwon di Kadipaten Anom, dengan gelar Ronggo Pujonggo Anom, atau lazimnya disebut dengan Ronggo  Panjanganom.
Hampir Bersamaan dengan itu, Mas Ronggo Panjanganom melaksanakan pernikahan dengan Raden Ajeng Gobak dan diambil anak angkat oleh Gusti Panembahan Buminoto. Perkawinan dilaksanakan di Buminoto. Saat itu usia Bagus Burham 21 tahun. Setelah selapan (35 hari) perkawinan, keduanya berkunjung ke Kediri, dalam hal ini Ki Tanujoyo ikut serta. Setelah berbakti kepada mertua, kemudianBagus Burham mohon untuk berguru ke Bali yang sebelumnya ke Surabaya. Demikian juga berguru kepada Kyai Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirokonto di Ragajambi dan Kyai Ajar Sidolaku di Tabanan-Bali. Dalam kesempatan berharga itu, beliau berhasil membawa pulang beberapa catatan peringatan perjalanan dan kumpulan kropak-kropak (naskah-naskah tua dan lungid) serta peninggalan lama dari Bali dan Kediri ke Surakarta.
Sekembali dari berguru, ia tinggal di Surakarta melaksanakan tugas sebagai abdi dalem keraton. Kemudian ia dianugerahi pangkat Mantri Carik dengan gelar Mas ngabehi Sorotoko, pada tahun 1822. Ketika terjadi perang Diponegoro (th.1825-1830), yaitu ketika jaman Sri Paduka PB VI, ia diangkat menjadi pegawai keraton sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom dengan gelar RadenNgabehi Ronggowarsito, yang selanjutnya bertempat tinggal di Pasar Kliwon. Dalam kesempatan itu, banyak sekali siswa-siswanya yang terdiri orang-orang asing, seperti C.F Winter, Jonas Portier, CH Dowing, Jansen dan lainnya. Dengan CF.Winter, Ranggowarsito membantu menyusun kitab Paramasastra Jawa dengan judul Paramasastra Jawi. Dengan Jonas Portier ia membantu penerbitan majalah Bramartani, dalam kedudukannya sebagai redaktur.Majalah ini pada jaman PB VIII dirubah namanya menjadi Juru Martani. Namun pada jaman PB IX kembali dirubah menjadi Bramartani.
Setelah neneknya Aden tumenggung (RT) Sastranagoro wafat pada tanggal 21 April 1844, R.Ng. Ranggawarsita diangkat menjadi Kaliwon Kadipaten Anom dan menduduki jabatan sebagai Pujangga keraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1845. Pada tahun ini juga, Ranggawarsita kawin lagi dengan putri Raden Mas Pangeran (RMP). Jayengmarjoso. Ranggawarsita wafat pada tahun 1873 bulan Desember hari Rabu pon tanggal 24. Inalilahi waina ilahi rojiun.*
Selama hidupnya menjadi pujangga keratin Surakarta Hadiningrat, belius banyak menghasilkan karya sastra lungid dan werit, yang berkisah tentang humanitas, kritik terhadap dinamika social kala itu, sufisme, metafisif, peramalan jaman, tuntunan sejati untuk menuju tumbuhnya manusia jiwo minulyo, adab hidup, ilmu sangkan paraning dumadi, konsep manunggaling kawulo gusti, dll.
Salah satu karya satra yang sangat popular dalam kehidupan kejawen adalah tembang “Sinom”  bertajuk Kolotido.  Kemudian gubahan ini diakhiri dengan sebaris gatra yang bersandiasma, berbunyi “bo-RONG ang-GA sa-WAR-ga me-SI mar-TA-ya”. Mengandung arti rasa berserah diri kehadapan Yang Maha Esa yang rnenguasai alam sorga, tempat yang memuat kehidupan langgeng sejati. Sandiasma itu sendiri merupakan upaya untuk memproteksi namanya, sebagai pengarang serat tersebut.
Berikut, kami sajikan sebuah nukilan/cuplikan  dari Serat kolotido bab. 8 karangan beliau, yang berkisah tentang peralaman akan datangnya jaman kacau, kira-kira seperti jaman yang sekarang ini sedang kita lakoni. Mari kita rasakan maknanya sebagai berikut:
Teks Original Jawa
Teks Terjemahan Bebas Indonesia
Amenangi jaman edan/ ewuh aya in pambudi/melu edan nora tahan/ yen tan melu hanglakoni/ boya keduman melik/kaliren wekasanipun/dillalah kersaning Allah/sak begja-bejane kang lali/luwih begja kang eling lan waspadaKita akan mengalami jaman gila/serba repot mau berbuat apa/kalau tidak ikut menjadi gila tidak memperoleh bagian/akhirnya kelaparan juga/namun dari kehendak Allah/seuntung-untungnya orang yang lupa diri/masih lebih bahagia orang yang selalu ingat dan waspada.
Para sedulur, sekarang inilah kita sedang berada pada lintasan jaman sulit, yang secara sempurnya sudah diramalkan kejadiannya oleh sang Maestro Pujangga Ronggowasita itu. Jaman inilah yang kemudian disebut dengan jaman Kalabendu: jaman kisruh, jaman gonjang-ganjing, jaman edan. Artinya, sekarang ini banyak orang pintar, lulusan sekolah tinggi, agamanya Islam, tapi sayangnya,  pada banyak yang menjadi pencuri uang negara, yang ujung-ujungya menyisakan kesengsaraan bagi kehidupan rakyat kecil dan termasuk melakukan korupsi secara sistemik berjama’ah.  Percaya atau tidak, terpulang kepada sidang pembaca blog ini. (sumber rupa-rupa)
Salam Karahayon,  Pengasuh Padepokan Gunturseta