Proses Perjalanan Spritual



Kalimat diatas berbicara tentang dua tingkatan perjalanan batin yang sering disalahpahami. Banyak orang mengira bahwa mendekat kepada Allah selalu identik dengan ketenangan, kelapangan, dan hidup yang terasa ringan. Padahal, justru tanda awal seseorang berjalan menuju Allah dalam ujian. Ujian menjadi bahasa pertama yang digunakan Tuhan untuk membersihkan arah, meluruskan niat, dan menguji apakah langkah itu sungguh menuju-Nya atau hanya menuju rasa nyaman.

Orang yang berjalan menuju Allah diuji agar ia belajar membedakan antara iman dan kebiasaan, antara tawakal dan angan angan. Ujian membuat akal berhenti bersandar pada logika dunia semata, dan hati mulai belajar bersandar pada sesuatu yang tak kasat mata. Di fase ini, manusia masih merasa dirinya berjalan, masih sadar bahwa ia berjuang, masih mengukur lelah dan hasil. Ujian datang sebagai cermin agar ia mengenali batas dirinya.

Namun ada fase kedua yang lebih dalam, lebih sunyi, dan lebih menyakitkan, yaitu Orang yang dicintai Allah tidak sekadar diuji, tetapi dibakar. Bukan dibakar untuk dihancurkan, melainkan dibakar untuk dimurnikan. Yang dibakar bukan jasadnya, tetapi sandaran sandaran palsu dalam hatinya. Ambisi, kebanggaan, rasa memiliki, bahkan harapan harapan yang tidak sepenuhnya bersandar pada Allah perlahan diluruhkan. Di titik ini, manusia tidak lagi bertanya mengapa, karena pertanyaan itu sendiri telah terbakar.

Secara filosofis, pembakaran ini adalah proses kefanaan. Diri yang merasa memiliki kehendak dilebur, ego yang ingin mengatur dilenyapkan. Yang tersisa bukan kehampaan, tetapi kehadiran. Ketika semua yang selain Allah runtuh, barulah hati mengenal makna cukup yang sebenarnya. Bukan karena memiliki banyak, tetapi karena tidak lagi bergantung pada apa pun selain Dia.

Secara psikologis, fase ini sering tampak seperti kehilangan total. Kehilangan arah, kehilangan rasa, kehilangan pegangan. Tetapi justru di sanalah ketenangan terdalam lahir. Saat tidak ada lagi yang bisa diandalkan, Allah menjadi satu satunya tempat pulang. Dan ketika itu terjadi, penderitaan tidak lagi terasa sebagai hukuman, melainkan sebagai bentuk kasih yang paling jujur.

Pada akhirnya, ujian membuatmu berjalan, tetapi pembakaran membuatmu sampai. Ujian mengajarimu bersabar, pembakaran mengajarimu pasrah. Dan ketika tak ada lagi yang tersisa selain Dia, barulah cinta itu benar-benar dimengerti.