Maskulin Feminim Dalam Sifat Tuhan

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah (Q.S.Al-Zariyat/51:49)

Ayat ini mengisyaratkan  segala sesuatu selain Tuhan diciptakan berpasang-pasangan. Bukan hanya manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan mempunyai pasangan, laki-laki dan perempuan atau jantan dan betina, tetapi juga makhluk-makhluk lain seperti makhluk kosmologis. Di balik konsep berpasang-pasangan (azwaj) ini ada dua kualitas yang bekerja secara aktif dan mekanik, yaitu kualitas  kejantanan dan ketegaran (masculinnity/struggeling) dan kualitas kelembutan dan kepengasihan (femininity/nurturing).

Al-Qur'an sering kali menyebutkan fenomena kosmologi yang berpasang-pasangan, seperti langit dan bumi. Menurut Jalaluddin Rumi, langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan. Hubungan antara keduanya sebagaimana layaknya  hubungan antara laki-laki dan perempuan, atau menurut Murata hubungan antara keduanya dapat diterangkan melalui hubungan Yin dan Yang dalam Taoisme.

Ibnu 'Arabi juga memberikan pernyataan yang hampir sama. Langit diumpamakan dengan suami dan bumi diumpamakan dengan isteri dalam kehidupan rumah tangga. Jika langit menurunkan airnya kepada bumi maka akan lahirlah berbagai makhluk biologis seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang. Demikian pula halnya manusia, penurunan air (sperma) kepada perempuan menyebabkan tumbuhnya janin dalam rahim  dan selanjutnya lahir sebagai manusia.

Dan Allah menjadikan bumi bagaikan isteri dan langit bagaikan suami.Langit membeikan kepada bumi sebagian dari perintah yang diwahyukan Tuhan, sebagaimana laki-laki memberikan air ke dalam diri perempuan melalui "hubungan suami-isteri". Ketika pemberian itu berlangsung, bumi mengeluarkan seluruh tingkatan benda-benda yang dilahirkan yang disembunyikan Tuhan di dalamnya.

Konsep perkawinan  dalam pandangan sufi lebih luas dari pada sekedar apa yang dirumuskan dalam Fikih Perkawinan , yaitu peraturan perkawinan dan akibat-akibat hukum sebuah perkawinan.  Kalangan sufi mengenal Perkawinan Makrokosmos (Macrocosmic Marriage), meliputi perkawinan hubungan-hubungan tertentu antara benda atau sifat yang berpasangan, seperti hujan mengawini tanah.

Komposisi ideal kualitas maskulin-feminin tergambar di balik 99 nama-Nya dalam Al-Asma` al-Husna, sebagaimana dapat di lihat sebagai berikut:

Kualitas Maskulin

1. Al-Jabbar (Yang Maha Pemaksa)   

2. Al-Qawiy (Yang Maha Kuat)       

3. Al-Muntaqim (Y.M. Penyiksa)

4. Al-Qahhar (Y.M.Menguasai)

Kualitas Feminin

1. Al-Rahim (Yang Maha Penyayang)

2. Al-Lathif (Y.M.Lembut)

3. Al-Gaf­r (Y.M.Pengampun)

4. Al-Hakim (Y.M.Bijaksana)

Orang-orang yang mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat maskulin Tuhan, akan didominasi rasa: aktif, progresif, kuasa, independen, jauh, dan dominan (struggeling). Sedangkan orang yang mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat feminin Tuhan akan didominasi rasa: pasrah, berserah diri, dekat, kasih dan pemelihara.

Orang yang lebih menekankan aspek maskulinitas Tuhan, ia seringkali membayangkan Tuhan transenden, jauh, dan lebih memilih untuk menakuti-Nya. Sedangkan orang yang lebih menekankan aspek feminin Tuhan, ia membayangkan Tuhan immanen, dekat, dan lebih memilih untuk mencintai-Nya.

Sikap yang pertama akan memberikan efek seseorang harus hati-hati dalam berbuat, karena Tuhan itu Maha Adil (al-'Adl). Sedangkan yang kedua akan memberikan efek optimisme dalam menjalani kehidupan, karena Tuhan itu Maha Pemaaf (al-'Afuw).

