
Pada mulanya Hardjosapoero menerima ‘wahyu’ pada tanggal 27 Desember 1952. Pada hari kamis, 26 Desember 1952 atau sehari sebelum Hardjosapoero menerima wahyu, Hardjosapoero merasa gelisah. Hingga akhirnya mengantarkannya kepada temannya. Pada pukul 24.00, ia kembali ke rumahnya. Hardjosapoero mengambil tikar dan beralaskan lantai kemudian tidur-tiduran. Pada saat ia akan terlelap tidur, dengan “sekonyong-konyong”, ia digerakan oleh kekuatan supranatural untuk terus melakukan sujud. Sujud tersebut terus ia lakukan dengan melafalkan lafal yang sama hingga pukul 05.00 pagi.
Sapta Darma dan Praktek Sujud
Dalam melakukan sujud tersebut, ia dalam kondisi sangat sadar. Namun disisi lain, ia tidak mampu mengendalikan tubuhnya. Kekuatan tersebut terus membimbingnya untuk melakukan gerakan sujud tersebut. Gerakan sujud tersebut dinamakan wahyu sujud. Dalam melakukan sujud tersebut, Hardjosapoero duduk bersila dengan tangan bersidekap dan sujud hingga dahi menyentuh lantai. Wahyu sujud tersebut terus dilakukan dengan meneriakkan lafal dalam bahasa Jawa, yang berbunyi :
“Allah Hyang Maha Agung
Allah Hyang Maha Rahim
Allah Hyang Maha Adil”
Gerakan sujud yang ia lakukan tersebut hingga tiga kali namun dengan keadaan tetap duduk bersila dan tangan bersedekap. Dalam sujud keduanya, ia melafalkan lafal yang berbunyi :
“Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa”
Lafal tersebut ia ucapkan sebanyak tiga kali dalam sujud keduanya tersebut. Dan pada sujud ketiga, dengan posisi duduk kemudian sujud hingga dahi menyentuh lantai dan mengucapkan lafal:
“Kesalahane Hyang Maha Suci, Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuwasa”
Lafal tersebut juga ia ucapkan sebanyak tiga kali. Dalam keadaan bergetar dan ketakutan, ia kembali duduk dan mengulang gerakan sujud tersebut dengan lafal yang berbeda disetiap sujudnya. Kejadian ini terjadi pada Jum;at Wage pukul 01.00 WIB sampai 05.00 WIB.
Lafal tersebut pada akhirnya dijadikan acuan bagi penganut Sapta Darma ketika melakukan ibadah sujudnya.
Lingkaran ditengah–tengah berwarna putih yang tertutup oleh gambar Semar menggambarkan: lubang pada ubun–ubun manusia (merupakan lubang yang ke–10 yang tertutup = pudak sinumpet).
Warna putih yang ada pada gambar Semar itupun menggambarkan Nur Cahaya atau Nur Putih ialah hawa suci (Hyang Maha Suci) yang dapat berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa.
Artinya : Menyatupadukan rasa di ubun–ubun hingga mewujudkan Nur Putih Yang dapat menghadap Hyang Maha Kuasa.
SUJUD
Warga Sapta Darma diwajibkan sujud dalam sehari semalam (24 jam) sedikit–dikitnya sekali. Lebih dari itu lebih baik, dengan pengertian bahwa yang penting bukan banyak kalinya ia melakukan sujud tetapi kesungguhan sujudnya. Bila sujud dilakukan di sanggar, dapat dilakukan bersama–sama dengan tuntunan dan dapat sewaktu–waktu. Namun lebih baik waktu ditentukan.
Sikap duduk
Duduk tegak menghadap ke timur (=timur/kawitan/asal), artinya di waktu sujud manusia harus menyadari/mengetahui asalnya. Bagi pria duduk bersila jajar kaki kanan di depan kaki kiri. Bagi wanita bersimpuh. Namun diperkenankan, mengambil sikap duduk seenaknya asal tidak meninggalkan kesusilaan sikap duduk dan mengganggu jalannya getaran rasa. Tangan bersedakep, yang kanan didepannya yang kiri.
Selanjutnya menentramkan badan, mata melihat ke depan ke satu titik yang terletak + satu meter di tanah tepat didepannya. Kepala dan punggung (tulang belakang) segaris lurus. Setelah merasa tenang dan tenteram, serta adanya getaran (hawa) dalam tubuh yang berjalan merambat dari bawah ke atas. Selanjutnya getaran rasa tersebut harus merambat ke atas sampai dikepala, karenanya lalu mata terpejam dengan sendirinya. Kemudian setelah ada tanda pada ujung lidah terasa dingin seperti kena angin (jawa = pating trecep) dan keluar air liurnya terus ditelan, lalu mengucap dalam batin : Allah Hyang Maha Agung Allah Hyang Maha Rohim Allah Hyang Maha Adil Bila kepala sudah terasa berat, tanda bahwa rasa telah berkumpul di kepala. Hal ini menjadikan badan tergoyang dengan sendirinya.
