Manusia Supranatural

“Dunia Newtonian adalah tentang yang dapat diprediksi, tentang memprediksi masa depan. Tapi model realitas kuantum adalah tentang menyebabkan efek. "

“Dapatkah Anda menerima gagasan bahwa setelah Anda mengubah keadaan internal Anda, Anda tidak membutuhkan dunia luar untuk memberi Anda alasan untuk merasakan kegembiraan, rasa syukur, penghargaan, atau emosi yang meningkat lainnya?”

“Ketika saya bangun di pagi hari, saya menanyakan diri saya pertanyaan yang persis sama setiap hari : Apa cita-cita terbesar diri saya yang saya bisa hari ini? Saya tidak akan bangun dari meditasi saya sampai saya merasa seperti orang itu. 

Ketika kesadaran Anda menyatu dengan kesadaran yang lebih besar… ketika Anda terhubung ke sumber, Anda akan meniru yang ilahi. Dan bagaimana yang ilahi akan hidup jika itu adalah Anda?

Sekarang inilah bagian yang sulit. Dapatkah Anda mengajari tubuh Anda secara emosional seperti apa masa depan sebelum terwujud. Itu berarti Anda tidak bisa menunggu kekayaan Anda, rasakan kelimpahan. Anda tidak bisa menunggu kesuksesan Anda. Anda tidak bisa menunggu hubungan baru Anda merasa dicintai. Anda tidak bisa menunggu kesembuhan Anda. Anda tidak bisa menunggu pengalaman mistis.

Orang menjalani seluruh hidup mereka dan menunggu sesuatu di luar sana terjadi yang akan mengubah kekosongan yang mereka rasakan di dalam diri mereka dan mereka menunggu peristiwa yang akan menghilangkannya. Itulah sebab dan akibat fisika Newton. Tetapi model realitas kuantum adalah tentang sebab dan akibat saat Anda mulai merasa berkelimpahan. Anda menghasilkan kekayaan saat Anda mulai merasa berharga dan berdaya. Anda melangkah menuju kesuksesan Anda saat Anda jatuh cinta dengan hidup dan mencintai diri sendiri. Anda akan menciptakan persamaan.

Saat Anda mulai merasakan syukur dan keutuhan, penyembuhan Anda dimulai dan saat Anda kagum pada hidup. Anda akan mendapatkan pengalaman mistik yang ajaib. Diberdayakan — menjadi bebas, tidak terbatas, menjadi kreatif, menjadi jenius, menjadi ilahi — itulah Anda.

Ketidaksamaan Ahli Tharekat Dan Paranormal


Secara pribadi, saya memandang ilmu keparanormalan adalah bagian dari ilmu yang apabila diterapkan secara benar merupakan lahan berdakwah. Bayangkan! begitu besar jumlah orang-orang bingung pada zaman edan ini. mereka berlari menuju cara-cara yang supranatural. Untuk itu menjadi paranormal haruslah diniatkan untuk menyelamatkan orang-orang bingung itu untuk kembali ke jalan Allah SWT.
Keyakinan bertarekat yang menghasilkan kekuatan Paranormal dilandasi bahwa seseorang yang bertarekat hanya semata-mata ingin menjadi  Paranormal, justru kekuatan itu tak mungkin didapatkan. Sebaliknya jika tarekat itu dilakukan sebagai jalan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT maka secara tidak langsung akan muncul bias-bias ilahy yang menghasilkan kekuatan Paranormal. Seorang Paranormal belum tentu ber-Tarekat, tapi seorang Ahli Tarekat sudah pasti mempunyai kekuatan Paranormal. Menjadi paranormal bukanlah tujuan. Akan tetapi jalan keduanya memiliki arti, tergantung dari tingkat spiritual manusia itu sendiri.
Kiranya perlu dijelaskan pengertian antara syareat, tarekat, hakikat dan makrifat. Syareat adalah amal atau ibadah yang disitu manusia hanya melaksanakan apa yang diperintah.Tarekat adalah suatu cara atau jalan  mengerjakannya. Hakikat adalah mengetahui dari mana asalnya/yang tersirat. Sedangkan makrifat adalah ilmu yang mengutamakan nilai tatakrama manusia kepada Allah SWT.
Jadi tujuan akhir dari seorang yang bertarekat adalah meraih hakikat kemudian makrifat, tanpa meninggalkan syareat menuju keridhaan Allah yang menghasilkan Anugerah-Nya yaitu diberinya manusia untuk mendengar dengan telinga-Nya.Melihat dengan mata-Nya, berfikir dengan hati-Nya dan ilmu Laduni.  
Akhirnya saya berharap semoga blog ini mampu memberikan manfaat bagi orang-orang yang tertarik ilmu supranatural.
Sekali lagi saya tegaskan, peran sebuah blog hanyalah penambah wawasan. 
Penulis tidak mengikhlaskan amalan -amalan yang ada di blog ini, baik berupa amalan/doa/mantera/pengasihan/kadigjayaan, dipergunakan di jalan yang tidak di ridhoi Allah SWT.
Jangan sembarangan/menyepelekan ilmu gaib, sebab tidak sedikit orang yang stress. Untuk itu saran penulis, mintalah petunjuk kepada Pembimbing/Mursyid atau Guru Spiritual ditempat tinggal anda.

Salam Rahayu...
Salam Sarkub...
Salam Budaya....



Belajar Tasawuf




Fana adalah ketiadaan dan kehancuran.Dan lawan dari fana adalah baqa, abadi, dan tetap ada.
Seperti Tuhan termasuk kategori abadi dan baqa,sementara selain-Nya atau seluruh makhluk digolongkan ke dalam ketiadaaan, kehancuran, dan fana. Sedangkan fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak memandang, memperhatikan, dan menyaksikan keberadaannya sendiri.Yang pasti hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, namun lebih bermakna bahwa seseorang yang hadir di sisi Tuhan sama sekali tidak melihat eksistensi dirinya sendiri dan dia meniadakan segala sesuatu selain-Nya di dalam hatinya.

Maqâm Fana dalam Tasawuf
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitual-fana’‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.
Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala penderitaan, tazkiyah, dan pensucian diri, serta segala kesulitan. Oleh karena itu, pada umumnya suatu perubahan akan bersifat tetap, abadi, dan tidak mudah sirna apabila dilalui dan dicapai dengan susah payah dan kerja keras.
Pada maqâm fana, manusia di hadapan Tuhan tidak menyaksikan diri sendirinya, penghambaannya, keinginan-keinginannya, harapan-harapannya, dan dunia sekelilingnya.
 
Manusia hanya memandang dan melihat jamaliyah dan jalaliyah Tuhan. Apa saja yang disaksikan oleh para wali Tuhan adalah Yang Haq, apakah melalui perantara atau dengan perantara.
Bagi para pesuluk dan pencari makrifat terkadang perantara itu adalah nama-nama dan sifat-sifat Tuhan,
akan tetapi hijab dan perantara cahaya ini pun akan tersingkap,
 
"Ya Tuhanku anugerahkan padaku kesempurnaan penyaksian kepada-Mu… sedemikian sehingga pandangan hati merobek hijab-hijab cahaya."
Inilah puncak dan akhir derajat fana yang setelah itu manusia berada pada kondisi melupakan segala sesuatu kecuali Yang Haq dan "menyirnakan" segala sesuatu secara sempurna selain-Nya.
Di sinilah dia mendengar dengan pendengaran Tuhan, melihat dengan pandangan Tuhan, dan berbicara dengan lisan Tuhan. Penyingkapan hakikat zat Tuhan, karena hakikat zat-Nya hanya diketahui oleh-Nya dan tidak ada satupun makhluk yang dapat menyaksikan hakikat zat-Nya.

Penjelasan Detail :
Secara leksikal fana bermakna ketiadaan dan kehancuran.
Lawan dari fana adalah baqa yang berarti abadi, tetap, dan eksis. Kata ini dipergunakan dalam al-Quran, walaupun sebagian dari derivatnya yang diaplikasikan, seperti:
"Segala sesuatu akan hancur dan yang tinggal wajah Tuhanmu," Tuhan dalam ayat ini meletakkan kata "fanin" (hancur) berhadapan dengan kata "yabqa" (yang tetap, yang tinggal, dan abadi), yang bermakna bahwa hanya Tuhanlah yang selamanya ada dan baqa, sementara segala sesuatu selain-Nya adalah hancur dan sirna.
Fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak menyaksikan, memandang, melihat, dan mendapatkan dirinya sendiri.
 
