Syaikh Siti Jenar


Pandangan Para Wali Tentang Makrifat adalah Sama, Adapun Catatan Belanda adalah Fitnahan Terhadap Para Wali.

Ceritanya :

1. " Adapun  Sinuhun Bonamg yang pertama - tama berbicara tentang kehadiran jati dirinya.

2. Lalu Syekh Siti Jenar menjawab : " Menurut hemat saya, iman tokid  (tauhid) dan
makrifat ialah mengetahui kesempurnaan diri. Bila orang membatasi diri sampai
pada makrifat, tandanya dia belum sempurna, sebab dia masih menyadari ada
bermacam - macam benda". Memang kalau belum sampai ke makrifat Dzat,
maka itu belumlah sempurna.

3.Si Nuhun Bonang berucap : " Kesempurnaan orang bermakrifat, ialah pandangan hilang,
tidak ada satupun lagi yang disebut wajah, kecuali wajah Allah. Dan mantaplah
Pangeran Agung yang disembah dengan yang menyembah", Lihat surat
Thaha 20 :14 

4. Syekh Siti Jenar berucap : " Kesempurnaan itu meliputi Pangeran. Maka
manusia tidaklah mempunyai ruang gerak, atau tidak bergerak, dia menjadi mati
sajroning urip ( mati suri ).  Lihat surat An Nisa 4:66

5. Sinuhun Bonang : " Menurut hemat kami, di akhirat tidak ada lagi iman tauhid dan
makrifat ",

6. Ya benar, sahut Syekh Siti Jenar : Yang ada Aku, tiada Tuhan selain Aku'
Surat  Thaha 20:14
" Sesungguhnya  hubungan antara kawula  dan Gusti terungkap dalam memuji dan
menyembah. Hal seperti itu di akhirat tentu tidak ada lagi. Kalau orang tidak memahami
Gusti, tentu dia tidak akan mengerti, maka tidaklah dapat disebut sempurna"

7. Sunan Gunung Jati  menyahut : " Yang disebut makrifat ialah memandang Pangeran
di Urang. Sehingga diluar dia tidak ada lagi yang disembah.
Allah Maha Esa, tidak dua, dan tidak tiga" Surat Al ikhlas ayat 1

8. Sunan Kalijaga berucap : "Arahkan pandangan kepada Tuhan tanpa ragu. Tetapi
bagaimana cara memandangnya, sebab Tuhan tidak berupa"

Inti pembicaraan mereka ialah Surat Thaha 20 ayat 41 :
" Aku memilih engkau untuk diriku "

Dan Surat Qaf 50 ayat 16 : " Kalau ada yang bertanya kepada engkau tentang Aku,
katakan bahwa aku dekat , bahkan lebih dekat dari urat lehernya "

Sesungguhnya manusia bukan saja sempurna, sebagaimana dikatakan oleh para Wali itu.
Manusia juga Wali Ikram yaitu mulia dan suci. Sebab didalam jasad yang sempurna
dibangun Allah dari tanah, maka kedalamnya diutus RohKu. Surat Al Hijr 15 ayat 29 dan
Surat As Sajadah 32 ayat 9.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembicaraan mereka merupakan Ukhuwah Bashariyah
dalam persaudaraan. Bertukar informasi / musyawarah tentang penyaksian.
Tetapi setelah diulas sana sini, maka menjadikan Syekh Siti Jenar dihukum penggal dihadapan
para Wali. Malah sebelum dihukum, terjadilah perang tanding tentang kesaktian.

Ini merupakan suatu analisa yang mengarah kepada politik pecah belah. Dengan menjelekkan
Syekh Siti Jenar, maka yang dipahami sesungguhnya adalah para Wali.
Seolah-olah para Wali tidak memahami hakekat diri. Yang sudah memiliki Rahman dan Rahim
dari Allah SWT. Sebab dengan menghukum Syekh Siti Jenar, maka orang bertarekat,
ahli tasawuf, dan dunia akan berfikir, apa para Wali itu tidak memahami keberadaan Allah
atas dirinya, sebagaimana disampaikan didalam Al Qur'an, Surat Thaha 20 : 46.
" Janganlah engkau takut, Aku ada bersamamu dimanapun engkau berada "

Cerita yang sangat menyedihkan dan tidak masuk akal ini di tulis oleh peneliti asing yang
kemudian diakui pula oleh sebagian besar diantara kita. Yang menjadi polemik adalah
Pandangan Asmaradana yang diuraikan oleh DR D Rinkes, De Heiligen van java.
Fragmen yang dikutipnya adalah tentang sidang para Wali. Masing - masing memaparkan
pandangan tentang kemakrifatan dan tauhid.
Dalam naskah lain agak mirip terdapat tulisan Tan Khoen Swie, kediri 1933.
Dari dua peneliti inilah Prof DR PJ Zoetmulder, SJ, mengupas dan menyampaikan
didalam bukunya yang sangat terkenal untuk mendiskriditkan para Wali. Dan pandangan itu
sangat mudah diterima oleh mereka yang tidak memahami terutama ayat-ayat yang telah
menjadi rujukan bagi seluruh para Wali di Nusantara kita ini.

Wallahu alam. Semoga Allah SWT slalu menyertai kita. Amin



Serat Mertasinga

“Tentang jalan yang akan Anda ambil, jangan berlebihan. Jalani hidup dengan kesederhanaan, jangan sombong jika berbicara, dan jangan berlebihan di depan orang lain. Itu adalah jalan yang benar.

Bermeditasi di gunung atau di dalam gua hanya menciptakan kesia-siaan. Meditasi sejati ada di tengah keramaian. Bersikaplah mulia dan maafkan orang yang melakukan kesalahan. Ini adalah satu-satunya jalan yang benar. ” (Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, Naskah Mertasinga, dalam Sejarah Wali)

Paragraf ini dikutip dari makalah kuno “Mertasinga” yang merupakan ajaran Syekh Attaulah kepada Sunan Gunung Jati. Gunung Jati adalah salah satu dari “Wali Songo”, atau “Sembilan Orang Suci” dalam sejarah dakwah Islam di Jawa pada abad ke - 15 . Makalah tersebut diterjemahkan oleh Amman N. Wahjoe yang mewarisi dokumen ini dari ayahnya, yang diwariskan secara turun-temurun dalam keluarganya.

Wahjoe menerjemahkan makalah yang dulu disebut babad — yang aslinya ditulis dalam bahasa Jawa dan Sunda, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menjadi dokumen penting dalam mengungkap sejarah para wali di Jawa.

Dokumen atau makalah semacam ini tersebar di seluruh Indonesia. Mereka disebut babad, kawuh atau kinanti , dan ditulis dalam bahasa Sunda, Jawa atau kadang-kadang, bahasa Arab. Itu adalah dokumen sakral yang biasanya dianggap sebagai warisan eksklusif dalam sebuah keluarga dan diperlakukan sebagai jimat meskipun sebagian besar anggota keluarga tidak tahu artinya atau bahkan cara membacanya.

Ajaran kebijaksanaan Wali adalah harta yang dalam dalam tasawuf Islam. Salah satu contohnya adalah ajaran Sunan Kudus, salah satu Wali yang tinggal di kota Kudus, Jawa Tengah. Ia meminta masyarakat Kudus tidak menyembelih sapi, mentolerir kepercayaan masyarakat Hindi yang juga tinggal di sana. Sebagian masyarakat Kudus mengikuti ajaran tersebut hingga saat ini.

