Opini Tharekat Sammaniyah

 

Opini Tarekat Sammaniyah: Dari Pattani, Palembang, sampai Betawi Sen, 19 Juni 2017.

 Zailani Kiki Pada hari Selasa, 4 Nopember 2014, pengurus dan anggota Majelis Agama Islam Wilayah Songkhla, Thailand yang berjumlah 36 orang, terdiri atas laki-laki dan perempuan yang dipimpin oleh yang dipertua (ketua) Tuan Haji Zakaria Binsaleh, melakukan kunjungan dan pertemuan silaturahim dengan pengurus MUI DKI Jakarta dan Jakarta Islamic Centre (JIC) di Ruang Muallim KH. M. Syafi`i Hadzami (Audio Visual) JIC. Pertemuan silaturahim ini difasilitasi oleh Biro Pendidikan dan Mental Spiritual (Dikmental) Provinsi DKI Jakarta. 

Namun yang menarik perhatian saya pada pertemuan silaturahim ini adalah penjelasan Abdul Halim Lateh, salah seorang pengurus Majelis Agama Islam Wilayah Songkhla, pada sesi dialog. Sambil tangan kirinya memegang kopian risalah Hidayatus Salikin fi Suluk Maslakil Muttaqin karya Syekh Abdus Samad Al-Palimbani, ia membacakan sebuah kopian naskah bertulisan Jawi (Arab-Melayu). Menurut naskah tersebut, Syekh Abdus Samad Al-Palimbani dikuburkan di sebuah kampung (Kampung Bangkrak), Distrik Chana (Melayu: Chenok),  Songkhla, Thailand. Menurut Abdul Halim Lateh, yang dikuburkan di Chana adalah hanya tubuh Syekh Abdus Samad Al-Palimbani, sedangkan kepalanya dibawa ke Bangkok oleh tentara Siam. Sebab kematiannya karena ia datang ke Thailand untuk berperang karena mendukung perjuangan kawannya, Syekh Daud bin Abdullah Al-Fatani, dan kaum Muslimin Pattani yang berjihad melawan tentara Siam. Dalam peperangan, Syekh Abdus Samad Al-Palimbani ditangkap tentara Siam dan kemudian dihukum pancung. Penjelasan Abdulhalim Lateh yang mahir berbahasa Melayu ini memperkuat tesis bahwa ulama yang bernama lengkap Abdus Shamad bin Abdullah Al Jawi Al-Palimbani (sumber-sumber Arab menamakannya Sayyid Abdus Shamad bin Abdurrahman Al-Jawi) wafat sebagai syahid di medan perang. Karena selama ini kematiannya memang banyak versi. Seperti ada yang menyatakan bahwa ulama kelahiran Palembang ini diduga kuat meninggal di Arab Saudi setelah menyelesaikan karya terakhirnya Sairus Salikin ila ‘Ibadati Rabbil ‘Alamin. Abdul Halim Lateh telah menyebut nama dua orang ulama yang saling bersahabat, yaitu Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani dan Syekh Daud bin Abdullah Al-Fatani. Inilah yang menarik untuk dijelaskan terkait dengan judul tulisan saya kali ini. Syekh Daud bin Abdullah A-Fatani adalah seorang ulama terkemuka, pengikut dan penyebar Tarekat Sammaniyah di Thailand Selatan. Ia lahir pada tahun 1740M, di Kresik, Pattani, Thailand Selatan. Ia kemudian belajar agama ke Aceh, kemudian ke Tanah Suci dan berguru kepada Syekh Samman, pendiri Tarekat Sammaniyah. Seperti sahabatnya Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani, ia juga produktif menulis meliputi ilmu fiqih, ushuluddin, dan tasawuf. Sedangkan Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani merupakan ulama Melayu-Indonesia yang paling menonjol di dalam jaringan ulama abad ke-18 Masehi. Ia banyak menghabiskan aktivitasnya sebagai penulis dan pengajar di kota Makkah dan Madinah. Sebagian karya-karyanya dijadikan bahan pengajaran di banyak majelis-majelis taklim bahkan sampai hari ini, seperti kitab Hidayatus Salikin dan kitab Sairus Salikin. Yang paling dikenal juga, ia adalah salah satu tokoh pembawa dan penyebar Tarekat Sammaniyah di Indonesia. Dikisahkan, dari Palembang, ia melanjutkan studinya ke Kota Mekkah dan Madinah bersama sahabat-sahabatnya dari Palembang, yaitu Kemas Ahmad bin Abdullah dan Muhammad Muhyiddin bin Syihabuddin. Di Haramain ini, ia belajar selama 20 tahun kepada ulama-ulama terkenal. Bidang studi yang paling digemarinya adalah Tauhid dan Tasawuf yang ia belajar langsung kepada Syekh Muhammad Samman. Kepada