Namun hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, melainkan manusia tidak menyaksikan dirinya sendiri di hadapan Tuhan dan hanya Dia yang dipandang. Istilah fana’ memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat diringkaskan sebagai berikut :
a. Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian
nafsu dan keinginan.
b. Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi,pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudianmemusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifat-Nya.
c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran.
Tingkat fana yang tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentang fana itu sendiri juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal “kefanaan dari fana”atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana’ al-fana’)
tahap terakhir dari fana’ adalah lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa, yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan
Bahwa dalam faham fana ini, materi manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan eksistensi jasad kasarnya..
Yakni, “Fana, sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini,menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi”
Definisi Fana dalam Perspektif Para Arif
Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni, menggambarkan fana’ sebagai “sirnanya daya tangkap hati terhadap yang bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidakada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan”
Abu Said Harraz mendefenisikan fana sebagai berikut, "Fana adalah fananya seorang hamba dari memandang penghambaannya, dan baqa adalah baqanya seorang hamba dengan penyaksian Ilahi.
Qusyairi menyatakan, "Setiap kali Pemiliki Hakikat menyelimuti dirinya maka dia tidak lagi menyaksikan segala sesuatu selain-Nya baik wujudnya maupun perbuatannya, dia fana dari makhluk dan baqa dengan perantaran-Nya."
Mir Syarif Jurjany juga mengungkapkan, "Sirna dan tiadanya sifat-sifat buruk itu disebut fana, sebagaimana keberadaan sifat-sifat yang terbatas dikatakan baqa."
Maqâm Fana
Di dalam Irfan terdapat dua istilah:
1. Maqâm;
2. Hâl.
Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai secara ikhtiari (dengan kehendak sendiri) oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala tempaan, tazkiyah, pensucian diri, dan segala kesulitan. Oleh karena itu, secara umum maqâm itu sangatlah sulit untuk sirna dan tiada. Dengan ungkapan lain, penderitaan dan kesulitan yang dijalani dan dialami secara terus menerus dan bergradual oleh seorang Arif dan pesuluk dalam praktek-praktek kezuhudan dan pengorbanan diri sendiri telah mengantarkannya pada suatu derajat khusus dan maqâm tertentu yang pantas baginya. Dan karena tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan pensucian diri itu dilaluinya dengan upaya yang sungguh-sungguh dan kerja keras, maka maqâm yang telah digapainya itu tidak akan turun dan sirna dengan mudah.
Sementara pengertian hâl berlawanan dengan maqâm tersebut. Hâl adalah suatu bentuk perubahan yang hadir pada diri seorang arif tanpa kehendaknya sendiri setelah menapaki tahapan-tahapan spiritual. Karena perubahan yang hadir itu datang secara tiba-tiba, maka sangat mungkin akan sirna juga dengan tiba-tiba. Dengan demikian, hâl adalah suatu kualitas spiritual yang tidak bersifat konstan dan terus menerus mengalami suatu perubahan.
Manusia dalam maqâm fana tidak menyaksikan dirinya sendiri, penghambaannya, kecenderungan-kecenderungannya, harapan-harapannya, dan alam sekitarnya di hadapan Tuhan dan hanya semata-mata memandang Yang Haq.
Dalam kondisi demikian, fana tidak lagi bersesuaian dengan makna leksikalnya yang bernada negatif, bahkan merupakan suatu tingkatan kesempurnaan. Dan inilah yang sebenarnya dimaksudkan oleh para urafa yang menyatakan, "Puncak fana adalah baqa dan abadi di hadapan Yang Haq." Inilah yang dalam istilah Irfan dinamakan sebagai "fana fii Allah" (fana dalam sifat-sifat Tuhan).
Bagaimana Mencapai Maqâm Fana
Ketika antara manusia dan Tuhannya terdapat hijab-hijab berupa dosa-dosa, maksiat, dan egoisme, serta kebergantungan kepada selain-Nya, maka hijab-hijab kegelapan ini akan menjadi penghalang yang sangat besar untuk sampainya seorang hamba di hadapan suci Tuhannya.
Apabila dia tidak memiliki dosa-dosa, hijab-hijab kegelapan, dan kebergantungan kepada selain-Nya serta sirnanya perhatian kepada keinginan diri sendiri, maka sangat mungkin dia menggapai derajat penyaksian sifat-sifat Tuhan secara terbatas. Setelah mencapai tingkatan ini barulah maqâm fana itu akan diraihnya dan hadir dalam dirinya.Yang pasti bahwa tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan yang kita tidak akan bahas dalam kesempatan ini.
Akan tetapi, maksud dari "liqa ullah" (perjumpaan dengan Tuhan) yang dibungkus dalam kata-kata seperti syuhud, baqa, dan… adalah tidak dengan menggunakan mata lahiriah ini, karena sebagaimana dalam ayat al-Quran dikatakan, "Dia (Tuhan) tidak dapat dilihat dan dijangkau dengan mata."[3] Dan begitu pula Tuhan tidak dapat diliputi dengan pikiran-pikiran, karena pikiran dan metode rasionalitas itu tidak disebut sebagai syuhud, liqa, dan …; melainkan apabila seorang hamba ingin "menyaksikan" sifat-sifat Tuhan dan mencapai maqâm fana maka -sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran- dia harus meninggalkan segala sesuatu selain Tuhan, melaksanakan amal dan perbuatan shaleh, dan tidak menyekutukan Tuhan.

Seorang hamba yang berkehendak menyaksikan Yang Haq dengan tanpa perantara mestilah dia tidak memandang dirinya sendiri dan segala sesuatu selain-Nya.
Allah Swt berfirman,
"Barangsiapa yang berharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia beramal dengan amal yang shaleh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dalam penghambaan kepada Tuhannya."
Nabi Musa As pun menjadi tidak sadarkan diri atau pingsan ketika berkaitan dengan cerita penyaksian Tuhan. Setelah beliau tersadar dari pingsannya bersabda, "Tuhanku Engkau tidak dapat disaksikan tanpa fana dan memutuskan segala bentuk keterikatan dan kebergantungan."
Akan tetapi, persoalan yang sangat mendasar di sini adalah apa makna dari ungkapan bahwa sebagian pembesar para pesuluk dan arif mengklaim dapat menyaksikan Tuhan Yang Maha Tinggi itu dengan tanpa perantara? Dan secara umum apa yang dimaksud dengan perantara-perantara tersebut?

Untuk memahami dan mengerti makna ungkapan tersebut alangkah baiknya kita memperhatikan dan menyimak pernyataan-pernyataan Imam Khomeni qs dalam kitabnya "Arbain Hadis".
Beliau dalam kitab itu mengungkapkan,
"Setelah mencapai ketakwaan yang sempurna, terputusnya secara total perhatian dan kebergantungan hati dari segala sesuatu yang ada di alam, menyirnakan segala bentuk egoisme dan kecintaan kepada diri sendiri, perhatian sempurna kepada Tuhan, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada Yang Maha Suci, melakukan segala bentuk pensucian hati, maka akan muncul dan hadir suatu bentuk pencerahan hati dan cahaya malakuti di dalam hati para pesuluk yang beriringan dengan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan… dan antara ruh suci pesuluk dan Dzat Suci Tuhan hanya terdapat satu hijab, yakni hijab nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Untuk itu sangatlah mungkin mampu merobek hijab-hijab cahaya (hijab nama dan sifat Tuhan) tersebut dan hanya menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada Zat Suci Tuhan, dan dalam penyaksian ini dia "memandang" pancaran eksistensial Tuhan dan kefanaan zatnya sendiri."
Dengan kandungan makna yang kurang lebih sama dengan pernyataan Imam Khomeni qs, di bawah akan diutarakan suatu doa yang mulia, munajat sya'baniyah:
"Ya Ilahi anugerahkan kepadaku kesempurnaan penyatuan dengan-Mu … sedemikian sehingga mata hati merobek hijab-hijab cahaya."

Dari berbagai referensi kitab-kitab tua seperti Kitab Syarah Hikam Ibni Athoillah As-Kandariah, Kitab Manhal-Shofi, Kitab Addurul-Nafs dan lain-lain menggunakan istilah-istilah seperti 'binasa' dan 'hapus' untuk memperihalkan tentang maksud fana.
Ulama-ulama lainnya yang banyak menggabungkan beberapa disiplin ilmu lain seperti falsafah menggunakan istilah-istilah seperti 'lebur', 'larut', 'tenggelam' dan 'lenyap' dalama usaha mereka untuk memperkatakan sesuatu tentang 'hal' atau 'maqam' fana ini.
Di dalam Kitab Arrisalah al-Qusyairiah memberikan penjelasan tentang fana.
Fana itu ialah; "Lenyapnya sifat-sifat basyariah(pancaindera)"
"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi
dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk
lain itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk
lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya"
(Al-Qusyairi, t.th: 37)
Maka sesiapa yang telah diliputi Hakikat Ketuhanan sehingga tiada lagi melihat daripada Alam baharu, Alam rupa dan Alam wujud ini, maka dikatakanlah ia telah fana dari Alam Cipta. Fana bererti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiah lahir dan maksiat batin) dan kekalnya sifat-sifat terpuji(mahmudah). Bahawa fana itu ialah lenyapnya segala-galanya, lenyap af'alnya/perbuatannya(fana fil af'al), lenyap sifatnya(fana fis-sifat), lenyap dirinya(fan fiz-zat)
Oleh kerana inilah ada di kalangan ahli-hali tasauf berkata:
"Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya kerena kehadiran hati mereka bersama Allah".
Sahabat Rasulullah yang banyak memperkatakan tentang 'fana' ialah Sayyidina Ali, salah seorang sahabat Rasulullah yang terdekat yang diiktiraf oleh Rasulullah sebagai 'Pintu Gedung Ilmu'.
Sayyidina Ali sering berkata tentang fana : "Di dalam fanaku, leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefanaan itulah bahkan aku mendapatkan Engkau Tuhan".
Demikianlah 'fana; ditanggapi oleh para kaun sufi secara baik, bahkan fana itulah merupakan pintu kepada mereka yang ingin menemukan Allah(Liqa Allah) bagi yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu dengan Allah.
Firman Allah yang bermaksud:
"Maka barangsiapa yang ingin akan menemukan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amalan Sholeh dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam beribadat kepada Allah
(Surah Al-Kahfi:)

Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua kewajiban yang mesti dilaksanakan iaitu:
* Pertamanya mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua- sifat-sifat yang tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji iaitu Takhali dan Tahali.
* Keduanya meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang benar-benar wujud/isbat hanya Allah semata-mata dalam beribadat. Itulah artinya memfanakan diri.

