The Way of Sufi

"Menjadi seorang Sufi berarti melepaskan diri dari ide-ide yang sudah mapan dan prasangka; dan tidak mencoba menghindari apa yang menjadi takdirmu."

Kaum Sufi tidak memiliki keyakinan atau ketidakpercayaan yang pasti. Cahaya Ilahi adalah satu-satunya penopang jiwa mereka, dan melalui cahaya ini mereka melihat jalan mereka dengan jelas, dan apa yang mereka lihat dalam cahaya ini mereka percayai, dan apa yang tidak mereka lihat tidak mereka percayai secara membabi buta. Namun mereka tidak mencampuri keyakinan atau ketidakpercayaan orang lain, dengan berpikir bahwa mungkin sebagian besar cahaya telah menyalakan hatinya, sehingga ia melihat dan percaya bahwa kaum Sufi tidak dapat melihat atau percaya. Atau, mungkin sebagian kecil cahaya telah membuat penglihatannya redup dan ia tidak dapat melihat dan percaya sebagaimana kaum Sufi percaya. Oleh karena itu kaum Sufi menyerahkan keyakinan dan ketidakpercayaan kepada tingkat evolusi setiap jiwa individu. Pekerjaan Mursyid adalah menyalakan api hati, dan menyalakan obor jiwa muridnya, dan membiarkan muridnya percaya dan tidak percaya sebagaimana ia memilihnya, sambil menempuh perjalanan melalui jalan evolusi. Namun pada akhirnya semua berpuncak pada satu keyakinan, Huma man am, yaitu, 'Aku adalah semua yang ada'; dan semua keyakinan lainnya adalah persiapan untuk keyakinan akhir ini, yang disebut Haqq al-Iman dalam terminologi Sufi.

Jika ada yang bertanya apa itu tasawuf, agama macam apa itu, jawabannya adalah tasawuf adalah agama hati, agama yang mengutamakan pencarian Tuhan di hati manusia.

Seorang Sufi adalah orang yang melakukan apa yang dilakukan orang lain – ketika diperlukan. Ia juga orang yang melakukan apa yang tidak dapat dilakukan orang lain – ketika hal itu diperintahkan.

Semua metode adalah metode, semua cara adalah cara. Dan jika Anda ingin mencapai tujuan akhir, Anda harus meninggalkan semua cara dan semua metode. Itulah satu-satunya cara untuk memasuki tujuan akhir. Sang pencinta harus melupakan semua tentang cinta, dan sang meditator harus melupakan semua tentang meditasi.

Ketika seseorang mulai melihat semua kebaikan sebagai kebaikan Tuhan, semua keindahan yang mengelilinginya sebagai keindahan ilahi, ia mulai menyembah Tuhan yang kasat mata, dan ketika hatinya terus-menerus mencintai dan mengagumi keindahan ilahi dalam semua yang dilihatnya, ia mulai melihat dalam semua yang kasat mata satu visi tunggal; semua menjadi baginya visi keindahan Tuhan. Kecintaannya pada keindahan meningkatkan kapasitasnya sedemikian rupa sehingga kebajikan-kebajikan besar seperti toleransi dan pengampunan muncul secara alami dari hatinya. Bahkan hal-hal yang kebanyakan orang pandang dengan hina, ia pandang dengan toleransi. Persaudaraan manusia tidak perlu ia pelajari, karena ia tidak melihat manusia, ia hanya melihat Tuhan. Dan ketika visi ini berkembang, visi itu menjadi visi ilahi yang mengisi setiap momen dalam hidupnya. Di alam ia melihat Tuhan, dalam manusia ia melihat gambar-Nya, dan dalam seni dan puisi ia melihat tarian Tuhan. Ombak laut membawa pesan dari atas kepadanya, dan goyangan dahan-dahan pohon ditiup angin baginya tampak seperti doa. Baginya ada kontak terus-menerus dengan Tuhannya. Ia tidak mengenal was-was, atau rasa takut apa pun. Kelahiran dan kematian baginya hanyalah perubahan yang tidak berarti dalam hidup. Hidup baginya adalah gambar bergerak yang ia cintai dan kagumi, namun ia terbebas dari semua itu. Di situ ada kegembiraan, banyak berbagai macam keberkahan.

Jalan Mengenal Diri


Dulu saya tidak mengerti…sekarang saya mengerti… Cinta akan berakhir bahagia…Cinta akan Selalu berakhir bahagia…dulu saya pikir, Cinta adalah kondisi-kondisi yang menyertainya…Pasang surutnya…Kegembiraan Kesedihannya…Suka Dukanya…ternyata bukan…bahkan juga bukan bersatu ataupun Berpisah…Cinta bukan itu semua….Cinta sesungguhnya akan Berakhir Bahagia…apapun kondisinya…apapun situasinya… Cinta akan Selalu Berakhir Bahagia…(Master Ivan Prapanza)

Jika kita tidak bersabar ketika berada dalam musim dingin, maka kita akan kehilangan keindahan musim semi yang cantik, kehangatan musim panas yang menjanjikan harapan. Dan kita tidak akan memanen hasil pada musim gugur. Kegelapan malam tidak selamanya bertahan, esok akan ada fajar yang mengusir kegelapan. Ada harapan ada kegembiraan, dan tersenyumlah..

Imam Al-Ghazali mengatakan, “Jika kita ingin mengenal diri, maka ketahuilah dua hal dengan sebenar-benarnya, pertama, hati, dan kedua, jiwa (ruh). Al-Ghazali juga menekankan, bahwa : “Kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh kesiapannya mengenal Allah, tetapi dalam kesiapannya mengenali hatinya. Jika manusia telah mengenali hatinya, maka ia telah mengenali diri sendiri. Jika ia telah mengenali diri sendiri, maka ia telah mengenal Tuhannya.”

Rumi meninggal dan dikubur dalam Kubah Hijau [Qubat-ul-Azra’] yang bertuliskan, “Saat kami meninggal, jangan cari kuburan kami di tanah, tapi carilah di hati manusia.”

Seorang penyair Hindustan berkata, “Hasrat untuk melihat kekasih membawaku ke dunia, dan hasrat yang sama untuk melihat kekasih membawaku ke surga.”

Cinta adalah api di dalam jiwa, ia adalah nyala api bila hati dinyalakan, dan ia adalah asap bila ia menjelma melalui tubuh.

Bila cinta dipusatkan pada satu obyek, ia adalah cinta. Bila diarahkan ke beberapa obyek, ia disebut kasih. Bila seperti kabut, ia disebut nafsu. Bila cenderung kepada moral, ia adalah kebaktian. Bila diperuntukkan bagi Allah, Yang Maha Berada dan Maha Perkasa, yang merupakan Keberadaan Total, ia disebut cinta ilahi, pecinta itu disebut suci. Tiada daya yang lebih besar daripada cinta. Semua kekuatan muncul ketika cinta bangkit di dalam Hati. Tiada daya dan kekuatan, kecuali dengan izin Allah.

Untuk membaca pikiran, untuk mengirimkan dan menerima pesan telepati, orang mencoba proses-proses fisik dengan sia-sia. Andai mereka tahu bahwa rahasia semua itu berada di dalam cinta! Konsentrasi, yang merupakan rahasia setiap pencapaian dalam hidup, dan faktor terpenting dalam semua aspek hidup, terutama dalam jalur agama dan mistisisme, namun semua itu merupakan hal yang alami dalam cinta. Orang tanpa cinta akan menghabiskan waktu bertahun-tahun dalam jalur ini, dan akan selalu gagal untuk memusatkan pikiran mereka pada satu obyek. Tetapi cinta memaksa pecinta, menahan visi tentang kekasihnya di depan pandangannya. Maka pecinta tak perlu berkonsentrasi dalam pikirannya. Cintanya sendiri adalah konsentrasi yang memberinya penguasaan atas semua hal di dunia.

