Paguyuban Sumarah

 

Manusia menurut ajaran Sumarah terdiri dari: badan wadah (jasmani), badan nafsu, dan jiwa (roh). Badan wadah, merupakan unsur jasmani atau fisik manusia yang tersusun dari empat anasir, yaitu tanah, air, dan udara. Badan nafsu (emosional body) merupakan percikan Tuhan dengan perantara iblis. Menurut ajaran Sumarah, manusia memiliki empat macam nafsu, pertama nafsu mutmainah, sebagai sumber semua perbuatan baik dan alat untuk menemukan Tuhan. Kedua, nafsu Amarah, yaitu sumber kemarahan dan kedurhakaan. Ketiga, nafsu Suwiyah, merupakan sumber erotik, pengundang birahi. Dan keempat, nafsu Lawamah, sumber egoisme dalam diri manusia.

Disamping kelengkapan nafsu, manusia juga memiliki jiwa atau roh yang berasal dari Roh Suci (Tuhan). Rasa (dzauq) sangat terkait dengan jiwa, terdapat di dalam dada. Di dalam dada jantung, di dalam jantung terdapat Masjidil Haram, tempat Baitullah. di dalam Baitullah terdapat budi, nur. Dengan demikian, hakekat manusia bukan hanya wujud jasmani saja, tetapi juga memiliki wujud gaib dan wujud yang gaib lagi.

Badan jasmani dengan alat kelengkapannya, termasuk dalam dunia yang tampak atau alam wadag. Jiwa dan rasa termasuk dalam alam gaib yang dianggap lebih luas daripada dunia yang tampak ini. Alam tempat qolb disebut alam gaib yang lebih luas lagi bahkan yang terluas, yang meliputi alam wadag dan alam gaib. Alam ini disebut juga alam bayangan, yang terletak kira-kira di dalam jantung.

Manusia dalam hidup sehari-hari digambarkan sebagai sebuah Negara lengkap dengan aparat pemerintahannya. Jiwa berfungsi sebagai kepala Negara dan empat nafsu sebagai kabinetnya. Dewan perwakilan terdiri dari malaikat Jibril dan Ijajil, dan jantung berfungsi sebagai kantor pusat pemerintahan. Melalui pembuluh darah, kantor pusat dapat berhubungan dengan seluruh bagian. Otak berfungsi sebagai kantor telekomunikasi, hati sebagai pusat distribusi, dan perut sebagai pabrik segala makanan. Pembuluh darah sebagai jalan lintas, dimana sel-sel darah sebagai pegawai negeri dan sel darah putih sebagai tentara dan polisi.

Meskipun jiwa berfungsi sebagai kepala Negara tapi dalam pelaksanaannya dia tidak mempunyai kekuasaan. Keempat mentri itulah yang menguasai pemerintahan. Sikap manusia tergantung dari sifat dominan keempat nafsu yang ada. Jika seseorang meninggal dunia tetapi jiwanya belum bersih, karena masih dilekati hawa nafsu, maka rohnya mengembara dan selalu tertarik kepada hidup duniawi. Roh yang mengembara, jika menjumpai sepasang lelaki perempuan yang sedang bercinta kasih, maka roh itu segera masuk ke dalam kandungan wanita itu. Demikianlah cara kelahiran kembali (reinkarnasi) dalam konsep Paguyuban Sumarah.

Sumarah merupakan filsafat hidup dan suatu bentuk meditasi. Dalam praksisnya, meditasi Sumarah mengembangkan kepekaan dan penerimaan melalui relaksasi tubuh, perasaan dan pikiran, agar tercipta ruang di dalam diri, batin dan kesunyian. Tujuannya tak lain untuk mewujudkan jati diri. Pada dasarnya, menurut Paguyuban Sumarah, meditasi adalah sebuah alat untuk membantu kita berjalan di dunia dan melalui hidup dengan cara terbaik. 

Tapi yang dilakukan Paguyuban Sumarah, berbeda dengan meditasi pada umumnya, sebagaimana terdapat dalam agama dan kepercayaan lain. Tidak ada peran tetap, seperti cara tertentu pernapasan, teknik untuk membantu konsentrasi, posisi spesifik untuk terus, sambil meditasi dan sebagainya. Meditasi Sumarah hanya didasarkan pada penerimaan apa adanya. Maksudnya, berawal dari penerimaan bahwa kita tidak akan pernah menjadi sempurna dan bahwa kita akan selalu melakukan kesalahan. Hal ini mengajarkan bahwa komitmen diperlukan, tetapi upaya yang berlebihan tak bukan hanyalah wajah lain dari ambisi kami.

Paguyuban Sumarah berpandangan, hidup adalah gerakan yang berkelanjutan dan perubahan realitas sepanjang waktu. Karenanya, kita harus belajar untuk tahu dan menghargai apa yang ada bagi kita, dan dalam waktu yang sama untuk tidak terlalu melekat padanya. Sumarah tidak menawarkan solusi, tidak menjanjikan keselamatan, tidak menjamin kesuksesan.

Meditasi Sumarah adalah jalan, alat hidup, untuk hidup dan dalam kehidupan, bukan tujuan itu sendiri. Jadi, meditasi diibaratkan suatu alat yang membantu kita menuju ke suatu tempat. Begitu kita sampai di tujuan, maka alat tersebut harus kita lepaskan.