Para Nabi-nabi dan wali-wali seperti Sheikh Abu Qasim Al-Junaid, Abu Qadir Al-Jailani , Imam Al-Ghazali, Ab Yazid Al-Busthomi sering mengalami keadaan "fana" fillah dalam menemukan Allah. Umpamanya Nabi Musa alaihisalam ketika ia sangat ingin melihat Allah maka baginda berkata yang kemudiannya dijawab oleh Allah Taala seperti berikut;
"Ya Tuhan, bagaimanakah caranya supaya aku sampai kepada Mu? Tuhan berfirman:
Tinggalkan dirimu/lenyapkan dirimu(fana), baru kamu kemari."
Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.
Ada seorang bertanya kepada Abu Yazid Al-Busthomi;
* "Bagaimana tuan habiskan masa pagimu?". Abu Yazid menjawab: "Diri saya telah hilang(fana) dalam mengenang Allah hingga saya tidak tahu malam dan siang".
* Satu ketika Abu Yazid telah ditanyai orang bagaimanakah kita boleh mencapai Allah.Beliau telah menjawab dengan katanya:
* "Buangkanlah diri kamu.Di situlah terletak jalan menuju Allah. Barangsiapa yang melenyapkan (fana) dirinya dalam Allah, maka didapati bahawa Allah itu segala-galanya".
* Beliau pernah menceritakan sesuatu tentang fana ini dengan katanya;
* Apabila Allah memfanakan saya dan membawa saya baqa dengaNya dan membuka hijab yang mendinding saya dengan Dia, maka saya pun dapat memandangNya dan ketika itu hancur leburlah pancainderaku dan tidak dapat berkata apa-apa. Hijab diriku tersingkap dan saya berada di keadaan itu beberapa lama tanpa pertolongan sebarang panca indera. Kemudian Allah kurniakan saya mata Ketuhanan dan telinga Ketuhanan dan saya dapat dapati segala-galanya adalah di dalam Dia juga."
Dari segi bahasa al-Fana’ berarti binasa,
Fana’ berbeda dengan al-Fasad (rusak).
Fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain . Menurut ahli sufi, arti Fana’ adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazimnya digunakan pada diri.
Fana’juga berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela .
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu.
Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari alam makhluk .
Selain itu Fana’ juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin.
Sebagai akibat dari Fana’ adalah Baqa’, secara harfiah Baqa’ berarti kekal sedangkan dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) telah lenyap maka yang kekal dan tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Fana’ dan Baqa’ ini menurut ahli tasawuf datang beriringan sebgaimana ungkapan mereka :”Apabila nampak nur ke Baqa’an, maka Fana’lah yang tiada dan Baqa’lah yangkekal”. Juga ungkapan mereka : “Tasawuf itu adalah mereka Fana’ dari dirinya dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran mereka bersama Allah”.
Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya.
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya .
Diantara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengaqn mata sanubarinya .
Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebutFana’ al-nafs

Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara ruhani.
Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materi manusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya.

Al-Kalabazi (wafat 380 H) menjelaskan bahwa keadaan Fana’ itu tidak bisa berlangsung terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan menghentikan organ-organ tubuh untuk melaksanakan fungsinya sebagai hamba Allah dan peranannya sebagain khalifah di muka bumi .
Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya sendiri dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka :
“Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan” .Dengan tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun .
Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan.
Dalam suasana seperti ini mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku” . Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia berbicara atas nama Tuhan. Al-Bustami ketika telah Fana’ dan mencapai Baqa’ maka dia mengucapkan kata-kata ganjil seperti :
“ Tidak ada Tuhan melainkan aku, sembahlah aku, Maha suci aku, Maha suci aku, Maha besar aku” .
Selanjutnya diceritakan bahwa seorang lelaki lewat rumah Abu Yazid (al-Bustami) dan mengetok pintu,
Abu Yazid bertanya : “Siapa yang engkau cari ?” jawabnya : “Abu Yazid”.
Lalu Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi” . Ittihad ini dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf) bagi orang yang toleran, akan tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama hal ini dipandang sebagai suatu kekufuran.
Faham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Ittihad juga adalah hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj (lahir 224 H / 858 M) dengan fahamnya al-Hulul yang berarti penyatuan meliputi :
a) penyatuan substansial antara jasad dan ruh;
b) penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri manusia;
c) inkarnasi suatu aksiden dalam substansinya;
d) penyatuan bentuk dengan materi pertama dan
e) hubungan antara suatu benda dengan tempatnya .
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad al-hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah.
Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh. Faham sufi yang juga dekat dengan faham Ittihad ini adalah dengan faham wahdat al-wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby wafat tahun 638 H/ 1240 M). Faham wahdat al-wujud ini menurut Harun Nasution adalah merupakan kelanjutan dari faham al-Hulul. Konsep wahdat al-wujud ini memahami bahwa aspek ketuhanan ada dalam tiap mahkluk, bukan hanya manusia sebagaimana yang dikatakan al-Hallaj .
Paham fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan dengan Allah.
Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan
Firman Allah SWT yang bunyinya : “Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110) Hal yang lebih jelas mengenai proses Ittihad dapat pula kita simak melalui ungkapan al-Bustami : “Pada suatu hari ketika saya dinaikkan ke hadirat Allah, Ia berkata, “Hai Abu Yazid, mahkluk-Ku ingin melihatmu, aku menjawab, hiasilah aku dengan keesaan itu, sehingga apabila mahkluk itu melihatku mereka akan berkata :“Kami tetap melihat engkau, maka yang demikian adalah engkau dan aku tidak ada disana” . Hal ini merupakan ilustrasi proses terjadinya Ittihad, Demikian juga dalam ungkapan Abu Yazid :
“Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah mahlukku, aku pun berkata : Aku adalah engkau, engkau adalah aku dan aku adalah engkau . sebenarnya kata-kata “Aku” bukanlah sebagai gambaran dari diri Abu Yazid, tetapi gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu dengan Tuhan sehingga dapat dikatakan bahwa Tuhan bicara melalui lidah Abu Yazid sedang Abu Yazid tidak mengetahui dirinya Tuhan.
Al-Junaid Al-Bagdadi yang menjadi Imam Tasauf kepada golongan Ahli Sunnah Wal-Jamaah pernah membicarakan tentang fana ini dengan kata-kata beliau seperti berikut:
* Kamu tidak mencapai baqa(kekal dengan Allah)
sebelum melalui fana(hapus diri)
* Membuangkan segala-galanya kecuali Allah dan 'mematikan diri' ialah kesufian.
* Seorang itu tidak akan mencapai Cinta kepada Allah (mahabbah) hingga dia memfanakan dirinya. Percakapan orang-orang yang cinta kepada Allah itu pandangan orang-orang biasa adalah dongeng sahaja.
3. Himpunan perkataan Tentang Fana
A. Sembahyang orang yang cinta (mahabbah) ialah memfanakan diri sementara sembahyang orang awam ialah rukuk dan sujud.
B. Setengah mereka yang fana (lupa diri sendiri) dalam satu tajali zat dan kekal dalam keadaan itu selama-lamanya. Mereka adalah Majzub yang hakiki.
C. Sufi itu mulanya satu titik air dan menjadi lautan. Fananya diri itu meluaskan kupayaannya. Keupayaan setitik air menjadi keupayaan lautan.
D. Dalam keadaan fana, wujud Salik yang terhad itu dikuasai oleh wujud Allah yang Mutlak. Dengan itu Salik tidak mengetahui dirinya dan benda-benda lain. Inilah peringkatWilayah(Kewalian). Perbezaan antara Wali-wali itu ialah disebabkan oleh perbezaan tempoh masa keadaan ini. Ada yang merasai keadaan fana itu satu saat, satu jam, ada yang satu hari an seterusnya. Mereka yang dalam keadaan fana seumur hidupnya digelar majzub. Mereka masuk ke dalam satu suasana dimana menjadi mutlak.
E. Kewalian ialah melihat Allah melalui Allah. Kenabian ialah melihat Allah melalui makhluk. Dalam kewalian tidak ada bayang makhluk yang wujud. Dalam kenabian makhlik masih nampak di samping memerhati Allah. Kewalaian ialah peringakat fana dan kenabian ialah peringkat baqa
F. Tidak ada pandangan yang pernah melihat Tajalinya Zat. Jika ada pun ia mencapai Tajali ini, maka ianya binasa dan fana kerana Tajali Zat melarutkan semua cermin penzohiran.
Firman Allah yang bermaksud :
Sesungguhnya Allah meliputi segala-galanya.(Surah Al-Fadhilah:54)
G. Tajali bererti menunjukkan sesuatu pada diriNya dalam beberapa dan berbagai bentuk. Umpama satu biji benih menunjukkan dirinya sebgai beberapa ladang dan satu unggun api menunjukkan dirinya sebagai beberapa unggun api.
H. Wujud alam ini fana (binasa) dalam wujud Allah.
Dalilnya ialah Firman Allah dalam Surah An-Nur:35
yang bermaksud;
"Cahaya atas cahaya, Allah membimbing dengan cahayanya sesiapa yang dikehendakinya." dan "Allah adalah cahaya langit dan bumi."
I. Muraqobah ialah memfanakan hamba akan afaalnya dan sifatnya dan zatnya dalam afaal Allah, sifat Allah dan zat Allah.
J. Al-Thomsu atau hilang yaitu hapus segala tanda-tanda sekalian pada sifat Allah.Maka Yaitu satu bagai daripada fana.
5. Tajuk-tajuk yang berkaitan dengan Fana
* Mikraj Muhammad
* Alamat Sampai Kepada Maqam Yang Tinggi Adalah sangat mungkin manusia mencapai suatu derajat yang antara dia dan Tuhannya hanya terhijabi cahaya nama dan sifat Tuhan. Dan juga sangatlah mungkin manusia menggapai suatu tingkatan yang tidak ada lagi hijab-hijab cahaya antara dia dan Zat Suci Tuhan. Yang sempurna akan mampu melewati hijab-hijab cahaya ini dan meraih kefanaan yang sempurna.
Dalam kondisi puncak spiritual ini, apa yang disaksikannya adalah hanya Yang Maha Suci. Apa yang didengarnya tidak lain adalah bersumber dari Yang Maha Benar. Dia melihat dengan "mata" Tuhan, mendengar dengan "telinga" Tuhan, dan berucap dengan "lisan" Tuhan. Inilah puncak dan akhir fana dalam Tuhan (fana fillah) Insya Allah.... aamiiin
penghujung Ilmu, Adalah Ilmu Penamat, Penutut Dan Penghabisan Segala Ilmu!
Mereka yang berjaya sampai kepada tahap makrifat itu, adalah mereka-mereka yang telah mencapai makan atau tingkatan ilmu kerohanian yang tertinggi.
Tahap atau makam ilmu makrifat yang tertinggi itu, adalah tahap pencapaian atau tahap persingahan ilmu pada garis penamat yang penghabisan dan terakhir. Inilah yang dikatakan pencarian di penghujuan tujuan.
Ucapan, perasaan atau pengakuan qalbu dihujung pencarian itu, adalah qalbu yang meluap, pecah dan meletup denngaan ucapan
“la haulawala kuuwatailla billahhilaliyilzim”
(tiada daya upaya kita, melainkan segalanya dari Allah).
Perkataan yang lahir dari pandangan qalbu itu, tidak lagi boleh menurut pengertian akal. Bilamana pengertian qalbu, tidak lagi dapat dibaca oleh akal itu, Maka lahirlah perkataan “aku tidak ada”. Bahasa pengakuan hati atau bahasa pengakuan qalbu yang makrifat kepada Allah Taala itu, tidak lagi boleh berdalil, bersandar, berpaut atau bergantung lagi pada akal!.
Segala ikhtiar atau usaha akal kita itu, sesungguhnya sudah berakhir, binasa dan karam kerana tenggelam dalam lautan makrifat Allah. Inilah yang dikatakan penamat, penutup dan ibu segala ilmu!.
Sekiranya tuan-tuan lalu ditepi sungai, saya minta tuan-tuan kutib seketul batu dan campakkan ia kedalam sungai yang dalam. Saya mahu bertanya, apakah lagi yang tuan-tuan nampak dan apakah lagi yang terlihat, cuba jawab?…
Begitulah dalil dan contohnya jika diri kita, kita tengelamkan atau campakkan kedalam dasar lautan makriffat!. Makrifat (mengenal Tuhan) itu, adalah tauhid.
Tauhid itu, adalah hijrah akal menuju qalbu dalam mengesakan Allah!. Hijrah akal menuju qalbu, itulah intipati ilmu makrifatullah. Hijrah akal menuju qalbu itu, adalah hijrah jahil kepada alim.
Hijrah akal kepada perbicaraan qalbu para-para arifin billah itu, membawa kita kepada ilmu megesakan Allah (penutup segala ilmu). Hijrah akal kepada makam qalbu inilah yang menyebabkan
Tidak kurang pula di tuduh ilmu salah, kafir, sesat dan zindik.
Maaf Kiranya sampai disini kurang berkenan.