Salah satu sunan yang terkenal dengan pendekatan kreatifnya, yang ajarannya kaya dengan muatan lokal, adalah Sunan Kalijaga. Wali ini menggunakan pendekatan budaya untuk berdakwah. Salah satu warisannya yang terkenal di kalangan masyarakat Jawa adalah kisah setengah dewa Ruci (Dewa Ruci atau Deva Ru h-Su ci , Ruh Al-Quds, Ruh Suci-red.). Kisahnya adalah tentang Bima (salah satu saudara Pandawa) yang bertemu dengan setengah dewa Ruci yang memiliki penampilan yang sama dengannya, tetapi dalam skala miniatur. Pertemuan Bima dengan Dewa Ruci, melambangkan pertemuan manusia dengan Jiwanya sendiri.

Kisah Dewa Ruci, merupakan simbol yang sangat terkenal di antara harta karun tasawuf; bahwa setiap manusia harus bertemu dengan jiwanya sendiri untuk mengetahui misi hidupnya yang sebenarnya. Sayangnya, banyak masyarakat Jawa yang mementaskan dongeng setengah dewa Ruci dengan kulit / wayang kulit untuk menyucikan kondisinya tanpa mengetahui arti sebenarnya di balik dongeng tersebut.

Fakta lain yang sedikit mengejutkan adalah fakta sejarah bahwa sebagian besar wali adalah orang asing. 

Fakta bahwa orang asing datang khusus ke Jawa dan melakukan dakwah Islam adalah fakta yang menarik untuk dilacak. Mengapa mereka datang ke Jawa? Dan lebih-lebih, bagaimana mereka sebagai orang asing mampu menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam nilai-nilai lokal, atau dengan kata lain berdakwah dalam bahasa rakyat?

Ini adalah misteri yang menuntut penelitian serius, tetapi dengan harta tasawuf mereka yang unik, para wali telah mengajari untuk menyembah Tuhan dengan penyerahan diri yang sederhana; apa lagi arti Islam selain penyerahan total kepada Tuhan?

Serat Syaikh Siti Jenar

Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri.

Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera.

Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya, tidak seperti Syeh Siti Jenar. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.

Dalam disertasi filsafat ini Zoetmulder menekankan, bahwa dengan teks semacam ini Syekh Siti Jenar dan murid-muridnya telah ditafsirkan memberi kesan seolah-olah Tuhan itu tidak ada, padahal, “Menurut hemat kami ucapan-ucapan serupa hendaknya ditafsirkan sebagai sebuah polemik serta penolakan terhadap ide mengenai seorang Tuhan yang berpribadi; sebaliknya Siti Jenar mengetengahkan ide mengenai suatu Jiwa Semesta, ia manunggal dengan Hyang Suksma, manunggal dengan hidup yang tunggal, yakni dirinya sendiri.”

Syekh Siti Jenar begitu sering dihubung-hubungkan dengan al-Husain ibnu Mansur al-Hallaj atau singkatnya Al-Hallaj sahaja, sufi Persia abad ke-10, yang sepintas lalu ajarannya mirip dengan Siti Jenar, karena ia memohon dibunuh agar tubuhnya tidak menjadi penghalang penyatuannya kembali dengan Tuhan. Adalah Al-Hallaj yang karena konsep satunya Tuhan dan dunia mengucapkan kalimat, “Akulah Kenyataan Tertinggi,” yang menjadi alasan bagi hukuman matinya pada 922 Masehi di Baghdad. Seperti Syekh Siti Jenar pula, nama Al-Hallaj menjadi monumen keberbedaan dalam penghayatan agama, sehingga bahkan diandaikan bahwa jika secara historis Syekh Siti Jenar tak ada, maka dongengnya adalah personifikasi saja dari ajaran Al-Hallaj, bagi yang mendukung maupun yang menindas ajaran tersebut. Tepatnya persona Syekh Siti Jenar memang dihidupkan untuk dimatikan.

Namun karena penelitiannya tentang segenap pengaruh terhadap sastra suluk Jawa, Zoetmulder berpendapat lain tentang ajaran Syekh Siti Jenar. “Jelaslah betapa besar pengaruh dari ide-ide India. Pengaruh itu tampak juga dari sikap terhadap nilai dan kenyataan dunia, yang dianggap hanya suatu permainan pancaindera, sebuah impian, segalanya hanya bersifat semu dan tak ada sesuatu yang nyata, suatu godaan, sebuah sulapan yang menimbulkan keinginan manusia dan dengan demikian mengurungnya. Singkatnya, di mana-mana kita mengenal kembali pandangan dari India.

“Akhirnya, juga kematian Siti Jenar – menurut logatnya sendiri, masuknya ke dalam kehidupan -seperti dilukiskan dalam versi yang kami bahas di sini, bernafaskan suasana India. Dengan menutup sendiri semua pintu dengan dunia luar ia membiarkan nafas kehidupan keluar dari badannya yang lalu mempersatukan diri dengan Sukma semesta. Dalam segala uraian ini hanya sedikit sekali pengaruh dari dunia Islam, sekalipun kadang-kadang disebut sebuah kutipan dalam bahasa Arab sekadar bahan pendukung. Sebaliknya menonjol sekali, betapa ajaran ini serasi dengan suatu bagian dari Arjunawiwaha yang melukiskan bagaimana Bhatara Indra dalam wujud seorang resi tua menyampaikan ajaran kesempurnaan kepada Arjuna yang sedang bertapa.

“Bila akhirnya tokoh Siti Jenar kita bandingkan dengan apa yang kita ketahui mengenai Al-Hallaj, maka tampak, bahwa keserasian hanya berkaitan dengan beberapa sifat dari kisah itu, tetapi kesamaan dalam hal ajaran jarang kita jumpai.”

Setelah menguraikan konsep ajaran Al-Hallaj yang dirujuknya dari peneliti sufisme terkenal Louis Massignon, hanya satu hal dianggap Zoetmulder agak mirip, yakni tentang permintaan maaf telah mengungkap rahasia ilahi (ifsa-al-asrar) – itu pun menurutnya Siti Jenar tidak minta maaf. Dijelaskannya, “Tidak mengherankan, bahwa dalam ajaran Siti Jenar tak terdapat bekas-bekas ajaran otentik Al-Hallaj.”

Ia pun merumuskan, “Perbedaan pokok antara kedua tokoh itu ialah Al-Hallaj selalu ditampilkan sebagai seorang sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, sedangkan dalam diri Siti Jenar sifat tadi hampir tidak tampak. Siti Jenar terutama dikisahkan sebagai seorang yang mandiri, akal bebas yang tidak menghiraukan raja maupun hukum agama; tak ada sesuatu pun yang menghalanginya menarik kesimpulan dari ajarannya. Dengan demikian ia menjadi wali yang paling digemari rakyat dan yang riwayatnya masih hidup di tengah-tengah orang Jawa.”

Serat Syaikh Siti Jenar Lanjutan

 

Sesungguhnya Ingsun (saya) inilah Allah. Nyata Ingsun yang sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya yang disebut Allah.

Jika ada seseorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain Allah, maka ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.

