Kisah Para Tokoh Kebathinan Jawa 1


Sendang Semanggi terletak di sebelah barat Pabrik gula Madukismo Bantul-Yogyakarta kini terlihat sepi sepi saja namun bila kita mau untuk melihat perjalanan masa lalunya maka dari Sendang Semanggi ini lah kisah Spiritual pemimpin negeri ini pernah berjelajah spiritual di Sendang ini. Rama Marta, Rama Dijat, Rama Mesran, Rama Budi Utomo adalah guru-guru kebatinan Jawa yang dipercaya Soeharto. Konon, melalui Soejono Hoemardhani, Soeharto mendengarkan informasi gaib mereka yang sering menjadi landasan kebijakan politiknya. Pohon beringin, pohon pamrih, pohon sambi. Dinaungi tiga pohon itu, sendang di pebukitan kapur itu tampak teduh. Air sendang sangat jernih hingga endapan lumpur di dasar terlihat dengan jelas. Dikalangan kebatinan Jawa mengenal mata air dalam cekungan batu kapur itu dulu adalah tempat almarhum Rama Martapangarsa, seorang spiritualis Yogyakarta, menempa diri. Syahdan, pada 1940-an, Martapangarsa mendapat wisik agar menyusuri Gunung Sempu. Dia menemukan sebuah mata air yang dirasanya cocok untuk tempat berendam, mengasah kepekaan. Ia menamakannya Sendang Titis, artinya kolam untuk berlatih menajamkan hati. Dibangunnya sebuah padepokan alit, lalu ia tinggal di situ, meninggalkan rumahnya di bilangan Nataprajan, Yogya.

Untuk menuju sendang yang terletak di Dusun Semanggi, Kelurahan Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY, itu kini tidak terlalu sulit. Ada jalan aspal, meski agak sempit, yang membelah pebukitan kapur tersebut. Sampai di sana, di pendapa bercat kuning yang lusuh, kita masih dapat melihat lukisan wajah almarhum Martapangarsa tergantung di dinding balai. Lukisan itu diapit potret dua almarhum guru lain: Rama Dijat dan Rama Budi Utomo.

Kalangan kebatinan Jawa tahu, sendang itu pernah melintas dalam kehidupan kebatinan Soeharto. Di situlah, pada 1957, lama sebelum Soeharto menjadi presiden, ia oleh Rama Marta dibaptis menjalani "ikatan persaudaraan mistikal" dengan Soedjono Hoemardhani. Dr Budyapradipta, pakar sastra Jawa Universitas Indonesia yang menjadi sekretaris pribadi Soedjono Hoemardani pada 1983–1986, pernah mendengar kisah ini langsung dari mulut Soedjono Hoemardani.

Pak Djono bercerita di Sendang Titis itulah Rama Marta membaptis Pak Harto menjadi Rama, Pak Djono menjadi Lesmana, Bu Tien menjadi Sinta, Bu Jono menjadi Kunti."

Yang datang pertama kali ke sendang, menurut cerita Soedjono itu, adalah Soedjono dan istrinya. Rama Marta telah menunggu. Baru kemudian datang Soeharto dan Tien. Begitu Soeharto datang, Rama Marta seperti seolah membaca tanda-tanda, kemudian berkata: "Lha iki jago wirig kuningku (lha ini jago aduanku datang)." Wirig kuning dalam budaya Jawa adalah ayam jago yang kaki dan paruhnya berwarna kuning dan dikenal tangguh dalam bertarung.

Pertemuan pertama Soeharto dengan Soedjono terjadi pada Juni 1956 saat bertugas di Semarang. Letnan kolonel Soeharto menjadi kepala staf dan kemudian Panglima Divisi Diponegoro. Pada waktu itu Soedjono adalah kapten. Soedjono dikenal menyukai dunia kebatinan Jawa. Keduanya menemukan kecocokan.

Akhir 1957, Soedjono memainkan peran penting membentuk beberapa perusahaan swasta atas nama Divisi Diponegoro. Saat menjadi presiden, "utang budi" Soeharto kepada Soedjono terus meningkat. Soedjono pada awal Orde Baru ditunjuk Soeharto menjadi staf pribadi (spri) dan kemudian asisten pribadi di bidang ekonomi pada 1966–1974. Setelah kerusuhan anti-Jepang (Malari), Soeharto membubarkan posisi aspri.

Soedjono tidak memiliki jabatan penting. Tapi banyak yang menyebut justru pada saat itulah Soedjono aktif mendukung Soeharto secara spiritual. Soedjono melakukan ritual-ritual. Saat itu kesibukan Soeharto meningkat sehingga tak sempat melakukannya. Soedjono juga memantau terus perkembangan sosial-politik secara gaib. Menurut Budyapradipta, itu dilakukan melalui bantuan guru-guru laku Jawa yang dikenalnya selama bergaul dengan Soeharto.

Setelah kembali ke Jakarta, sejak menjadi Panglima Diponegoro, Soeharto, misalnya, sering berdiskusi dengan Mesran Hadi Prayitno, seorang perwira menengah Angkatan Darat yang sama-sama menyukai spiritualitas Jawa. Kepada Soeharto, Mesran menyarankan, jika benar-benar ingin memperdalam spiritualitas Jawa, Soeharto harus bertemu dengan seorang guru bernama Raden Panji Soedijat Prawirokoesoemo atau yang lebih dikenal sebagai Rama Dijat.

Pada 1963, Mesran dan Soeharto bertemu Rama Dijat di rumah orang tua Romo Dijat yang bernama Prawiro Dinomo di Dukuh Gopetan, Desa Gemblegan Kalipotes, Klaten. Soeharto kaget, ternyata Rama Dijat adalah lelaki misterius yang pernah ditemuinya pada 1961 saat ia melakukan ziarah di makam leluhur raja-raja Majapahit di situs Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.

Waktu itu Soeharto melihat seorang lelaki yang tengah melakukan meditasi dan berhasil melakukan komunikasi dengan alam gaib. Usai meditasi, lelaki tersebut meninggalkan Trowulan. Soeharto terkesan, kagum dan penasaran terhadap lelaki itu. Ia ingin tahu lebih banyak tentang laki-laki itu, tapi laki-laki itu telah menghilang. Dan kini ternyata sosok penuh teka-teki itu ada di hadapannya.

Pada pertemuan Klaten itu, Soeharto langsung menyatakan diri menjadi murid Rama Dijat. Rama Dijat sendiri saat itu tinggal di Semarang. Soeharto kemudian hampir tidak pernah absen mengikuti sarasehan antara Rama Dijat dan murid-muridnya setiap selapan (35 hari) pada Selasa Pahing malam yang dilakukan di rumah Rama Dijat, Jalan Sriwijaya 70 Semarang. Tak hanya acara selapan, setiap membutuhkan konsultasi, Soeharto datang ke Semarang. Saat menjadi presiden, di luar jadwal kepresidenan, Soeharto masih menyempatkan diri ke Semarang. Tak jarang Rama Dijat via Soedjono diundang ke istana atau diutus mencari sesuatu.

"Pak Djono pernah bercerita bagaimana ia bersama Romo Dijat mencari pohon wijayakusuma di dekat Nusakambangan yang lautnya ganas," tutur Budyapradipta. Bunga wijayakusuma dalam kisah pewayangan adalah senjata Kresna. Di Jawa, banyak tumbuh bunga wijayakusuma. Bunga ini mengeluarkan bau harum pada waktu dini hari. Namun, ternyata Rama Dijat bukan hanya mencari bunga ini.

