Kisah Para Tokoh Kebathinan Jawa 2



Romo Marto, Romo Budi Utomo, Romo Dijat, dan Romo Mesran boleh dianggap sebagai "ring satu" dunia kebatinan Soeharto pada masa lalu. Mereka dianggap memiliki daya linuwih, terutama karena kemampuan berdialog dengan roh leluhur melalui teknik meditasi yang dalam bahasa Jawa disebut njarwo.

Kebudayaan Jawa memiliki cara tua yang telah teruji ratusan tahun untuk mampu berkomunikasi dengan leluhur. Leluhur ini dianggap utusan Tuhan yang pernah terlahirkan sebagai manusia. Leluhur ini akan memberikan pesan-pesan (dhawuh). Ketika masuk dalam diri seorang medium, kata-kata leluhur ini hadir di anak lidah (kerongkongan) medium, hingga leluhur itu bisa diajak berdialog secara sadar.

Hal ini berbeda dengan trance, karena roh yang hadir dalam trance menempel di ujung lidah. Dalam trance medium yang bersangkutan tidak sadar sehingga tidak bisa berdialog. Ucapan yang keluar dari mulutnya hanya disampaikan satu arah. Maka dari itu, seseorang yang dapat melakukan njarwo bukan disebut kesurupan, melainkan Kelungguhan (dari kata lungguh, duduk).

Soedjono sangat percaya pada dhawuh-dhawuh yang disampaikan Romo Marto, Romo Budi Utomo, Romo Dijat, dan Romo Mesran. Dhawuh-dhawuh tersebut dianggapnya lebih akurat ketimbang prediksi dan analisis para doktor atau pakar mana pun. "Intelektual nggak patut didengar, tidak ada unsur ketuhanannya," begitu Soedjono suatu kali mengatakan kepada Budyapradipta. Soedjono aktif mengundang para pinisepuh di atas untuk melakukan njarwo demi mengetahui situasi politik mutakhir. Informasi dari "dunia atas" itu secara rutin dilaporkan kepada Soeharto..

Selama menjadi sekretaris, Budyapradipta selalu mendampingi dan mencatat dhawuh-dhawuh yang keluar dari para guru di atas.

Para Romo itu, menurut dia, memiliki spesialisasi sendiri-sendiri. Romo Dijat diminta untuk menjarwo soal-soal kenegaraan. Romo Marto untuk soal kemasyarakatan dan kerumahtanggaan. Romo Budi untuk hal-hal yang sifatnya pribadi. Bila roh datang, karakter suara yang muncul antara Romo satu dan Romo lain berbeda intonasinya. Bila Romo Marto kelungguhan, misalnya, didahului ketawa ngakak.

Tapi menurut Budya, secara umum, ada tanda-tanda yang sama. "Waktu roh datang, para guru itu seperti keselek (tersedak)," katanya. "Lalu ada suara masuk yang lebih berat, meninggi, dan berbahasa ngoko, menandakan posisinya lebih tinggi dari orang yang diajak bicara." Menurut Budya, ciri-ciri kalimat leluhur itu rapi. Sebagai ahli bahasa Jawa kuno sendiri, ia takjub mendengar kosakata yang keluar sangat kaya. Menurut dia, banyak ungkapan-ungkapan metafor yang bahkan tidak ada dalam kamus Jawa susunan Zoetmulder maupun Ki Padmo. "Misalnya ada ungkapan lobok ora coplok, sesak ora nggebok…."

Banyak kebijakan politik Soeharto, sebelum dikeluarkan, dikomunikasikan dulu dengan para leluhur. "Menurut Pak Djono, saat GBHN dibuat dan saat Indonesia mau merebut Timor Timur, Soeharto terus-menerus meminta pertimbangan dhawuh ini." Soeharto merasa kebijakannya akan lebih sah, mantap, bila leluhur mendukung.

Setiap malam Jumat, Soedjono secara rutin menggelar kegiatan njarwo di rumahnya, Jalan Diponegoro. Mereka yang hadir berjumlah sekitar 40 sampai 100 orang. Budya ingat, bila leluhur "masuk" ke dalam tubuh Romo Mesran, kalimat awalnya adalah "Iyo Ngger…(ya Nak)." Langsung semua yang hadir secara koor sembari sungkem mengatakan: "Sugeng rawuh… (selamat datang, Eyang)." Setelah dhawuh itu didengar, biasanya lalu "komunitas" itu mendiskusikannya dengan situasi politik mutakhir.

Setiap Suro (tahun baru Jawa), menurut Budyapradipta, Soedjono Hoemardhani bersama Romo Dijat juga pergi ke Padepokan Jambe Pitu di Gunung Selok, Cilacap. Ini adalah padepokan yang lokasinya ditemukan Romo Dijat dan kemudian dibangun oleh Soedjono. Antara kawasan Gunung Srandhil dan Gunung Selok di Cilacap memang terkenal banyak bertebaran petilasan.

Soeharto tidak asing dengan petilasan-petilasan di Cilacap. Adi Suwarto, seorang juru kunci di sana, pernah mengantarkan Soeharto berziarah ke petilasan Kiai Semar Bodronoyo atau Kaki Tunggul Sabdodadi Doyo Amongrogo yang letaknya di sisi selatan Bukit Srandil. "Dua hari sebelum kedatangan Pak Harto, lokasi kami kosongkan. Soeharto datang malam hari hanya sekitar dua jam," kata Adi Suwarto.

Menurut Romo Dijat, dibanding petilasan-petilasan lain, letak geografis Jambe memiliki energi paling kuat dan sangat cocok sebagai tempat menerima dhawuh.