Allah itu adalah keadaanku, lalu mengapa kawan-kawanku sama memakai penghalang? Dan sesungguhnya aku ini adalah haq Allah pun tiada wujud dua; saya sekarang adalah Allah, nanti Allah, dzahir bathin tetap Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?.

Sebenarnya keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh.

Saya ini adalah Tuhan. Ya, betul betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada tuhan yang lain selain saya.

Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi semuanya sama. Tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.

Bahwa sesungguhnya, lafadz Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak akan membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan Muhammad Rasulullah.

Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah. Lain jika kita sejiwa dengan Dzat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, Maha Sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdahniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia  abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpit, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan. Dia itu yang bersatu padu dengan wujud saya. Tiada susah payah, kudrat dan kehendak-Nya, tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan saya menjumpai ia sudah ada di sana.

Syeikh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku sendiri, Muhammad ya aku sendiri, Asma Allah itu sesungguhya diri ku, ya akulah yang menjadi Allah ta’ala.

Jika Anda menanyakan di mana rumah Tuhan, maka jawabnya tidaklah sukar. Allah berada pada Dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu berada dalam tubuh manusia. Tapi hanya orang yang terpilih saja yang bisa melihatnya.

Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya Ingsun ini kesejahteraan kehidupan, engkau sejatinya Allah, ya Ingsun sejatinya Allah; yakni wujud yang berbentuk itu sejati itu sejatinya Allah, sirr (rahasia) itu Rasulullah, lisan (pengucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sirr Allah, rasa Allah, rahasia rasa kesejatian Allah, ya Ingsun (aku) ini sejatinya Allah.

Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri, tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tidak diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu berdiri sendiri.

Dzat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat dilaksanankan dengan tepat, apalagi dua, cobalah untuk memisahkan Dzat wajibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain.

Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini adalah baka bersifat abadi, tanpa antara tiada erat dengan sakit apapun rasa tidak enak, ia berada baik disana, maupun di sini, bukan ini bukan itu. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru.

Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Di manakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingilah cakrawala dunia, membubunglah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang mulia.

Kemana saja sunyi senyap adanya; ke Utara, Selatan, Barat, Timur dan Tengah, yang ada di sana hanya adanya di sini. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada dalam diriku adalah hampa dan sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekkah dan Madinah.

Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas, dan bukan kekosongan atau kealpaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air, dan udara kembali ke tempat asalnya, sebab semuanya barang baru bukan asli.

Maka saya ini Dzat sejiwa yang menyatu, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat Jalal dan Jamal, artinya Maha Mulia dan Maha Indah. Ia tidak mau sholat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintah untuk shalat kepada siapapun. Adapun shalat itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan dituruti, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika dituruti tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.

Syukur kalau saya sampai tiba di dalam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam kematian. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini dan itu.

Menduakan kerja bukan watak saya. Siapa yang mau mati dalam alam kematian orang kaya akan dosa. Balik jika saya hidup yang tak kekak ajal, akan langeng hidup saya, tidak perlu ini dan itu. Akan tetapi saya disuruh untuk memilih hidup atau mati saya tidak sudi. Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan.

Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat indah, manusia sejati adalah yang sudah meraih ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya, menyebutnya mati berarti syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia memboyong kratonnya.

Aku angkat saksi dihadapan Dzat-KU sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku. Dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-KU, sesungguhnya yang disebut Allah adalah Ingsun (aku) diri sendiri. Rasul itu rasul-KU, Muhammad itu cahaya-KU, aku Dzat yang hidup yang tak kena mati, Akulah Dzat yang kekal yang tidak pernah berubah dalam segala keadaan. Akulah Dzat yang bijaksana tidak ada yang samar sesuatupun, Akulah Dzat Yang Maha Menguasai, Yang Kuasa dan Yang Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benderang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanyalah aku yang meliputi sekalian alam dengan kudrat-KU.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah keberadaan Allah. Disebut Imannya Iman.

Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah tempat manunggalnya Allah. Disebut Imannya Tauhid.

Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah sifatnya Allah. Disebut Imannya Syahadat.

Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kewaspadaan Allah. Disebut Imannya Makrifat.

Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah menghadap Allah. Disebut Imannya Shalat.

Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kehidupannya Allah. Disebut Imannya Kehidupan.

Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kepunyaan dan keagungan Allah. Disebut Imannya Takbir.

Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, sebab engkau adalah pertemuan Allah. Disebut Imannya Sadekah.

Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kesucian Allah. Disebut Imannya Kematian.

Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, sebab engkau adalah wadahnya Allah. Disebut Imannya Junub.

Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah bertambahnya nikmat dan anugrah Allah. Disebut Imannya Jinabat.

Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah asma Nama Allah. Disebut Imannya Wudlu.

Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah ucapan Allah. Disebut Imannya Kalam.

Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah juru bicara Allah. Disebut Imannya Akal.

Jangalah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah wujud Allah, yaitu tempat berkumpulnya seluruh jagad alam mayapada, dunia akhirat, surga neraka, arsy kursi, loh kalam, bumi langit, manusia, jin, iblis laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya jantung, yang disebut alam khayal (ala al-khayal). Disebut Imannya Nur Cahaya.

Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesatuan, yang beraneka ragam.

Iradat artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari panca indra bagaikan anak panah lepas dari busur .

Inilah maksudnya syahadat: Asyhadu berarti jatuhnya rasa, Ilaha berarti kesetian rasa, Ilallah berarti bertemunya rasa, Muhammad berarti hasil karya yang maujud dan Pangeran berarti kesejatian hidup.

Mengertilah bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tahu maka sakaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan.

Syahadat Allah, Allah badan lebur menjadi nyawa, nyawa lebur menjadi cahaya, cahaya lebur menjadi roh, roh lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggalah hanya Allah semata yang abadi

Syahadat Aning Ingsun, Asyhadu keberadaan-KU, La Ilaha bentuk wajahku, Ilallah Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya.

Syahadat Panetap Panatagana yaitu, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna.

Kenikmatan mati tak dapat dihitung, tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patihnya, justru bagi ilmu orang remeh…..

Segala sesuatu yang wujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.

Shalat lima kali sehari adalah pujian dan dzikir yang merupakan kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.

Pada permulaan saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak, lain dengan Dzat Maha yang bersama diriku, jadi.., saya inilah Yang Maha Suci, Dzat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.

Syahadat, shalat, dan puasa itu adalah amalan yang tidak diinginkan, oleh karena itu tidak perlu dilakukan. Adapun zakat dan naik haji ke Makkah, keduanya adalah omong kosong. Itu semua adalah palsu dan penipuan terhadap sesama manusia. Menurut para ulama bila manusia melakukannya maka dia akan dapat pahala itu adalah omong kosong, mereka adalah orang yang tidak tahu.

Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di masjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi hitam, rambut memutih. Sesungguhnya hal itu tidak masuk akal. Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada bedanya satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal, saja, yaitu Gusti Dzat Maulana.

Gusti Dzat Maulana. Dialah yang luhur dan sangat sakti, yang berkuasa Maha Besar, lagi pula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas segala kehendak-Nya. Dialah Maha Kuasa pangkal mula segala ilmu, Maha Mulia, Maha Indah, Maha Sempurna, Maha Kuasa, Rupa warna-nya tanpa cacat, seperti hamba-Nya. Di dalam raga manusia ia tiada tanpak. Ia sangat sakti menguasai segala yang terjadi, dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngindraloka.

