Nyai Blorong

Sang Nagini dari Laut Selatan 

Sejak abad ke-19, H.A van Hien sudah mencatat keberadaan Nyi Blorong. Dalam bukunya, De Javaansche geestenwereld, en de betrekking, die tussen de geesten en de zinnelijk wereld, verduidelijkt door petangan′s of tellingen bij de Javanen in gebruik yang terbit tahun 1896, van Hien membagi dunia makhluk halus di Jawa menjadi 95 jenis. Mengenai Nyi Blorong, dia menulis: “Segala jenis kekayaan akan diberikan kepada si pemanggil. Dan hal itu berjangka waktu selama tujuh tahun, namun bisa diperpanjang hingga dua kali lagi. Namun selama itu harus ada yang dikorbankan, dan terakhir si pemanggil itu yang menjadi korban dan mengisi istana Nyai Blorong,” tulis HA van Hien.

Pesugihan

Seorang petani miskin dari desa Soegihsaras, distrik Sidokantoen, berbincang dengan seorang tua yang dipanggil Kyai atau Embah. Si petani sudah lelah hidup miskin, bahkan paling miskin dibanding lima saudaranya. Dia ingin kaya dengan cepat.

Si Embah mau membantu, asalkan si petani mau menerima syaratnya: menyediakan tumbal. Si petani menyanggupi. Dia pun diminta menyiapkan satu kamar khusus, lengkap dengan pembaringan yang ditutup kelambu. Pada hari Jumat legi, dia diminta menyiapkan pelita di atas kasur, lengkap dengan bunga dan dupa.

“Sekarang sekitar tengah malam, dia mendengar suara seperti angin puyuh. Lalu setelah tenang, Blorong muncul di atas peraduan. Kakinya tidak terlihat, hanya tampak ekor ular yang seluruhnya tertutup sisik emas,” tulis J Kremeer, peneliti budaya berkebangsaan Belanda, dalam artikelnya “Blorong of de geldgodin der Javanen”, dimuat Mededelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap (1904).

Siapa Nyi Blorong? Beberapa sumber menyebutnya sebagai putri dari penguasa laut selatan, Ratu Kidul. Kisah ini antara lain tersurat dalam Babad Prambanan, yang disalin pada 1927. Babad ini punya versi lain yang lebih tua, yang disalin Wirsungun di wilayah Mangkunegaran pada 1885 atas prakarsa B.R.Ng. Keduanya menceritakan berdirinya Candi Prambanan dan juga kisah Ajisaka. Menariknya, mitos Aji Saka juga tersurat dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa, sebuah kumpulan cerita wayang dan dongeng yang digubah dalam tembang macapat sekira abad ke-16.

Menurut Robert Wessing dalam “A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul” dimuat Asian Folklore Studies Vol. 56 tahun 1997, Ular adalah mahluk favorit dalam beberapa cerita rakyat yang berkembang di Asia Tenggara, Tiongkok, dan India. Dalam banyak cerita tersebut, Ular atau Naga sering dikaitkan dengan penguasa, panen, dan kesuburan.

Dalam kisah pewayangan di Jawa, terdapat tokoh Anantaboga yang digambarkan sebagai dewa berwujud Naga. Anantaboga melambangkan kemakmuran atau kebahagiaan.

Tak heran jika bagi masyarakat Jawa pedalaman yang agraris, Nyi Blorong punya makna penting. Perwujudannya dalam bentuk ular dianggap sebagai penjaga lahan pertanian dari serangan hama, terutama tikus. Maka, untuknya dilakukanlah Sedekah Bumi.

“Sosok Blorong ini bisa diwujudkan dengan Ular, di mana dalam mitos Jawa, Ular menjadi perlambang Penjaga Bumi. Dia bisa disebut sebagai simbol keamanan dunia agraris".

Dalam perjalanan waktu, terutama karena sifat cerita rakyat yang terus berkembang, sosok Nyi Blorong lebih lekat dengan Pesugihan.

Hal ini biasa saja terjadi karena persoalan di zaman sekarang semakin sulit dan tak dapat terpecahkan, sehingga banyak orang ‘mencari’ jalan keluar ke dunia lain. Dalam alam pikir masyarakat Jawa, keberadaan dunia lain dengan penghuninya sudah menjadi satu-kesatuan yang utuh.

“Karena mereka sama-sama hidup, kemudian mereka boleh saling membantu. Seseorang yang memiliki keinginan besar meraih kekuasaan politik atau ekonomi sudah tentu akan melibatkan kalangan makhluk halus dalam meraih cita-citanya".