Bunga wijayakusuma yang diinginkan, menurut mereka, hanya tumbuh di sebuah pulau kecil dekat Nusakambangan. Dengan bentuk kecil-kecil, bunga Wijayakusuma dipercaya memberi tanda negara bakal baik. Setelah Soedjono dan Rama Dijat mendapatkannya, pohon ini ditanam di Cendana, Keraton Solo, dan rumah Soedjono.

Romo Marto Pangarso (dari Bantul-Yogyakarta), dikenal sebagai Guru Soeharto dalam arti sesungguhnya.

Ia berhubungan dengan Marto saat memimpin BKR di Yogyakarta. Konon, Marto yang kerap melakukan ritual di Candi Prambanan ini bisa membaca tanda-tanda.

Sejumlah syarat lelaku dari Marto yang terbilang berat pernah dilakukan Soeharto demi memenuhi ramalannya, seperti bersemedi di Gua Srandil (di Cilacap).

Romo Marto meninggal tahun 1980, sebelum meninggalnya Soeharto sempat membangun Padepokan Sendang Semanggi Kasihan Bantul (tempat Marto mengumpulkan pengikutnya dari pelosok Jawa setiap 35 hari











Kisah Para Tokoh Kebathinan Jawa 2



Romo Marto, Romo Budi Utomo, Romo Dijat, dan Romo Mesran boleh dianggap sebagai "ring satu" dunia kebatinan Soeharto pada masa lalu. Mereka dianggap memiliki daya linuwih, terutama karena kemampuan berdialog dengan roh leluhur melalui teknik meditasi yang dalam bahasa Jawa disebut njarwo.

Kebudayaan Jawa memiliki cara tua yang telah teruji ratusan tahun untuk mampu berkomunikasi dengan leluhur. Leluhur ini dianggap utusan Tuhan yang pernah terlahirkan sebagai manusia. Leluhur ini akan memberikan pesan-pesan (dhawuh). Ketika masuk dalam diri seorang medium, kata-kata leluhur ini hadir di anak lidah (kerongkongan) medium, hingga leluhur itu bisa diajak berdialog secara sadar.

Hal ini berbeda dengan trance, karena roh yang hadir dalam trance menempel di ujung lidah. Dalam trance medium yang bersangkutan tidak sadar sehingga tidak bisa berdialog. Ucapan yang keluar dari mulutnya hanya disampaikan satu arah. Maka dari itu, seseorang yang dapat melakukan njarwo bukan disebut kesurupan, melainkan Kelungguhan (dari kata lungguh, duduk).

Soedjono sangat percaya pada dhawuh-dhawuh yang disampaikan Romo Marto, Romo Budi Utomo, Romo Dijat, dan Romo Mesran. Dhawuh-dhawuh tersebut dianggapnya lebih akurat ketimbang prediksi dan analisis para doktor atau pakar mana pun. "Intelektual nggak patut didengar, tidak ada unsur ketuhanannya," begitu Soedjono suatu kali mengatakan kepada Budyapradipta. Soedjono aktif mengundang para pinisepuh di atas untuk melakukan njarwo demi mengetahui situasi politik mutakhir. Informasi dari "dunia atas" itu secara rutin dilaporkan kepada Soeharto..

Selama menjadi sekretaris, Budyapradipta selalu mendampingi dan mencatat dhawuh-dhawuh yang keluar dari para guru di atas.

Para Romo itu, menurut dia, memiliki spesialisasi sendiri-sendiri. Romo Dijat diminta untuk menjarwo soal-soal kenegaraan. Romo Marto untuk soal kemasyarakatan dan kerumahtanggaan. Romo Budi untuk hal-hal yang sifatnya pribadi. Bila roh datang, karakter suara yang muncul antara Romo satu dan Romo lain berbeda intonasinya. Bila Romo Marto kelungguhan, misalnya, didahului ketawa ngakak.

Tapi menurut Budya, secara umum, ada tanda-tanda yang sama. "Waktu roh datang, para guru itu seperti keselek (tersedak)," katanya. "Lalu ada suara masuk yang lebih berat, meninggi, dan berbahasa ngoko, menandakan posisinya lebih tinggi dari orang yang diajak bicara." Menurut Budya, ciri-ciri kalimat leluhur itu rapi. Sebagai ahli bahasa Jawa kuno sendiri, ia takjub mendengar kosakata yang keluar sangat kaya. Menurut dia, banyak ungkapan-ungkapan metafor yang bahkan tidak ada dalam kamus Jawa susunan Zoetmulder maupun Ki Padmo. "Misalnya ada ungkapan lobok ora coplok, sesak ora nggebok…."

Banyak kebijakan politik Soeharto, sebelum dikeluarkan, dikomunikasikan dulu dengan para leluhur. "Menurut Pak Djono, saat GBHN dibuat dan saat Indonesia mau merebut Timor Timur, Soeharto terus-menerus meminta pertimbangan dhawuh ini." Soeharto merasa kebijakannya akan lebih sah, mantap, bila leluhur mendukung.

Setiap malam Jumat, Soedjono secara rutin menggelar kegiatan njarwo di rumahnya, Jalan Diponegoro. Mereka yang hadir berjumlah sekitar 40 sampai 100 orang. Budya ingat, bila leluhur "masuk" ke dalam tubuh Romo Mesran, kalimat awalnya adalah "Iyo Ngger…(ya Nak)." Langsung semua yang hadir secara koor sembari sungkem mengatakan: "Sugeng rawuh… (selamat datang, Eyang)." Setelah dhawuh itu didengar, biasanya lalu "komunitas" itu mendiskusikannya dengan situasi politik mutakhir.

Setiap Suro (tahun baru Jawa), menurut Budyapradipta, Soedjono Hoemardhani bersama Romo Dijat juga pergi ke Padepokan Jambe Pitu di Gunung Selok, Cilacap. Ini adalah padepokan yang lokasinya ditemukan Romo Dijat dan kemudian dibangun oleh Soedjono. Antara kawasan Gunung Srandhil dan Gunung Selok di Cilacap memang terkenal banyak bertebaran petilasan.

Soeharto tidak asing dengan petilasan-petilasan di Cilacap. Adi Suwarto, seorang juru kunci di sana, pernah mengantarkan Soeharto berziarah ke petilasan Kiai Semar Bodronoyo atau Kaki Tunggul Sabdodadi Doyo Amongrogo yang letaknya di sisi selatan Bukit Srandil. "Dua hari sebelum kedatangan Pak Harto, lokasi kami kosongkan. Soeharto datang malam hari hanya sekitar dua jam," kata Adi Suwarto.

Menurut Romo Dijat, dibanding petilasan-petilasan lain, letak geografis Jambe memiliki energi paling kuat dan sangat cocok sebagai tempat menerima dhawuh.