Kebanyakkan dari ulama kita, tidak ramai yang dibedahkan dengan pengajian ilmu makrifat (ilmu rohani).
Ketidak pakaran dalam ilmu makrifat itu, bagaimana mungkin mereka boleh menghukum ulama-ulama yang mengajar ilmu makrifat itu, sesat atau salah?.
Jika sekiranya pihak ulama mendakwa yang mereka juga memiliki kepakaran dalam bidang ilmu makrifat,
cuba jelas dan terangkan kepada kami, dimanakah sekolah, dimanakah pondok atau dimanakah pusat-pusat pengajian tinggi yang mengajar ilmu makrifat.
Mari kita tanya ulama feqah, dimana mereka belajar ilmu makrifat, supaya kita juga boleh dengan beramai-ramai turut serta meuntut ditempat yang didakwa!. Sedangkan tidakkah kita tahu yang bidang ilmu makrifat itu, adalah bidang ilmu yang wajib, bidang ilmu fardhu ain (suatu bidang ilmu yang wajib) bagi setiap umat yang begelar Islam!.
Fakta atau kenyataan sesat yang tuan-tuan feqah bawa itu, dari mana asasnya dan dimana ulama-ulama feqah, belajar atau beguru ilmu makrifat, sehingga dapat menuduh sesat?. Saya sebagai pengarang ilmu makrifat yang sudah berkecimpung dalam bidang ini selama 38.00 tahun, saya tidak pernah jumpa ada pusat pengajian ilmu makrifat, guru atau sekolah ilmu makrifat, baik didalam negeri mahupun diluar negara!. Dengan berbekalkan ilmu syarie, ilmu fiqah atau dengan berbekalkan dengan ilmu akal, apakah layak tuan-tuan feqah menuduh, menanggkap dan menghukum golongan makrifat, sebagaimana yang berlaku kepada pentadbiran-pentadbiran terdahulu?.
Namun pesan dan nasihat saya kepada para arifin billah sekalian yang ada, terutama kepada yang memperjuankan ilmu makrifat, hadapilah kenyataan pemerintah dan golongan feqah hari ini dengan tabah dan jangan sekali-kali berputus asa. Kayu ukur atau tanda aras pentadbiran ulamak atau pemerintah yang ada pada dunia hari ini, untuk menghukum adalah melalui bacaan ilmu akal (hukum feqah). Mereka tidak sekali-kali memandang pada bacaan ilmu rohani (Ilmu makrifat). Mereka tidak faham apa itu makrifat! (diri yang fana’, diri yang lebur, diri yang baqa’ atau diri yang karam engan Allah!).
Bilamana tidak faham dan tidak arif dalam bidang ilmu fana’ atau ilmu baqa’, mana mungkin golongan yang beilmu feqah itu dapat menyelami ilmu makrifat!.
Bilamana tidak faham ilmu makrifat, itulah makanya tuduhan demi tuduhan mereka lontarkan kepada pengamal ilmu makrifat!. Mereka itu, hanya berpandukan kayu pengukr ilmu feqah, untuk menghukum dan menuduh kesesatan ilmu makrifat.Yang menjadi mangsa ulamak feqah itu, adalah orang-orang yang berilmu makrifat. Itulah makanya golongan makrifat itu,Selalu dituduh sesat dan selalu dipandang salah dimata golongan ahli feqah.Sesunggunya bidang ilmu makrifat itu, Adalah cabang ilmu rohani (ilmu mantik) yang tidak memungkinkan difahami oleh kebanyakkan Ulama. 
Jika kita tidak faham ilmu makrifat, sekurang-kurangnya jangan mudah menuduh sesat kepada golongan makrifat!.
Ulama keluaran dari pusat pengajian tinggi itu, hanya belajar dalam bidang ilmu fiqih sedangkan mereka tidak pernah dididik atau didedah dengan ilmu makrifat!. Mana mungkin akan memahami ilmu makrifat!.
Namun siapa yang akan peduli dan siapakah yang akan faham luahan hati orang-orang makrifat!,
Saranan demi saranan diutarakan kepada pucuk pimpinan agama, namun keluhan serta laungan kita itu, sekadar menjadi menjadi hiasan mata dan hawa telinga mereka semata-mata. Pun begitu, kita tidak boleh sekali-kali memandang rendah atau menyalahkan penjawab awam atau menyalahkan para ulamak feqah dalam hal ini. Mereka-mereka itu, terdidik dan terasuh dengan ilmu feqah tanpa didedahkan dengan ilmu makrifat. Selayaknyalah mereka begitu!.
Kerana ilmu makrifat itu, adalah persingahan terakhir segala ilmu! (ibu segala ilmu).
Ilmu Makrifat Itu, Adalah Ilmu Yang Melewati Hayalan Akal!
Konsep ilmu ketuhanan orang arifin billah yang berilmu makrifat itu, adalah konsep ilmu yang melewati hayalan akal atau mengatasi kenyataan akal. Konsep ilmu ketuhanan para-para arifin billah yang berilmu makrifat itu, adalah berlandaskan hanya dengan satu jalan, satu konsep, satu kaedah dan satu cara, iaitu jalan fana’, jalan baqa’ dan jalan berserah diri kepada Allah Taala.
Berkonsepkan “hanya Allah yang wujud, hanya Allah yang ujud dan hanya Allah yang maujud”.
Kenyataan atau pendapat ahad itu,
bukan berlandas atau bukan berkonsepkan kepada konsep hulul atau konsep wahdatul wujud!.
Konsep ilmu makrifat itu, adalah konsep mengEsakan Allah Taala. Konsep mengEsakan Allah Taala itu, adalah konsep yang tidak berdalil kepada sebarang konsep dan konsep yang tidak pergantungan kepada dalil akal!. Allah itu, adalah Allah. Allah yang tidak ada seumpama, tidak seumpama sebagaimana yang difikir oleh akal, oleh angan-angan atau hayalan.
Makrifat itu, adalah konsep yang sudah tengelam dalam lautan makrifat kepada Allah!.
Konsep yang menengelamkan diri dalam lautan hadiah
(Ahad atau Esa).Yaitu suatu konsep yang semestinya tidak difahami oleh akal!.
Konsep yang melewati hayalan atau melewati keyataan akal!.
Untuk memahaminya hendaklah turun kedalam kolam air makrifatullah!.
Ilmu Makrifat Bukan Konsep Yang DiBuat-Buat! (Tetapi Dari Ilmu Rasulullah Dan Iman Ghazali Sendiri)
Pendapat, pegangan, pengakuan serta fahaman ilmu makrifat itu, sesungguhnya bukan dibuat-buat atau diada-adakan tetapi ianya, adalah datangnya dari Baginda Rasulullah dan disambung oleh para sahabat dan Iman Al-Ghazali sendiri. Namun tidak ramai yang mendalami, menyelami dan memahaminya!. Konsep ini, adalah satu-satunya konsep yang boleh menunjang tauhid kedalam qalbu para arifin billah, sebagaimana iman Ghazali sendiri. Inilah makam tauhid, makam ilmu rasa dan makam ilmu para arifin billah terdahulu!.
Yang menjadi pegangan, pangakuan dan yang menyebabkan menunjangnya keyakinan tauhid kepada Allah Taala. Ilmu makrifat itu, merupakan inti tertinggi para ulamak arifin billah terdahulu. Yang mana sesungguhnya tidak sedikitpun menjadi percangahan atau berlawanan dengan konsep Ahli Sunnah Waljamaah!.
Hanya bagi yang tidak arif dengan ilmu makrifat sahaja yang memandang bahawa ilmu makrifa itu, salah atau sesat!. Sedangkan hanya melalui ilmu makrifat sahajalah sat-satunya ilmu yang boleh membawa, mengarah dan menghala hati-hati kita kepada arah meEsakan Allah Taala.
 
