Ketauhidan Para Wali Allah Sama


Ilmu pengetahuan para Wali tentang kehadiran Allah adalah sama. Mereka sering mengadakan diskusi tentang kehadiran Allah, dan mereka sama-sama meng-Esa-kan Allah. Perbedaan yg terjadi adalah penampilan kehidupan di dunia. 

Ada pula perbedaan dalam berdakwah ilmu tauhid. Imam Syafii dengan Imam Maliki, yg sudah sama-sama mengenal kehadiran Tuhan pun, terdapat pula perbedaan cara berdakwah.
Imam Syafii lebih cenderung menyampaikan dengan mengikuti tatacara kehidupan didalam masyarakat. Imam Syafii berpendapat "Kalau orang banyak sudah melaksanakan demikian, biarkanlah kita merubahnya pelan-pelan, sebab kalau kita merubahnya secara drastis, justru kita yg dianggap mereka gila".
Imam Maliki menjawab "Kalau yg disampaikan orang banyak tidak mengenai sasaran, sebaiknya kita katakan yg sebenarnya kepada mereka, agar mereka menyadari. Mungkin hal ini berat, namun apa boleh buat".
Maksud Imam Syafii, bahwa biarkanlah sementara orang yg belum mengenal Allah, mereka menyembah sekehendaknya. Sedangkan Imam Maliki berpendapat, bahwa beritahukan bahwa sebelum menyembah Allah, hendaklah mengenal Allah. Ini sejalan dengan hadist Nabi SAW, "Awaluddini Makrifatullah" artinya mula-mula beragama adalah makrifat kepada Allah.
Tapi perbedaan itu tidak menjadikan perpecahan diantara mereka. Mereka tetap dalam Ukhuwah Bashariyah. Sebab perbedaan dalam penyampaian memang harus tidak sama. Ada penyampaian berqalam dalam bentuk sasra, dan ini banyak dicontohkan oleh para Wali di Nusantara ini.
Misalnya dengan pupuh Suluk Linglung Sunan Kalijaga. Ada pula dengan syair, misalnya syair perahu yg disampaikan oleh Syekh Hamzah Fansuri. Ada pula yg melalui filsafat , misalnya Ibnu Arabi yg berpendapat , bahwa keadaan Rohani, hendaklah disifati oleh dirinya sendiri. Oleh sebab itu dirinya hendaklah menempati posisi yg positif menuju Rohani dalam aspek Ketuhanan. Ada pula dengan melalui syariat atau aqidah, kekeramatan yg bersifat metafisika, sebagaimana yg disampaikan oleh Nabi Musa.
Sedangkan yg masih mencari ibarat orang yg sedang mendaki bukit, berhutan lebat dan bertebing curam. Sasaran mereka ialah sampai kepuncak bukit. Mereka harus berjuang mencari dan menempuh perjalanan. Ada yg berjalan berputar-putar. Ada yg berjalan lurus, kadang sering jatuh. Apabila mereka sedang menempuh jalan ini dan lalu berbicara tentang kehadiran Tuhan, kemungkinan akan terjadi kebohongan atau manipulasi.

Sebuah cerita menarik dari seseorang yg naik haji, sampai di Mekah dengan khusuknya dia mencium Hajar Aswad , dia bersyukur kepada Tuhan, sebab sudah berhasil mencium berulang kali. Kajian hakikatnya tidaklah demikian, Ia menemukan batu, tapi bukan menemukan Allah.
disini pentingnya....mereka yg berjuang di jalan Allah haruslah punya ilmu dan kemampuan untuk mencari dan menemukan kehadiran Allah. 

Mengutip ceramah Kyai Zaenudin mz, kemampuan menuju kehadiran Allah harus dengan iman, bukan dengan kemampuan otak. Ada pertanyaan yg sering disampaikan kepada saya "Apakah para Wali itu sudah ber Haji ? ". Seorang Mursyid sudah dapat menilai tingkat akal yg bertanya. Suatu pertanyaan yg tidak menampilkan iman dan akal. Tetapi seorang guru tauhid harus menjawab, meskipun salah persepsi. Jawabnya ringkas " Sudah bahkan hampir setiap malam" Kenapa salah persepsi? Sebab pengertian berhaji menurut yg pertama tidak sama dengan pengertian haji yg diketahui oleh sang guru Mursyid. Berhaji yg pertama ialah berkunjung secara fisik ke Mekkah. Jadi kalau si penanya ingin melanjutkan pelajaran tauhid, maka sang Guru menyarankan supaya di tunda dulu. Tetapi sang Guru akan menjelaskan terlebih dahulu arti haji yg sebenarnya, kalau dia mau dan menerima, kalau tidak, tentu tidak akan di paksa. titik.