Kisah Para Tokoh Kebathinan Jawa 3






Tempat ini dinamai Sendang Semanggi atau Sendang Titis yang terletak di Pedukuhan Sembungan, Dusun Semanggi, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul.
Pertama kali ditemukan oleh Alm. Romo Marto Pangarso seorang spiritualis yang mendapatkan wangsit sekitar tahun 1940 kemudian menelusuri gunung Sempu lalu mendapatkan sebuah Sendang.
Sendang ini kemudian digunakan untuk tempat tirakat dengan cara kungkum. Semula Sendang Semanggi diberi nama Sendang Titis yang berarti jitu atau tepat sasaran karena dianggap menjadi tempat yang memberikan atau tempat untuk mendapatkan wangsit yang jitu.
Dinamakan Sendang Semanggi karena disekeliling tempat tersebut banyak ditumbuhi tanaman semanggi 
Sendang Titis memiliki luas 2 x 2 m dengan kedalaman 1.5 m yang dinaungi oleh tiga pohon yakni Pohon Beringin, Pohon Pamrih dan Pohon Sambi.
Tempat ini pernah digunakan mendiang Soeharto untuk menggelar ritual. Soeharto bisa sampai ke tempat ini bukan tanpa alasan, hal tersebut terkait dengan adanya sosok Spritual bernama Romo Marto.
Romo Marto adalah seorang penganut kebatinan Jawa yang juga menjadi guru sebuah padepokan yang terletak di kaki Bukit Sempu tak jauh dari Sendang Titis berada. 
Sekitar tahun 1957 Soeharto resmi diangkat menjadi murid oleh Romo Marto. Sejak itulah hubungan kedekatan antara guru dan murid tersebut terjadi hingga akhir hayat mereka berdua.

Hanya sedikit yang tahu, Soeharto sesungguhnya tidak menjalin hubungan dengan SEMAR, tetapi hanya dengan SABDOPALON. Penasehat spiritual/Pepatih dalem Prabu Brawijaya V (KertaBhumi) Raja Majapahit terakhir.
Selama ini orang sudah salah kaprah, dan menganggap Soeharto itu “pemuja” Semar serta meniru filosofi hidup pujaannya itu. Soeharto memang termasuk anggota Semar fans club, tapi sesungguhnya sangat berbeda antara Semar yang dipahami Soeharto dengan Semar yang dikenal orang pada umumnya di cerita pewayangan (Semar Badranaya/Hyang Ismaya).

Setelah lama diselimuti misteri, dan meninggalkan Prabu Brawijaya V, ternyata Sabdopalon bersemayam disebuah pohon Preh tua di Sendang Semanggi.
Awal perkenalan Soeharto dengan Sabdopalon ini, melalui seorang Pertapa Sakti yang dikenal pula sebagai medium Sabdopalon, yaitu Romo Marto Pangarso. Arti kata Romo disini bukan mewakili pemuka agama tertentu, melainkan sebutan kehormatan/kasepuhan/keturunan Kerajaan/Ningrat.
Semasa hidupnya Romo Marto memang seorang tokoh kebatinan yang mumpuni. Ia berperawakan sedang, layaknya orang Jawa tulen. Keramahan orang Jawa terpancar lewat raut mukanya yang teduh dan semanak. Jambul Romo Marto jika diperhatikan memang mirip dengan Semar. Tapi bukan karena itu Romo Marto sakti mandraguna, namun karena lelaku batinnya sebagai seorang Pertapa itulah yang membuatnya jadi tokoh kasepuhan, spiritualis paling disegani di seantero Jawa.

Suatu hari Romo Marto mendapat perlambang / isyarat dalam bentuk tejo sumunar (benda bercahaya) dilangit lepas. Tejo itu beringsut perlahan-lahan, Romo Marto pun juga beranjak pelan-pelan mengikuti cahaya itu. Akhirnya cahaya itu berhenti, diatas patung Dewa Wisnu di Candi Prambanan Yogyakarta. Kala itu kompleks Candi Prambanan belum semegah sekarang, masih bebatuan berserakan, dan mudah dimasuki orang.
Karena rasa ingin tahunya yang besar, Romo Marto bermeditasi di kaki patung Dewa Wisnu tersebut. Dalam meditasinya, ia melihat seekor burung Jalak Putih. Singkat cerita ia mengikuti burung tersebut. Setelah sekian puluh kilometer, akhirnya burung Jalak itu berhenti pada sebuah bukit yang dikelilingi rindang pohon Jati.
Lalu Romo Marto menelusuri perbukitan gunung Sempu, dan menemukan tempat yang dimaksud. Sejak saat itu Romo Marto mulai membuat Sanggar tepat dibawah lokasi mata air ini. Dan tinggal menetap sebagai warga Kampung tersebut.
Di Sanggar Romo Marto inilah, Sabdopalon memberikan nasehat-nasehat dan ajaran tentang menjadi seorang pemimpin kepada presiden Soeharto, melalui medium Romo Marto, melalui ritual magis.
Kebesaran Romo Marto sebagai seorang pertapa tetap abadi sampai hari ini. Ia sangat dihormati, terutama oleh pengikutnya. 
Sebagai pertapa & spiritualis, beliau memang pantas diteladani. Karena menjauhi sentuhan ragawi dan kenikmatan duniawi (harta/jabatan/popularitas).
Makam Romo Marto Pangarso beserta istri terletak disebelah pojok timur Sendang Titis atau sendang Semanggi tersebut




Kisah Para Tokoh Kebathinan Jawa 4

 

Hanya sedikit yang tahu, Soeharto sesungguhnya tidak menjalin hubungan dengan SEMAR, tetapi hanya dengan SABDOPALON. Penasehat spiritual/Pepatih dalem Prabu Brawijaya V (KertaBhumi) Raja Majapahit terakhir.

Selama ini orang sudah salah kaprah, dan menganggap Soeharto itu “pemuja” Semar serta meniru filosofi hidup pujaannya itu. Soeharto memang termasuk anggota Semar fans club, tapi sesungguhnya sangat berbeda antara Semar yang dipahami Soeharto dengan Semar yang dikenal orang pada umumnya di cerita pewayangan (Semar Badranaya/Hyang Ismaya).

Setelah lama diselimuti misteri, dan meninggalkan Prabu Brawijaya V, ternyata Sabdopalon bersemayam disebuah pohon Preh tua di Sendang Semanggi.

Awal perkenalan Soeharto dengan Sabdopalon ini, melalui seorang Pertapa Sakti yang dikenal pula sebagai medium Sabdopalon, yaitu Romo Marto Pangarso. Arti kata Romo disini bukan mewakili pemuka agama tertentu, melainkan sebutan kehormatan/kasepuhan/keturunan Kerajaan/Ningrat.

Semasa hidupnya Romo Marto memang seorang tokoh kebatinan yang mumpuni. Ia berperawakan sedang, layaknya orang Jawa tulen. Keramahan orang Jawa terpancar lewat raut mukanya yang teduh dan semanak. Jambul Romo Marto jika diperhatikan memang mirip dengan Semar. Tapi bukan karena itu Romo Marto sakti mandraguna, namun karena lelaku batinnya sebagai seorang Pertapa itulah yang membuatnya jadi tokoh kasepuhan, spiritualis paling disegani di seantero Jawa.

Sendang Semanggi

Suatu hari Romo Marto mendapat perlambang / isyarat dalam bentuk tejo sumunar (benda bercahaya) dilangit lepas. Tejo itu beringsut perlahan-lahan, R.Marto pun juga beranjak pelan-pelan mengikuti cahaya itu. Akhirnya cahaya itu berhenti, diatas patung Dewa Wisnu di Candi Prambanan Yogyakarta. Kala itu kompleks Candi Prambanan belum semegah sekarang, masih bebatuan berserakan, dan mudah dimasuki orang.