Hyang Widi, wujud yang tak tampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, sperti penampakan raga yang tiada tanpak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus menerus, menggambarkan kenyataan tiada dusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yang meniadakan permulaan, karena asal diri pribadi.

Mergertilah bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tahu maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan.

Syekh Siti Jenar mengetahui benar di mana kemusnahan anta ya mulya, yaitu Dzat yang melanggengkan budi, berdasarkan dalil rama itu, ialah dalil yang dapat memusnahkan beraneka ragam selubung, yaitu dapat lepas bagaikan anak panah, tiada dapat diketahui di mana busurnya. Syari’at, tarekat, hakekat, dan ma’rifat musnah tiada terpikirkan. Maka sampailah Syekh Siti Jenar di istana sifat yang sejati.

Kematian ada dalam hidup, hidup ada dalam mati. Kematian adalah hidup selamanya yang tidak mati, kembali ke tujuan dan hidup langgeng selamanya, dalam hidup ini ada surga dan neraka yang tidak dapat ditolak oleh manusia. Jika manusia masuk surga berarti ia senang, bila manusia bingung, kalut, risih, muak, dan menderita berarti ia masuk neraka. Maka kenikmatan mati tak dapat dihitung.

Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan panca indera. Panca indera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh yang mempunyai, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu panca indera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari panca indera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa, tidur dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak kita berbuat dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki juga akan menimbulkan kejahatan, kesombongan yang pada akhirnya membawa manusia ke dalam kenistaan dan menodai citranya. Kalau sudah sampai sedemikian parahnya, biasanya manusia baru menyesali perbuatannya.

Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, dan sumsum bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya. Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, ditutupi akhirnya kena debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, apakah para wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini adalah baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru.

Segala sesuatu yang terjadi di alam ini pada hakekatnya adalah perbuatan Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakekatnya adalah dari Allah juga. Jadi sangat salah besar bila ada yang menganggap bahwa yang baik itu dari Allah dan yang buruk adalah dari selain Allah. Oleh karena itu Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar diri manusia. Misalnya saat manusia menggoreskan pensil, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yaitu kemampuan gerak pensil. Tanah yang terlempar dari tangan seseorang itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan seseorang, ”maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah yang melempar ketika engkau melempar.

Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi rusak dan bercampur tanah. Ketahuilah juga bahwa apa yang dinamakan kawulo-gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawulo dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-gusti itu belaku, yakni selama saya mati. Nanti kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawulo lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Anda sendiri. Bial kamu belum menyadari kata-kataku, maka dengan tepat dapat dikatakan bahwa kamu masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan yang bermacam warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat panca indera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gila saja orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian, satu-satunya yang ku usahakan ialah kembali kepada kehidupan

Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsupun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan, penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, nafsu terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru.

Bumi, langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberi nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.

Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir........ yang tidak memiliki apa-apa maka tidak akan pernah kehilangan apa-apa.

Gus Dur Tentang Syaikh Siti Jenar


Gus Dur, ketika memberikan kata pengantar buku yang ditulis Alwi Shihab. Khususnya tentang ajaran wahdatul wujud yang dianut oleh Syekh Siti Jenar. Alwi Shihab yang mengatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara, yang dilakukan oleh para ulama pesantren dengan menggunakan pendekatan Tasawuf Sunni, sebagai pegangan penyebaran agama Islam, beberapa abad lalu. Adalah bentuk dakwah mereka dalam melawan kaum kebatinan, yang dalam budaya Jawa dikenal dengan nama Kejawen.

Sebagai bukti sejarah atas penentangan tersebut, disebutkan oleh Alwi Sihab bahwa Syekh Siti Jenar sebagai seorang yang menyimpang dari tasawuf sunni, karena mengamalkan paham wahdatul wujud. Sehingga karena hal tersebut, Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh para Wali Songo. Dan mereka yang mengikuti pandangan Syekh Siti Jenar, pada akhirnya mengembangkan paham kebatinan atau kejawen.

Tetapi Gus Dur menolak anggapan tersebut, hal itu didasari karena memang sejarah hukuman mati Syekh Siti Jenar mempunyai banyak tafsir yang berbeda-beda. Jika Alwi Shihab menganggap bahwa para ulama Nusantara menentang paham kebatinan atau kejawen. Maka para ulama tersebut telah menentang salah satu bentuk dari wahdatul wujud (pantheisme/manunggaling kawulo gusti).

Dalam hal tersebut, Gus Dur mempunyai pandangan bahwa hukuman mati yang dijatuhkan oleh Wali Songo kepada Syekh Siti Jenar, bukan karena beliau berpaham Wahdatul Wujud. Tetapi karena beliau mengajarkan Wahdatul Wujud kepada banyak orang, termasuk orang awam. Gus Dur beranggapan bahwa dosa Syekh Siti Jenar bukan pada penerimaannya tentang Wahdatul Wujud, tetapi Karena terlalu gegabah dalam mengajarkan paham tersebut dikalangan orang banyak.

Gus Dur yang lahir dari akar tradisi pesantren, dan mengetahui seluk beluk kultural ulama Nusantara. Dan beranggapan bahwa ulama tradisionalis Indonesia, banyak yang mengambil ajaran Wahdatul Wujud, tetapi untuk dirinya sendiri. Hal itu dikarenakan mereka telah menguasai syariat atau fikih. Para ulama tradisional Indonesia menolak penyebaran Wahdatul Wujud dikalangan awam, tetapi bagi kepentingan diri sendiri banyak para ulama yang sudah pada Maqomnya mengamalkan itu, dan mereka menjalankan amalan itu secara tertutup.

Salah satu ajaran Wahdatul Wujud yang digunakan adalah Wahdatul Syuhud. Sebuah ajaran untuk mengetahui sesuatu yang belum terjadi, atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan Weruh Sedurunge Winarah.

Serat Gatholoco

Ki Ageng Kasan Besari Ponorogo bertanya, Kamu menjalankan shalat? 

Gatholoco pelan menjawab, Shalatku langgeng tiada terputus

Sujud-ku Sujud Ingat (Maksudnya Kesadaran yang terus menerus), Kiblat-ku Pusat Semesta (Maksudnya focus penyembahan adalah Inti Dunia dan Inti Makhluk, tak lain adalah Brahman/Tuhan), Sujud-ku diiringi dengan Nafas (Maksudnya Kesadaran ini saat Ruh terikat badan materi, sangat terkait dengan nafas. Pengendalian nafas mampu mengendalikan Kesadaran juga. Nafas dan Kesadaran, saat badan materi masih membelenggu Ruh, tidak bisa dipisahkan), 

Nafas-ku keluar dari ubun-ubun (Nafas yang dikendalikan seolah bukan keluar masuk dari hidung lagi, tapi seolah-olah keluar masuk dari ubun-ubun, menyatu dengan Kesadaran), 

Shalatku menghadap kepada Tuhan, keluar dari otakku.

