Shalat Jiwa Rumi

Engkau mungkin bertanya, jikalau Tuhan mengendalikan segala-galanya, lalu untuk apa manusia berupaya? 

Memang betul bahwa Tuhan Maha Kuasa. Namun manusia juga perlu berusaha, sebab bila tanpa usaha, manusia tidak bisa memetik manfaat yang bakal diperolehnya dari Rahmat Ilahi. 

Bliss hanya bisa dirasakan ketika engkau memiliki Divine grace dan juga human endeavour (upaya/usaha); persis seperti halnya engkau baru bisa menikmati hembusan angin dari kipas-angin jikalau engkau memiliki kipas-angin dan arus listrik untuk menggerakkannya.

Hasratku kepada Sang Kekasih telah membawaku terbang melintasi samudera ilmu dan keluasan Al Quran. Aku menjadi mabuk

Ku telusuri bentangan sajadah dan masjid dengan segenap hasrat dan kekhusukan. 

Ku kenakan pakaian pertapa untuk untuk memperkaya kebajikan

Cinta menghampiriku, dan berkata, Wahai Sang Guru, lepaskanlah dirimu dari sajadah. Tidakkah kah ingin hatimu tergetar dihadapan-Ku? Tidak kah kau ingin melampaui pengetahuan dan penglihatan? Maka tundukkanlah kepalamu.

~ Jalaluddin Rumi

Shalat Jiwa yang jauh melampaui Shalat Tubuh. 

Shalatnya tubuh, terbatas

Shalatnya Ruh, tak terbatas

Ia tenggelam dan tak sadarnya ruh

Hingga segenap bentuk tetap berada di luar

Ketika itu tak ada lagi ruang yang memisahkan

Dikisahkan : “Ketika Rasulullah sampai di satu tempat, malaikat Jibril berkata, "Saya tidak mau ikut lagi. Kalau saya ikut, sayap saya akan terbakar. Berangkatlah engkau sendirian.” 

Lalu Rasulullah berangkat ke satu tempat. Di situ malaikat pun tidak ada; hanya ada Rasulullah dan Allah. Kalau seseorang shalatnya sudah merasa seperti itu, dia telah melakukan Mi’raj. 

Seperti kata para Sufi, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat Allah, melihat seluruh kebesaran-Nya dengan seluruh mata batinmu."

Tentang Shalat Jiwa, kembali disampaikan Rumi :

”Adakah jalan yang lebih dekat menuju Tuhan daripada Shalat?” ”Tidak,” dia menjawab; ”Namun shalat itu bukan hanya bentuknya saja. Shalat itu ada permulaan dan ujungnya, sepertinya semua yang berbentuk dan bertubuh dan yang melibatkan ucapan dan suara; tapi jiwa itu bebas dan tak terbatas. 

Para Nabi telah memperlihatkan hakekat shalat yang sesungguhnya…. Shalat adalah ketenggelaman dan ketidaksadaran jiwa, sehingga seluruh bentuk-bentuknya tinggal di permukaan. Shalat seperti itu, bahkan Jibril, yang merupakan Ruh Suci tak dapat ruang. 

Orang dapat berusaha, tapi siapa yang shalat seperti ini dikecualikan dari kewajiban agama, karena dia kehilangan kesadaran. Tenggelam dalam Kesatuan Ilahi itu adalah Shalat Jiwa.”

“Bagi para pecinta, bahkan Jibril sekalipun adalah hijab.”