Serat Centhini

Serat Centhini - Kekasih Yang Tersembunyi

Menjelang abad XXI, seorang terpelajar, yang saat itu menjadi Duta Besar Prancis di Indonesia, berupaya mencari satu kembang sakti asli Jawa. Suatu hari, ketika makan siang di kediamannya, salah seorang tamunya, Elizabeth D. Inandiak, bercerita tentang Wijayakusuma, bunga yang hanya mekar di tengah malam, menebarkan wangi ilahi, lalu layu sebelum subuh. Kembang ini, demikian kata sang tamu, tampil dalam tembang terakhir Serat Centhini, tembang ke 722, ketika Amongraga dan istrinya yang sudah berubah menjadi cacing, dibakar oleh Sultan Agung, diletakkan dalam kelopak Wijayakusuma sebelum ia makan. Terpesona oleh kisah Serat Centhini, orang terpelajar tadi segera menugasi tamunya menerjemahkan serta menyusun kembali Suluk Adiluhung Jawa itu ke dalam bahasa Prancis.

Mulailah Inandiak bekerja. Tidak sebagai pakar bahasa Jawa -ia memang tidak punya keahlian itu- tetapi sebagai seorang petualang dan pecinta Jawa. Ia tidak langsung tenggelam dalam 4000 halaman Serat Centhini yang asli. Ia pergi keliling Pulau Jawa selama beberapa minggu untuk bertemu dengan para sastrawan, dalang, kyai, juru kunci, seniman dan petani untuk mengumpulkan pandangan mereka terhadap Serat Centhini di awal abad dua puluh satu.

Inandiak bertemu dengan Onghokham, sejarawan yang menunjukkan tali persaudaraan yang tak terduga dengan menyatakan dalam bahasa Perancis: “Centhini, c’est Rabelais ! ” (Centhini adalah Rabelais !). Lahir tahun 1494, rahib ordo Fransiskan yang kemudian pindah menjadi Benediktian dan lalu menanggalkan ikrar kerahibannya untuk menjadi penyair gelandangan dan dokter, Rabelais adalah penulis yang paling memperkaya bahasa Perancis dengan penemuan tata bahasa dan kosakata yang menggugah. Demikian pula Serat Centhini adalah karya sastra Jawa yang memperlihatkan kosakata yang paling kaya. Buku-buku Rabelais tidak mengenal batasan antara dunia awam dan dunia keramat, antara yang ilmiah dan rakyat, yang halus dan kasar. Kentut pun dijadikan sesuatu yang bersifat pembebasan, sama dengan Semar, dan memang, pada suatu kesempatan Inandiak meminjam kentut itu dari keduanya demi mengabdi pada Centhini.

Penyair Suryanto Sastro Atmodjo bercerita bagaimana kakeknya, Kanjeng Panembahan Adipati Puger IV, bekas bupati Lumajang, mempunyai buku besar Centhini, dan bagi beliau setiap makan malam adalah satu malam pergelaran, karena "Allah memberi manusia irama dan keindahan ”. Eyangnya mengundang tiga pemain musik untuk memainkan celempung, gambang dan semacam gambus yang dawainya dibuat dari kawat lokomotif uap kuno dari tahun 1870, dan beliau menyuruh mereka menembangkan beberapa pupuh dari Centhini.

Inandiak juga bertemu Gus Dur yang menyatakan bahwa Serat Centhini bukan milik khusus orang Jawa, tetapi juga dikenal di Madura, di pesantren-pesantren, terutama di Sumenep. Di sana ada satu variasi Centhini yang ditulis dalam bahasa Jawa tetapi dengan huruf Arab dan berjudul : “Pamongrogo dan Pamongroso”. Kata Gus Dur, setahun sekali, radio setempat menyiarkan pembacaan « Pamongrogo dan Pamongroso » semalam suntuk.

Pengembaraan Centhini membawa Inandiak sampai ke Paris, ke sebuah disertasi filsafat, yang dipertahankan pada tahun 1956 di Universitas Sorbonne, oleh Dr. Mohammed Rasjidi. Beliau pernah menjadi menteri agama di bawah pemerintah Sukarno dan juga pernah kuliah di Kairo, di Universitas Al-Azar, di fakultas theologi. Disertasinya dalam bahasa Perancis berjudul : “Considérations critiques du Livre de Centhini” (Pertimbangan kritis tentang Centhini) dan awali dengan kata-kata berikut : "Ilmu yang kita lihat berkembang di Jawa adalah ilmu kesempurnaan yang juga dikenal sebagai ilmu kebahagiaan dan yang dicari para ilmuwan dan sastrawan, baik yang tekun beribadah maupun yang menjauhinya. Orang yang saleh lebih suka tidak berbicara sama sekali tentang ilmu itu dan hanya menyebutnya dengan waspada, karena sering yang berhubungan dengan ilmu itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Adapun saya, saya ingin mengetahui...