Kemudian di mulai dengan merasakan jalannya air sari yang ada di tulang ekor (Jawa : brutu atau silit kodok).
Jalannya air sari merambat halus sekali, naik seolah–olah mendorong tubuh membungkuk ke muka. Membungkuknya badan diikuti terus, (bukan karena kemauan tapi karena rasa) sampai dahi menyentuh tanah.
Setelah dahi menyentuh tanah, dalam batin mengucap: “Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa” (sampai 3 kali).
Selesai mengucapkan, kepala diangkat perlahan–lahan, hingga badan dalam sikap duduk tegak lagi seperti semula.
Mengulang lagi merasakan di tulang ekor seperti tersebut di atas, sehingga dahi menyentuh tanah lagi.
Setelah dahi menyentuh tanah diucapkan di dalam batin: “Kesalahannya Hyang Maha Suci Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa” (sampai 3 kali).
Dengan perlahan–lahan tegak kembali, lalu mengulang, merasakan lagi di tulang ekor seperti tersebut di atas sampai dahi menyentuh tanah yang ke–3 kalinya.
Kemudian dalam batin diucapkan: “Hyang Maha Suci Bertobat Hyang Maha Kuasa” (sampai 3 kali).
Akhirnya duduk tegak kembali, masih tetap dalam sikap tersebut hingga beberapa menit lagi : baru kemudian sujud selesai.
Apakah sebenarnya getaran–getaran serta air sari itu, dari mana asalnya dan dimana tempatnya? Getaran atau Sinar Cahaya Allah adalah cahaya yang digambarkan berwarna Hijau muda (=maya) yang ada di dalam seluruh pribadi manusia.
Adapun air sari atau air putih/suci berasal dari sari bumi yang akhirnya menjadi bahan makanan yang di makan manusia.
Sari–sari makanan tersebut mewujudkan air sari yang tempatnya di ekor (Jawa=Cetik/silit kodok/brutu).
Bersatu padunya getaran sinar cahaya dengan getaran air sari yang merambat berjalan halus sekali di seluruh tubuh,menimbulkan daya kekuatan yang besar sekali.
Daya kekuatan ini disebut: Atom Berjiwa yang ada pada pribadi manusia.
Jadi kekuatan ini mempunyai arti dan guna yang besar sekali seperti antaranya: - Dapat memberantas kuman–kuman penyakit dalam tubuh. - Dapat menentramkan/menindas nafsu angkara. - Dapat mencerdaskan pikiran. - Dapat memiliki kawaskitan, seperti kawaskitan akan penglihatan, pendengaran, penciuman, tutur kata atau percakapan serta kewaskitaan rasa.
Bila telah memusat di ubun–ubun akan mewujudkan Nur Putih. Akhirnya naik menghadap Hyang Maha Kuasa untuk menerima perintah–perintah/petunjuk yang berupa isyarat/kias seperti berupa gegambaran, tulisan–tulisan (tulis tanpa papan = sastra jendra hayuningrat).
Sekali lagi dikatakan, bahwa syarat untuk memiliki kemampuan itu semua, tiada lain adalah pengolahan/penyempurnaan budi pekerti yang menuju keluhuran pada sikap dan tindakan sehari–hari.
Pengolahan/penyempurnaan pribadi itu, bagi para pemeluk yang sudah dapat/mampu, adalah berarti selalu mencetak atom berjiwa pada pribadinya.
Atom tersebut digunakan untuk peri–kemanusiaan ialah menolong orang yang menderita sakit.
Cara mengobati (penyembuhan) di jalan Tuhan dilakukan dengan :
Ening sambil memandang bagian badan si pasien (si penderita) yang sakit, setelah merasa bahwa seluruh rasa terkumpul di dalam mulut, dengan tanda lidah seperti terbelai angin (Jawa: pating trecep) dan ujung lidah terasa berat, maka dalam batin menyabut Nama Allah (Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil), kemudian menyabda : Sembuh (Waras).
Selanjutnya si pasien/si sakit disuruh merasakan keadaan badannya.
Bagi mereka yang sakitnya telah menahun (bertahun–tahun), atau sakit bagian dalamnya seperti antara lain: paru–paru, asma, ayan, lepra, nier (ginjal), tekanan darah tinggi, seyogyanya mereka itu dituntuni sujud yang sungguh–sungguh (emat).
Setelah melakukan sujud, lalu didalam batin supaya mengucapkan: “Minta geraknya Nur Rasa”, kemudian disuruh ening, rasa ditujukan pada tangan. Bila tangannya telah bergerak (bergetar) : lalu diminta mengucapkan “Mohon diobati hingga sembuh” gerak tangan itu diikuti kemana arahnya guna mengobati sakitnya, hingga badan menjadi ringan/enak.
