Ajaran Serat Sastrajendra

 

Perguruan Orang Bercambuk Di Tepi Sungai Bengawan Solo. Puncak dari ilmu nusantara bersemayam dalam Sastra Jendra. 

Dikisahkan dalam pewayangan, bahwa piwulang / ajaran ini ( ajaran Sastrajendra ) sangat rahasia dalam pengajarannya, hingga hanya manusia yang diberi piwulang dan yang mengajar saja yang boleh mengetahui.

Ngelmu Sastra Jendra disebut pula sebagai ilmu sejati atau pengetahuan tentang rahasia seluruh semesta alam (fisik dan metafisik) beserta dinamikanya. Ngelmu Sastra Jendra adalah ilmu pengetahuan batin sebagai jalan untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. 

Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno. Tetapi baru terdapat pada abad ke-19 atau tepatnya tahun 1820. Naskah itu dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuna Sastra atau Lokapala. Kutipan dalam kitab itu diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26 yang berbunyi:

“Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan “Sastra Jendra hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh seorangpun mengucapkannya, karena mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun yang disebut Sastra Jendra Hayuningrat itu adalah pangruwat segala sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, dan sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra). Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada di hutan belantara sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Bhatara, matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra, maka nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia”

Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu berarti wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan gaib “Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer” atau Sukma Sejati. Sehingga orang yang mendapatkan wejangan itu akan mendapat kesempurnaan, karena bisa menuntaskan ilmu Sedulur Papat Kalimo Pancer tingkat akhir.

Tataran tinggi pencapaian “ilmu batin/spiritual” dapat ditandai apabila kita dapat menjumpai wujud “Diri” kita sendiri, yang di sebut sebagai Diri Sejati, yang tidak lain adalah Guru Sejati kita. 

Lebih dari itu, kita dapat berdialog dengan Guru Sejati untuk mendengarkan nasehat-nasehatnya, petuah dan petunjuknya. Guru sejati berperan sebagai “Mursyid” Guru non fisik yang tidak akan pernah bicara omong kosong dan sesat, sebab Guru Sejati sejatinya adalah pancaran dari gelombang Yang Maha Suci. Di sana lah, kita sudah dekat dengan relung ’Sastra Jendra hayuning rat’ 

yakni ilmu linuwih, “ibu” dari dari segala macam ilmu, karena mata (batin) kita akan melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta

Ritual diadakan pada malam hari, sebaiknya pada hari Selasa atau Jumat kliwon, yang merupakan malam "suci" (keramat)  

Diperbarui setiap tiga puluh lima hari dan dianggap kondusif untuk kegiatan seremonial apapun.

Tingkat menengah terdiri dari dua aji . 

Bentuk Sri Candra Bhaerawa bertujuan - melalui puasa lengkap selama dua puluh empat jam dan berjalan jam dua belas malam disertai dengan meditasi dari guru - untuk menguduskan pernikahan, dalam dimensi supersensitif, dari praktisi dan seorang wanita muda yang dia impikan dengan cara sedemikian rupa sehingga dia mengalami ejakulasi. Dari pemupukan yang dimediasi ini lahirlah "anak cebol [immaterial]" (Bajang) yang melindungi rumah praktisi.

Pada malam-malam yang diterangi cahaya bulan, anggota badan melatih untuk "menggambar tubuh vital" (Ngraga Sukma) , sebuah praktik yang juga disebutkan dalam sastra klasik. 

Rumus  Patrap dan posisi khusus digunakan sehingga "tubuh vital" (sukma) terpisah dari "tubuh substansial" (raga) .

Pada tingkat tertinggi, wali sejati tingkat senior , yang seharusnya membuat praktisi kebal terhadap api, ditransmisikan kembali; bentuk Sari Sri Gamana , yang berkaitan dengan pengetahuan sebelumnya tentang panyuwunan Gineng dan terkait dengan "pengajaran kesempurnaan" (ngèlmu kasampurnan) , bertujuan untuk menarik Wahyu Illahi, sumber otoritas spiritual yang kehadirannya ditandai dengan Cahaya Kuning Emas di bagian atas tengkorak.