Praktek Sumarah tidak mengajarkan isolasi atau menghindari hal-hal duniawi. Sebaliknya hal itu mengajarkan kita untuk menerima hidup dalam totalitasnya, membenamkan diri di dalamnya untuk baik dan buruk. Inilah sebabnya mengapa Sumarah suka menggunakan ungkapan rame tapa, mundur bising, cara untuk belajar praktek yang benar perdamaian di tengah medan perang dan diam di tengah-tengah kebingungan bising.

Sumarah membagi meditasi menjadi dua, yakni meditasi khusus dan harian. Yang pertama, disebut khusus untuk membedakannya dari kehidupan normal sehari-hari. Ini adalah waktu tertentu di mana kita duduk, santai dan terbuka untuk menerima energi ilahi. Ini adalah kesempatan untuk latihan dan melepaskan ketegangan dan pikiran. Membiarkan diri kita menyadari perasaan dan melepaskan konsep-konsep yang terlalu sering merupakan kendala bagi pengembangan diri sebenarnya.

Tapi meski disebut khusus, tetap saja tak ada aturan baku terhadap meditasi ini. Semua diserahkan kepada masing-masing individu, berapa kali atau berapa lama dalam sehari ia perlu melakukan meditasi. Di sisi lain, meditasi harian adalah upaya memertahankan meditasi khusus. Dengan cara ini manusia belajar melihat kualitas luar biasa saat-saat biasa dan kualitas biasa saat-saat yang luar biasa. Biasanya antara meditasi khusus dan harian ada jurang yang nyata. Karenanya, praktek adalah tepat tentang mengurangi kesenjangan tersebut.

Keinklusifan cara meditasi Sumarah juga didasarkan atas kritiknya terhadap meditasi pada umumnya. Umumnya, para penganut agama atau kepercayaan tertentu menggunakan meditasi sebagai pelarian dari kenyataan setiap kali menemukan hal-hal yang tak disukai, saat dalam kesukaran atau takut pada malapetaka. Selain itu meditasi menjadi terlalu terikat dengan sebuah negara interior yang dengan mudah berubah menjadi kepuasan diri.

Sebaliknya, meditasi dalam kondisi sulit dan tidak menguntungkan, dalam keheningan maupun keramaian adalah pelatihan yang sangat baik. Setelah kita telah dalam gelap untuk sementara waktu, kita mulai melihat dan menghargai bahkan lampu kecil. Apa yang baik untuk ego biasanya buruk bagi jiwa, dan sebaliknya.

Menurut Sumarah, berada di meditasi berarti pertama-tama berada dalam keadaan kesadaran tinggi. Hal itu berarti santai secara fisik, emosional, dan mental. mengurangi hambatan yang biasanya datang di antara kita dan visi kita yang terbatas tentang diri kita sendiri dan realitas di sekitar kita.

Seringkali, ketika seseorang duduk untuk bermeditasi, benaknya penuh terisi harapan, berat dengan keinginan. Kondisi tersebut dengan sendirinya telah mencegah dari benar-benar bersantai. Sebuah kondisi dalam non-resistensi dan relaksasi bersatu dengan perhatian dan keterbukaan adalah syarat mutlak untuk kedua jenis meditasi.

Paguyuban Sumarah tidak punya kitab suci. Kitab suci kami adalah Hidup, Begitu kata mereka. Namun menurut Sumarah, orang sering kali lupa akan kehidupan itu sendiri. Sumarah berpegang pada prinsip, bahwa hidup hanya sebentar. Laksana orang istirahat di perjalanan untuk numpang minum saja. Di situlah ibarat meditasi berlaku. Semacam rehat dari jalan panjang mengingat perjalanan yang masih sangat panjang.

Konsep Bersatu dengan Tuhan

Agar dapat bersatu dengan Tuhan maka anggota paguyuban harus melakukan sujud sumarah. Sujud tersebut terdiri dari empat tingkatan.

a. Sujud Raga. Yaitu persatuan denga Allah dengan perantaraan badan wadag. Tingkatan ini disebut demikian, karena angan-angan mewakili raga dipakai sebagai alat untuk melakukan sujud. Pelaksanaan sujud dilakukan dengan jalan memisahkan angan-angan dari pemikir. Jika telah berhasil memisahkan angan-angan dari pemikir, angan-angan harus diturunkan dari otak ke sanubari, sehingga angan-angan itu tak dapat dipakai lagi untuk berpikir. Aktivitas ini dapat dibantu dengan melakukan zikir, yaitu menyebut nama-nama Allah.

b. Sujud Jiwa Raga. Pada tingkatan ini angan-angan yang telah dipisahkan daripada pemikir, dan sudah diturunkan ke sanubari dan didekatkan kepada rasa yang berada di dalam dada, hingga keduanya dapay melakukan sujud berdampingan.

c. Sujud Tetep Iman. Yaitu sujud yang dilakukan terus menerus tanpa berhenti selama 24 jam. Pada tingkatan ini orang dapat menerima sabda Tuhan tanpa batas waktu, tempat, dan keadaan.

d. Sujud Sumarah. Yaitu sujud dengan penyerahan diri. Tingkatan ini adalah yang tertinggi karena orang akan mencapai jumbuhing kawula Gusti (persatuan hamba dengan Tuhan). Hal ini bukan berarti jiwa manusia larut dalam Tuhan, melainkan antara jiwa manusia dan Tuhan ada kesatuan kehendak. Tidak seorang pun yang dapat mencapai tingkatan ini. Karena hal ini merupakan suatu anugerah dari Tuhan yang diberikan secara tiba-tiba (Wahyu).