“Daya manusia adalah kekuatan tubuhnya, tetapi daya cinta adalah keperkasaan Allah.”  “Kebahagiaan seorang pecinta terletak di dalam kebahagiaan kekasihnya.” 

Orang yang kolot berkata, “Ini baik, itu buruk. Ini benar, itu salah,” tetapi bagi seorang Sufi sumber semua perbuatan baik adalah cinta. Orang mungkin berkata bahwa cinta pun merupakan sumber perbuatan buruk, tetapi tidak demikian; sumbernya adalah tiadanya cinta. Amal baik kita terbuat dari cinta, dan dosa-dosa kita disebabkan oleh tiadanya cinta. Cinta mengubah dosa menjadi kebaikan. Semua orang berkata, “Aku cinta,” atau “Aku telah mencintai,” tetapi sangat jarang cinta yang senantiasa meningkat sejak dimulai. Bagi pecinta sejati, sungguh aneh mendengar orang berkata, “Aku telah mencintainya, tetapi kini aku tak mencintainya lagi.”

Cinta harus secara mutlak bebas dari kepentingan diri sendiri, karena bila tidak, ia tak akan menghasilkan cahaya yang benar. Bila api tak menyala, ia tak memberi cahaya, hanya asap yang keluar darinya, asap yang menyebalkan. Demikianlah cinta yang mementingkan diri sendiri; baik cinta kepada manusia maupun kepada Allah, ia tak berbuah karena meskipun tampak seperti cinta kepada orang lain maupun kepada Allah, ia sesungguhnya adalah cinta kepada diri sendiri.

Hafiz berkata tentang menyerah kepada kehendak kekasih: “Aku telah memecahkan gelas kehendakku ketika berbenturan dengan kehendak kekasihku. Meskipun cinta adalah cahaya, ia menjadi kegelapan bila hukumnya tidak dipahami. Seperti air yang dapat membersihkan semua benda, air itu menjadi lumpur bila bercampur tanah. Demikian pula cinta, bila tidak dipahami dengan benar dan bila salah arah, ia menjadi kutukan, bukan berkah.

Ada lima dosa utama terhadap cinta, yang mengubah madu menjadi racun. 

Pertama, bila demi cintanya pecinta merampas kebebasan dan kebahagiaan kekasihnya. 

Kedua, bila pecinta membiarkan kecemburuan atau kepahitan dalam cinta. 

Ketiga, bila pecinta ragu, tak percaya, dan curiga kepada orang yang dicintainya. 

Keempat, bila cinta menyusut akibat membiarkan kesedihan, masalah, kesulitan, dan penderitaan yang datang dalam jalur cinta. 

Kelima, bila pecinta memaksakan kehendaknya sendiri, bukan menyerah kepada kehendak kekasih. Itu semua adalah penyebab alami dari petaka dalam hati yang mencinta, seperti penyakit bagi tubuh fisik. Lenyapnya kesehatan membuat hidup menyedihkan, demikian pula lenyapnya cinta membuat hati tertekan. Hanya pecinta yang menghindari kesalahan di atas akan memperoleh manfaat dari cinta, dan tiba dengan selamat di tempat tujuannya. Kesabaran, pengorbanan, penyerahan, kekuatan, dan pengabdian dibutuhkan dalam cinta, dan tiada sesuatu kecuali harapan, hingga ia bersatu dengan kekasihnya. Pengorbanan dibutuhkan dalam cinta untuk memberi semuanya : kekayaan, harta milik, tubuh, hati, dan jiwa. Tiada lagi “Aku” yang tersisa, yang ada hanya “engkau”, sampai “engkau” itu berubah menjadi “aku”.

Orang-orang yang menghindari cinta dalam hidup karena takut akan deritanya, mengalami kerugian yang lebih besar dari pecinta, yang dengan kehilangan diri memperoleh semuanya.

Derita cinta pada saatnya akan menjadi kehidupan dari pecinta. Sakit dari luka hatinya memberinya kegembiraan yang tak dapat diberikan oleh apapun juga. Hati yang terbakar menjadi lampu penerang di jalan yang ditempuh pecinta, meringankan jalannya sampai ke tujuan.

Kenikmatan hidup itu membutakan, hanya cinta saja yang membersihkan karat dari hati, cermin dari jiwa.

Pecinta membiarkan hatinya yang liar untuk dikasihani di depan kekasih, menempatkannya di telapak tangannya.

Ia meletakkan hatinya di kaki sang kekasih yang memperlakukannya dengan dingin, sementara ia berseru, “Lebih lembut, kekasihku, yang lembut! Itu adalah hatiku, itu adalah hatiku.”

Hati si pecinta mengeluarkan air mata darah. Pecinta menekan hatinya, mencegahnya agar tidak berlari kepada kekasihnya.

Pecinta itu mengeluh bahwa hatinya tak setia karena meninggalkannya dan pergi ke kekasihnya.

Cinta mengemis agar kekasih mengembalikan hatinya bila hati itu sudah tak digunakannya lagi.

Tempat tinggal hati adalah di dalam pelukan kekasihnya.

Luka dalam hati adalah mawar bagi pecinta, rasa sakit adalah keindahannya.

Ia menangis agar dapat meneteskan air asin kepadanya untuk membuatnya cerdas, agar ia dapat sepenuhnya menikmati derita yang manis.

Pecinta cemburu kepada perhatian yang dicurahkan pesaing terhadap kekasihnya.

Bila pecinta menceritakan kisah cintanya kepada kawan-kawannya, mereka akan menangis bersamanya.

Pecinta mencium tanah yang diinjak kekasihnya ketika berjalan. Ia iri kepada kesempatan yang dimiliki sepatu kekasihnya. Pecinta menggelar permadani di pintu bagi sang kekasih.

Alis sang kekasih adalah Mihrab, pintu lengkung pada masjid. Tahi lalat di pipi kekasih adalah noda ajaib yang mengungkapkan rahasia langit dan bumi kepadanya.

Debu di bawah kaki kekasih baginya merupakan tanah sakral dari Ka’bah.

Wajah kekasih adalah Al Qur’an yang terbuka, dan ia mambaca Alif, huruf dan huruf simbolik dari nama Allah, dalam sifat sang kekasih.

Pecinta minum anggur Kautsar, yang keluar dari mata kekasih. Pandangan kekasih membuatnya mabuk.

Suara gelang kekasih membuatnya hidup.

Pecinta puas dengan melihat kekasih meskipun dalam mimpi, bukan dalam keadaan terjaga.

Kegembiraan dalam arti yang nyata hanya diketahui oleh seorang pecinta.

Orang tanpa cinta hanya mengetahui namanya, ia tidak mengetahui kenyataannya. Perbedaannya seperti manusia dan batu. Dengan semua perjuangan dan kesulitan hidup, manusia lebih suka menjadi manusia daripada menjadi batu yang tak tersentuh oleh perjuangan atau kesulitan, karena dengan perjuangan dan kesulitan, kegembiraan hidup menjadi sangat besar. Dengan semua derita dan kesedihan yang harus ditemui pecinta di dalam cinta, kegembiraannya dalam cinta tak dapat dibayangkan, karena cinta adalah hidup, dan tanpa cinta berarti mati.

“Para malaikat akan meninggalkan kebebasan mereka di surga, andai mereka tahu kegembiraan ketika cinta bersemi pada orang muda.”