Inilah konsep dan inilah ilmu yang dibawa oleh Baginda Rasulullah, semasa mula-mula Baginda berpindah dari Kota Makkah ke Kota Madinah!. Yaitu konsep ilmu tauhid atau konsep ilmu megEsakan Allah Taala.
Soal:-Bagaimanakah caranya untuk mengatakan yang Allah itu benar-benar Esa?.
Untuk menyatakan yang Allah itu benar-benar Esa,
ianya bukan dengan sebutan kalimah syahadah, bukan dengan mengerjakan ibadah sembahyang, puasa, zakat atau bukan dengan ibadah perkerjaan ibadah haji!.
Menyatakan keEsaan Allah itu, adalah hendaknya dan sepatutnya sebelum melafas kalimah syahadah, sebelum ibadah sembahyang atau sebagainya!.
Menyatakan Allah itu, bukan perkara untuk dinyatakan sesudah sembahyang atau bukan untuk dinyatakan didalam waktu ketika tengah sembahyang, apa lagi diketika sesudah sembahyang!.
Bagi menyatakan Allah itu, bukannya semasa didalam berpuasa atau selepas berbuka puasa!. Ataupun bukan didalam ketika menyebut perkataan syahadah!.
Ilmu makrifat itu, adalah ilmu menyatakan Allah (ilmu menyatakan keEsaan Allah), ilmu mengEsakan Allah dan ilmu menzahirkan Allah, dengan nyata dan senyata-nyatanya!.
Bukan ilmu hanya bercakap dibibir!.
Kita boleh menyebut perkataan syahadah (perkataan mentauhidkan Allah) sebanyak mungkin yang kita mampu menyebut, tetapi Islam itu bukan agama bunyi atau agama suara yang keluar dari lidah atau dibibr!. Islam itu, adalah agama benar, agama nyata dan agama pasti!.
Ilmu makrifat itu, adalah ilmu yang tidak sekali-kali mengasingkan Tuhan dengan alam!.
Imu makrifat itu, adalah ilmu mengEsakan Allah, Yaitu ilmu yang tidak menduakan Allah (tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatu). Ilmu makrifat itu, adalah ilmu yang tidak menwujudkan Allah dengan wujud yang lain selain Allah Taala. Ilmu makrifat itu, adalah ilmu yang tidak memandang bahawa Allah dan makhluk itu, dua wujud yang berbeza atau “dua yang bersifat wujud”. Dari kaca mata ilmu makrifat, barangsiapa yang memandang, barangapan atau beriktikad bahawa adanya wujud Allah dan adanya wujud alam makhluk, bersama-sama dengan wujud Allah, maka hukumnya adalah syirik. Allah lain dan makhluk lain itu, maka terputuslah seluruh kesedaran batinnya terhadap Allah Taala dan terputus juga kesadaran rohaninya terhadap makhluk. Tetapi jangan pula hendaknya disatukan makhluk dengan Allah!, Ingat itu………………….
Allah dengan makhluk itu, bercerai tidak dan bersatu tiada,
ini adalah terjemahan mengikut suluhan bahasa makrifat dan bahasa rohani yang tidak sama sekali difahami atau dimengerti oleh akal, apa lagi oleh ahl ilmu feqah. Allah dan makhluk itu, bercerai tidak dan berpisah tiada!. Sebagaimana kata orang tua-tua kita dahulu, belajar ilmu makrifat itu, susahnya “seumpama mati”, manakala setelah mengenal makrifat, senangya “seumpama tidur”. Belajar ilmu makifat itu, senang, mudah dan tak payah. Belajar ilmu makrifat atau ilmu megenal Allah.
Apa tidaknya, terang cahaya mata hari itu, terang lagi Allah, dekatnya mata putih dengan mata hitam itu, dekat lagi Allah, mana mungkin megenal Allah itu payah!. Mengenal Allah itu, adalah ilmu yang paling senang dan paling mudah, berbanding dengan ilmu-ilmu yang lain. Allah tidak terhijab atau terdinding, tidak tertutup atau terhalang oleh seuatu!. Masakan kita tidak mengenal Allah dengan mudah!.
Mudahnya sekolah tadika atau sekolah kafa
itu, mudah dan senang lagi ilmu mengenl Allah!.
Kenapa tidak kenal?……………………………………….
Ini bukan bertujuan untuk Menerapkan nilai-nilai hulul atau unsur-unsur wahdatul wujud!. Ini semata-mata bertujuan untuk membuka mata semua pihak-pihak yang mendakwa
Tafsir kalimah ahad, isinya adalah suatu perkara yang berbeda berbanding dengan tafsiran kalimah wahdatul wujud!. Sebenarnya ilmu makrifat sejati dan sebenar itu,
tidak mensamakan Allah dengan makhluk, tetapi tidak juga memisahkan dengan makhluk!.
Seumpama “asap bukan api, tetapi tidak lain dari api”.
Faham itu baik-baik.


Ilmu Tharekat dan Khodam


Tanya : Assalamu'alaikum Wr Wb 
Apakah yang dimaksud ilmu Thoriqot?
Apakah ilmu khadam bisa dikategorikan ilmu tasawuf?

