Syaikh Mansur Al Hallaj

Kehidupan al Hallaj, adalah perjalanan spiritualitas yang total. Sehari-hari dia menggumamkan kerinduannya yang mencekam, menggetarkan dan menenggelamkan eksistensinya ke dalam Tuhan, baik melalui Tuhan yang turun ke dalam hatinya (Hulul), maupun ruhnya yang naik menyatu dengan-Nya (Ittihad) dan kesaksian atas kesatuan semesta (Wihdah al Wujud). Al Hallaj menempuhnya melalui pengembaraan di belantara realitas, penjelajahan semesta dan pendakian yang tertatih-tatih dan terkantuk-kantuk. Tetapi juga keriangan, keindahan dan pesona-pesona. Lihat, ketika dia bicara ini :

Diam, hening, bisu, mengetahui, menemukan lalu tenggelam

Tanah lempung, api, cahaya, dingin, bayang-bayang lalu matahari

Duka, datar, terjal, sungai, lautan lalu kering

Mabuk, cerah, rindu, merapat, bergabung lalu keintiman

Tergenggam, terbuka, lepas, terpencar, terhimpun lalu lenyap-senyap

penerimaan, penolakan, ketertarikan, sebutan, tersingkap lalu mengenakan baju (Diwan Qasidah 4: Perjalanan)

Deklarasi al Hallaj yang monumental, yang menggetarkan: “Ana al Haq”(Akulah Kebenaran/Tuhan), memperoleh response dan tafsir yang beragam. Jalaludin al Rumi bilang : “Banyak orang menganggap ini ucapan amat berbahaya. Tetapi sejatinya ia adalah puncak kerendah-hatian (tawadhu’). Jika dia mengatakan :”Aku hamba Kebenaran (Ana Abd al Haq), dia telah menetapkan dua entitas, Dualitas; dirinya dan Tuhan. Jika dia mengatakan : “Ana al Haq”, dia telah meniadakan dirinya dan menyerahkannya kepada angin. Ucapan “Ana al Haq” sama dengan “Ana ‘adam” (aku tiada), Dialah Totalitas Absolut-Universal (Huwa al Kulliyyah). Tak ada Eksistensi kecuali Allah. Aku dengan seluruh eksistensiku adalah tiada. “Ana Lastu Syai-an”(Aku bukanlah apa-apa). Inilah kerendah-hatian yang paling tinggi (Hadza al Tawadhu’ A’zham)”. (Fihi ma Fihi, Pasal 11: “Perlihatkan kepadaku segala hal”, h. 84).

Sufi lain bilang : Ketika al Hallaj berteriak :”Akulah Kebenaran”, dia adalah terompet yang ditiup oleh nafas Tuhan”. Yang lain bilang : “Dia juru bicara jiwa ketuhanan melalui lidah kemanusiaan”. Yang lain lagi bilang ;”Aku di situ, bukan kehampaan murni, melainkan sebagai penyucian diri yang ditarik menuju bentuk-bentuk wujud yang lebih tinggi dan akhirnya melebur dalam Tuhan yang dalam ucapan Husain al Nuri (w.295 H/908 M):”terbentuk dalam sifat-sifat Tuhan”(al Takhalluq bi Akhlaq Allah). Nabi menganjurkan : “Takhallaqu bi Akhlaq Allah”(Berakhlak-lah dengan Akhlaq Tuhan/pakailah etika Tuhan). Dll.

Gagasan Kemanunggalan atau Kesatuan Eksistensi Semesta, bukan hanya milik al Hallaj. Hampir semua sufi besar yang tercerahkan bicara tentang gagasan ini. Abu Bakar al Syibli bilang: “Akulah Sang Waktu”, Abu Yazid al Bisthami berucap :”O, Betapa Maha Sucinya Aku”. Ibnu Arabi mengatakan : “Seorang sufi melihat Allah dalam Ka’bah, dalam Masjid, dalam Gereja dalam Kuil”. Syibli, sahabatnya yang hadir saat eksekusi Hallaj, membisikkan kepada temannya: “Hallaj dan Aku memiliki kepercayaan yang sama, tapi kegilaanku menyelamatkan diriku, sedangkan kecerdasan telah menghancurkan dirinya”

Para mistikus besar bicara tentang Kesatuan Eksistensi (Wahdah al Wujud) di atas. Bagi para bijakbestari itu,  di alam semesta ini hanya ada Dia, karena seluruhnya hancur dan tak bermakna. Ini digambarkan oleh Abd Wahab al Sya’rani (w. 973), sufi besar lain, dalam bait-bait puisi ini :

Seluruhnya, selain Dia adalah bintang yang lenyap.

Dalam mata para bijak bestari ia adalah ketiadaan

Tak ada apapun, kecuali Allah

Sekumpulan nama dalam alamraya tak ada,

Yang tampak hanyalah Dia

Selain Dia, dalam semesta, tak berarti

Karena dirinya sendiri, tak mungkin mewujud

(Baca: Zaki Mubarak, al Tashawwuf al Islami, h.195).

Para sufi besar adalah pribadi-pribadi tulus dengan pikiran-pikiran yang mengundang daya tarik yang luar biasa bagi rakyat. Mereka adalah para reformer sejati. Pandangan-pandangan dan sikap-sikap mereka sangat kritis terhadap kehidupan glamor dan korup para penguasa atas nama rakyat. Para sufi menekankan pelayanan masyarakat, kebersahajaan, ketulusan, kebersihan hati, toleransi yang luas dan mencintai sesama. Cahaya yang mereka pancarkan dari jiwa dan pikiran yang bersih telah menyedot gairah rakyat yang tertindas di mana-mana. Dan kata-kata mereka pun sampai. Kehadiran mereka dengan dukungan besar rakyat jelata yang diam, telah menggoyahkan kemapanan status quo. Kekuasaan politik beralih ke arah mereka. Sementara itu, ketika banyak orang mengejar dan memuaskan diri dengan simbol-simbol dan baju-baju eksoteris yang mengecoh, kaum sufi mencari Essensi yang esoteris dan ingin bersembunyi di tanah tak dikenal. Ketika banyak orang manggut-manggut di depan kekuasaan atau hasrat puja-puji rakyat, kaum sufi tak menjunjung tinggi-besar apapun kecuali Sang Essensi. Tak pelak, seluruh pikiran dan gerak mereka seperti itu mengancam sekaligus meruntuhkan kewibawaan dua otoritas maha perkasa : otoritas politik (struktral) dan otoritas keagamaan (kultural).

Karuan saja, otoritas-otoritas tersebut lalu menggunakan tangan kekuasaannya untuk menyingkirkan, mengkerangkeng dan melenyapkan para mistikus itu, dengan berbagai cara. Sejumlah sufi yang sudah disebut, dan masih banyak lagi yang lain,  mengalami nestapa sebagaimana atau serupa al Hallaj. Murid dan pembela Al Hallaj paling gigih, ‘Ain Qudhat al Hamdani, misalnya, mengalami hal serupa dengan guru dan pujaannya itu. Dia, (w. 1130 M), dihukum mati tepat di pintu sekolah tempat dia mengajar. Tubuhnya dibungkus kain dan dibakar. Abunya ditaburkan ke udara.

Imam Jalal al Suyuti, salah satu pembela Ibnu Arabi yang gigih, mengatakan : “Ma Kana Kabirun fi ‘Ashr Illa Kana Lahu ‘Aduwn min al Safalah”(Orang besar dalam sejarah selalu punya musuh orang-orang bodoh).

Hati dan jiwa pencintamu merinduimu

Kelezatan bertemu engkau

O, betapa damai