Kisah Surdas

Hal ini dijelaskan dalam kehidupan Surdas, seorang pemusik dan penyair India. Dengan sangat mendalam ia mencintai seorang penyanyi dan senang melihatnya. Kecintaannya meningkat hingga ia tak dapat hidup tanpa dia dalam sehari saja. Suatu ketika terjadi hujan lebat yang berlangsung berminggu-minggu dan seluruh negeri banjir. Tak ada cara untuk bepergian, jalan-jalan tak dapat dilalui, tetapi tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi Surdas untuk menemui kekasihnya seperti yang dijanjikan. Ia berangkat dalam hujan lebat, tetapi di tengah jalan ia terhalang sungai yang banjir dan tak dapat diseberangi. Tak ada perahu yang tampak; maka Surdas meloncat ke dalam sungai dan mencoba berenang. Ombak sungai yang kasar mempermainkannya, mengangkatnya dan menceburkannya seolah-olah ia jatuh dari gunung ke dalam jurang. Untung, ia menjatuhi sebuah mayat, yang diperlakukannya seperti sebatang kayu, ia meraihnya dan berpegang kepadanya. Pada akhirnya, setelah perjuangan yang keras, ia sampai ke rumah kekasihnya. Ia menemukan pintu rumah itu terkunci. Waktu itu telah larut malam dan setiap suara akan mengganggu tetangga. Maka ia mencoba memanjat rumah dan masuk melalui jendela atas. Ia berpegang pada ular kobra yang tampak seperti tali yang tergantung, berpikir bahwa ‘tali’ itu segaja dipasang di sana untuknya oleh kekasihnya.

Kekasihnya terkejut ketika melihatnya. Ia tak dapat mengerti mengapa pecintanya berhasil datang, dan kesan cintanya tampak semakin besar dari sebelumnya. Gadis itu seolah-olah diberi inspirasi oleh cinta lelaki itu. Di matanya, lelaki itu bukan lagi manusia, tetapi telah meningkat menjadi malaikat, terutama setelah ia tahu bahwa pecintanya telah menganggap mayat sebagai kayu dan ular kobra sebagai tali. Ia melihat bagaimana kematian dikalahkan oleh lelaki pecintanya. Ia berkata kepadanya, “Hai pemuda, cintamu lebih besar dari cinta rata-rata manusia, dan andai cintamu diperuntukkan bagi Allah, betapa besarnya kegembiraan yang akan engkau peroleh! Karena itu, bangkitlah, angkatlah cintamu terhadap bentuk dan materi, dan arahkan cintamu kepada ruh Allah.” Lelaki itu mematuhi saran itu seperti anak kecil, meninggalkan gadis itu dengan berat hati dan sejak itu ia berkelana di dalam hutan-hutan di India.

Bertahun-tahun ia berkelana di hutan-hutan, menyebut-nyebut nama Kekasih ilahinya dan mencari perlindungan di dalam tangan-Nya. Ia mengunjungi tempat-tempat sakral, tempat-tempat ziarah, dan secara kebetulan ia tiba di tepi sebuah sungai sakral, di tempat itu wanita-wanita dari kota datang setiap pagi ketika matahari terbit untuk mengisi tempayan mereka dengan air suci. Surdas, yang duduk di sana sambil memikirkan Allah, terpesona oleh keindahan salah satu wanita yang datang. Karena hatinya adalah lentera, ia tak perlu lama untuk menyala. Ia mengikuti wanita itu. Ketika memasuki rumahnya, wanita itu berkata kepada suaminya,”Seorang suci melihatku di sungai dan mengikutiku sampai ke rumah, dan ia masih berdiri di luar.” Si suami segera keluar dan melihat lelaki itu. Ia berkata, “Hai Maharaja, apa yang membuatmu berdiri di situ? Adakah sesuatu yang dapat kulakukan untukmu?” Surdas berkata, “Siapakah wanita yang tadi memasuki rumah ini?” Ia menjawab, “Dia isteriku; aku dan dia siap melayani orang suci seperti anda.” Surdas berkata, “Suruhlah dia datang, hai orang yang diberkahi, agar aku dapat melihatnya sekali lagi.”

Ketika wanita itu keluar, Surdas melihatnya sekali dan berkata, “Hai Ibu, bawakan aku dua buah [paku] pines.” Dan ketika benda yang diminta itu diberikan kepadanya, ia membungkuk kepada pesona dan kecantikan wanita itu sekali lagi, kemudian menusukkan pines itu ke kedua matanya sambil berkata, “Hai mataku, engkau tak akan lagi melihat dan tergoda oleh keindahan duniawi dan membawaku turun dari surga ke bumi.”

Maka ia menjadi buta sejak itu; lagu-lagunya mengenai kesempurnaan ilahi masih terus hidup dan dinyanyikan oleh orang-orang India yang mencintai Allah; dan bila seorang Hindu buta, orang memanggilnya Surdas sebagai penghormatan.

“Meskipun aku hanya mencintai satu, tetapi ia abadi,” kata Mohi. Cinta hanya dapat ada bila hanya ada satu obyek di depan kita, bukan banyak obyek. Bila obyeknya banyak, tidak akan ada kesetiaan. “Bila di tempat bagi satu terdapat dua, keistimewaan yang satu itu hilang. Karena alasan itu, aku tak ingin potret kekasihku dibuat.” Yang satu itu ialah Allah, yang tak berbentuk dan tak bernama, yang abadi, yang bersama kita selamanya.

Cinta bagi satu orang, betapa pun dalamnya, tentu berbatas. Kesempurnaan cinta terletak pada ukuran besarnya. “Kecenderungan cinta adalah untuk mengembang, dari satu atom hingga ke seluruh alam semesta, dari satu kekasih duniawi hingga Allah.”

Cinta kepada manusia adalah primitif dan tidak lengkap, tetapi diperlukan untuk memulai. Orang tak akan dapat berkata, “Aku mencintai Allah,” bila ia tak memiliki cinta kepada sesama manusia. Namun ketika cinta mencapai kulminasi pada Allah, ia telah mencapai kesempurnaannya.

Cinta menciptakan cinta di dalam manusia dan lebih banyak lagi dengan Allah. Itu merupakan sifat cinta. Bila anda mencintai Allah, Allah mengirimkan cinta-Nya lebih banyak kepada anda. Bila anda mencarinya di malam hari, Dia akan mengikuti anda pada siang harinya. Di mana pun anda, dalam kegiatan anda, dalam transaksi bisnis, pertolongan, perlindungan dan kehadiran ilahi akan mengikuti anda.

Ungkapan cinta terletak di dalam kekaguman tanpa kata, kontemplasi, pelayanan, perhatian untuk menyenangkan kekasih, dan kehati-hatian untuk menghindari ketidaksukaan kekasih. Ungkapan cinta demikian oleh seorang pecinta akan menyenangkan kekasih, yang kebanggaannya tak dapat dipuaskan dengan cara lain. Keridhaan kekasih merupakan satu-satunya tujuan pecinta, tak ada harga yang terlalu mahal untuk memperolehnya.

Kebanggaan akan keindahan langit dipuaskan dengan mengagungkan-Nya, keindahan sejati satu satunya yang berhak atas segala pujian. Tiadanya kesadaran dari pihak manusia yang membuatnya melupakan keindahan-Nya dalam segala hal dan mengakui tiap keindahan secara terpisah, menyukai yang satu dan tak menyukai yang lain. Dalam pandangan orang yang tahu, mulai dari bagian keindahan terkecil hingga keindahan mutlak alam semesta, semua menjadi satu keberadaan tunggal Kekasih ilahi.