Rencana semula adalah untuk mulai dengan terjemahan Serat Centhini secara harafiah dari bahasa Jawa ke Indonesia, lalu dari bahasa Indonesia ke Perancis. Tetapi Inandiak terbentur kesulitan yang cukup aneh: bagi beberapa ahli Jawa, Serat Centhini adalah suatu karya yang terlalu suci untuk diterjemahkan, sedang bagi ahli-ahli yang lain, Serat Centhini terlalu kotor. Demikianlah, rupanya kerokhanian yang terlalu tinggi dan seks yang terlalu kasar telah menghalangi penerjemahan sesuatu karya yang patut dihormati.

Serat Centhini ditulis terutama untuk ditembangkan. Dalam sastra Jawa kuno, suara turun pada penyair bagai suatu wahyu yang datang lebih dulu, baru kemudian datanglah irama dan nada menemani si pujangga memasuki kata-kata satu per satu. Penyesuaian antara irama, macapat dan gema kata-kata itulah yang melahirkan makna tembang dan keindahannya. Kalau wahana musiknya dihilangkan, tulisan hanya merupakan kata-kata yang kacau maknanya, meragukan dan keindahannya terkhianati. Di samping itu, di dalam syair-syai kasar, kekotoran kata dihalau terbang oleh keanggunan tembangnya. Justru persekutuan antara lumpur dan emas itulah yang menciptakan watak dan sosok yang luar biasa serta khas Serat Centhini. Kalau tembang dihilangkan, para pembaca akan tercebur di dalam lubang comberan kata-kata dan amblas ke dalam lumpur untuk selamanya.

Setelah empat tahun kerja, seribu halaman yang telah diterjemahkan dengan susah payah ke dalam bahasa Perancis barulah merupakan rawa luas, yang dari dalamnya sekarang harta-karun harus diambil untuk diuntai kembali dalam kisah yang mempesona. Untuk itu, Inandiak mendengarkan selama berjam-jam syair-syair Centhini yang ditembangkan oleh teman, agar raga dan bahasa saya digurat-gurat dan ditandai olehnya. Lalu, pada suatu hari, muncul kenyataan yang jelas sekali dan sangat sederhana : Serat Centhini, kehidupan Inandiak, dan kehidupan semua penyair Jawa sejak berabad-abad, menyatu. Semua yang pernah Inandiak alami di Jawa dan di tempat lain di bumi, ada dalam karya yang janggal, ajaib, dan raksasa itu, yang kelihatannya begitu cerai-berai, namun intinya begitu sempurna. Ia seakan ingin mencebur ke sungai yang luas, membiarkan diri ditelan oleh tembang-tembang dan lenyap dalam banjir cahaya roh para penyair yang telah wafat, terikat dengan silsilah mereka secara penuh rahasia.

Dari 722 pupuh asli Serat Centhini, hanya 16 pupuh pertama yang berupa tembang perang. Perang itu dipimpin oleh Endrasena, seorang pemuda Cina yang masuk Islam, anak angkat Sunan Giri. Ia ditembak mati di medan pertempuran, dan inilah yang menandai awal pengembaraan batin Amongraga, kakak tiri Endrasena, asli Jawa, putera mahkota Giri, yang menentang perang. Amongraga pergi mencari damai yang luas menghijau, yaitu lenyap dalam Allah atau moksa.

Amongraga dijatuhi hukuman mati oleh para ulama Sultan Agung, karena bid’ah, seperti seorang sufi yang terkenal dari Bagdad, Hallaj, atau Siti Jenar di Jawa. Tetapi Amongraga akan lahir kembali di dalam “ dunia terbalik ” dan meneruskan pengembaraan yang tidak dapat dilawan.

Dalam diri dua kakak-adik yang berlawanan, bisa kita melihat terlaksananya takdir yang tunggal dan sama, yang mencerminkan hadis Nabi Muhammad SAW sepulang dari suatu pertempuran : “ Kita baru pulang dari jihad kecil, sekarang mulailah jihad besar kita. ” Jihad besar adalah perang melawan semua nafsu dan ego, begitu banyak roh jahat di dalam batin kita sendiri yang menyerbu kita tak henti-hentinya. Jika demikian, barangkali pengembaraan luar biasa Serat Centhini adalah untuk menyingkap dengan perlahan-lahan cadar jihad besar itu, yang pertempurannya yang paling berbahaya adalah menempuh asmara antara kekasih dan terkasih dalam senggama.

Selama menyusun kembali tembang-tembang itu ke dalam bahasa Perancis, satu pertanyaan menghantui Inandiak : kenapa karya sastra Jawa yang terbesar ini diberi julukan nama seorang pembantu, Centhini ? Seolah-olah kalbu syair Jawa agung itu adalah aku, si pelayan yang penuh pengabdian, karena aku ternyata merupakan satu-satunya yang cukup rendah hati sehingga berhasil dalam pencarian tertinggi yang dikejar Amongraga. Aku, Centhini, begitu melupakan diriku sendiri dan begitu mengabdi kepada para majikanku sehingga aku akhirnya memudar, padu lebur dan larut, lenyap dari syair, pulang ke zatku yang sejati, Ilahi.