Karena rasa ingin tahunya yang besar, Romo Marto bermeditasi di kaki patung Dewa Wisnu tersebut. Dalam meditasinya, ia melihat seekor burung Jalak Putih. Singkat cerita ia mengikuti burung tersebut. Setelah sekian puluh kilometer, akhirnya burung Jalak itu berhenti pada sebuah bukit yang dikelilingi rindang pohon Jati. Lalu Romo Marto menelusuri perbukitan gunung Sempu, dan menemukan tempat yang dimaksud.

Dibawah pepohonan itu ada sebuah mbelik atau mata air kecil. Diapit oleh 3 pohon yaitu pohon Beringin, pohon Pamrih dan pohon Sambi. Sejak saat itu R.Marto mulai membuat Sanggar tepat dibawah lokasi mata air ini. Dan tinggal menetap sebagai warga Kampung tersebut.

Mata air ini disebut sebagai sendang Semanggi karena disekitarnya dulu banyak tumbuh pohon Semanggi. Dan disebut juga Sendang Titis, yang artinya Titis/ Jitu / Tepat, sebab banyak ilham / isyarat yang ditemukan dari bertapa / meditasi di mata air ini, sangat jitu. Kabarnya disinilah tempat yang disenangi oleh Soeharto untuk mengasah olah kebatinannya.

Di Sanggar Romo Marto inilah, Sabdopalon memberikan nasehat-nasehat dan ajaran tentang menjadi seorang pemimpin kepada presiden Soeharto, melalui medium R.Marto. Melalui ritual magis.

Kebesaran Romo Marto sebagai seorang pertapa tetap abadi sampai hari ini. Ia sangat dihormati, terutama oleh pengikutnya. Sebagai pertapa & spiritualis, beliau memang pantas diteladani. Karena menjauhi sentuhan ragawi dan kenikmatan duniawi (harta/jabatan/popularitas).

Sampai sekarang Sendang Semanggi masih kerap didatangi oleh para spiritualis tertentu (hanya yang tahu), dengan berbagai hajat terutama untuk mengasah olah batin.


Dawuh Para Leluhur Jawa

Foto : Makam Rama Budi Utama di Bukit Menoreh - Astana Nyi Ageng Serang DIY

Njarwa, Teknik Channelling asli Jawa, Dawuh Para Leluhur Jawa Kuno.

Neale Donald Walsh mengatakan bahwa masalahnya adalah kesalahan agama terorganisasi, yang telah membuatnya menjadi tidak mungkin bagi kebanyakan orang untuk percaya bahwa Tuhan bisa berbicara langsung kepada kita. Ini karena agama yang terorganisasi telah mengatakan melalui ajaran-ajarannya bahwa Tuhan hanya berbicara kepada kita (bahkan jika tidak sama sekali) melalui gereja, atau melalui para guru dan para pendiri agama tersebut dan bukan orang lain. Ini adalah sesuatu yang kita harus benar-benar menjadi jelas bahwa: tidak ada agama di muka bumi yang menyangkal bahwa Tuhan telah berbicara langsung dengan manusia. Sebagai fakta yang cukup bertentangan dengan itu, bahwa setiap agama-agama besar didirikan oleh orang yang mengaku telah mendengar perintah langsung dari Tuhan. 

Jadi pertanyaannya bukan “Apakah Tuhan berbicara langsung dengan manusia? Tetapi pertanyaannya adalah “Apakah Tuhan telah berhenti melakukan itu?”

Rama Marta, Rama Budi Utama, Rama Dijat, dan Rama Mesran boleh dianggap sebagai “ring satu” dunia kebatinan Soeharto pada masa lalu. Mereka dianggap memiliki daya linuwih, terutama karena kemampuan berdialog dengan roh leluhur melalui teknik meditasi yang dalam bahasa Jawa disebut Njarwa.

Kebudayaan Jawa memiliki cara tua yang telah teruji ratusan tahun untuk mampu berkomunikasi dengan leluhur. Leluhur ini dianggap utusan Tuhan yang pernah terlahirkan sebagai manusia. Leluhur ini akan memberikan pesan-pesan (dhawuh). Ketika masuk dalam diri seorang medium, kata-kata leluhur ini hadir di anak lidah (kerongkongan) medium, hingga leluhur itu bisa diajak berdialog secara sadar.

Hal ini berbeda dengan trance, karena roh yang hadir dalam trance menempel di ujung lidah. Dalam trance medium yang bersangkutan tidak sadar sehingga tidak bisa berdialog. Ucapan yang keluar dari mulutnya hanya disampaikan satu arah. Maka dari itu, seseorang yang dapat melakukan njarwa bukan disebut kesurupan, melainkan kalenggahan (dari kata lenggah, duduk).

Setiap malam Jumat, Soedjono secara rutin menggelar kegiatan njarwa di rumahnya, Jalan Diponegoro. Mereka yang hadir berjumlah sekitar 40 sampai 100 orang. Budya ingat, bila leluhur "masuk" ke dalam tubuh Romo Misran, kalimat awalnya adalah "Iyo Ngger…(ya Nak)." Langsung semua yang hadir secara koor sembari sungkem mengatakan: "Sugeng rawuh… (selamat datang, Eyang)." Setelah dhawuh itu didengar, biasanya lalu "geng" itu mendiskusikannya dengan situasi politik mutakhir.

Setiap Suro (tahun baru Jawa), menurut Budyapradipta, Soedjono Hoemardhani bersama Romo Dijat juga pergi ke Padepokan Jambe Pitu di Gunung Selok, Cilacap. Ini adalah padepokan yang lokasinya ditemukan Romo Dijat dan kemudian dibangun oleh Soedjono. Antara kawasan Gunung Srandhil dan Gunung Selok di Cilacap memang terkenal banyak bertebaran petilasan.

Soeharto tidak asing dengan petilasan-petilasan di Cilacap. Adi Suwarto, seorang juru kunci di sana, pernah mengantarkan Soeharto berziarah ke petilasan Kiai Semar Bodronoyo atau Kaki Tunggul Sabdodadi Doyo Amongrogo yang letaknya di sisi selatan Bukit Srandil. "Dua hari sebelum kedatangan Pak Harto, lokasi kami kosongkan. Soeharto datang malam hari hanya sekitar dua jam," kata Adi Suwarto.

Menurut Romo Dijat, dibanding petilasan-petilasan lain, letak geografis Jambe memiliki energi paling kuat dan sangat cocok sebagai tempat menerima dhawuh yang berperan besar dalam hidup.

Situs Jambe Pitu Gunung Selok


Padepokan atau Petilasan Jambe Pitu, atau juga dikenal dengan nama Pertapaan Ampel Gading merupakan salah satu situs ziarah spiritual yang terdapat di Gunung Selok, yaitu sebuah bukit yang terdapat di wilayah Desa Karangbenda, Adipala, Cilacap. Keberadaan padepokan ini erat kaitannya dengan Padepokan Jambe Lima dan situs ini dianggap sangat keramat karena terdapat tiga petilasan, yaitu petilasan Sang Hyang Wisnu Murti dan dua pusakanya, kembang wijayakusuma yang disebut Eyang Lengkung Kusuma dan cakra baskara yang disebut Eyang Lengkung Cuwiri. Tempat ini juga terkenal sebagai tempat berziarah presiden kedua Indonesia, yaitu Presiden Soeharto. Dari ketiga petilasan makam tersebut, petilasan Eyang Lengkung Kusuma dipercaya paling banyak memberikan berkah. Umumnya para peziarah yang datang mengharapkan kenaikan pangkat atau usaha yang laris. Namun, dari segi spiritual, petilasan Eyang Lengkung Kusuma merupakan tempat ziarah untuk membentuk wadah spiritual seseorang sebelum menempuh perjalanan spiritualnya.

