Serat Mertasinga

“Tentang jalan yang akan Anda ambil, jangan berlebihan. Jalani hidup dengan kesederhanaan, jangan sombong jika berbicara, dan jangan berlebihan di depan orang lain. Itu adalah jalan yang benar.

Bermeditasi di gunung atau di dalam gua hanya menciptakan kesia-siaan. Meditasi sejati ada di tengah keramaian. Bersikaplah mulia dan maafkan orang yang melakukan kesalahan. Ini adalah satu-satunya jalan yang benar. ” (Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, Naskah Mertasinga, dalam Sejarah Wali)

Paragraf ini dikutip dari makalah kuno “Mertasinga” yang merupakan ajaran Syekh Attaulah kepada Sunan Gunung Jati. Gunung Jati adalah salah satu dari “Wali Songo”, atau “Sembilan Orang Suci” dalam sejarah dakwah Islam di Jawa pada abad ke - 15 . Makalah tersebut diterjemahkan oleh Amman N. Wahjoe yang mewarisi dokumen ini dari ayahnya, yang diwariskan secara turun-temurun dalam keluarganya.

Wahjoe menerjemahkan makalah yang dulu disebut babad — yang aslinya ditulis dalam bahasa Jawa dan Sunda, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menjadi dokumen penting dalam mengungkap sejarah para wali di Jawa.

Dokumen atau makalah semacam ini tersebar di seluruh Indonesia. Mereka disebut babad, kawuh atau kinanti , dan ditulis dalam bahasa Sunda, Jawa atau kadang-kadang, bahasa Arab. Itu adalah dokumen sakral yang biasanya dianggap sebagai warisan eksklusif dalam sebuah keluarga dan diperlakukan sebagai jimat meskipun sebagian besar anggota keluarga tidak tahu artinya atau bahkan cara membacanya.

Ajaran kebijaksanaan Wali adalah harta yang dalam dalam tasawuf Islam. Salah satu contohnya adalah ajaran Sunan Kudus, salah satu Wali yang tinggal di kota Kudus, Jawa Tengah. Ia meminta masyarakat Kudus tidak menyembelih sapi, mentolerir kepercayaan masyarakat Hindi yang juga tinggal di sana. Sebagian masyarakat Kudus mengikuti ajaran tersebut hingga saat ini.

Salah satu sunan yang terkenal dengan pendekatan kreatifnya, yang ajarannya kaya dengan muatan lokal, adalah Sunan Kalijaga. Wali ini menggunakan pendekatan budaya untuk berdakwah. Salah satu warisannya yang terkenal di kalangan masyarakat Jawa adalah kisah setengah dewa Ruci (Dewa Ruci atau Deva Ru h-Su ci , Ruh Al-Quds, Ruh Suci-red.). Kisahnya adalah tentang Bima (salah satu saudara Pandawa) yang bertemu dengan setengah dewa Ruci yang memiliki penampilan yang sama dengannya, tetapi dalam skala miniatur. Pertemuan Bima dengan Dewa Ruci, melambangkan pertemuan manusia dengan Jiwanya sendiri.

Kisah Dewa Ruci, merupakan simbol yang sangat terkenal di antara harta karun tasawuf; bahwa setiap manusia harus bertemu dengan jiwanya sendiri untuk mengetahui misi hidupnya yang sebenarnya. Sayangnya, banyak masyarakat Jawa yang mementaskan dongeng setengah dewa Ruci dengan kulit / wayang kulit untuk menyucikan kondisinya tanpa mengetahui arti sebenarnya di balik dongeng tersebut.

Fakta lain yang sedikit mengejutkan adalah fakta sejarah bahwa sebagian besar wali adalah orang asing. 

Fakta bahwa orang asing datang khusus ke Jawa dan melakukan dakwah Islam adalah fakta yang menarik untuk dilacak. Mengapa mereka datang ke Jawa? Dan lebih-lebih, bagaimana mereka sebagai orang asing mampu menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam nilai-nilai lokal, atau dengan kata lain berdakwah dalam bahasa rakyat?

Ini adalah misteri yang menuntut penelitian serius, tetapi dengan harta tasawuf mereka yang unik, para wali telah mengajari untuk menyembah Tuhan dengan penyerahan diri yang sederhana; apa lagi arti Islam selain penyerahan total kepada Tuhan?