Manakala penyakit telah sembuh, bagi yang habis sakit boleh meneruskan sujudnya, boleh tidak.
Warga Sapta Darma harus dapat menggunakan kewaskitaan. Yaitu supaya dieningkan dengan mata terpejam, bagimana kias (isyarat) atau tanda–tanda si sakit. Artinya bila ada gegambaran atau tanda–tanda seperti : burung yang kekablak (menggerak–gerakan sayapnya) atau burung terbang, pohon kering/menjadi kering, orang yang duduk membelakangi, atau tercium bau jenazah berarti bahwa telah sampai waktunya bagi si sakit, atau sudah sampai pada garis yang ditentukan oleh Hyang Maha Kuasa. Dalam hal ini meskipun di sabda sembuh (waras), penyakit menjadi sembuh namun umur telah sampai pada janji untuk diambil kembali oleh Hyang Maha Kuasa. Jadi ajal tak dapat dielakkan lagi.
Apabila pada waktu ening kita lihat tanda–tanda/gegambaran seperti : pohon beringin, bunga mawar yang kembang (mekar) ini adalah petunjuk bahwa : si sakit akan sembuh.
Bagi mereka yang sakit lumpuh, atau badannya mati sebelah cara mengobatinya seperti yang diterangkan diatas, dan simpul–simpul tali rasa pada bagian tubuh yang sakit di uyeg (di guyar–guyar) dengan jari tengah tangan kanan. Kemudian disuruh menggerakkan tangan dan kakinya, dan akhirnya, di sabda “sembuh” (waras)!
TALI RASA
Manusia memiliki saluran rasa yang jalannya tali temali merupakan saluran–saluran yang disebut TALI RASA. Di beberapa tempat tali rasa/saluran –saluran rasa tersebut mewujudkan simpul, yaitu merupakan sentral setempat.
Di seluruh tubuh ada 20 sentral/simpul tali rasa, dan ditandai dengn abjad huruf jawa sebagai berikut : Ha – di dagu (di tengah–tengah) Na – di tenggok (pangkal leher bawah muka, tempat di atas pertemuan tulang selangka). Ca – di atas tonjolan pertemuan kedua tulang rusuk yang nomor 2 (di dada). Ra – di cekungan di bawah tulang stenum (tulang dada tempat pertemuan lubang rusuk kecer hati). Ka – di pusat perut (Jawa : puser). Da – di tengah–tengah tulang kemaluan. Ta – di ujung tulang ekor. Sa – di tulang belakang tepat di belakang pusat perut. Wa – di bawah ujung tulang belikat (Jawa: entong–entong). La – di pundak (tonjolan ujung tulang belakang yang di atas) Pa – di tengah ketiak. Dha – di siku. Ja – di tengah–tengah pergelangan tangan bagian depan. Ya – di tengah–tengah telapak tangan (pangkal jari tengah) Nya – di susu kanan kiri. (bagi wanita di pangkal lipatan buah dada). Ma – di tengah–tengah pangkal paha. Ga – di tengah–tengah belakang lutut (lipatan lutut). Ba – di atas tumit aschiles bagian dalam. Tha – di tengah–tengah telapak kaki. Nga – di pangkal hidung (di tengah–tengah antara kedua kening)
Bila Warga Sapta Darma menolong mengobati/ menyembuhkan orang yang mati urat syarafnya seperti lumpuh, mati separo, setelah ening maka simpul–simpul tali rasa bagian tubuh yang lumpuh, tadi di uyeg–uyeg (di guyar–guyar) sambil ening, kemudian di sabda sembuh (waras).
RACUT
CARANYA : Setelah melakukan sujud wajib (sujud dasar), maka sujudnya ditambah lagi dengan satu bungkukan, yang diakhiri dengan ucapan di dalam batin : “HYANG MAHA SUCI MENGHADAP HYANG MAHA KUWASA.” Kemudian lalu berbaring dalam SIKAP ULAH RASA,hanya saja kedua tangan dilipat (bersedakep), tapak tangan kanan ditumpangakan (diletakan) di atas telapak tangan kiri menghadap ke bawah, dan diletakan di atas “CO” (=tonjolan pertemuan kedua tulang rusuk nomor dua di dada di bawah pertemuan kedua tulang selangka). Segala kegiatan pikiran da angan–angan dan sebagainya dihentikan, Satria Utama (mata satu yang tak dapat rusak) digunakan untuk menyaksikan berangkatnya Hyang Maha Suci (Nur Putih), keluar dari ubun–ubun menghadap Hyang Maha Kuasa.
Racut dapat memungkinkan seseorang dapat memiliki kewaskitaan yang tinggi.
Racut ini tidak membahayakan, karena hanya Hyang Maha Suci saja yang meninggalkan jasmani sementara.
Sedang 11 saudara yang lain masih tetap menjaga dalam tubuh (badan).