Lokasi situs Jambe Pitu terletak sekitar 20 km di tenggara Kota Cilacap mendekati pantai selatan. Padepokan ini menempati puncak tertinggi Gunung Selok dan berada di atas situs Padepokan Jambe Lima. Luas kompleks Padepokan Jambe Pitu adalah sekitar 30 meter x 50 meter dan dikelilingi tembok setinggi dua meter. Jalan berlantai batu hitam sepanjang 300 meter merupakan penghubung bangunan petilasan dengan area parkir kendaraan. Bangunan padepokan terbagi menjadi beberapa sanggar, yaitu Sanggar Pamujan, Sanggar Palereman Kakung, Sanggar Palereman Putri, dan Sanggar Supersemar.

Menurut Romo Diyat, letak geografis Jambe Pitu memiliki energi paling kuat dan sangat cocok sebagai tempat menerima dhawuh atau pesan dari leluhur.

Ziarah Presiden Soeharto 

Sebelum menjabat sebagai presiden, Soeharto mendalami ilmu kebatinan Jawa bersama Soedjono Hoemardani dan bergabung dalam kelompok spiritual Sendang Titis, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul. Soeharto kerap berziarah ke Padepokan Jambe Pitu pada malam hari sekitar dua jam saja. Oleh sebab itu, di dekat padepokan terdapat helipad yang kini sudah tidak terurus lagi semenjak ia wafat.

Soeharto merupakan salah satu murid atau putrawayah Padepokan Jambe Pitu, tetapi mulai jarang berziarah semenjak Romo Diyat meninggal pada tahun 1985.

Bunga Wijaya Kusuma

Bunga Wijaya Kusuma - Ratu Pantai Selatan - Simbol Kekuasaan Raja Jawa

Di Jawa ada kepercayaan bahwa raja Mataram yang baru dinobatkan, tidak akan sah diakui dunia ‘kasar’ dan ‘halus’ sebelum berhasil memetik bunga Wijayakusuma sebagai pusaka keraton. Hal itu didasarkan pada kepercayaan bahwa bunga Wijayakusuma adalah jelmaan pusaka keraton Batara Kresna, raja Dwarawati yang juga titisan Dewa Wisnu.

Menurut kisah spiritual, pusaka dihanyutkan ke Laut Kidul oleh Sri Kresna sebelum beliau mangkat ke Swargaloka. Pusaka atribut Raja Kresna itu setelah dilabuh menjadi pohon di atas batu pulau karang. Letaknya di ujung timur Pulau Nusakambangan di selatan Kota Cilacap.

Wijaya Kusuma Bloem

Bunga Mahkota Suci, dalam dunia pewayangan, bunga wijaya kusuma adalah pusaka Kresna, Raja Dwarawati. Kesaktian bunga ini, adalah bisa menghidupkan orang mati. Di kalangan kerajaan Mataram Islam di Jawa, wijaya kusuma Pisonia, adalah bunga keramat, yang harus ada pada acara peringatan hari penobatan raja. Bunga wijaya kusuma Pisonia, sebagai perangkat upacara, harus diambil dari Karang Bandung, sebuah pulau karang kecil, di ujung timur pulau Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Beroemd geworden in de Javaanse legenden is de Wijaya Kusuma-bloem die voor elke buitenlander, en vooral voor de Europeanen, een hele lange tijd omhuld bleef in een geheimzinnige waas. Membuat terkenal di legenda Jawa, bunga Wijaya Kusuma untuk setiap orang asing, dan terutama orang Eropa, waktu yang sangat lama masih diselimuti kabut misterius.

Ondanks de geheimzinnigheid omtrent de Bunga Wijaya Kusuma (de Wijåyå Kusumå of de Heilige Kroningsbloem) is deze bijzondere plant redelijk goed onderzocht door plantkundigen die daardoor de Wijaya Kusuma konden plaatsen in de wetenschap van de hortus botanicus of botanische tuin. Het betreft de Pisonia Sylvestris die tot de Bougainville soort hoort. Het is de lievelingsbloem van Nyai Loro Kidul, waardoor de Soesoehoenan van Surakarta deze bloem verlangt op de dag dat hij gekroond wordt tot vorst van Surakarta. 

Meskipun kerahasiaan tentang Bunga Wijaya Kusuma (dari Wijaya Kusuma Bunga dari Coronation Kudus) tanaman ini khusus ini cukup baik dieksplorasi oleh ahli botani Wijaya Kusuma sehingga dapat menempatkan dalam ilmu taman botani atau kebun raya. Ini menyangkut spesies Pisonia sylvestris milik Bougainville. Ini adalah bunga favorit Nyai Loro Kidul, yang di butuhkan Susuhunan Surakarta pada hari ia dinobatkan sebagai Raja.

Praktek Chakra Sufi Lanjutan


Lataif, Chakra dan Leshyas

'Lataif' adalah istilah Islam atau lebih tepatnya Sufi yang berarti pusat halus atau elemen ciptaan atau pusat energi psiko spiritual. Secara tunggal disebut Latifa. Lataif dianggap sebagai organ psikospiritual atau fakultas persepsi sensorik atau suprasensori. Lataif ini kadang-kadang dianggap sebagai bagian dari diri dengan cara yang sama seperti kelenjar dan organ adalah bagian dari tubuh. Chakra Weda dari tradisi Hindu dan Leshya dari Jainisme adalah konsep serupa dalam tradisi Agama India.

Konsep Lataif diambil dari Alquran oleh para sufi. Semua sufi membedakan Lataif-as-Sitta-enam kehalusan yaitu Latifat-an-Nafsi, Latifat-al-Qalbi, Latifat-as-Sirri, Latifat-ar-Ruhi, Latifat-al-Khafi, dan Latifat-al-Akhfa . 

Beberapa Sekolah Sufi menambahkan satu Latifa lagi yang dikenal sebagai Latifat-al-Qalib. Syaikh Ahmed Sirkindi mengatakan bahwa manusia terbuat dari sepuluh Lata'if atau elemen ciptaan. Lima di antaranya berkaitan dengan Alam-e-Amr (dunia ilahi) dan lima lainnya berkaitan dengan Alam-e-Khalq (Dunia ciptaan). Lima lata'if Alam-e-Amr adalah Qalb, Ruh, Sirr, Khafi dan Akhfa. 

Lima lata'if Alam-e-Khalq adalah Nafs, Tanah (padat), Air (cair), Udara (gas) dan Api (energi). Namun, demi kenyamanan tujuh lata'if diakui dan diterima oleh sebagian besar sufi. 

Empat seperti tanah, air, udara dan api secara bersama-sama disebut Latifa Qalbia mengacu pada Qalib - tubuh korporeal manusia. 

Latifa Qalbia juga disebut sebagai Sultan al-Azkar dalam banyak tarekat sufi.