“Semua yang lain menghilang ketika gagasan mengenai kekasih menguasai pikiran pecinta”

“Dunia mengumandangkan keinginan pecinta.”

“Ka’bah seorang pecinta adalah tempat tinggal kekasihnya.”

“Sesungguhnya cinta adalah penyembuh dari lukanya sendiri”

“Apapun yang dilakukan pecinta bagi kekasihnya, itu tak pernah terlalu besar.”

“Cinta berarti penderitaan, tetapi pecinta sendiri berada di atas semua penderitaan.”

“Sang kekasih adalah semua dalam semua, pecinta hanya menutupinya. Kekasih adalah semua yang hidup, dan pecinta adalah benda mati.”

Cinta diarahkan oleh kecerdasan. Karena itu tiap orang memilih obyek cintanya sesuai dengan tingkat evolusinya. Obyek itu tampak baginya paling berhak atas cinta menurut tingkatan evolusinya. Di Timur ada pepatah, “Sebagaimana jiwa, demikianlah malaikatnya.” Keledai lebih menyukai rumput berduri daripada mawar.

Seorang perawan desa sedang pergi untuk menemui kekasihnya. Ia melewati seorang Mullah yang sedang melakukan shalat. Karena tidak tahu, ia berjalan di depan Mullah itu, suatu hal yang dilarang oleh agama.

Mullah itu sangat marah, hingga ketika gadis itu kembali lewat di dekatnya, ia memarahinya. Ia berkata. “Alangkah berdosanya, hai gadis muda, berjalan di depanku ketika aku sedang shalat.” Gadis itu berkata, “Apa artinya shalat?” Dijawab, “Aku sedang memikirkan Allah, Tuhan langit dan bumi.”

Gadis itu berkata, “Maafkan aku, aku belum tahu Allah dan shalat bagi-Nya, tetapi tadi aku sedang berjalan menuju kekasihku dan memikirkan kekasihku, hingga aku tak melihatmu sedang shalat. Aku heran bagaimana anda yang sedang memikirkan Allah dapat melihatku?”

Perkataan gadis itu sangat berkesan pada Mullah hingga ia berkata, “Sejak saat ini, hai gadis, engkau adalah guruku. Akulah yang harus belajar darimu.”

Tumbuhnya cinta adalah kematian ego. Cinta yang sempurna sepenuhnya membebaskan pecinta dari pementingan diri sendiri, karena cinta dapat disebut juga dengan peniadaan [annihilation]. “Sesiapa yang memasuki sekolah cinta, pelajaran pertama yang diterima adalah menjadi bukan apa-apa.”

Ada kisah mengenai Rabiah, seorang Sufi besar, bahwa ia pernah melihat Muhammad dalam visinya dan ia ditanya oleh Nabi, “Hai Rabiah, siapa yang kau cintai?” Ia menjawab, “Allah.” Nabi berkatka, “Bukan Rasul-Nya?” ia menjawab, “Hai Guru yang diberkahi, siapa di dunia ini yang mengetahuimu tetapi tak mencintaimu? Tetapi kini hatiku begitu tenggelam dalam Allah hingga aku tak dapat melihat sesuatu kecuali Dia.”

Bagi mereka yang melihat Allah, Rasul dan Mursyid lenyap dari pandangan. Mereka hanya melihat Allah di dalam Mursyid dan Rasul. Mereka melihat segala sesuatu sebagai Allah dan tak melihat yang lain.

Dengan kebaktian kepada mursyid, murid belajar mencintai, berdiri dengan kerendahan anak kecil, pada wajah setiap makhluk di bumi ia melihat bayangan wajah mursyidnya. Bila Rasul yang diidealkan, ia melihat semua yang indah terefleksi di dalam kesempurnaan Rasul yang tidak tampak.Kemudian ia menjadi independen bahkan dari keutamaan, yang juga memiliki kutub yang berseberangan, dan pada kenyataannya tidak ada, karena itu hanya perbandingan yang membuat sesuatu lebih baik daripada yang lain. Ia hanya mencintai Allah, kesempurnaan yang ideal, yang tak dapat dibandingkan.

Kemudian ia sendiri berubah menjadi cinta, dan karya cinta telah diselesaikan. Kemudian pecinta sendiri berubah menjadi sumber cinta, asal cinta, dan ia hidup dalam kehidupan Allah, yang disebut Baqa bi-Allah. Kepribadiannya menjadi kepribadian ilahi. Kemudian pikirannya menjadi pikiran Allah, perkataannya menjadi perkataan Allah, perbuatannya menjadi perbuatan Allah, dan ia sendiri menjadi cinta, pecinta, dan kekasih sekaligus.

“Dengan reasoning, kamu memang tergoda untuk mengetahui jawabannya. Tapi jika jawabannya tidak kunjung datang, itu merupakan sebuah isyarat agar kita berhenti dan mulai menggunakan cara berikutnya. Yaitu … letting go.”

“Letting go itu bukannya tidak peduli,  Letting go itu membiarkan sebuah mekanisme lain bekerja, dan yang jelas itu bukan mekanisme reasoning. Sebab reasoning yang selalu mengumpulkan itu ada batasnya …”


 



 


Proses Perjalanan Spritual


Awal jiwa terpilih 

Tidak semua orang itu bangkit dalam kesadaran spiritualnya ...apa lagi di zaman sekarang ini, dominan berpikir logika lebih diutamakan. Biasanya seseorang yang telah bangkit kesadaran spiritualnya itu mengalami ujian kehidupan yang luar biasa...entah itu Kesehatan, Kehancuran keluarga, Kehancuran usaha, dll

Berawal dari fase ujian kehidupan yang begitu mendalam membuat diri kita merenung & berpikir lebih dalam lagi bahkan sampai berserah diri kepada Gusti Allah. Seorang Spritual tentu mengalami fase tersebut hingga dititik terendah bahkan sampai dibilang jauh dalam kehidupan normal. Ujian  gemblengan kehidupan tersebut merupakan fase menguatkan dan pertumbuhan mental sehingga diberikan ujian-ujian yang begitu luar biasa agar kita introspeksi diri, memahami diri, Berserah diri sepenuhnya kepada Gusti Allah.

Bangkitnya Kesadaran Spiritual tentu melalui berbagai  proses perubahan diri dengan mencari jati diri, tujuan hidup, ketenangan diri, mencari tahu tentang siapa diri, untuk apa diri hidup di dunia. Dari mencari jati diri kemudian mulai dituntun oleh alam semesta mencari dan menemukan keilmuan spiritual dengan belajar dari guru, kitab, alam semesta. Sedikit demi sedikit mempraktekan Seperti Meditasi, muraqabah, zikir, dan lain-lain yang akhirnya adalah :

1. Mulai memahami dan merasakan kenikmatan dalam pengolahan bathin yang menimbulkan kepekaan Insting felling intuisi meningkat.

2. Mulai memahami tentang Energi kekuatan yang ada didalam diri

3. Setelah memahami tentang energi didalam diri dan titik pembersihan hingga terbukanya chakra dari Chakra dasar sampai chakra mahkota, baru kemudian masuk perjalanan spiritual yang sesungguhnya ke dimensi yang lebih tinggi yaitu pencerahan dan terbukanya tabir rahasia dibalik  rahasia....

Jiwa terpilih proses ujiannya di mulai tahun  2019  namun pengalaman kebangkitan spiritual seseorang tentu berbeda-beda. 

Sebagai orang yg terpilih Kuncinya, Kenali diri mu sendiri dan percaya kepada kekuatan diri mu...Karena semesta tidak mungkin salah pilih. Anda pantas dan mampu menyelesaikan itu...