Jawab : Wa'alaikumussalam Wr Wb
Ilmu thoriqot sangat luas. Thoriqot pun banyak sekali, Qodoriyah, Naksabandiyah, Khalidiyah, Satariyah, Sadziliyah, Alawiyah, dan lain-lain. Itulah thoriqot yang diakui atau dikenal dengan thoriqot mu'tabaroh. Karena itu pelajarilah dahulu sejauh mana ilmu thoriqot. Sehingga kita masuk suatu thoriqoh bukan sekedar karena iming-iming fadhilahnya. Namun, yang pertama dan paling penting, bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah.Yang kedua, bagaimana kita selalu dekat disisi Allah SWT dan disisi Baginda Nabi Muhammad SAW. Silahkan saja memilih, yang jelas thoriqoh punya sanad muasalnya sampai kepada Rasulullah SAW. Thoriqot itu hakikatnya bukan ilmu kesaktian, ilmu thoriqot juga bukan untuk mencari kekayaan, menjadi seorang Wali atau mendapatkan karomah atau lebih-lebih mempelajari ilmu thoriqot sekedar untuk memperoleh khadam. Guru-guru thoriqot, bila mendapatkan karomah, justru merasa malu kepada Allah SWT.
Dia mawas diri, apakah pantas menerima karomah dari Allah SWT. Semua malah menjadi ujian, fitnah dan beban karena ketermasyuran itu bukan menjadi tujuannya. Makna fitnah ini bukan dari luar, seperti memfitnah dirinya. Namun datangnya dari diri sendiri, karena akan dikhawatirkan akan timbul egoisme, keakuan, sombong serta yang sifatnya kurang terpuji.
Pada hakekatnya ilmu thoriqot adalah pengamalan dari bentuk ihsan. Mampukah kita bersujud kepada Allah SWT seolah-olah kita melihat-Nya. Namun sulit hal ini dilaksanakan bagi awam. Kalau tauhidnya tidak kuat, kata-kata "seolah-olah melihat-Nya" nanti menimbulkan efek mengada-ngada.
Inilah yang sangat dikhawatirkan para guru thoriqot kepada murid-murid yang baru belajar. Kalau tidak mampu merasa seolah-olah melihat-Nya. Maka kita merasa dilihat dan didengar oleh Yang Maha Kuasa. Ini dulu..., Mampukah kita setiap hari mengamalkan sesuatu yang seolah-olah kita merasa dilihat dan didengar oleh Allah. Bila sikap ini tumbuh disetiap hati masing-masing pengamal thoriqot, Insyaallah akan melahirkan sifat-sifat yang terpuji antara lain :
1. Tumbuh takut kepada Allah (khauf), yang tujuannya akan menambah ketakwaan kepada Allah SWT. Kita akan mawas hati, muhasabah, dan takut jika kita digolongkan sebagai orang yang merugi.
2. Akan menumbuhkan sifat raja', mengharap semata-mata kepada Allah, karena khauf tersebut.
3. Akan menumbuhkan kecintaan kepada Allah, dan kebenaran akan dipegang kuat. Dalam arti benar hatinya, benar matanya, benar telinganya, benar tutur katanya, dan benar perilakunya.
4. Akan menumbuhkan, diantaranya, al-haya' (malu) kepada Allah. Dan karena cinta kepada Allah dan Rasulullah, maka kita akan malu kepada Allah dan Rasul-Nya kalau berbuat yang bertentangan dengan perintah-Nya. Bagaimana kita tidak malu? kita sudah mendapatkan keutamaan dari Yang Maha Kuasa berupa nikmat keutamaan beriman dan ber-islam, melalui Baginda Nabi Muhammad SAW, sedang kenikmatan iman dan islam merupakan kenikmatan yang luar biasa dari Allah SWT. Maka, jika keutamaan tidak dipergunakan sebagaimana mestinya, akan tumbuh rasa malu kepada Allah dan Rasul-Nya.
5. Akan menumbuhkan sifat syukur kita kepada Allah terhadap segala nikmat yang diberikan kepada kita, seperti nikmat iman dan islam, bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil, mana halal dan mana haram, akhlaq yang baik dan akhlaq yang buruk.
6. Sabar. Makna sabar akan menuntun kita agar terhindar dari bujukan hawa napsu, lebih-lebih godaan setan, yang selalu masuk kedalam hati kita. Pintu masuk setan terbuka apabila kita tidak bisa memelihara kesabaran, artinya kurang bisa menahan diri dalam memerangi hawa napsu.
7. Muhasabah, memperhitungkan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang menguntungkan atau merugikan diri kita masing-masing. Inti ilmu thoriqot adalah bagaimana dzikir yang kita baca itu dapat membersihkan hati kita dari sifat lupa kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena lupa, akan menimbulkan sifat takabur dan sebagainya.
Thoriqot disini untuk membentengi segala hal dari perbuatan buruk, secara lahiriyah dan bathiniyah, terutama masalah kemusyrikan kepada Allah SWT. Supaya kita tidak terpengaruh atau masuk kedalam golongan orang yang menyekutukan Allah. Dzikirnya Lailahaillallah Muhammad Rasulullah. Sehingga terukir hiasan itu didalam hati dan menjadi sirr (rahasia) dan cahaya yang
akan menangkis segala yang merusak iman dan islam kita.
Ilmu tasawuf adalah ilmu yang bisa digunakan manusia untuk membuat hati kita menjadi zuhud, yakni hati kita bersih dari hasrat kepada hal-hal yang duniawi. Namun bukan berarti kita kemudian tidak berurusan dengan keperluan duniawi sama sekali, menjadi orang yang eksklusif dan terus bersikap tertutup bahkan menjadi orang yang apatis terhadap dunia. Bukan itu, jangan salah paham!
Umat islam dituntut jadi muzakki (pembayar zakat), beribadah haji, dan lain-lain.
Kalau kita menjauhkan diri dari dunia, bagaimana kita mampu menjadi muzakki, melaksanakan haji dan lainnya? Marilah kita seperti ikan dilaut, meskipun asin airnya, ikannya tidak ikut asin.
Sedangkan masalah khodam tidak ada keterkaitannya dengan ilmu tasawuf. Sebab makna zuhud tidak ada keterpautan hati selain Allah dan Rasul-Nya. jadi, mana mungkin kita akan tertarik kepada khadam dan sebagainya? Tetapi kita tidak menolak adanya khodam. Karena khadam itu sendiri berasal dari malaikat, yang diciptakan oleh Allah SWT untuk menjaga isi Al-qur'an, sehingga sampai titik dan hurufnya pun tidak berubah. Walau demikian bukan berarti Al-qur'an perlu bantuan dijaga oleh malaikat, tetapi justru sebaliknya, para khadam itu mendapat kehormatan untuk menjaganya. Nah, barang siapa ahli membaca Al-qur'an, para khadam itu dengan seizin Allah akan melayani
orang tersebut. Karena ikut menjaganya dalam bacaan. Khadam itu menghormati orang yang membaca Al-qur'an. Jadi, kita berthoriqot dan menuntut ilmu tasawuf bukan untuk sekedar menundukkan khadam. Bukan! Para khadam itu mendekat kepada kita karena bacaan Al-qur'an yang kita amalkan, bukan karena perbuatan yang lain. Dalam hal ini karena kita ikut menjunjung tinggi kehormatan Al-qur'an, bukan karena sebab dari kita. Para Auliya tidak ada yang Ta'alluq (terpaut hatinya) kepada ilmu khadam. Saya menyarankan, thoriqot harus kita pegang, kita bersihkan hati kita dari hal-hal yang bersifat duniawi, tetapi kita tetap berurusan dengan dunia, sebatas kita mendapatkan bekal untuk beribadah.
Wassalam.

Sufi dan Yoga

Para Sufi

Tanya : Saya menemukan dalam buku Anda dan dalam wawancara yang saya baca, pendekatan guru Anda tampaknya lebih terkait dengan yoga daripada tasawuf, gagasan tentang chakra, kundalini, atman.

Jawab : Ya. Anda lihat tasawuf dan yoga adalah satu hal yang sama. Itu hanyalah kata-kata, dalam hikmah tidak ada bedanya. Semua ajarannya benar-benar sama. Itu hanyalah jalan yang berbeda menuju Yang Esa. Guru kami sering berkata, "Kamu bisa mendekati puncak gunung dari sungai, dari jalan raya, dari kota, dari laut, tapi puncak gunung itu akan selalu menjadi salah satu puncaknya." Tidak masalah, dan juga perkataan Sufi yang luar biasa ini, "Jalan menuju Tuhan itu sebanyak manusia, sebanyak nafas anak manusia." Dia mengatakan kepada kami bahwa itu adalah pepatah Sufi kuno dan itu berarti Anda tidak perlu mengubah agama siapa pun. Tak perlu kamu bilang Tuhanku lebih baik dari Tuhanmu. 

Seperti di Irlandia, aku akan membunuhmu jika kamu tidak percaya pada Tuhanku, sampah apa itu!  Yang ada hanyalah Yang Tak Terbatas, Tanpa Nama, dan Anda tidak dapat memenjarakannya dengan memberinya nama apa pun. Kita para Sufi, kita menyebut Tuhan Yang Tercinta. Ya Rahman Ya Rahim. Ini bukan hakim, bukan pencipta, itu adalah Kekasih jiwamu.

"Tenggelamkan pikiran dalam cinta" Itu indah.

Baiat Atau Talqin Kepada Mursyid Tharekat

Harus dipahami bahwa jalan kemuridan, jalan inisiasi, tidak sedemikian rupa sehingga guru memberikan beberapa pengetahuan kepada muridnya, mengatakan kepadanya sesuatu yang baru yang belum pernah dia dengar sebelumnya, atau menunjukkan kepadanya suatu keajaiban; jika dia melakukannya, dia bukan guru sejati. Manusia sesungguhnya adalah gurunya sendiri; dalam dirinya adalah rahasia keberadaannya. Kata-kata guru hanya untuk membantunya menemukan dirinya sendiri, Pemurnian Mental, dan Penyembuhan..... Tugas dari guru Sufi bukanlah untuk memaksakan keyakinan pada murid, tetapi untuk melatihnya sehingga dia dapat menjadi cukup bersinar untuk menerima wahyu sendiri. Mistisisme, Jalan Inisiasi dan Pemuridan. Setiap Nama adalah setetes yang berisi seluruh samudra. Anda akan menemukan Dia yang tinggal di hati setiap nama. 