gurunya inilah ia mengambil Tarekat Sammaniyah yang zikirnya dikenal dengan Ratib Samman. Ia kemudian menyebarkan Tarekat Sammaniyah dan Ratib Samman di Palembang. Sedangkan di Betawi, menurut Siti Asiyah di dalam karya ilmiahnya Tarekat Sammaniyah dan Tradisi Manaqib Samman pada Masyarakat Betawi bahwa tokoh yang berjasa menyebarkan Tarekat Sammaniyah dan Ratib Samman adalah Abdur Rahman  Al-Batawi Al-Mashri. Ia ulama  Timur Tengah yang kemudian bermukim di Betawi di daerah Petamburan. Ia adalah kawan seperguruan dengan Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani, murid Syekh Samman. Selain Abdur Rahman Al-Mashri Tokoh lainnya yang berjasa adalah Guru Mughni Kuningan. Ia merupakan ulama Betawi terkemuka yang menyebarkan Ratib dan zikir Samman di masyarakat Betawi sepulang ia belajar di Tanah Suci. Selain kedua tokoh ini, murid-murid Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani juga turut berjasa menyebarkan Tarekat Sammaniyah di tanah Betawi. Begitu gigihnya murid-murid Tarekat Sammaniyah menyebarkan amalannya di Tanah Betawi sehingga sebagian besar masyarakat Betawi saat itu menjadi pengikutnya atau menjalankan amalan-amalannya sehingga Tarekat Sammaniyah disebut sebagai tarekatnya orang Betawi. Namun, Tarekat Sammaniyah saat ini mulai jarang diikuti orang Betawi. Penyebabnya adalah pengaruh dari pihak-pihak yang yang menyatakan bahwa ada amalan dan ucapan di Tarekat Sammaniyah yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam dan dikhawatirkan merusak akidah. Tetapi, munculnya pernyataan tersebut lebih disebabkan ketidakpahaman mereka terhadap bacaan-bacaan dan amalan Tarekat Sammaniyah. Misalnya, di dalam kitab Manaqib Syekh Samman terdapat kalimat yang berbunyi “Siapa yang masuk rumahku, maka akan masuk surga”. Memang jika kata “rumah” di kalimat tersebut diartikan secara tekstual, kalimat tersebut merusak akidah. Padahal, pengertian rumah di sini bukanlah rumah sebagai tempat tinggal Syekh Samman, melainkan rumah untuk ibadah, yaitu mushalla atau masjid. Begitu pula tentang tawassul. Namun bukan hanya pengaruh dari pendapat-pendapat tersebut yang menyebabkan Tarekat Sammaniyah mulai jarang diikuti oleh orang Betawi. Tetapi juga disebabkan ketidakmampuan murid atau penyebar Tarekat Sammaniyah sekarang ini untuk untuk mematahkan tuduhan-tuduhan pihak luar terhadap amalan-amalan juga ucapan-ucapan pemimpin Tarekat Sammaniyah yang dianggap sesat. Kasus fatwa sesat terhadap Tarekat Sammaniyah pimpinan Syekh Muda Achmad Arifin yang dikeluarkan oleh MUI Sumatera Utara yang kini tengah bergulir di pengadilan adalah salah satu contohnya. Padahal, para penyebar dan murid-murid Tarekat Sammaniyah di Indonesia pada periode awal merupakan para pejuang yang mengobarkan semangat, turut berjuang bahkan memimpin jihad fi sabilillah melawan penjajah, melawan kaum kafir yang memerangi mereka. Bahkan Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani merupakan tokoh Tarekat Sammaniyah yang justru banyak meluruskan pemahaman tarekat yang berlebihan dan yang dianggap dapat merusak akidah. 

*) Penulis kini diamanahi sebagai Sekretaris RMI-NU DKI Jakarta dan Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre.

Catatan : Tharekat Sammaniyah menyebar di wilayah Slipi, Palmerah,  Tomang, Tanah abang dan Petamburan. Dulu Tahun 1977 penulis masih merasakan jika khataman Alquran tidak lupa membaca Ratib Sammaniyah. (Syamsul Arifin)


Asal usul nama Slipi dan Cerita maen pukulan


Sebagai seorang yg terlahir di kampung  Slipi, DKI Jakarta, Sejak Remaja menggeluti seni beladiri dan tenaga dalam dari Guru ke Guru lainnya. Silsilah dari garis Ibu - Fatmah binti KH Muhammad Nur Syafii bin H Sariun bin H Ja'man asal Slipi. Dan dari garis Bapak - H Abdul Haris bin Abdurrahman bin Adam asal Kemanggisan ilir.

