Kantuk Yang Tak Berujung Lelap
Konsep Manunggaling Kawulo-Gusti adalah sebuah konsep tentang apa yang oleh Serat Wedhatama diistilahkan sebagai “Roroning Atunggil”
Konsep kemanunggalan dalam budaya Jawa bukanlah kemanunggalan di mana dua unsur melebur menjadi satu dan tak lagi dapat dibedakan. Kawula dan Gusti, meski tak dapat dipisahkan, tapi tetap dapat dibedakan.
Seperti yang diperlambangkan oleh Wedhatama dengan Gula dan Manisnya.
Pada konsep Ketuhanan, istilah pamor tersebut dapat terjadi ketika segala hijab (warana) antara kawulo (suksma sejati) dan Gusti (suksma kawekas) tersingkap.
Suasana itu tak ubahnya suasana
Kantuk Yang Tak Berujung Lelap
(Liyep Layaping Aluyup).
Liyep layaping aluyup terjadi ketika frekuensi otak berkisar di antara 7-13 Hz.
Di antara pikiran sadar dan bawah sadar, yang membelah tetapi juga menyatukannya, terletak tingkat kesadaran ketiga: Supra Sadar. Keadaan ini dimulai pada garis pemisah yang halus antara tidur dan bangun.
Jika Anda dapat menangkap pikiran Anda tepat pada saat Anda tertidur, atau pada saat yang sekilas sebelum kesadaran Anda naik ke kesadaran penuh, Anda mungkin menemukan bahwa Anda dapat dengan lembut tergelincir ke alam semi- Super Sadar, atau masuk ke dalam kesadaran Supra Sadar penuh.
Tan samar pamoring suksma
Sinuksmaya winahya ing asepi
Sinimpen Telenging Kalbu
Pambukaning warana
Tarlen saking liyep layaping aluyup
Pindha pesating sumpenan
Sinimpen ing rasa jati
—Serat Wedhatama
Tiada ragu berkumpulnya Suksma
Merasuk ke wadah keheningan
Dipendam dalam Pusat Hati
Tersingkapnya hijab
Tiada lain seperti kantuk yang tak berujung lelap
Tersusupi Rasa Sejati.