Latifat-an-Nafsi (diri yang lebih rendah):

Latifa ini terletak sedikit di bawah pusar, dan berwarna kuning. Ada yang percaya bahwa letaknya di antara alis dan warnanya biru. Kata nafs umumnya diterjemahkan sebagai diri atau jiwa. Secara etimologis itu berakar pada "nafas" (mirip dengan Biblical atau Kabbalisticnefesh) dan umum untuk hampir semua psikologi kuno di mana tindakan bernafas dihubungkan dengan kehidupan, yang menghidupkan objek yang tidak bernyawa. Dalam hal ini, pengertian kuno tentang "Atman" dalam Hinduisme atau Yunani "pneuma" serta bahasa Latin "spiritus" - semuanya mengasosiasikan proses dasar bernafas yang terlihat dengan prinsip stimulasi yang menghadirkan eksistensi pada individu manusia. Beberapa sufi menganggap bahwa istilah "Nafs" mencakup seluruh proses psikologis, yang mencakup seluruh mental,kehidupan emosional dan kemauan; Namun, mayoritas sufi berpendapat bahwa Nafs adalah sifat manusia yang "rendah", egois dan penuh gairah yang meliputi aspek vegetatif dan hewan dalam kehidupan manusia. Cakra ketiga dari tradisi Weda, yaitu Cakra Manipur, juga dianggap sebagai tempat emosi. Ini memberi rasa kekuatan pribadi di dunia dan itu memanifestasikan kemarahan atau rasa viktimisasi.

Dalam psikologi modern, ego bisa disamakan dengan Nafs. Dalam terminologi Sufi, hal ini disebut Tazkiya-I-Nafs pembersihan jiwa dari keadaan ego-centrednessnya yang mengerikan melalui berbagai tahap psiko-spiritual menuju kesalehan dan ketundukan pada kehendak Tuhan. 

Tujuan utama dari praktik sufi adalah transformasi Nafs. 

Sebagian besar tarekat sufi telah menerima tujuh maqaam, sementara beberapa aliran sufi masih menerapkan hanya tiga maqaam. Perjalanan sufi dimulai dengan Nafs-e-Ammara dan diakhiri dengan Nafs-e-Mutma'inna. Nafs-e-Ammara berarti jiwa yang memerintah sedangkan Nafs-e-Mutma'inna berarti jiwa yang puas. 

Tahap terakhir perjalanan sufi ini kadang-kadang disebut Nafs-l-Safiya wa Kamila yang berarti jiwa yang tenang dan sempurna dalam Tauhid yaitu kesatuan Tuhan.

Pada tingkat pinggiran Latifa ini tampak mirip dengan cakra Maṇipūra yang terletak di sekitar pusar dan warnanya kuning.

Latifat-al-Qalbi: (Hati)

Latifa ini terletak di kiri dada dan berwarna kuning tua, beberapa sufi percaya bahwa itu merah. Dalam latifa ini, seseorang memandang perbuatannya baik sekaligus jahat. 

Dengan membangkitkannya seseorang memperoleh pengetahuan tentang alam Jin.

Kata Qalb berarti hati. Dalam terminologi sufi, hati spiritual ini (jangan disamakan dengan organ korporeal) lagi-lagi dijelaskan dengan beragam. Beberapa menganggapnya sebagai pusat penglihatan murni. Yang lain menganggapnya sebagai pintu masuk Ishq atau cinta Ilahi. Beberapa orang berpikir bahwa itu adalah medan pertempuran dua tentara yang bertikai: Nafs dan Ruh atau roh. Singkatnya, pembersihan qalb atau hati adalah disiplin spiritual yang diperlukan untuk salik (musafir) di jalan sufi. 

Istilah amalan ini adalah Tazkiah-I-Qalb dan tujuannya adalah membersihkan segala sesuatu yang menghalangi jalan cinta Tuhan atau Ishq-e-Khuda.

Pelafalan Kalima atau Nama Allah dipraktikkan oleh para pencari Untuk membangkitkan latifa ini. Ketika nama 'Allah' bergetar di dalam hati, kesadaran akan Benar dan Salah, dan kebijaksanaan mengikuti. Itu kemudian disebut Qalb-e Salim(isi Hati). 

Kemudian status meditasi oleh Qalb berubah arahnya menuju Tuhan; itu disebut Qalb-e Minib (Hati yang bertobat). Hati ini dapat mencegah seseorang dari kerusakan, tetapi tidak dapat membuat penilaian yang benar. 

Ketika Teofani (Tajalliyat) Tuhan mulai jatuh di Hati, itu disebut Qalb-e-shahid atau Hati yang bersaksi. 

Qalb dan Nafs membentuk "Rooh-e-haivani" (Jiwa Hewan) . Bagian jiwa ini memiliki catatan tentang setiap aktivitas kehidupan.

Latifat-ar-Ruhi: (Roh)

Menurut sebagian sufi, latifa ini terletak di sebelah kanan dada dan berwarna putih, sebagian lagi berwarna hijau. 

Ketika diaktifkan, manusia berkenalan dengan Alam-e-Aarafa , kamar jenazah sakral.

Terletak di sisi kanan dada, ini dibangunkan dan diterangi oleh meditasi dan perhatian satu titik di atasnya. Begitu menjadi menyala, getaran yang mirip dengan detak jantung dirasakan di sisi kanan dada. 

Kemudian Nama Tuhan, Ya Allah cocok dengan denyut nadi yang bergetar. Meditasi dilakukan dengan cara ini. 

Ini adalah perkembangan pangkat dan status dan lebih baik dari Qalb. 

Ia mampu melakukan perjalanan ke alam Jiwa (stasiun Jibril). Kemarahan dan amarah melekat padanya yang membakar dan berubah menjadi keagungan

Latifat-as-Sirri: (Rahasia)

Sirr diposisikan di ulu hati dan dihubungkan dengan warna putih. Ini mencatat perintah Allah untuk individu dalam kesamaan dengan yang aslinya ada di Loh-e-mehfooz (Preserved Scriptorium). Setelah aktivasi, manusia berkenalan dengan Aalam-e-Misal(The Allegorical realm - Reflection of knowledge of the preserved Scriptorium.) 

Pusat ini diasosiasikan dengan kesadaran. Ini juga merupakan meditasi yang terbangun dan diterangi dan perhatian yang tertuju padanya dengan Nama Tuhan, Ya Hayyu, Ya Qayyum. Sirr, secara harfiah berarti "rahasia". Mengosongkan Sirr (Taqliyya-I-Sirr) pada dasarnya adalah fokus pada nama dan atribut Tuhan dalam dzikir atau dzikir terus-menerus, sehingga mengalihkan perhatian seseorang dari aspek duniawi kehidupan manusia dan menempatkannya pada alam spiritual. "Pengosongan" menandakan negasi dan penghapusan kecenderungan manusia yang berpusat pada ego.

Latifat-al-Khafi: (Misterius)

Istilah Khafi berarti tidak bisa dijelaskan, misterius atau Kehalusan Laten. Itu mewakili intuisi, Latifa ini terletak di tengah dahi di antara mata atau di ujung mata ketiga. Warnanya hitam atau biru paling tua. Beberapa percaya bahwa itu terletak di sebelah kanan dada dan warnanya paling hijau gelap. Beberapa sufi membandingkannya dengan Kitab-e-Marqoom, naskah ketuhanan. 