Serat Ki Ageng Suryomentaram


Kawruh Jiwa

Adalah sebuah kesalahan ketika ajaran Kawruh Jiwa dianggap sebagai pendekatan yang bersifat doktriner atau sebuah “Mantra Suci”. Yang lebih penting di sini adalah ketulusan maksud dari para pembelajar, begitu juga bagi pengajarnya. Ki Ageng Suryomentaram tidak ingin ajarannya mengebiri semangat atau menimbulkan fanatisme pada para pengikutnya; dia ingin nasihat-nasihatnya tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan mental mereka. Sementara pengetahuan tentang sistem filosofi atau keyakinan dalam ajaran kebatinan justru menghambatnya.

Meski Ki Ageng sering kali membuat (pernyataan) serangan-serangan terhadap irasionalitas yang diajarkan dalam kebatinan, dan secara terang-terangan memisahkan dirinya dari kecenderungan tersebut, namun dia (ternyata) tidak bisa sepenuhnya menghindari penilaian yang menganggap bahwa gerakan Kawruh Jiwa juga sebuah aliran di mana dia sendiri bertindak sebagai seorang guru.

Ajarannya disampaikan melalui ceramah-ceramah di hadapan para peserta yang duduk “lesehan” (Jawa: duduk di atas lantai/tanah)….’

Bener luput ala becik lawan begja

Cilaka apan saking

Ing badan priyangga

Dudu saka wong liya

Pramila den ngati-ati

(pupuh VII, durma 3)

Benar atau salah, keburukan atau kebenaran, juga kebahagiaan Atau kemalangan, penyebabnya ditemukan Dalam tiap-tiap diri kita Dan bukan dalam diri orang lain Maka dari itu kita mesti berhati-hati

Ki Ageng Suryomentaram tidak ingin menganggap dirinya sebagai seorang guru dengan ajaran yang sarat akan misteri dan magis, yang membuat para muridnya terjebak dalam penipuan diri dan diliputi harapan-harapan palsu.

Apakah mungkin memberikan definisi kebatinan untuk ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram jika dalam ajarannya sendiri Tuhan dianggap sekadar kebetulan/kurang penting?

Dalam cara berpikir Jawa, apakah Tuhan atau Manusia yang menempati posisi terpenting? Tentu saja Manusia.    Meskipun para spiritualis telah meminjam (gagasan) dari agama Hindu atau Buddha, dari mistisisme Islam atau beberapa ajaran teosofi (bahkan kadang-kadang dari ilmu kedokteran), teori-teori tersebut pada akhirnya bersumber dari sebuah dorongan psikologis tunggal: Jiwa adalah korban dari sebuah kebingungan yang hebat, sasaran dari sebuah kecemasan dasar (fundamental anxiety), yang mesti diatasi sebelum keselarasan batin dan pemenuhan psikologis dapat ditemukan (atau sebuah kondisi kekosongan: Sunya). 

Ini adalah pendekatan yang sepenuhnya bersifat individual, yang terbagi ke dalam tahapan-tahapan yang berbeda (yang sama banyaknya dalam pemikiran Ki Ageng Suryomentaram), masing-masing di antara tahapan-tahapan itu mewakili beberapa jenis kemajuan dalam mencapai Kebenaran, yaitu suatu langkah yang lebih maju dalam upaya seseorang untuk menemukan kebebasan. 

Pada saat yang bersamaan tahapan-tahapan tersebut merupakan semacam “pemusatan psikologis” di mana tujuan utamanya adalah kedamaian spiritual. 

Selubung harus disibakkan, penutup harus disingkirkan, sebelum kebenaran itu muncul. Dan kebenaran itu adalah, sebagaimana yang disebut Suryomentaram sebagai Aku, pengalaman mistik tentang kehadiran yang ilahiah.

Ajaran penting Ki Ageng Suryomentaram lainnya adalah sebagai berikut: “Tidak ada sesuatu pun di atas bumi dan di kolong langit ini yang pantas untuk dikehendaki dan dicari, atau sebaliknya, ditolak secara berlebihan.”

Oleh karena itu, mencari dan mencapai kesempurnaan (kasempurnan) merupakan tindakan yang absurd/sia-sia dalam hidup ini, jika hanya berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah kematian. 

Hidup yang sempurna tidak akan pernah ada; hidup semacam itu hanya terjadi dalam imajinasi kita, imajinasi yang berupaya menutupi hasrat yang tak terpuaskan atas kebahagiaan yang abadi. Oleh karena itu, Ki Ageng Suryomentaram melawan takhayul dan kepercayaan religius yang berupaya menghidupkan harapan-harapan tersebut (“takhayul adalah menghubung-hubungkan antara sebab-sebab dan akibat-akibat yang sebetulnya tidak memiliki hubungan”).

Ki Ageng Suryomentaram berpendapat ajaran guru kebatinan itu aneh, ia juga mencela kepercayaan yang ditujukan sebagian orang terhadap dukun, dan menolak praktik-praktik puasa, pantang terhadap seks, dan seterusnya sebagai hal yang tidak alamiah.

Wejangan Bahagia Ki Ageng Suryomentaram

WEJANGAN ILMU BAHAGIA  Ki Ageng Suryomentaram

Di atas bumi dan di kolong langit ini tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian manusia itu tentu berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak atau dihindarinya. Bukankah apa yang dicari atau ditolaknya itu tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu, pasti ia mengira atau berpendapat bahwa "jika keinginanku tercapai, tentulah aku bahagia dan senang selamanya; dan jika tidak tercapai tentulah aku celaka dan susah selamanya".

Pendapat di atas itu teranglah keliru. Bukankah sudah beribu-ribu keinginannya yang tercapai, namun ia tetap saja tidak bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi? Juga sudah beribu-ribu keinginannya yang tidak tercapai, namun ia tetap saja tidak celaka, melainkan bersusah hati sebentar kemudian senang kembali. Jadi pendapat bahwa tercapainya keinginan menyebabkan rasa bahagia atau tidak tercapainya keinginan menyebabkan rasa celaka, jelaslah keliru. Tetapi setiap keinginan pasti disertai pendapat demikian.

Sebagai contoh, ketika orang berkeinginan sesuatu, misalnya berhajat mengawinkan anaknya, dan karena ia tidak punya cukup uang, ia akan mencari pinjaman.Di dalam mencari pinjaman itu ia merasa: "Jika usahaku untuk mencari pinjaman ini tidak berhasil, pastilah aku celaka dan merasa malu selamanya". Andaikata ia gagal memperoleh pinjaman, ia tidak akan merasa celaka, melainkan hanya merasa malu sebentar. Kemudian setelah merasa susah karena ia tidak dapat mengundang siapa pun, tidak dapat menanggap (mempertunjukan) wayang dan tidak dapat mengadakan janggrungan (tarian bersama antara penari-penari dan tetamu-tetamu dalam pesta perjamuan orang Jawa), ia pun akan merasa senang lagi, bahkan lega hatinya."Wah, untunglah usahaku mencari hutang tempo hari tidak berhasil. Andaikata aku berhasil, pasti sekarang ini aku akan kelabakan (gelisah) mencari uang untuk membayar hutang itu kembali." Demikianlah, maka jelaslah bahwa tidak tercapainya keinginan tidak menyebabkan orang merasa celaka.