Secara geografis Slipi zaman dulu, wilayahnya adalah Kotabambu selatan, Jati pinggir gang Kiapang, Slipi petamburan,  Slipi bludik, bunderan slipi, Slipi hankam, Slipi anggrek, Slipi lapangan Romsol sampai Taman anggrek dulu.
Dulunya Slipi masuk wilayah Kecamatan Slipi Petamburan yg sekarang masuk Kecamatan Palmerah.

Asal usul kampung Slipi sendiri dari Kata Salafi. Menurut Cing Abd Fatah, karena orang Betawi demen dgn kata-kata yg singkat, biar gak lama ngomongnya, akhirnya Salafi berubah Slipi. Banyak kata lain yg berubah contohnya kata dari Batavia menjadi Betawi, juga dari nasi Wudhu menjadi nasi uduk.
Secara sederhana, salafi adalah golongan orang yang menganut manhaj salaf atau Ahlussunnah wal Jamaah. Prinsip yang dipegang oleh kaum salafi adalah sumber rujukannya memahami akidah dalam manhaj salaf yang terdiri dari Al-Qur'an, Hadis, dan Ijma salaful salih atau Ulama Salaf. Oleh karena itu zaman dulu bagi yang Keturunan Arab yg tinggal di Slipi, penduduk wilayah lain menyebutnya daerah Orang Salafi. Kampung Slipi masyarakatnya juga Religius, Toleransi dan Aman. Diantara Tokoh Betawi yg lahir di slipi adalah  Habib Ali bin Sahil bin Abdul Qodir, Habib Rizieq bin Habib Hussein bin Muhammad Shihab, KH Muhammad Nur Syafei(Kong Guru Kecil), diteruskan KH Solihun, dll.  Kata ane dan ente yg menjadi ciri khas ucapan oramg Slipi menjadikan akhlak yg baik.

Sejarah istilah maen pukulan lahir sebagai bentuk perlawanan masyarakat Tanah Betawi terhadap penindasan yang dilakukan kolonial Belanda di masa penjajahan. Meski begitu, masyarakat Betawi menggunakan maen pukulan bukan untuk menyerang melainkan untuk membela diri. Sama seperti yang diajarkan oleh para guru maen pukulan zaman dulu, bahwa Orang Betawi selain harus memiliki keterampilan bela diri, juga harus menguasai ilmu agama agar keduanya seimbang.

Tanah Betawi khususnya Kampung Slipi mengartikan maen pukulan sebagai permainan yang melibatkan kontak fisik serangan membela diri dengan atau tanpa senjata. Oleh karena itu muncullah istilah pukulan karena memang lebih banyak menggunakan tangan. Rahasianya adalah lebih maen pukulan jarak pendek atau dekat dgn lawan. Mengutamakan kecepatan dan refleks. Meski begitu seiring perkembangan zaman, tendangan juga mendominasi namun hanya sebatas pusar ke bawah.
Penulis sejak usia 10 tahun sudah mulai mempelajari aliran maen pukulan Betawi yaitu aliran yang memang masih orisinil pada Zamannya.
Guru - guru penulis yang terkenal pada zamannya diantaranya aliran Petojo dari Kong Sanusi Slipi, Gerak Rasa dari Bang pi'i Slipi, Cingkrik dari Cing Didi Kemanggisan, Pukulan Sabeni Tenabang dari Bang H Yunus Slipi kotabambu, dapat juga dari Kong Ceot Kemanggisan, Aliran Ki Ontong dari Cing Mamat Kemanggisan, pukulan Pancer dari Bang Supri Slipi.(Alfatihah untuk Jasa beliau semua).
Masing-masing aliran para guru silat ini memiliki jurus yang berbeda. Penulis pada waktu thn 83, bersama para pesilat di undang Ketua IPSI Bpk Edi Nalapraya, yang sering mengadakan pertemuan dengan para pesilat Betawi di gelanggang Grogol Walikota Jakarta barat. Diantara para undangan Guru sepuh seperti kong Ceot dari Kemanggisan Ilir, turun menampilkan atraksi seni maen pukulannya di atas panggung.

Inti aliran maen pukulan Betawi didasarkan atas karakter dan bentuk maen pukulan yang berseni indah, yang bisa dibuat sebagai seni silat panggung yang akhirnya melahirkan Silat Palang Pintu, yang merupakan tradisi yang menjadi bagian dari upacara pernikahan masyarakat Betawi. Palang pintu adalah Penggabungan seni beladiri dengan seni sastra pantun agama.