Doa atau aktivasi latifa ini mengarah pada alam penyatuan dengan realitas tertinggi.

Latifat-al-Akhfa (Rahasia di dalam rahasia)

Istilah Akhfa atau ikhfa berarti paling misterius, sangat misterius, atau tidak jelas, halus. Lokasinya jauh di dalam otak atau di tengah-atas kepala. Warna dari pusat ini, menurut beberapa orang, adalah hijau, yang lainnya adalah ungu. 

Ini disebut Nuqta-e-wahida (titik persatuan) di setiap manusia tempat Tajalli (penglihatan beatifik) Allah secara langsung terungkap. 

Ini berisi informasi tentang Ilm-al-Gaib pengetahuan tersembunyi alam semesta. Dengan memasuki titik ini, manusia memasuki sistem alam semesta dan hukum-hukum yang mengatur alam semesta dan dia mengerti arti “untukmu, Kami (Allah) telah menurunkan apapun yang ada di bumi dan langit”. 

Pusat ini terkait dengan persepsi yang dalam. Pusat atau kehalusan terakhir hanya dapat diakses oleh mereka yang telah mengembangkan yang lain, dan milik orang bijak yang sejati.

Akhfa dan khafa membentuk "Rooh-e-azam" (jiwa agung) , juga disebut sabita. Itu adalah cincin cahaya yang cemerlang di mana semua misteri yang berkaitan dengan kosmos yang nyata dan tidak berwujud tertulis. Atribut Tuhan yang telah dipindahkan ke keberadaan dan telah menjadi bagian dari mekanisme alam semesta secara kolektif dikenal sebagai Pengetahuan Yang Wajib (Ilm-e-Wajib). Pengetahuan tentang Petahana berarti pengetahuan yang telah ditransfer ke yang ada, yaitu, mengacu pada Atribut Tuhan yang dengannya para eksistensi menikmati afinitas dan korelasi. Ilmu Petahana juga dikenal sebagai Ilmu Pena (Ilm-e-Qalam).

Dalam tradisi Hindu, Lataif ini dikenal sebagai Chakra. Kata Cakra adalah kata Sansekerta yang berarti roda. Seluruh energi kosmos mengalir dalam gerakan melingkar. Segala sesuatu yang ada di bumi dan di surga dijelaskan oleh peramal dalam gerakan siklis. Energi manusia seperti yang juga dianggap energi ilahi juga mengalir dari satu tahap ke tahap lainnya dalam gerakan siklus tetapi ke atas. Cakra dalam tubuh manusia terletak di beberapa tempat mulai dari mooladhar hingga ajna yaitu di dahi dan di atas kepala. Awalnya ada konsep Sadchakra dalam tradisi religi-spiritual India tetapi umumnya dijelaskan tujuh chakra. Chakra Sahasrar berada di luar tubuh jasmani para Peramal India memikirkan Sadchakras. Angka enam sangat penting dalam tradisi agama Hindu. Ada Sad-darshanas, enam sistem filsafat,Chakra Sedih (Enam roda energi yang berakar di tubuh manusia), sadrasas (Enam rasa makanan seimbang) dan Sadgunas (Enam atribut). Dilihat dengan cara ini, kita dapat menemukan konsep yang sama di agama lain. Dalam tasawuf Islam ada konsep Lataif-e-sitta (Enam kehalusan), Sad Leshyas (Enam tataran cita).

Ada tujuh cakra utama. Aura tersebut sering disebut sebagai cakra kedelapan. Chakra pertama (root) sebenarnya tergantung di luar tubuh manusia. Itu terletak di antara paha Anda, sekitar pertengahan antara lutut dan tubuh fisik Anda. Cakra ketujuh (mahkota atau Sahasrar) terletak di bagian atas kepala.

Osho Rajneesh mengatakan bahwa seks ada di cakra pertama, pusat pertama, terendah dan kita ada di cakra terendah. Itulah mengapa kita mengetahui kehidupan hanya pada tingkat minimumnya. Ketika energi mengalir ke atas dan mencapai cakra terakhir, ke SAHASRAR, energi berada pada titik maksimum, kehidupan berada pada titik maksimum. Kemudian Anda merasa seolah-olah seluruh kosmos menjadi sunyi: bahkan tidak ada satu suara pun di sana. Semuanya menjadi sunyi senyap saat energi mencapai chakra terakhir.

Berbicara tentang Chakra, Osho Rajneesh mengatakan bahwa, masih ada satu perjalanan lagi - perjalanan menuju non-keberadaan, non-eksistensi. 

Keberadaan hanya separuh cerita. 

Ada juga non-eksistensi. 

Terang itu tapi, di sisi lain, ada kegelapan. Hidup adalah satu bagian tetapi ada juga kematian. 

Oleh karena itu, perlu diketahui juga, non-eksistensi yang tersisa, kehampaan, karena kebenaran tertinggi hanya dapat diketahui ketika keduanya diketahui - eksistensi dan non-eksistensi.

Oleh karena itu, Brahma Jyani yang mengetahui pengetahuan tertinggi menyangkal bahwa ada hal yang tidak ada dan menyebutnya sebagai ilusi. Dia bilang itu tidak ada. Dia mengatakan bahwa menjadi adalah kebenaran dan tidak menjadi adalah kepalsuan. Tidak ada hal seperti itu, jadi pertanyaan tentang mengetahuinya tidak muncul.

Jika kita melihat kitab suci Jainisme seperti Bhagwati Sutra, Uttaradhyayan Sutra, Tatvarth Sutra, dan literatur Aagam, kita menemukan banyak konsep serupa yang sejalan dengan Chakra dan Lataif. Enam Leshya atau lebih tepatnya kecenderungan mental seperti yang dijelaskan dalam Jainisme dapat disamakan dengan Lataif dan Chakra. Ada enam Leshya karena ada enam cakra dan enam Lataif. Leshya ini adalah Krishna Leshya, Neel Leshya, Kapot Leshya, Tejo Leshya, Padma Leshya dan Shukla Leshya.

Dalam Shukla Leshya, leshya putih, warnanya putih seperti susu sapi atau cangkang keong. Ketika Jiva berakar kuat di Leshya ini, orang itu menjadi maha tahu; menjadi benar-benar bebas dari keterikatan dan kebencian dan tenggelam dalam pengalaman jiwa dan realisasi diri. Jika orang meninggal dalam kondisi ini maka orang tersebut menjadi terbebaskan dan mencapai keselamatan.

Lataif dan Chakra adalah konsep tasawuf Islam dan praktik spiritual Hindu Veda. Konsep serupa juga ditemukan dalam praktik keagamaan atau spiritual Kristen Yudeo. Ketujuh cakra seperti yang dijelaskan dalam Pohon Kehidupan Yudaisme Kabbalistik disebutkan di sini dengan nama Ibrani berlawanan dengan padanan Sanskritnya.

(Kether: cakra Sahasrara), (Hokmah: cakra Ajna), (Binah: cakra Vishuddi), (Gevurah: cakra Anahat), (Tifferet: cakra Manipura), (Yesod: cakra Swadhistana), (Malkuth: cakra Muladhara).