Rahayu

Sufi Sejati


Bagaimana kita melihat Tuhan adalah refleksi langsung dari bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Jika Tuhan mengingatkan sebagian besar rasa takut dan rasa bersalah, itu berarti ada terlalu banyak rasa takut dan rasa bersalah yang menggenang di dalam diri kita. Jika kita melihat Tuhan penuh dengan cinta dan kasih sayang, kita juga demikian.

Anda dapat mempelajari Tuhan melalui segala sesuatu dan setiap orang di alam semesta, karena Tuhan tidak terbatas di masjid, Pura, atau gereja. Namun jika Anda masih perlu mengetahui di mana tepatnya tempat tinggal-Nya, hanya ada satu tempat untuk mencarinya: di Hati kekasih sejati.

Sebagian besar masalah dunia berasal dari kesalahan linguistik dan kesalahpahaman sederhana. Jangan pernah menganggap kata-kata begitu saja. Saat Anda masuk ke zona cinta, bahasa, seperti yang kita tahu, menjadi usang. Apa yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata hanya bisa dipahami melalui keheningan.

Apa pun yang terjadi dalam hidup Anda, tidak peduli seberapa menyusahkannya, jangan memasuki lingkungan keputusasaan. Bahkan ketika semua pintu tetap tertutup, Tuhan akan membuka jalan baru hanya untuk Anda. Berterima kasih! Sangat mudah untuk bersyukur ketika semuanya baik-baik saja. Seorang sufi bersyukur tidak hanya atas apa yang telah diberikan kepadanya, tetapi juga atas semua yang telah ditolaknya.

Ada lebih banyak Guru palsu di dunia ini daripada jumlah bintang di alam semesta yang terlihat. Jangan bingung antara orang-orang yang digerakkan oleh kekuatan dan egois dengan mentor sejati. 

Seorang guru spiritual sejati tidak akan mengarahkan perhatian Anda pada dirinya sendiri dan tidak akan mengharapkan kepatuhan mutlak atau kekaguman total dari Anda, melainkan akan membantu Anda untuk menghargai dan mengagumi diri Anda sendiri. Mentor sejati transparan seperti kaca. Mereka membiarkan cahaya Allah melewati mereka. Cobalah untuk tidak menolak perubahan yang menghampiri Anda. Alih-alih biarkan hidup melalui Anda. Dan jangan khawatir hidup Anda terbalik. Bagaimana Anda tahu bahwa sisi yang biasa Anda gunakan lebih baik daripada sisi yang akan datang?

Jangan khawatir kemana jalan akan membawa Anda. Alih-alih berkonsentrasi pada langkah pertama. Itu adalah bagian tersulit dan itulah yang menjadi tanggung jawab Anda. Setelah Anda mengambil langkah itu, biarkan semuanya melakukan apa yang alami dan sisanya akan mengikuti. Jangan mengikuti arus. Jadilah arus.    Ketika seorang pecinta sejati Tuhan masuk ke sebuah kedai minuman, kedai itu menjadi ruang doanya, tetapi ketika seorang peminum anggur masuk ke ruangan yang sama, itu menjadi kedai minumannya. Dalam segala hal yang kita lakukan, hati kitalah yang membuat perbedaan, bukan penampilan luar kita. 

Sufi tidak menilai orang lain dari penampilan atau siapa mereka. Ketika seorang sufi menatap seseorang, dia menutup kedua matanya sebagai gantinya membuka mata ketiga – mata yang melihat alam batin.

Neraka ada di sini dan sekarang. Begitu juga surga. Berhentilah mengkhawatirkan neraka atau bermimpi tentang surga, karena keduanya hadir di saat ini juga. Setiap kali kita jatuh cinta, kita naik ke surga. Setiap kali kita membenci, iri hati, atau melawan seseorang, kita langsung jatuh ke dalam api neraka.

Sufi sejati adalah sedemikian rupa sehingga bahkan ketika dia dituduh secara tidak adil, diserang dan dikutuk dari semua sisi, dia bertahan dengan sabar, tidak mengucapkan sepatah kata pun yang buruk tentang kritiknya. Seorang Sufi tidak pernah membagi kesalahan. Bagaimana bisa ada lawan atau rival atau bahkan “orang lain” jika tidak ada “diri” sejak awal? 

Bagaimana bisa ada orang yang disalahkan ketika hanya ada Satu?    Tidak ada yang harus menghalangi Anda dan Tuhan. Tidak ada imam, pendeta, atau penjaga moral atau kepemimpinan agama lainnya. Bukan guru spiritual dan bahkan keyakinanmu. Percayalah pada nilai-nilai dan aturan Anda, tetapi jangan pernah memaksakannya pada orang lain. 

Jika Anda terus menghancurkan hati orang lain, apapun kewajiban agama yang Anda lakukan tidak baik. Jauhi segala macam penyembahan berhala, karena itu akan mengaburkan visi Anda. Biarkan Tuhan dan hanya Tuhan yang menjadi penuntun Anda. 

Pelajari Kebenaran, temanku, tapi berhati-hatilah untuk tidak membuat berhala dari kebenaranmu. Takdir tidak berarti bahwa hidup Anda telah ditentukan sebelumnya dengan ketat. 

Oleh karena itu, menjalani segalanya sesuai takdir dan tidak secara aktif berkontribusi pada musik alam semesta adalah tanda ketidaktahuan belaka. Musik alam semesta meliputi semuanya dan terdiri dari 40 tingkat yang berbeda. Nasib Anda adalah tingkat di mana Anda memainkan lagu Anda. Anda mungkin tidak mengubah instrumen Anda, tetapi seberapa baik bermain sepenuhnya ada di tangan Anda.

Anda adalah guru bagi diri Anda sendiri. Mencari guru tidak dapat menyelesaikan keraguan Anda sendiri. Selidiki diri Anda untuk menemukan kebenaran - di dalam, bukan di luar. Mengenal diri sendiri adalah yang terpenting

Jalan Sufi Dan Kebenaran Tanpa Bentuk


Jalan Sufi bukanlah terjebak dalam keyakinan bahwa satu agama atau filsafat adalah kebenaran (ini hanyalah 'pengkondisian'), tetapi mengembangkan keterbukaan yang membebaskan Anda untuk dapat mendamaikan pihak dan gagasan yang berlawanan. 

Namun, kebanyakan orang merasa nyaman di dalam 'agama' karena agama mengurung mereka di dalam dinding pemikiran dan kebiasaan mereka sendiri, tidak pernah merasakan kebebasan yang ada di baliknya

Tulisan-tulisan sufi yang berasal dari abad ke-12 dan ke-13 berbicara tentang keadaan dan prosedur psikologis tertentu yang hanya 'ditemukan' di abad ke-20 oleh orang-orang seperti Freud dan Jung. 

Shah mencatat bahwa 'delapan ratus tahun sebelum Pavlov', Imam Ghazali menyoroti pertanyaan pengkondisian atau indoktrinasi, yang merupakan musuh spiritualitas sejati. Kebanyakan orang tidak mandiri karena mereka menerima kepercayaan yang diberikan kepada mereka tanpa banyak pertanyaan; dalam agama mereka tidak mencari pencerahan sejati, tetapi keamanan

Tingkat mengetahui

Penulis membahas studi tasawuf sebagai gerakan 'budaya' atau 'religius', namun berpendapat bahwa mungkin untuk terlibat dalam penelitian akademis dan tetap tidak menghasilkan apa-apa yang berarti dari upaya tersebut. Dia mengutip guru Sufi Saadi dari Shiraz: "Orang terpelajar yang hanya berbicara tidak akan pernah selalu melalui cerita, legenda, teka-teki dan lelucon yg bertujuan untuk mengejutkan pikiran menjadi realisasi kebijaksanaan yang tiba-tiba.

