Ajaran Syaikh Siti Jenar tentang 'ADA'

Lantas, ajaran macam apa sebetulnya, yang dianggap “benar tapi berbahaya”, sehingga penyebarnya begitu patut menerima hukuman mati dalam pandangan Walisanga?

Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri.

Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera.

Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya, tidak seperti Syeh Siti Jenar. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.

Pada akhirnya.. kembali pada kehidupan

Perbedaan pokok antara kedua tokoh itu ialah Al-Hallaj selalu ditampilkan sebagai seorang sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, sedangkan dalam diri Siti Jenar sifat tadi hampir tidak tampak. Siti Jenar terutama dikisahkan sebagai seorang yang mandiri, akal bebas yang tidak menghiraukan raja maupun hukum agama; tak ada sesuatu pun yang menghalanginya menarik kesimpulan dari ajarannya.

Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti, akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri.

Wirid Syeh Siti Jenar,

Kehidupan adalah perpanjangan tangan Tuhan

Ngurub-urip utusan gusti

Keadaan segala kehidupan wajah Tuhan

Métu urub dating gusti

Tuhan berkehendak dalam hati

Gusti obah sakjeruning ati

Tuhan berkehendak dalam kehidupan

Gusti obah sakjeruning urip

Kehendak rasa adalah rasa kebenaran

Nyipto roso, roso sejati

Kebenaran rasa semoga menyatu dalam sanubari

Sejatining roso manunggalo marang siro.

Dalam Serat Dharmagandul dikisahkan bahwa konon Sabdapalon akan datang kembali bersama agama budi-nya yang 500 tahun sempat tersisih oleh agama Islam. Hal ini senada pula dengan Serat Jangka Seh Bakir yang pernah menyatakan bahwa umur tanah Jawa adalah selama 2100 tahun. Serat Jangka Seh Bakir sendiri mengisahkah pertemuan antara Syekh Subakir dengan Dahyang pulau Jawa: Semar dan Togog.

Lebih lanjut Sunan Bonang berkata, “Kesempurnaan orang yang telah sempurna makrifatnya, pandangannya akan hilang lenyap, tidak ada yang dilihat, ia menjadi penglihatan Tuhan yang Mahaagung, yang menyembah menjadi Yang Disembah. Semua kehendaknya hilang karena ia sudah diliputi Yang Maha Berkehendak. Tidak ada gerak yang disengaja sebagai pribadi karena diri telah menjadi buta, tuli, dan bisu, semua lenyap. Semua gerak berasal dari Allah.”

Sinuhun Majagung memaparkan ilmunya, “Menurut pendapat kami, di akhirat tidak ada lagi yang disebut iman, tauhid, dan makrifat. Semua itu hanya ada di sini (dunia); di akhirat sudah tidak ada lagi. Hubungan yang sejati antara kawula dengan Gusti terungkap dalam memuji dan menyembah. Perbuatan serupa itu di akhirat tidak ada lagi. Bila orang tidak beriman dan tidak mengenal ilmu sejati, dia tidak berkembang menjadi manusia sempurna.

Sunan Gunung Jati membabar ilmu sebagai berikut, “Yang disebut makrifat ialah memandang Tuhan sedemikian rupa, sehingga di luar Dia tidak ada lagi sesuatu. Tidak ada dua atau tiga. Allah hanya Tunggal.”

Sunan Kalijaga berkata, “Arahkan perhatianmu kepada yang berikut tanpa ragu-ragu. Manusia harus memandang Tuhan, tetapi bagaimana cara memandang-Nya, karena Tuhan tidak memiliki rupa, tidak bertempat dan tidak berwarna, tidak berwujud dan tidak terikat tempat (maqam) dan waktu (zaman). Sebenarnya, ada-Nya ialah tiada, tetapi andaikata Dia memang tidak ada, maka alam raya tentu jadi kosong dan tidak ada.”

Syekh Bentong membabar ilmunya pula, “Yang disebut Allah sebetulnya tidak berbeda dengan kawula yang merupakan manifestasi-Nya; Nyawa di dalam kawula itu melaksanakan kemanunggalan tersebut.”

Syekh Maulana Maghribi membabar ilmunya sebagai berikut, “Yang disebut Allah sesungguhnya Ada yang mutlak ada…”.

Syekh Lemah Abang berujar, “Marilah kita berbicara dengan terus terang bahwa Aku ini adalah Allah. Akulah yang sejatinya disebut Prabu Satmata (salah satu nama Syiwa), tidak ada yang lain yang disebut Ilahi.”

Maulana Maghribi menyela, “Tapi itu jisim (tubuh) namanya.”

Syekh Lemah Abang menyahut, “Saya menyampaikan ilmu yang membincang Ketunggalan. Ini bukan jisim (tubuh), dan selamanya bukan tubuh, karena tubuh hakikatnya tidak ada. Yang kita bincang adalah ilmu sejati. Kepada semuanya saja, kita buka tabir rahasia ilmu sejati.

Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati.

Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.

“Siapa sosok Herucokro itu, Gus?” “Herucokro itu Guru Kejawen-nya Syaikh Siti Jenar,” sahut Gus Dur. Lokasi makam Herucokro berada di salah satu Alas(hutan) di Ngawi, Jawa Timur.