Nyai Roro Kidul


Nyai Roro Kidul, demikian ejaan sebenarnya dari tulisan di Babad Tanah Jawi. Tapi entah kenapa beredar dan terkenal dengan nama yang salah baca, Kanjeng Ratu Kidul!

Bahkan ada perbedaan persepsi yang meluas dan diyakininya, bahwa antara Nyai Roro Kidul dan Kanjeng Ratu Kidul itu berbeda. Artinya, Roro Kidul itu patih, sedangkan Kanjeng Ratu Kidul itu ratunya. Namun, Babad Tanah Jawi tak menyebutkan itu. Kedudukannya berhubungan dengan Merapi-Keraton-Laut Selatan yang berpusat di Kesultanan Solo dan Yogyakarta. 

Pengamat sejarah kebanyakan beranggapan, keyakinan akan Kanjeng Ratu Kidul memang dibuat untuk melegitimasi kekuasaan dinasti Mataram. Keraton Surakarta menyebutnya sebagai Kanjeng Ratu Ayu Kencono Sari. Ia dipercaya mampu untuk berubah wujud beberapa kali dalam sehari. Sultan Hamengkubuwono IX menggambarkan pengalaman pertemuan spiritualnya dengan sang Ratu; ia dapat berubah wujud dan penampilan, sebagai seorang wanita muda biasanya pada saat bulan purnama, dan sebagai wanita tua di waktu yang lain.

Nyi Roro Kidul juga dikabarkan adalah pemberi restu para Walisongo untuk menyebarkan Islam di selatan Jawa. Dalam Serat Darmogandul, sebuah karya sastra Jawa Baru yang menceritakan jatuhnya Majapahit akibat serbuan Kerajaan Demak, Ni Mas Ratu Anginangin adalah ratu seluruh makhluk halus di pulau Jawa dan memiliki kerajaan di laut selatan. Hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad Kadhiri.

Pramoedya Ananta Toer. Dalam pidatonya saat menerima penghargaan Ramon Magsaysay 1988, Pram menyebut cerita Ratu Kidul hanya mitos. Melalui pidato tertulis berjudul Sastra, Sensor dan Negara: Seberapa Jauh Bahaya Membaca? Pram mencoba menjelaskan bagaimana penyair Istana Mataram menciptakan mitos Nyi Roro Kidul sebagai kompensasi kekalahan Sultan Agung ketika menyerang Batavia dua kali (1628 dan 1629) serta kegagalan Sultan Agung menguasai jalur perdagangan di Pantai Utara Jawa.

Untuk menutupi kehilangan itu, penyair Jawa menciptakan Dewi Laut Nyi Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). Mitos ini melahirkan anak-anak mitos lainnya: bahwa setiap Raja Mataram memiliki seorang dewi,” kata Pram.

Menurut Pram, berangkat dari mitos Nyi Roro Kidul, muncul mitos tabu lainnya, seperti larangan memakai baju hijau di pantai selatan. Padahal, itu hanyalah bentuk kebencian penyair terhadap Kompeni. Hijau, kata Pram, mewakili warna pakaian tentara Belanda.

Dalam sebuah pidato di Istana Merdeka, 17 Juli 1959 saat melantik R.E. Martadinata sebagai Kepala Staf Angkatan Laut. Dalam kesempatan itu, Soekarno menceritakan, sejak era Mataram Islam, terdapat tradisi bahwa seorang raja dapat menjadi besar jika beristrikan Nyi Roro Kidul.

Kemudian, dalam Musyawarah Nasional Maritim, 23 September 1963, nama Nyi Roro Kidul juga kembali muncul.

“Kepercayaan ini berisi satu simbolik bahwa tidak bisa seseorang raja, bahwa tidak bisa sesuatu Negara di Indonesia ini menjadi kuat jikalau tidak dia punya raja kawin beristrikan Ratu Roro Kidul,” kata Soekarno kala itu. Pantai Parangkusumo dan Parangtritis di Yogyakarta sangat berhubungan dengan legenda Kanjeng Ratu Kidul. 

Parangkusumo merupakan tempat Panembahan Senapati bertemu Kanjeng Ratu Kidul. Saat Sri Sultan Hamengkubuwono IX meninggal tanggal 3 Oktober 1988, majalah Tempo menulis bahwa para pelayan keraton melihat penampakan Kanjeng Ratu Kidul untuk menyampaikan penghormatan terakhirnya kepada Sri Sultan.

Naskah tertua yang menyebut-nyebut tentang tokoh mistik ini adalah Babad Tanah Jawi. Panembahan Senopati adalah orang pertama yang disebut sebagai Raja yang menyunting Sang Ratu Kidul. 

Catatan: baru muncul di jaman Mataram Islam Penghormatan serta pemuliaan kepada Kanjeng Ratu Kidul juga terdapat pada sebuah kelenteng yang terletak di bilangan Pekojan, Jakarta Barat, yaitu di Vihara Kalyana Mitta. Terdapat kepercayaan bahwa mitos mengenal Nyi Roro Kidul (dalam hal ini, nama Nyai Roro Kidul hanya menjadi panggilan populer Kanjeng Ratu Kidul) berasal dari kepercayaan Siwa-Buddha di Indonesia, yaitu kepercayaan kepada Dewi Tara (Bodhisatwa).

Sebelum Wakanda populer, Atlantis lebih dulu dikenal sebagai utopia klasik umat manusia. Atlantis adalah lokasi peradaban maju dari masa ribuan tahun lalu yang memiliki teknologi canggih, kendaraan terbang, kekayaan alam, dihuni manusia ras unggul, dan berlokasi di Indonesia. 

Tunggu dulu, memangnya Atlantis bukan cuma mitos?

Bagi Komunitas Turangga Seta, peradaban kuno itu ada, jejaknya tertimbun di bawah Indonesia modern, serta jauh lebih keren daripada Wakanda. Komunitas ini bahkan mengklaim sudah berhasil menemukan lokasi persis Atlantis yang hilang: 200 mil dari pantai selatan Pulau Jawa. Di Pantai Parangkusumo tertinggal jejak percakapan batin dengan huruf Kawi bahasa Jawa kuno. Sang Putri dengan dandanan yang tidak sekuno yang banyak di lukis dan di bicarakan orang. Wajah oval cantik seperti berdarah campuran dengan rambut sebahu lebih sedikit. Dan juga bukan memakai pakaian berwarna hijau. Tidak juga pakai kemben. Melihat ke tengah laut miring ke kiri tidak jauh di sana ada Gunungan Emas sebagai Wahyu dan tanda wilayah kerajaan yang tak lekang oleh zaman. Setidaknya masih ada sekarang ini.