Di atas pohon kehidupan tepat adalah Kether (mahkota) yang terletak tepat di bawah Ayin dan melambangkan kehendak ilahi yang murni. Ini setara dengan chakra Sahasrara. Berikutnya adalah Hokmah, atau titik kebijaksanaan, yang setara dengan cakra ajna. Kemudian Binah (pemahaman) di pusat tenggorokan atau cakra vishuddi. Cakra hati (anahat) merupakan gabungan dari Gevurah atau keadilan (dilambangkan dengan lengan kiri dan berwarna merah) dan Catur (cinta dan rahmat) dilambangkan dengan lengan kanan dan warna putih. Cakra manipura (pusat permata) di pusar sesuai dengan Tifferet atau kemegahan indah yang berhubungan dengan matahari di kaballah dan unsur api dalam yoga. Di bawah Tifferet (kemegahan) adalah Yesod yang merupakan pusat generatif, mani, dan seksual yang terkait dengan Tifferet di atas baik secara langsung maupun melalui Hod dan Netsah.Root chakra (muladhara dalam bahasa Sanskerta) sama dengan Malkuth dari Kaballah dimana Shekinah bisa masuk. Dikatakan bahwa rahasia untuk memenuhi mizvot (lambang dari semua perbuatan baik) adalah memperbaiki semua alam dan mengeluarkan pancaran dari atas sehingga menyeimbangkan Shekinah dengan Ayin Soph.

Pengantar singkat dari tujuh Neshamot (seluk-beluk) dalam tradisi Kekristenan di dalam diri kita yang sesuai dengan tujuh contoh "Biarlah ada" pertama dari Kejadian. Mereka dapat secara singkat dinyatakan sebagai berikut :

1) Neshamah-behemot: Kehalusan dari tubuh fisik kita.

2) Neshamah-nepheshi: Kehalusan diri kita, jiwa kita.

3) Neshamah-lev: Kehalusan hati kita.

4) Neshamah-sod halev: Kehalusan hati rahasia kita.

5) Neshamah-ruach: Kehalusan dari manusia roh kita.

6) Neshamah-chayim: Kehalusan kehidupan spiritual kita.

7) Neshamah-yachidah: Kehalusan dari kesatuan kita dengan Yang Esa.

Lataif tasawuf Islam, cakra spiritualitas Hindu, dan Leshya dari Jainisme mewakili hal yang sama dalam satu atau lain cara. Semua memiliki sistem warna sendiri-sendiri. Lataif yang berbeda diwakili oleh warna yang berbeda begitu pula dengan cakra dan enam Leshya juga diwakili oleh warna yang berbeda. Warna memiliki kepentingan dan fungsi khusus dalam tradisi agama.

Mengapa Tuhan memilih untuk menciptakan alam semesta dan apa Kehendak Tuhan, yang ingin Dia capai? Refleksi dari semua hal ini ditemukan di dalam Jiwa Agung. Satu sisi Jiwa Agung adalah Kehalusan yang Tidak Jelas (akhfa) dan sisi lainnya adalah Kehalusan Laten (khafi), Jiwa Agung adalah gudang dari sebelas ribu penglihatan beatifik tentang Tuhan. Orang yang mencapai persekutuan dengan dua kehalusan ini dapat mengamati penglihatan ini. Dua seluk-beluk akhfa dan khafi ditemukan pada setiap manusia terlepas dari siapa dia, apa dia, atau apapun posisinya dalam hidup. "Jiwa Agung", "Jiwa Manusia", dan "Jiwa Hewan" sebenarnya adalah tingkat fungsi jiwa yang sama dan bukan jiwa yang berbeda. Ketiga komponen ini seperti tiga cincin cahaya yang ditanamkan satu sama lain dan secara kolektif disebut jiwa,entitas yang tidak terpisahkan, keputusan Tuhan, atau hanya manusia. Manusia berkenalan dengan mereka satu per satu melalui Muraqaba (Meditasi Sufi), Dzikir (Mengingat Tuhan) dan pemurnian dari pola pikiran negatif seperti ketakutan, depresi, emosi negatif seperti kebencian, penghinaan, kemarahan, nafsu dan praktik negatif seperti menyakiti orang lain secara psikologis atau fisik. Mencintai Tuhan dan mencintai setiap manusia terlepas dari ras, agama, atau kebangsaannya, dan tanpa mempertimbangkan pahala yang mungkin, adalah kunci kenaikan menurut tradisi Islam Sufistik. 

Meskipun terdapat kemiripan yang jelas antara Lataif, Chakra dan Leshya, ini adalah konsep independen dari praktik spiritual dari tradisi agama yang berbeda. Ada kesamaan bahwa semua ini memiliki sistem warna. Lataif, Leshya dan Chakra memiliki warna yang berbeda-beda. Karena tujuan akhir dari praktik spiritual-religius adalah untuk mencapai pembebasan atau evolusi, maka wajar jika konsep-konsep ini memiliki kesamaan tertentu, tetapi para pencari harus mengikuti aturan tertentu dari tradisi tertentu ketika dia ingin berlatih dan mengaktifkan cakra-cakra tersebut atau Lataif. Dengan kata terakhir, Lataif dan Chakra ini adalah sumber energi untuk evolusi umat manusia. Dengan mengaktifkannya seseorang menyadari Tuhan,seseorang menyatu dengan realitas tertinggi dan pada tingkat pinggiran seseorang dapat mengendalikan banyak nafsu dan di sana menjalani kehidupan yang bahagia dan damai.

* Semua aliran juga seperti itu, ada Eksoterik Syariat lahirnya, ada Esoterik Hakikat batinnya. Ajaran-ajaran Esoterik kurang di kenal oleh umum sehingga kalau itu dijelaskan menjadi seolah-olah menyimpang dari ajaran yg benar itu malah dianggap menyesatkan. 


Sekar Wijaya Kusuma & Tradisi Kraton Jawa


Dàlam tradisi Kraton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta setelah selesainya upacara penobatan Raja baru, maka Raja yang telah dinobatkan akan memerintahkan utusan untuk memetik bunga : Sekar Wijaya Kusuma yg tumbuh di Pulau Majeti, Karang Badung, ujung Timur pulau Nusakambangan, Cilacap dengan didahului utusan untuk berziarah kepada Adipati Banjaransari di Donan, Adipati Purbasari di Daunlumbung, Kyai Singalodra di Kebondoru, Panembahan Tlecer di Nusa Kambangan, Kyai Ageng Wonokusumo di Gilirangan, Kyai Kasan Besari Gumelem di Banjarnegara.

Setelah berziarah bekti tahlil, maka utusan kemudian membagikan dana shodaqoh Raja yg kemudian ritual dilanjutkan menuju ke Goa Masigitselo (yg bentuk gua menyerupai masjid, maka disebut masjid Sela) utusan bertafakur di situ dan berganti baju putih putih untuk menyeberang ke pulau Karang Badung.

Para utusan Raja tersebut kemudian menuju ke pohon bunga Wijaya Kusuma yg tumbuh di lokasi dan membalut pohon tersebut dng kain cinde dan dibawah pohon dipersiapkan kendaga (peti kotak) untuk tempat bunga.Setelah waktunya di malam hari utusan Raja akan mèlaksanakan Sholat Hajat, apabila doa permintaan terkabul akan datang cahaya dan bunga tersebut sudah ada di dalam kotak peti tersebut yang kemudian diserahkan kepada Raja dengan upacara kènegaraan sekembalinya di Kraton.

Setelah diterima Raja maka Bunga tersebut dibuat hidangan rujak untuk santapan sang Raja.