Demikian juga keinginan yang tercapai tidak menyebabkan orang merasa bahagia. Misalnya orang berhasrat keras untuk kawin. Ia merasa: "Jika si Anu itu menjadi suami/isteriku, berbahagialah aku." Dibayangkannya: "Jodohku itu akan kugandeng selama tiga tahun tanpa kulupakan." Tetapi bila hasrat kawinnya itu benar-benar terlaksana, ia pun tidak akan sungguh-sungguh bahagia, melainkan hanya senang sebentar dan kemudian susah lagi. Bahkan sering terjadi dalam perkawinan bahwa sesudah seminggu saja sudah terjadi pertikaian.

Jadi teranglah bahwa jika keinginan itu tercapai maka hal itu tidak menyebabkan bahagia dan jika tidak tercapai, tidak pula menyebabkan celaka. Kenyataannya ialah bahwa senang dan susah itu tidak berlangsung terus menerus. Sepanjang hidup manusia sejak masa kanak-kanak sampai tua, ia belum pernah mengalami senang selama tiga hari tanpa susah, atau mengalami susah selama tiga hari tanpa senang.

Serat Centhini

Serat Centhini - Kekasih Yang Tersembunyi

Menjelang abad XXI, seorang terpelajar, yang saat itu menjadi Duta Besar Prancis di Indonesia, berupaya mencari satu kembang sakti asli Jawa. Suatu hari, ketika makan siang di kediamannya, salah seorang tamunya, Elizabeth D. Inandiak, bercerita tentang Wijayakusuma, bunga yang hanya mekar di tengah malam, menebarkan wangi ilahi, lalu layu sebelum subuh. Kembang ini, demikian kata sang tamu, tampil dalam tembang terakhir Serat Centhini, tembang ke 722, ketika Amongraga dan istrinya yang sudah berubah menjadi cacing, dibakar oleh Sultan Agung, diletakkan dalam kelopak Wijayakusuma sebelum ia makan. Terpesona oleh kisah Serat Centhini, orang terpelajar tadi segera menugasi tamunya menerjemahkan serta menyusun kembali Suluk Adiluhung Jawa itu ke dalam bahasa Prancis.

Mulailah Inandiak bekerja. Tidak sebagai pakar bahasa Jawa -ia memang tidak punya keahlian itu- tetapi sebagai seorang petualang dan pecinta Jawa. Ia tidak langsung tenggelam dalam 4000 halaman Serat Centhini yang asli. Ia pergi keliling Pulau Jawa selama beberapa minggu untuk bertemu dengan para sastrawan, dalang, kyai, juru kunci, seniman dan petani untuk mengumpulkan pandangan mereka terhadap Serat Centhini di awal abad dua puluh satu.

Inandiak bertemu dengan Onghokham, sejarawan yang menunjukkan tali persaudaraan yang tak terduga dengan menyatakan dalam bahasa Perancis: “Centhini, c’est Rabelais ! ” (Centhini adalah Rabelais !). Lahir tahun 1494, rahib ordo Fransiskan yang kemudian pindah menjadi Benediktian dan lalu menanggalkan ikrar kerahibannya untuk menjadi penyair gelandangan dan dokter, Rabelais adalah penulis yang paling memperkaya bahasa Perancis dengan penemuan tata bahasa dan kosakata yang menggugah. Demikian pula Serat Centhini adalah karya sastra Jawa yang memperlihatkan kosakata yang paling kaya. Buku-buku Rabelais tidak mengenal batasan antara dunia awam dan dunia keramat, antara yang ilmiah dan rakyat, yang halus dan kasar. Kentut pun dijadikan sesuatu yang bersifat pembebasan, sama dengan Semar, dan memang, pada suatu kesempatan Inandiak meminjam kentut itu dari keduanya demi mengabdi pada Centhini.

Penyair Suryanto Sastro Atmodjo bercerita bagaimana kakeknya, Kanjeng Panembahan Adipati Puger IV, bekas bupati Lumajang, mempunyai buku besar Centhini, dan bagi beliau setiap makan malam adalah satu malam pergelaran, karena "Allah memberi manusia irama dan keindahan ”. Eyangnya mengundang tiga pemain musik untuk memainkan celempung, gambang dan semacam gambus yang dawainya dibuat dari kawat lokomotif uap kuno dari tahun 1870, dan beliau menyuruh mereka menembangkan beberapa pupuh dari Centhini.

Inandiak juga bertemu Gus Dur yang menyatakan bahwa Serat Centhini bukan milik khusus orang Jawa, tetapi juga dikenal di Madura, di pesantren-pesantren, terutama di Sumenep. Di sana ada satu variasi Centhini yang ditulis dalam bahasa Jawa tetapi dengan huruf Arab dan berjudul : “Pamongrogo dan Pamongroso”. Kata Gus Dur, setahun sekali, radio setempat menyiarkan pembacaan « Pamongrogo dan Pamongroso » semalam suntuk.

Pengembaraan Centhini membawa Inandiak sampai ke Paris, ke sebuah disertasi filsafat, yang dipertahankan pada tahun 1956 di Universitas Sorbonne, oleh Dr. Mohammed Rasjidi. Beliau pernah menjadi menteri agama di bawah pemerintah Sukarno dan juga pernah kuliah di Kairo, di Universitas Al-Azar, di fakultas theologi. Disertasinya dalam bahasa Perancis berjudul : “Considérations critiques du Livre de Centhini” (Pertimbangan kritis tentang Centhini) dan awali dengan kata-kata berikut : "Ilmu yang kita lihat berkembang di Jawa adalah ilmu kesempurnaan yang juga dikenal sebagai ilmu kebahagiaan dan yang dicari para ilmuwan dan sastrawan, baik yang tekun beribadah maupun yang menjauhinya. Orang yang saleh lebih suka tidak berbicara sama sekali tentang ilmu itu dan hanya menyebutnya dengan waspada, karena sering yang berhubungan dengan ilmu itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Adapun saya, saya ingin mengetahui...

Rencana semula adalah untuk mulai dengan terjemahan Serat Centhini secara harafiah dari bahasa Jawa ke Indonesia, lalu dari bahasa Indonesia ke Perancis. Tetapi Inandiak terbentur kesulitan yang cukup aneh: bagi beberapa ahli Jawa, Serat Centhini adalah suatu karya yang terlalu suci untuk diterjemahkan, sedang bagi ahli-ahli yang lain, Serat Centhini terlalu kotor. Demikianlah, rupanya kerokhanian yang terlalu tinggi dan seks yang terlalu kasar telah menghalangi penerjemahan sesuatu karya yang patut dihormati.

Serat Centhini ditulis terutama untuk ditembangkan. Dalam sastra Jawa kuno, suara turun pada penyair bagai suatu wahyu yang datang lebih dulu, baru kemudian datanglah irama dan nada menemani si pujangga memasuki kata-kata satu per satu. Penyesuaian antara irama, macapat dan gema kata-kata itulah yang melahirkan makna tembang dan keindahannya. Kalau wahana musiknya dihilangkan, tulisan hanya merupakan kata-kata yang kacau maknanya, meragukan dan keindahannya terkhianati. Di samping itu, di dalam syair-syai kasar, kekotoran kata dihalau terbang oleh keanggunan tembangnya. Justru persekutuan antara lumpur dan emas itulah yang menciptakan watak dan sosok yang luar biasa serta khas Serat Centhini. Kalau tembang dihilangkan, para pembaca akan tercebur di dalam lubang comberan kata-kata dan amblas ke dalam lumpur untuk selamanya.