Mistikus besar dan penyair Rumi mengatakan bahwa puisi-puisinya begitu banyak sampah dibandingkan dengan pengembangan diri individu yang sebenarnya. Apresiasi akademik seni, sastra dan agama semua sangat baik, tapi ini hanya bisa menjadi bantuan untuk tugas yang lebih besar mencapai kesufian. 

Ibnu Arabi memberi tahu para pengikutnya bahwa ada tiga bentuk pengetahuan : 

1. Intelektual/kumpulan fakta, 

2. Pengetahuan tentang keadaan/memiliki perasaan spiritual, 

3. Pengetahuan tentang Realitas sejati yang mendasari segala sesuatu. 

Ketiga ini Ibnu Arabi menulis:

“Tentang ini tidak ada bukti akademis di dunia; karena itu tersembunyi,tersembunyi dan tersembunyi."

Shah menyertakan kutipan pendek dan sederhana dari seorang Ibnu El-Jalali yang meringkas sifat di luar agama, di luar akademik dari kebijaksanaan ini: 

"Sufisme adalah kebenaran tanpa bentuk."

Jalan tasawuf

Saat ini ada banyak organisasi sufi yang ada di dalam Islam, tetapi ajaran Sufi selalu meremehkan pentingnya struktur formal, termasuk agama yang terorganisir, alih-alih menempatkan perkembangan individu di atas segalanya. Penekanan pada kebenaran sebelum bentuk, pada pribadi di atas kelembagaan, yang telah memungkinkan ide-ide sufi berulang kali muncul sepanjang sejarah.

Sufisme mengakui bahwa orang memiliki kapasitas berbeda untuk memahami pembelajaran esoterik dan mistik, dan tulisan-tulisannya biasanya memiliki beberapa lapisan sehingga pembaca yang berbeda akan belajar pada tingkat yang sesuai dengan mereka.

Banyak kisah sufi mencoba menunjukkan bahwa satu-satunya kekayaan sejati yang dimiliki seseorang adalah pengetahuan dan kebijaksanaannya; yang lainnya fana. 

Murid Sufi tidak ingin terikat dengan dogma, tetapi berusaha membuka mata mereka terhadap kebenaran dalam bentuk apa pun yang muncul.

Tasawuf mencoba menunjukkan kepada kita bahwa apa yang kita anggap penting mungkin hanya depannya saja, yang dilihat dari tingkat pemikiran lain, dasar-dasar kehidupan Anda dapat dengan mudah tersapu. Bagi sebagian orang, hal ini membuat gagasan Sufi berbahaya dan tidak ortodoks. 

Namun cita-cita Sufi adalah 'Insan Kamil' orang yang 'sempurna' yang telah melihat inti kebenaran, dan dari sudut pandang ini mampu melihat kesia-siaan dan visi mayoritas yang membutakan.

Bahkan orang yang mencoba-coba tulisan sufi, meskipun kelihatannya tidak jelas dan sulit dipahami, akan menemukan perbendaharaan kebijaksanaan manusia yang kembali ke kabut waktu. 

Paling tidak, mengikuti jalan Sufi mengurangi kemungkinan kita berjalan sambil tidur dalam hidup.

“ Jauh di dalam laut adalah kekayaan yang tak tertandingi. Tetapi jika Anda mencari keselamatan, itu ada di pantai


Meditasi Jalan Sufi

 

Muraqabah adalah sama dengan meditasi tapi kebanyakan orang telah mendengar meditasi, namun sangat sedikit orang yang benar-benar mengalaminya dalam arti yang sebenarnya. Meditasi adalah pengalaman hidup; itu adalah keadaan berada di luar bidang pemikiran. Ketika keadaan ini diketahui maka tidak ada kata-kata yang diperlukan. Ketika orang merujuk pada meditasi, mereka biasanya merujuk pada berbagai teknik meditasi yang pada akhirnya dapat mengarahkan seseorang ke keadaan meditasi. Meditasi adalah proses pelatihan pikiran dan mengakses lapisan pikiran yang lebih dalam. Apa itu pikiran? Bertolak belakang dengan apa yang dipikirkan pikiran bukanlah entitas yang terkandung di dalam otak. Otak lebih seperti penerima informasi daripada sumbernya. Para sufi akan berbicara dalam bentuk pikiran-hati dan melampaui wawasan ini ke dalam pikiran yang tak terbatas. Tujuan meditasi adalah untuk menemukan dan menjalani kehidupan batin. Esensi dari itu adalah untuk mengembangkan kesadaran akan berbagai bidang pikiran. Tanpa kesadaran, keadaan meditasi tidak mungkin.

Konsentrasi adalah awal dari meditasi. Para sufi menggunakan banyak metode konsentrasi untuk mengolah hati dan pikiran. Para sufi selalu memiliki musik sebagai bagian dari meditasi. Musik mungkin adalah salah satu misteri terbesar di dunia. Seluruh kenyataan yang diwujudkan terbuat dari getaran dan getaran musik dapat membebaskan jiwa dan melepaskan semua beban yang dapat menjaganya tetap terikat. Musik segera menyentuh jiwa dan oleh para Sufi dipandang sebagai makanan bagi jiwa. Musik dikatakan sebagai cara tercepat dan paling langsung untuk membebaskan kesadaran. Ketika seseorang menggabungkan suara dengan Dance Spiritual, efeknya dapat sangat diperkuat dan metode ini adalah bagian dari aliran batin tasawuf kami. Bagi kami, kesadaran dan perkembangan napas adalah salah satu praktik utama meditasi. Pada dasarnya perkembangan spiritual identik dengan perkembangan napas.

Dalam Tarian Spiritual dan Meditasi Sufi kami menumbuhkan kesadaran baik dalam keheningan maupun dalam suara. Kami memanfaatkan metode latihan duduk tradisional serta yang memanfaatkan gerakan dalam tarian dan berjalan. Praktek individu dan praktik kelompok dieksplorasi. Suasana pribadi dan suasana kelompok ditingkatkan dan dikembangkan melalui praktik-praktik ini. Dengan latihan tidak ada keraguan pertumbuhan bertahap dalam kedamaian batin, wawasan, intuisi dan penyempurnaan keberadaan. Bagi banyak orang berusaha menenangkan pikiran mungkin merupakan tugas yang mustahil. Melampaui ego dengan proses pemikirannya yang liar dan kondisi emosi yang tidak terkendali sering membutuhkan apa yang bisa disebut metode pintu belakang. Dengan belajar memberi perhatian penuh pada praktik yang dinikmati seseorang, yang membangkitkan semangat, ini dapat memiliki efek melewati pikiran yang berpikir. 

Dengan melakukan hal ini dibutuhkan seseorang ke tingkat kesadaran yang lebih dalam dengan sedikit usaha dan seringkali lebih efektif. Meski begitu butuh latihan dan bimbingan dari orang yang telah mengembangkan kapasitas seperti itu. Meditasi pada akhirnya adalah cara mengalami semua kehidupan, dalam dan luar, dalam kepenuhan setiap momen saat ini.

Meditasi tidak hanya jauh lebih penting daripada belajar, itu adalah studi yang benar. Ketika seseorang benar-benar merilekskan tubuh dan pikiran, dan menjadi reseptif kepada Tuhan, maka Suara Tuhan akan berbicara kepada seseorang dalam bahasa jiwa. Inilah tasawuf sejati yang tidak pernah bisa dijelaskan, namun jelas dapat dipahami.