Pendekatan pertama bisa melahirkan sikap formalisme beragama, karena membayangkan Tuhan itu Maha Penuh Perhitungan (al-Hasib). Sedangkan yang kedua bisa melahirkan sikap permissif dan seberono, karena membayangkan Tuhan Maha Penyayang (al-Rahman) dan Maha Pengampun (al-Gafur).

Yang ideal ialah seperti sabda Rasulullah: berakhlaklah sebagaimana akhlak Tuhan, yaitu kombinasi ideal antara kualitas maskulin dan kualitas feminin, seperti yang dicontohkan Rasulullah sebagai uswah al-Hasanah, yang "akhlaknya adalah Al-Qur'an".

Allah bukan hanya memiliki sifat-sifat maskulin ("The Father God"), tetapi juga memiliki, bahkan lebih dominan dengan sifat-sifat feminin ("The Mother God"). Ada kecenderungan di dalam masyarakat sifat-sifat maskulinitas Tuhan lebih ditonjolkan, seperti Tuhan Maha Besar (al-Kabir), Maha Perkasa (al-'Aziz), dan Maha Pembalas/Pendendam (al-Muntaqim), bukannya menonjolkan sifat-sifat femininitas-Nya, seperti Tuhan Maha Penyayang (al-Rahim), Maha Lembut (al-Lathif), dan Maha Pema'af (al-'Afuw), sehingga Tuhan lebih menonjol untuk ditakuti dari pada dicintai. Efek psikologis yang muncul karenanya, manusia menyembah dan sekaligus mengidealkan identifikasi diri dengan "The Father God", yang mengambil ciri dominan, kuasa, jauh, dan struggeling, bukannya dengan "The Mother God",  yang mengabil ciri berserahdiri, kasih, dekat, dan nurturing. 

Idealnya, komposisi kualitas maskulin dan feminin menyatu di dalam diri manusia, sebagaimana halnya keutuhan kedua kualitas itu menyatu di dalam Diri Tuhan, seperti tercermin di dalam al-asma` al-Husna, dan sebagaimana juga dipraktekkan Rasulullah saw.

Allah swt, adalah Tuhan segala sesuatu, Tuhan makrokosmos dan mikrokosmos. Manusia sebagai makhluk mikrokosmos merupakan bagian yang teramat kecil di antara seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Ia bagaikan setitik air di tengah samudra. Bumi tempat ia hidup bagaikan sebuah titik di antara jutaan planet dalam galaksi bimasakti. Meskipun dipercaya oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi (khala`if al-ardl), manusia tidak sepantasnya mengklaim Allah swt, lebih menonjol sebagai Tuhan manusia dari pada Tuhan makrokosmos, karena pemahaman yang demikian dapat memicu egosentrisme manusia untuk menaklukkan, menguasai, dan mengekploitasi alam raya sampai di luar amban daya dukungnya; bukannya bersahabat dan berdamai sebagai sesama makhluk dan hamba Tuhan.

Sepantasnya kita menyadari bahwa konsep Asmaul-Husna adalah konsep alam semesta. Tuhan tidak hanya memperhatikan kepentingan manusia, atau Tuhan tidak hanya kepada manusia, sebagaimana kesan dan pemahaman sebagian orang terhadap konsep penundukan alam raya (taskhir) kepada manusia. Seolah-olah konsep taskhir adalah "SIM" untuk menaklukkan alam semesta. Padahal, konsep taskhir sebenarnya bertujuan untuk merealisasikan eksistensi asal segala sesuatu itu bersumber dari Tuhan Yang Maha Bijaksana (al-Hakim), yang mengacu kepada keseimbangan kosmis dan ekosistem.

Jika komposisi kedua kualitas ini menyatu dalam diri setiap orang, maka yang akan terjadi adalah kedamaian kosmopolit (rahmatan li al-'alamin) di tingkat makrokosmos dan negeri tenteram di bawah lindungan Tuhan (baldah Thayyibah wa Rab al-Gafur) di tingkat mikrokosmos.