Syaikh Siti Jenar

Sosoknya akan selalu diliputi misteri. Abadi. Tapi ajarannya –yang lebih menekankan pada suara hati dibanding praktek-praktek fikih – diam-diam banyak dihayati. 

Syaikh Lemahabang bisa mati. Terbunuh. Tapi tidak untuk ajaran rahasia, Manunggaling Kawula Gusti, Tuhan telah menyatu dalam diri kita, yang diwariskannya itu. 

Meski dipanggil seratus orang wali, aku tak mau datang, aku bukan abdi mereka, aku tak diperintah mereka. Wali dengan aku sama –daging berujud bangkai. Sebentar busuk jadi tanah. Aku tak bisa didesak oleh santri yang bodoh dan senang menipu orang, oleh mereka yang mengaku dekat dengan Tuhan, dan tak tahu citra diri sendiri adalah bangkai. Mereka yang berkeliaran mengumbar ilmu kepada setiap orang yang suka ditipu. Mereka yang menyuruh orang untuk sembahyang di Masjid Demak, yang mereka sebut rumah Allah. Itu bohong belaka. Aku dulu ikut salat di sana, aku amat menyesal. Tapi itu kulakukan karena belum menyadari hakikat diri. Sekarang dapat kukatakan…

Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tak bisa memisahkan ku dari mereka. Tapi hanya saat ini nama kawula-gusti berlaku, selagi aku mati. Nanti, bila aku hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri. Di sana tak dikenal kematian dan perasaan sedih. Yang ada hanya kenikmatan kekal abadi. Itulah mengapa aku sekarang merasa menderita, sebab berada di alam kematian (dunia ini) dekat surga-neraka.

Hai Pangeran Bayat, bila kau belum mengerti kebenaran dari kata-kataku, bisa dikatakan kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini (dunia) memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Kau tak lihat itu hanya akibat panca indera?

Itu hanya impian, dan sama sekali tak mengandung kebenaran, sebentar lenyap. Gila saja orang yang terikat padanya, tak seperti Syaikh Siti Jenar. Aku tak tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang ku usahakan ialah kembali kepada kehidupan.

Tuhan dalam diri

Hidup bermula dari sepi

Kematian datang di tengah suara ramai.

Yang Ilahi telah bermukim dalam diri. Bukannya di langit tinggi.”Di mana Tuhan jika tidak di dalam diri,” kata Lemahabang. “Kelilingi lah dunia, terbang lah hingga langit lapis ketujuh, kamu tetap tidak akan menemukan Tuhan.”

Belum cukup. Kita dapati ucap Lemahabang lainnya yang disebut wejangan sasahidan.

Saya inilah sebenar-benarnya Allah

Allah adalah badan saya

Rasul itu rahasia saya

Muhammad itu cahaya saya

Saya tak kenal maut

Saya tak mengenal lupa, dan kekal selamanya

Saya mengetahui segala gerak-gerik dan tingkah laku makhluk-Nya

Saya tak pernah salah, Maha Melihat dan Maha Memutuskan

Saya yang meliputi seluruh alam semesta

Syaikh Lemahabang inilah Allah sesungguhnya.

Dalam kisahnya yang paling tersebar luas, Syaikh Lemahabang diceritakan, ia tidak menganggap penting segala tertib, ia mencibir syariat. Baginya: syahadat, salat, zakat, puasa dan haji itu hal-hal yang tak perlu. Omong kosong itu. 

Hanya orang bodoh yang percaya, karena terus berharap surga dari sana. Tak ada guna lagi salat kita. Itu hanya basa-basi belaka. Suatu kesia-siaan. Hidup kita tak dihabiskan demi itu.

Banyak orang tampak khusyuk salatnya, bibirnya terus berucap doa. Tapi hatinya tetap saja memikirkan dunia. Ia membuat tamsil untuk iman yang lembek seperti itu “Islamnya ibarat kelapa, dan hanya makan serabutnya. Padahal yang nikmat adalah buah dan airnya.”

Syaikh Lemahabang seperti ingin menegaskan kepada orang yang merasa dirinya suci bahwa inti kebahagiaan ditemukan dalam sikap menyerah secara mutlak. Bukan sekian ibadah yang membikin muak. 

Dan yang lebih merisaukan ialah kecamannya kepada konsep Tuhan yang berjarak. Bagi Syaikh Lemahabang, Tuhan tak lagi dipandang sebagai Dia yang terlampau jauh, tak terhampiri, melainkan Dia yang tak berjarak.

“Aku ingin tahu kebenaran,” katanya. “Syahadat, salat, puasa, dan zakatku belum cukup sebagai Muslim.”