Setelah empat tahun kerja, seribu halaman yang telah diterjemahkan dengan susah payah ke dalam bahasa Perancis barulah merupakan rawa luas, yang dari dalamnya sekarang harta-karun harus diambil untuk diuntai kembali dalam kisah yang mempesona. Untuk itu, Inandiak mendengarkan selama berjam-jam syair-syair Centhini yang ditembangkan oleh teman, agar raga dan bahasa saya digurat-gurat dan ditandai olehnya. Lalu, pada suatu hari, muncul kenyataan yang jelas sekali dan sangat sederhana : Serat Centhini, kehidupan Inandiak, dan kehidupan semua penyair Jawa sejak berabad-abad, menyatu. Semua yang pernah Inandiak alami di Jawa dan di tempat lain di bumi, ada dalam karya yang janggal, ajaib, dan raksasa itu, yang kelihatannya begitu cerai-berai, namun intinya begitu sempurna. Ia seakan ingin mencebur ke sungai yang luas, membiarkan diri ditelan oleh tembang-tembang dan lenyap dalam banjir cahaya roh para penyair yang telah wafat, terikat dengan silsilah mereka secara penuh rahasia.

Dari 722 pupuh asli Serat Centhini, hanya 16 pupuh pertama yang berupa tembang perang. Perang itu dipimpin oleh Endrasena, seorang pemuda Cina yang masuk Islam, anak angkat Sunan Giri. Ia ditembak mati di medan pertempuran, dan inilah yang menandai awal pengembaraan batin Amongraga, kakak tiri Endrasena, asli Jawa, putera mahkota Giri, yang menentang perang. Amongraga pergi mencari damai yang luas menghijau, yaitu lenyap dalam Allah atau moksa.

Amongraga dijatuhi hukuman mati oleh para ulama Sultan Agung, karena bid’ah, seperti seorang sufi yang terkenal dari Bagdad, Hallaj, atau Siti Jenar di Jawa. Tetapi Amongraga akan lahir kembali di dalam “ dunia terbalik ” dan meneruskan pengembaraan yang tidak dapat dilawan.

Dalam diri dua kakak-adik yang berlawanan, bisa kita melihat terlaksananya takdir yang tunggal dan sama, yang mencerminkan hadis Nabi Muhammad SAW sepulang dari suatu pertempuran : “ Kita baru pulang dari jihad kecil, sekarang mulailah jihad besar kita. ” Jihad besar adalah perang melawan semua nafsu dan ego, begitu banyak roh jahat di dalam batin kita sendiri yang menyerbu kita tak henti-hentinya. Jika demikian, barangkali pengembaraan luar biasa Serat Centhini adalah untuk menyingkap dengan perlahan-lahan cadar jihad besar itu, yang pertempurannya yang paling berbahaya adalah menempuh asmara antara kekasih dan terkasih dalam senggama.

Selama menyusun kembali tembang-tembang itu ke dalam bahasa Perancis, satu pertanyaan menghantui Inandiak : kenapa karya sastra Jawa yang terbesar ini diberi julukan nama seorang pembantu, Centhini ? Seolah-olah kalbu syair Jawa agung itu adalah aku, si pelayan yang penuh pengabdian, karena aku ternyata merupakan satu-satunya yang cukup rendah hati sehingga berhasil dalam pencarian tertinggi yang dikejar Amongraga. Aku, Centhini, begitu melupakan diriku sendiri dan begitu mengabdi kepada para majikanku sehingga aku akhirnya memudar, padu lebur dan larut, lenyap dari syair, pulang ke zatku yang sejati, Ilahi.

Paguyuban Sumarah

 

Manusia menurut ajaran Sumarah terdiri dari: badan wadah (jasmani), badan nafsu, dan jiwa (roh). Badan wadah, merupakan unsur jasmani atau fisik manusia yang tersusun dari empat anasir, yaitu tanah, air, dan udara. Badan nafsu (emosional body) merupakan percikan Tuhan dengan perantara iblis. Menurut ajaran Sumarah, manusia memiliki empat macam nafsu, pertama nafsu mutmainah, sebagai sumber semua perbuatan baik dan alat untuk menemukan Tuhan. Kedua, nafsu Amarah, yaitu sumber kemarahan dan kedurhakaan. Ketiga, nafsu Suwiyah, merupakan sumber erotik, pengundang birahi. Dan keempat, nafsu Lawamah, sumber egoisme dalam diri manusia.

Disamping kelengkapan nafsu, manusia juga memiliki jiwa atau roh yang berasal dari Roh Suci (Tuhan). Rasa (dzauq) sangat terkait dengan jiwa, terdapat di dalam dada. Di dalam dada jantung, di dalam jantung terdapat Masjidil Haram, tempat Baitullah. di dalam Baitullah terdapat budi, nur. Dengan demikian, hakekat manusia bukan hanya wujud jasmani saja, tetapi juga memiliki wujud gaib dan wujud yang gaib lagi.

Badan jasmani dengan alat kelengkapannya, termasuk dalam dunia yang tampak atau alam wadag. Jiwa dan rasa termasuk dalam alam gaib yang dianggap lebih luas daripada dunia yang tampak ini. Alam tempat qolb disebut alam gaib yang lebih luas lagi bahkan yang terluas, yang meliputi alam wadag dan alam gaib. Alam ini disebut juga alam bayangan, yang terletak kira-kira di dalam jantung.

Manusia dalam hidup sehari-hari digambarkan sebagai sebuah Negara lengkap dengan aparat pemerintahannya. Jiwa berfungsi sebagai kepala Negara dan empat nafsu sebagai kabinetnya. Dewan perwakilan terdiri dari malaikat Jibril dan Ijajil, dan jantung berfungsi sebagai kantor pusat pemerintahan. Melalui pembuluh darah, kantor pusat dapat berhubungan dengan seluruh bagian. Otak berfungsi sebagai kantor telekomunikasi, hati sebagai pusat distribusi, dan perut sebagai pabrik segala makanan. Pembuluh darah sebagai jalan lintas, dimana sel-sel darah sebagai pegawai negeri dan sel darah putih sebagai tentara dan polisi.

Meskipun jiwa berfungsi sebagai kepala Negara tapi dalam pelaksanaannya dia tidak mempunyai kekuasaan. Keempat mentri itulah yang menguasai pemerintahan. Sikap manusia tergantung dari sifat dominan keempat nafsu yang ada. Jika seseorang meninggal dunia tetapi jiwanya belum bersih, karena masih dilekati hawa nafsu, maka rohnya mengembara dan selalu tertarik kepada hidup duniawi. Roh yang mengembara, jika menjumpai sepasang lelaki perempuan yang sedang bercinta kasih, maka roh itu segera masuk ke dalam kandungan wanita itu. Demikianlah cara kelahiran kembali (reinkarnasi) dalam konsep Paguyuban Sumarah.

Sumarah merupakan filsafat hidup dan suatu bentuk meditasi. Dalam praksisnya, meditasi Sumarah mengembangkan kepekaan dan penerimaan melalui relaksasi tubuh, perasaan dan pikiran, agar tercipta ruang di dalam diri, batin dan kesunyian. Tujuannya tak lain untuk mewujudkan jati diri. Pada dasarnya, menurut Paguyuban Sumarah, meditasi adalah sebuah alat untuk membantu kita berjalan di dunia dan melalui hidup dengan cara terbaik. 