Semua ciptaan adalah ekspresi lahiriah dari Kehadiran Satu Batin. Menembus jantung hanya setetes air, dan Anda akan dibanjiri oleh ratusan samudra. Jangan mengatakan hal lain, ulangi kata itu berulang kali, berkali-kali. 

Akhirnya itu akan kehilangan semua makna, tetapi memiliki arti yang sama sekali baru. Tuhan akan membuka pintu dan Anda akan menemukan diri Anda menggunakan kata sederhana itu untuk mengatakan semua yang ingin Anda katakan.

Untuk mengatakan " aku mencintaimu melebihi sisa hidupku "

Tugas Mursyid Menghantarkan


Syekh Abdul Qodir Jailani RA, berkata 
Apabila engkau sudah sampai kepada Allah SWT, maka dengan izin dan taufik Nya engkau akan dekat dengan Nya.
Yang dimaksud dengan 'sampai kepada Allah SWT adalah keluarnya engkau dari makhluk, hawa nafsu, ambisi dan angan-angan, serta yakin akan kekuasaan dan kehendak Nya, tanpa harus ada gerakan, baik itu dari dirimu sendiri maupun dari makhluk Nya yang lain. Akan tetapi semua itu berasal dari kebijakan, perintah, dan perbuatan Nya.

Jadi yang dimaksud dengan dekat dan bersatu dengan Tuhan itu adalah kamu mengosongkan hati kamu dari makhluk, hawa napsu, dan lain-lain selain Allah SWT, sehingga hati kamu hanya dipenuhi oleh Allah dan perbuatan Nya saja.
Kamu tidak bergerak, kecuali dengan kehendak Allah saja.
Kamu akan bergerak jika Allah menggerakkan kamu.

Inilah yang disebut FANA', yang menggambarkan sampainya seorang hamba kepada Allah SWT.  Tetapi yang harus di ingat
Sampainya seseorang kepada Allah bukanlah seperti sampainya ia kepada salah seorang makhluk Nya. Allah berfirman : Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat (QS 42:11). Maha Besar Allah untuk bisa diserupakan dengan makhluk Nya, atau dibandingkan dengan semua ciptakan Nya.
Jadi Sampainya seseorang kepada Allah hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan, dengan kesadaran yang diberikan Nya kepada orang itu.
Masing-masing orang dengan pengalamannya sendiri, dan tak ada seorangpun yang memiliki pengalaman yang sama. Allah SWT memiliki rahasia tersendiri dengan masing-masing Rasul Nya, Nabi Nya, dan para Kekasih Nya. Tidak ada yang dapat mengetahui  selain Allah dan manusia yang menjadi Kekasih Nya itu.
Bisa jadi ada rahasia yang dimiliki oleh seorang murid yang tidak diketahui oleh Syekhnya, sebaliknya ada rahasia yang dimiliki oleh seorang Syekh dan tidak diketahui oleh muridnya yang telah mendekati ambang pintu MAQOM' di mana Syekhnya berada.
Maka apabila si murid sudah sampai pada MAQOM' Syekhnya, maka ia akan dipisahkan dari Syekhnya dan terputus darinya (Allah memutuskannya dari semua Makhluk), dan yang membimbingnya adalah Allah SWT.
Jadi seorang Syekh bagaikan ibu yang menyusui, yang tidak menyusui lagi setelah 2 tahun. Tidak ada lagi ketergantungan pada makhluk setelah hilangnya hawa nafsu dan ambisi.
Seorang Syekh diperlukan selama hawa napsu dan ambisi itu masih ada, untuk membantu menghancurkannya.
Adapun setelah keduanya hilang, maka Syekh tidak lagi diperlukan, karena sudah tidak ada kotoran dan kekurangan.
Apabila kamu sudah sampai pada Yang Maha Benar sesuai dengan yang telah kami jelaskan tadi, maka selamanya kamu telah aman dari segalanya selain Allah SWT.
Kamu tidak lagi melihat sesuatu selain Nya sebagai wujud yang berarti, tidak ada manfaat maupun mudarat, tak dapat memberi maupun menolak, tidak dapat memberikan rasa takut maupun harapan.
Dialah yang berhak ditakuti dan berhak memberikan ampunan.

Jadilah kamu selalu awas terhadap tindakan Nya, perhatikan selalu semua perintah Nya,
sibukkan selalu dirimu dengan taat kepada Nya, lepaskan ketergantungan pada semua makhluk Nya,
baik duniawi maupun ukhrawi.
Janganlah menggantungkan hatimu pada sesuatu dari makhluk Nya,
jadikan semua makhluk Nya itu bagaikan seorang yang diborgol kedua tangannya oleh seorang penguasa yang tinggi kedudukannya,
ditakuti, dan disegani, lalu kedua kaki orang tersebut dibelenggu dan dia diikat di sebuah pohon yang besar di tepi sungai yang besar ombaknya, gemuruh suaranya, tinggi airnya, deras arusnya. Lalu penguasa itu duduk di atas kursi, dan disampingnya disimpan beberapa ikat anak panah lengkap dengan busurnya dan berbagai senjata berat lainnya. Maka sang penguasa dengan sesukanya mengarahkan senjata tersebut kepada orang yang diikat di pohon.
Apakah yang terbaik bagi yang melihat kejadian itu, untuk tidak melihat kepada penguasa dan tidak takut kepadanya serta tidak berharap kepadanya, lalu melihat kepada orang yang dibelenggu,
takut dan berharap darinya?
Bukankah orang yang melakukan yang demikian itu, ditinjau secara rasional, dinamakan tidak berakal, mendekati gila, bahkan binatang dan bukan manusia?
Kita berlindung kepada Allah dari kebutaan setelah melihat, terputus setelah sampai, jauh setelah dekat, sesat setelah mendapat hidayah, dan kafir setelah iman.
Maka dunia bagaikan sungai yang besar arusnya seperti yang telah kita gambarkan tadi.
Setiap hari bertambah airnya, dan itulah hawa napsu bani Adam di dunia dan semua kelezatannya serta kesulitan-kesulitannya yang menimpa mereka.
Adapun panah dan berbagai senjata lainnya adalah gambaran cobaan yang mengalir sesuai ketentuan Nya. Pada umumnya semua cobaan itu dirasakan oleh anak Adam di dunia, dan tidak mendapatkan kenikmatan dan kelezatan didalamnya.
Maka bagi semua orang yang berakal, tidak ada kehidupan dan ketenangan baginya kecuali di akhirat, jika hal itu diyakininya (karena hal itu khusus bagi orang-orang mukmin).
Rosulullah SAW bersabda : Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat, Sabdanya lagi : Tidak ada ketenangan bagi seorang mukmin tanpa bertemu dengan Tuhannya,
Sabdanya lagi : Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir, Sabdanya pula : Orang bertakwa itu terkekang.

dari kitab : Adab as Suluk wa at-Tawasshul ila Manazil al-Muluk
 

Mursyid Palsu

Pada awalnya seorang yang bijak merupakan pembimbing seorang murid. Segera setelah memungkinkan, guru ini melepaskan si murid, sebagai orang yang memperoleh hikmahnya sendiri, dan kemudian ia melanjutkan kerja dirinya.

Para Guru Palsu dalam sufisme, sebagaimana dimana saja, tidaklah sedikit. Maka para Sufi dihadapkan pada situasi aneh, sebab sementara Guru Palsu bisa jadi tampak seperti asli (karena ia berusaha keras untuk berpenampilan seperti yang diinginkan muridnya), sedangkan Sufi sejati seringkali tidak seperti apa yang dikira oleh Salik yang belum terlatih dan belum bisa membedakan. Rumi mengingatkan, “Jangan menilai seorang Sufi sebagai seseorang yang bisa dilihat, sobat. Berapa lama, seperti seorang anak kecil, engkau hanya lebih menyukai kacang dan roti? ”Guru Palsu sangat memperhatikan penampilan, dan mengetahui bagaimana membuat seorang murid mengira bahwa ia adalah orang besar, bahwa ia memahaminya, bahwa dirinya memiliki rahasia-rahasia besar yang yang akan diungkap. 

Seorang Sufi memiliki banyak rahasia, tetapi ia harus menjadikan rahasia-rahasia tersebut berkembang dalam diri murid. Sufisme merupakan sesuatu yang diberikan kepadanya.

Guru Palsu akan menjaga para pengikutnya agar tidak menjauh dari dirinya untuk selama-lamanya, tidak mengatakan kepada mereka, bahwa mereka tengah diberikan latihan yang harus berakhir secepat mungkin, sehingga mereka bisa merasakan perkembangan mereka sendiri dan melanjutkan hidup sebagai orang-orang yang tercerahkan.