Tasawuf Jalan Para Sufi

Tasawuf dikenal sebagai “Jalan Hati, Jalan Suci, Jalan Mistik Islam”. Itu juga disebut Sekolah Pengetahuan Diri atau Ngaji Diri. Sufisme adalah cara untuk menghilangkan gravitasi dari diri yang lebih rendah (yang membebani roh) dan naik melalui metode dan praktik ke keadaan di mana "Visi Tuhan" disajikan. 

Ini adalah seni menemukan keabadian dalam diri kita sendiri. Jalan Sufi membawa pencari ke Dzat Ilahi, tujuan akhir adalah untuk larut dalam Kebenaran Mutlak  Tuhan. Jalan menuju Tuhan sama banyaknya dengan nafas manusia, dan setiap individu memiliki jalannya sendiri-sendiri. 

Sufisme menekankan perlunya menembus tabir keberadaan selama di bumi, karena “Siapa pun yang buta di dunia ini akan buta di akhirat dan semakin tersesat.”Berasal dari mistisisme Islam, alat terbesar tasawuf adalah Al-Qur'an ("The Instrument of Discernment") yang dikenal sebagai "Firman Tuhan yang Tidak Diciptakan." Sufi berbicara tentang "berusaha menenggelamkan diri" dalam ayat-ayatnya. Mereka ingin minum sebanyak yang bisa mereka tahan, karena mereka menyadari kekosongan internal mereka dan rasa sakit untuk mengisi Roh mereka daripada Pikiran mereka. Sufi terus berusaha untuk menghayati Quran eksplisit, mengakui bahwa Tuhan ada di mana-mana. “Kami (Tuhan) lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya.” Bagi para Sufi, Tuhan adalah segala sesuatu yang "Keagungan" dan "Indah". Dengan mewujudkan dua kualitas ilahi ini, para Sufi hidup di Surga, di bumi. Bagi mereka, dunia fisik hanyalah proyeksi dari dunia surgawi.

Apa itu tasawuf ? Kenikmatan indera adalah bayangan pola dasar surgawi yang ingin disampaikan oleh Tuhan. Bagi para sufi, Anugerah yang muncul dari melihat pemandangan yang indah adalah Tuhan. Tuhan terus-menerus berada di dalam dan di dalam kita, begitu banyak di dalam dan di luar, sehingga kita tidak mengenali-Nya tetapi berbalik mencari.“Dia tersembunyi dalam manifestasi luarnya sendiri di mana Dia muncul sebagai selubung demi selubung yang dibuat untuk menutupi kemuliaan-Nya.” Saat kita semua hidup dan menghirup udara yang sama, Ibu Pertiwi menyatukan kita semua dan meneriakkan semua rahasia di antara kita begitu keras sehingga kita tidak mendengarnya! 

Sufi adalah jalan mistik. Untuk masuk ke dalam tarekat sufi, individu harus "dihantui oleh pemikiran Tuhan" dan memiliki "pernyataan tentang keadaan yang lebih tinggi." Tujuan dari awal tidak kurang dari kesucian; Sufi berusaha untuk Kesempurnaan. Dari Rukun Islam yang Lima (Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa, dan Haji ke Mekah), Sufi hanya mengamalkan Rukun Pertama, yang dapat disimpulkan sebagai, “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.” 

Para Sufi lebih mementingkan ketulusan pengabdian yang luwes, dibandingkan dengan perhatian Islam yang kaku dengan doa ritual. Sufi terbungkus dalam perjuangan terus-menerus berjuang tanpa henti dalam mengejar Pengetahuan Penuh tentang Ke ILLAHI an diatas segalanya, tujuan Sufi adalah untuk kehilangan rasa diri mereka. Individualitas, kata para sufi, adalah jumlah dari segala sesuatu yang pernah dipelajari oleh seseorang. 

Betapapun bangganya kita, tasawuf memohon agar kita melepaskan diri dari tipu muslihat ini. Sufi berkata, "lepaskan dirimu untuk menjadi bebas." Para ahli telah mencapai Fana, keadaan “kematian-diri”, di mana Sufi telah benar-benar kehilangan “dirinya” dan mencapai stasiun spiritual “kedai kehancuran.”Sufisme adalah “Kewaspadaan Hati.” Sebagaimana jantung tubuh menerima Kehidupan dari Keilahian yang membanjiri tubuh dengan Kehidupan, demikian juga itu merupakan titik fokus konsentrasi semua kekuatan jiwa dalam aspirasinya menuju Yang Tak Terbatas. 

Bagi Sufi, Hati adalah Akal dan Roh. Ini adalah Akal dalam istilah Latin intelektus , yaitu, "kemampuan yang merasakan yang transenden." Apa itu tasawuf? menggambarkan The Heart. Sebagai, "pusat dan puncak umat manusia, itu adalah langsung dari visi spiritual (atau intelektual)." Kita melihat baik-baik dengan mata kita, Hati kitalah yang menjadi buta. Penekannya adalah pada berpikir dengan Hati daripada pikiran.Syekh `Al 'al Jamal berkata, “Rilekskan pikiran dan belajar berenang.” Pikiran adalah jebakan satu dimensi, hanya dengan melepaskan jiwa dapat mengalami intuisi.

Sufisme sangat tertutup. Ada makna ganda dalam tulisan mereka yang melampaui terjemahan puitis biasa. Seorang pemula dapat menghargai bahasa tasawuf karena keindahan yang dimilikinya, tetapi orang yang mahirlah yang mengenali makna terdalamnya. Misalnya, ketika seorang Sufi mengacu pada "Cinta", kita akan melihatnya secara langsung dan menjelaskan perasaan asmara dan kemudian menerapkannya pada perasaan Sufi terhadap Tuhan. Tetapi apa yang digambarkan oleh Sufi adalah keadaan tidak berwujud yang memiliki Tuhan sepenuhnya di dalam. Sufi bahkan tidak mencoba menjelaskan kepada orang luar. Buket Cinta tidak cocok untuk semua orang. "Sufi adalah orang-orang yang menjalani kehidupan yang penuh rasa ingin tahu di bumi – di sini, tetapi tidak lagi benar-benar. Mereka telah menemukan jawaban dengan tenang, bahkan ketika seluruh dunia berteriak.

Belajar Tasawuf



Fana adalah ketiadaan dan kehancuran. Dan lawan dari fana adalah baqa, abadi, dan tetap ada. Seperti Tuhan termasuk kategori abadi dan baqa, sementara selain-Nya atau seluruh makhluk digolongkan ke dalam ketiadaaan, kehancuran, dan fana. Sedangkan fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak memandang, memperhatikan, dan menyaksikan keberadaannya sendiri.Yang pasti hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, namun lebih bermakna bahwa seseorang yang hadir di sisi Tuhan sama sekali tidak melihat eksistensi dirinya sendiri dan dia meniadakan segala sesuatu selain-Nya di dalam hatinya.

Maqâm Fana dalam Tasawuf
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitual-fana’‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.
Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala penderitaan, tazkiyah, dan pensucian diri, serta segala kesulitan. Oleh karena itu, pada umumnya suatu perubahan akan bersifat tetap, abadi, dan tidak mudah sirna apabila dilalui dan dicapai dengan susah payah dan kerja keras.
Pada maqâm fana, manusia di hadapan Tuhan tidak menyaksikan diri sendirinya, penghambaannya, keinginan-keinginannya, harapan-harapannya, dan dunia sekelilingnya.
 