Tapi yang dilakukan Paguyuban Sumarah, berbeda dengan meditasi pada umumnya, sebagaimana terdapat dalam agama dan kepercayaan lain. Tidak ada peran tetap, seperti cara tertentu pernapasan, teknik untuk membantu konsentrasi, posisi spesifik untuk terus, sambil meditasi dan sebagainya. Meditasi Sumarah hanya didasarkan pada penerimaan apa adanya. Maksudnya, berawal dari penerimaan bahwa kita tidak akan pernah menjadi sempurna dan bahwa kita akan selalu melakukan kesalahan. Hal ini mengajarkan bahwa komitmen diperlukan, tetapi upaya yang berlebihan tak bukan hanyalah wajah lain dari ambisi kami.

Paguyuban Sumarah berpandangan, hidup adalah gerakan yang berkelanjutan dan perubahan realitas sepanjang waktu. Karenanya, kita harus belajar untuk tahu dan menghargai apa yang ada bagi kita, dan dalam waktu yang sama untuk tidak terlalu melekat padanya. Sumarah tidak menawarkan solusi, tidak menjanjikan keselamatan, tidak menjamin kesuksesan.

Meditasi Sumarah adalah jalan, alat hidup, untuk hidup dan dalam kehidupan, bukan tujuan itu sendiri. Jadi, meditasi diibaratkan suatu alat yang membantu kita menuju ke suatu tempat. Begitu kita sampai di tujuan, maka alat tersebut harus kita lepaskan.

Praktek Sumarah tidak mengajarkan isolasi atau menghindari hal-hal duniawi. Sebaliknya hal itu mengajarkan kita untuk menerima hidup dalam totalitasnya, membenamkan diri di dalamnya untuk baik dan buruk. Inilah sebabnya mengapa Sumarah suka menggunakan ungkapan rame tapa, mundur bising, cara untuk belajar praktek yang benar perdamaian di tengah medan perang dan diam di tengah-tengah kebingungan bising.

Sumarah membagi meditasi menjadi dua, yakni meditasi khusus dan harian. Yang pertama, disebut khusus untuk membedakannya dari kehidupan normal sehari-hari. Ini adalah waktu tertentu di mana kita duduk, santai dan terbuka untuk menerima energi ilahi. Ini adalah kesempatan untuk latihan dan melepaskan ketegangan dan pikiran. Membiarkan diri kita menyadari perasaan dan melepaskan konsep-konsep yang terlalu sering merupakan kendala bagi pengembangan diri sebenarnya.

Tapi meski disebut khusus, tetap saja tak ada aturan baku terhadap meditasi ini. Semua diserahkan kepada masing-masing individu, berapa kali atau berapa lama dalam sehari ia perlu melakukan meditasi. Di sisi lain, meditasi harian adalah upaya memertahankan meditasi khusus. Dengan cara ini manusia belajar melihat kualitas luar biasa saat-saat biasa dan kualitas biasa saat-saat yang luar biasa. Biasanya antara meditasi khusus dan harian ada jurang yang nyata. Karenanya, praktek adalah tepat tentang mengurangi kesenjangan tersebut.

Keinklusifan cara meditasi Sumarah juga didasarkan atas kritiknya terhadap meditasi pada umumnya. Umumnya, para penganut agama atau kepercayaan tertentu menggunakan meditasi sebagai pelarian dari kenyataan setiap kali menemukan hal-hal yang tak disukai, saat dalam kesukaran atau takut pada malapetaka. Selain itu meditasi menjadi terlalu terikat dengan sebuah negara interior yang dengan mudah berubah menjadi kepuasan diri.

Sebaliknya, meditasi dalam kondisi sulit dan tidak menguntungkan, dalam keheningan maupun keramaian adalah pelatihan yang sangat baik. Setelah kita telah dalam gelap untuk sementara waktu, kita mulai melihat dan menghargai bahkan lampu kecil. Apa yang baik untuk ego biasanya buruk bagi jiwa, dan sebaliknya.

Menurut Sumarah, berada di meditasi berarti pertama-tama berada dalam keadaan kesadaran tinggi. Hal itu berarti santai secara fisik, emosional, dan mental. mengurangi hambatan yang biasanya datang di antara kita dan visi kita yang terbatas tentang diri kita sendiri dan realitas di sekitar kita.

Seringkali, ketika seseorang duduk untuk bermeditasi, benaknya penuh terisi harapan, berat dengan keinginan. Kondisi tersebut dengan sendirinya telah mencegah dari benar-benar bersantai. Sebuah kondisi dalam non-resistensi dan relaksasi bersatu dengan perhatian dan keterbukaan adalah syarat mutlak untuk kedua jenis meditasi.

Paguyuban Sumarah tidak punya kitab suci. Kitab suci kami adalah Hidup, Begitu kata mereka. Namun menurut Sumarah, orang sering kali lupa akan kehidupan itu sendiri. Sumarah berpegang pada prinsip, bahwa hidup hanya sebentar. Laksana orang istirahat di perjalanan untuk numpang minum saja. Di situlah ibarat meditasi berlaku. Semacam rehat dari jalan panjang mengingat perjalanan yang masih sangat panjang.

Konsep Bersatu dengan Tuhan

Agar dapat bersatu dengan Tuhan maka anggota paguyuban harus melakukan sujud sumarah. Sujud tersebut terdiri dari empat tingkatan.

a. Sujud Raga. Yaitu persatuan denga Allah dengan perantaraan badan wadag. Tingkatan ini disebut demikian, karena angan-angan mewakili raga dipakai sebagai alat untuk melakukan sujud. Pelaksanaan sujud dilakukan dengan jalan memisahkan angan-angan dari pemikir. Jika telah berhasil memisahkan angan-angan dari pemikir, angan-angan harus diturunkan dari otak ke sanubari, sehingga angan-angan itu tak dapat dipakai lagi untuk berpikir. Aktivitas ini dapat dibantu dengan melakukan zikir, yaitu menyebut nama-nama Allah.

b. Sujud Jiwa Raga. Pada tingkatan ini angan-angan yang telah dipisahkan daripada pemikir, dan sudah diturunkan ke sanubari dan didekatkan kepada rasa yang berada di dalam dada, hingga keduanya dapay melakukan sujud berdampingan.

c. Sujud Tetep Iman. Yaitu sujud yang dilakukan terus menerus tanpa berhenti selama 24 jam. Pada tingkatan ini orang dapat menerima sabda Tuhan tanpa batas waktu, tempat, dan keadaan.

d. Sujud Sumarah. Yaitu sujud dengan penyerahan diri. Tingkatan ini adalah yang tertinggi karena orang akan mencapai jumbuhing kawula Gusti (persatuan hamba dengan Tuhan). Hal ini bukan berarti jiwa manusia larut dalam Tuhan, melainkan antara jiwa manusia dan Tuhan ada kesatuan kehendak. Tidak seorang pun yang dapat mencapai tingkatan ini. Karena hal ini merupakan suatu anugerah dari Tuhan yang diberikan secara tiba-tiba (Wahyu).