Rumi menyeru kepada para skolastik, teolog dan pengikut Guru Palsu, “Kapan kalian berhenti menyembah dan mencintai timbanya? Kapan kaki mulai mencari airnya? ”Hal-hal lahiriah merupakan sesuatu yang biasanya dinilai oleh kebanyakan orang. “Ketahuilah perbedaan antara warna anggur dan warna gelasnya.”


Dari buku: Mahkota Sufi

Menembus Dunia Ekstra Dimensi

Oleh: Idries Shah


Mursyid Sejati

Seorang Mursyid mempunyai kemampuan dan kebijaksanaan untuk melenyapkan ketidak tahuan spiritual muridnya. 

Guru sejati sudah mencapai tingkat perkembangan spiritual yang amat tinggi sebelum dia berperan sebagai seorang Guru. Seorang Guru tradisional telah mencapai Penyadaran Tuhan sebelum mulai mengajar.Hubungan antara seorang Mursyid dengan muridnya adalah hubungan Cinta Ilahiah. Dia membimbing muridnya kembali ke Tuhan. 

Cinta Guru kepada muridnya abadi, dan di akhir inkarnasinya dia akan melebur hampir semua karma dari murid - muridnya yang paling tinggi tingkatannya. Seorang Mursyid mengajarkan bagaimana cara menemukan jalan pulang menuju Tuhan. Tugas Guru menghantarkan muridnya ke jiwa yg lebih tinggi. 

Karenanya dia harus sudah pernah menjalaninya agar benar-benar dapat memahami jalan itu, sebelum dia bisa mengajar orang lain bagaimana cara mencapai kebersatuan dengan Tuhan. 

Ada beberapa Guru yang memilih untuk mengajar dalam jalur sebuah tradisi spiritual saja. Seorang Guru yang sudah menyadari Tuhan sebenarnya dapat mengajar melalui tradisi spiritual manapun untuk membimbing muridnya langsung kepada Tuhan. 

Seorang Guru sejati dapat membimbing para muridnya tanpa hadir secara fisik. Seorang Guru tidak pernah mati, karena dia bersatu dengan Tuhan setelah inkarnasinya, semua kebahagiaan Ilahiah yang diterimanya dari Tuhan kemudian disalurkannya kepada para muridnya yang serius sampai mereka sendiri mencapai kebebasan dalam Tuhan.

Seorang Guru Spiritual sejati tak akan memintamu untuk patuh total kepada dirinya dan memujanya. Tetapi, ia akan membantumu untuk menemukan dan memuliakan dirimu sendiri. 

Ia adalah seseorang yang datang untuk membuatmu mempertanyakan banyak hal, yang mengubah realitasmu, dan yang akan menandai hidupmu sebelum dan sesudahnya. Guru tidak dapat membangunkan dirimu, semua yang bisa dia lakukan adalah menunjukkan apa itu.

Para guru sejati bagaikan cermin bening yang menangkap cahaya Tuhan lalu memancarkannya. Pada awalnya seorang yang bijak merupakan pembimbing seorang murid. Segera setelah memungkinkan, guru ini melepaskan si murid, sebagai orang yang memperoleh hikmahnya sendiri, dan kemudian ia melanjutkan kerja dirinya.

Sedangkan seorang GURU PALSU akan menjaga para pengikutnya agar tidak menjauh dari dirinya untuk selama-lamanya. Tidak mengatakan kepada mereka, bahwa mereka tengah diberikan latihan yang harus berakhir secepat mungkin, sehingga mereka bisa merasakan perkembangan mereka sendiri dan melanjutkan hidup sebagai orang-orang yang tercerahkan.

Seorang Guru sejati tidak pernah memungut bayaran atau imbalan tertentu dari bimbingan yang diberikannya kepada dirimu maupun orang lain, karena dia akan menerima imbalan langsung dari Tuhan. Biasanya para Guru mau menerima sumbangan karena mungkin itu adalah satu-satunya pendapatan yang diperolehnya didunia ini, Oleh karena jarang ada Guru yang mengikuti tradisi yang berlaku saat ini, bekerja untuk mendapatkan uang. Bagaimanapun ada beberapa Guru tingkat tinggi yang menjalani kehidupan sehari-hari dengan bekerja mencari nafkah di siang hari dan mengajar para muridnya di malam hari. 


Sufi Menghindari Publisitas



Ada banyak orang berkhotbah tentang mengulang nama Tuhan dan meditasi, berpura-pura menjadi ahli yang sangat maju. Mereka mengklaim sebagai Guru, Sehingga mereka dapat mengumpulkan banyak penonton dan memamerkan keterampilan mereka.Tetapi pertunjukan bakat seperti itu bukanlah tanda pencapaian spiritual. Pencapaian spiritual menghindari publisitas

Latihan spiritual harus dilakukan dalam KEHENINGAN, jauh dari pandangan umum. Nama dan wujud Tuhan dipuja oleh Mira sebagai "permata berharga".

Permata indah dan berharga tidak dibawa sebagai barang dagangan ke pasar. Hanya sayuran yang dipamerkan untuk dilihat semua orang.

Tuhan adalah kehadiran, bukan seseorang. Oleh karena itu, menyembah hanyalah kebodohan belaka. 

Prayerfulness (ritual) itu dibutuhkan, tapi bukan doa/meminta. 

Tidak ada seorang pun yg dapat berdoa, tidak mungkin ada dialog antara Anda dan Tuhan. Dialog hanya mungkin antara dua orang, dan Tuhan bukanlah orang, tetapi Tuhan itu “kehadiran/keberadaan” – seperti kecantikan dan sukacita.

Pengalaman pertama terjadi dalam diri Anda. Setelah Anda telah melihat terang dalam diri, Anda akan dapat melihatnya di mana-mana. Allah harus dibebaskan dari semua konsep kepribadian. Kepribadian adalah penjara. Allah harus dibebaskan dari segala bentuk tertentu; hanya kemudian dia bisa memiliki semua bentuk. Dia harus dibebaskan dari nama tertentu sehingga semua nama menjadinya.

Jika engkau memasuki misteri terdalam dari kehidupan, engkau bukanlah hanya seorang penyaksi, karena si penyaksi selalu ada di luar – engkau menjadi satu dengan kehidupan ini. Engkau tidaklah berenang di sungai kehidupan ini, bukan engkau yang mengapung di sungai kehidupan ini, bukanlah engkau yang berjuang di sungai kehidupan ini. Tidak, tapi engkaulah sungai itu. Seketika engkau menyadari bahwa riak-riak itu adalah bagian dari sungai. Berlaku juga kebalikannya, Sungai itu adalah bagian dari riak-riak itu. Bukan saja kita adalah bagian dari Tuhan, tetapi Tuhan juga adalah bagian dari kita.

Ketika Al Halaj mengatakan “Aku adalah Tuhan” ia tidak mengatakan bahwa “Aku adalah Tuhan dan engkau tidak”’ Ia tidak mengatakan “Aku adalah Tuhan dan pohon-pohon ini tidak” 

Ia tidak mengatakan “Aku adalah Tuhan dan kerikil-kerikil ini, bebatuan ini adalah tidak.” Mengatakan bahwa “Aku adalah Tuhan” ia menyatakan bahwa semuanya ini adalah Ilahi, suci. Segala sesuatu ini Ilahi.

Sufi tidak memikirkan tentang bagaimana alam semesta ini, tapi menjadi alam semesta. 

Sufi bukan tentang memikirkan, juga bukan tentang melakukan sesuatu terhadap alam semesta ini. Sufi bukanlah tentang berfikir maupun tentang bertindak. 

Sufi adalah yang ada, menjadi ada. (menyadari ke-ada-an, menjadi sadar bahwa kita ada, – being). Dan saat ini, tanpa usaha apapun, engkau dapat menjadi sufi. Jika engkau berhenti berfikir, dan engkau membuang ide tentang melakukan sesuatu, jika engkau membuang ide sebagai si pemikir (sesuatu yang berpikir) dan ide tentang si pelaku (sesuatu yang bertindak), jika engkau cukup menjadi ada, seketika itu engkau adalah sufi. 

Dan ini lah yang aku upayakan sembari aku berbicara tentang sufi: bukan untuk mendoktrinmu, bukan utuk membuatmu lebih berpengetahuan tentang sufi, tetapi membuat sufi yang ada di dalam dirimu keluar.

Religius Prematur

Orang-orang yang menjadi religius sebelum waktunya hanya membuang-buang waktu mereka. Menjadi religius sebelum waktunya berarti : menjadi religius tanpa benar-benar muak dengan kehidupan, belum benar-benar bosan, Permainannya masih memiliki beberapa daya tarik. Itu mungkin seks, itu mungkin uang, dan itu mungkin politik, kekuasaan. Tetapi sesuatu dalam hidup masih memiliki daya tarik. Maka sebelum waktunya engkau telah menjadi religius, dan ini tidak akan membantu : engkau hanya akan membuang-buang waktumu. 

Orang harus benar-benar bosan, hidup tidak memiliki daya tariknya lagi; semua mimpi-mimpinya hancur; semua pelangi telah menghilang; tidak ada bunga-bunga lagi, hanya duri; engkau jenuh dengannya. Maka tidak ada usaha di pihakmu untuk meninggalkannya atau melepaskannya - ingatlah. Jika ada upaya apa pun untuk melepaskannya, itu berarti ada sedikit ketertarikan yang tersisa.