Manusia hanya memandang dan melihat jamaliyah dan jalaliyah Tuhan. Apa saja yang disaksikan oleh para wali Tuhan adalah Yang Haq, apakah melalui perantara atau dengan perantara.
Bagi para pesuluk dan pencari makrifat terkadang perantara itu adalah nama-nama dan sifat-sifat Tuhan,
akan tetapi hijab dan perantara cahaya ini pun akan tersingkap,
 
"Ya Tuhanku anugerahkan padaku kesempurnaan penyaksian kepada-Mu… sedemikian sehingga pandangan hati merobek hijab-hijab cahaya."
Inilah puncak dan akhir derajat fana yang setelah itu manusia berada pada kondisi melupakan segala sesuatu kecuali Yang Haq dan "menyirnakan" segala sesuatu secara sempurna selain-Nya.
Di sinilah dia mendengar dengan pendengaran Tuhan, melihat dengan pandangan Tuhan, dan berbicara dengan lisan Tuhan. Penyingkapan hakikat zat Tuhan, karena hakikat zat-Nya hanya diketahui oleh-Nya dan tidak ada satupun makhluk yang dapat menyaksikan hakikat zat-Nya.

Penjelasan Detail :
Secara leksikal fana bermakna ketiadaan dan kehancuran.
Lawan dari fana adalah baqa yang berarti abadi, tetap, dan eksis. Kata ini dipergunakan dalam al-Quran, walaupun sebagian dari derivatnya yang diaplikasikan, seperti:
"Segala sesuatu akan hancur dan yang tinggal wajah Tuhanmu," Tuhan dalam ayat ini meletakkan kata "fanin" (hancur) berhadapan dengan kata "yabqa" (yang tetap, yang tinggal, dan abadi), yang bermakna bahwa hanya Tuhanlah yang selamanya ada dan baqa, sementara segala sesuatu selain-Nya adalah hancur dan sirna.
Fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak menyaksikan, memandang, melihat, dan mendapatkan dirinya sendiri.
 
Namun hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, melainkan manusia tidak menyaksikan dirinya sendiri di hadapan Tuhan dan hanya Dia yang dipandang. 
Istilah fana’ memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat diringkaskan sebagai berikut :

a. Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian
nafsu dan keinginan.
b. Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi,pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudianmemusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifat-Nya.
c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran.
Tingkat fana yang tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentang fana itu sendiri juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal “kefanaan dari fana”atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana’ al-fana’)
tahap terakhir dari fana’ adalah lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa, yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan
Bahwa dalam faham fana ini, materi manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan eksistensi jasad kasarnya..
Yakni, “Fana, sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini,menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi”
Definisi Fana dalam Perspektif Para Arif
Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni, menggambarkan fana’ sebagai “sirnanya daya tangkap hati terhadap yang bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidakada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan”
Abu Said Harraz mendefenisikan fana sebagai berikut, "Fana adalah fananya seorang hamba dari memandang penghambaannya, dan baqa adalah baqanya seorang hamba dengan penyaksian Ilahi.
Qusyairi menyatakan, "Setiap kali Pemiliki Hakikat menyelimuti dirinya maka dia tidak lagi menyaksikan segala sesuatu selain-Nya baik wujudnya maupun perbuatannya, dia fana dari makhluk dan baqa dengan perantaran-Nya."
Mir Syarif Jurjany juga mengungkapkan, "Sirna dan tiadanya sifat-sifat buruk itu disebut fana, sebagaimana keberadaan sifat-sifat yang terbatas dikatakan baqa."
Maqâm Fana
Di dalam Irfan terdapat dua istilah:
1. Maqâm;
2. Hâl.
Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai secara ikhtiari (dengan kehendak sendiri) oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala tempaan, tazkiyah, pensucian diri, dan segala kesulitan. Oleh karena itu, secara umum maqâm itu sangatlah sulit untuk sirna dan tiada. Dengan ungkapan lain, penderitaan dan kesulitan yang dijalani dan dialami secara terus menerus dan bergradual oleh seorang Arif dan pesuluk dalam praktek-praktek kezuhudan dan pengorbanan diri sendiri telah mengantarkannya pada suatu derajat khusus dan maqâm tertentu yang pantas baginya. Dan karena tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan pensucian diri itu dilaluinya dengan upaya yang sungguh-sungguh dan kerja keras, maka maqâm yang telah digapainya itu tidak akan turun dan sirna dengan mudah.
Sementara pengertian hâl berlawanan dengan maqâm tersebut. Hâl adalah suatu bentuk perubahan yang hadir pada diri seorang arif tanpa kehendaknya sendiri setelah menapaki tahapan-tahapan spiritual. Karena perubahan yang hadir itu datang secara tiba-tiba, maka sangat mungkin akan sirna juga dengan tiba-tiba. Dengan demikian, hâl adalah suatu kualitas spiritual yang tidak bersifat konstan dan terus menerus mengalami suatu perubahan.
Manusia dalam maqâm fana tidak menyaksikan dirinya sendiri, penghambaannya, kecenderungan-kecenderungannya, harapan-harapannya, dan alam sekitarnya di hadapan Tuhan dan hanya semata-mata memandang Yang Haq.
Dalam kondisi demikian, fana tidak lagi bersesuaian dengan makna leksikalnya yang bernada negatif, bahkan merupakan suatu tingkatan kesempurnaan. Dan inilah yang sebenarnya dimaksudkan oleh para urafa yang menyatakan, "Puncak fana adalah baqa dan abadi di hadapan Yang Haq." Inilah yang dalam istilah Irfan dinamakan sebagai "fana fii Allah" (fana dalam sifat-sifat Tuhan).
Bagaimana Mencapai Maqâm Fana
Ketika antara manusia dan Tuhannya terdapat hijab-hijab berupa dosa-dosa, maksiat, dan egoisme, serta kebergantungan kepada selain-Nya, maka hijab-hijab kegelapan ini akan menjadi penghalang yang sangat besar untuk sampainya seorang hamba di hadapan suci Tuhannya.
Apabila dia tidak memiliki dosa-dosa, hijab-hijab kegelapan, dan kebergantungan kepada selain-Nya serta sirnanya perhatian kepada keinginan diri sendiri, maka sangat mungkin dia menggapai derajat penyaksian sifat-sifat Tuhan secara terbatas. Setelah mencapai tingkatan ini barulah maqâm fana itu akan diraihnya dan hadir dalam dirinya.Yang pasti bahwa tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan yang kita tidak akan bahas dalam kesempatan ini.
Akan tetapi, maksud dari "liqa ullah" (perjumpaan dengan Tuhan) yang dibungkus dalam kata-kata seperti syuhud, baqa, dan… adalah tidak dengan menggunakan mata lahiriah ini, karena sebagaimana dalam ayat al-Quran dikatakan, "Dia (Tuhan) tidak dapat dilihat dan dijangkau dengan mata."[3] Dan begitu pula Tuhan tidak dapat diliputi dengan pikiran-pikiran, karena pikiran dan metode rasionalitas itu tidak disebut sebagai syuhud, liqa, dan …; melainkan apabila seorang hamba ingin "menyaksikan" sifat-sifat Tuhan dan mencapai maqâm fana maka -sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran- dia harus meninggalkan segala sesuatu selain Tuhan, melaksanakan amal dan perbuatan shaleh, dan tidak menyekutukan Tuhan.

Seorang hamba yang berkehendak menyaksikan Yang Haq dengan tanpa perantara mestilah dia tidak memandang dirinya sendiri dan segala sesuatu selain-Nya.
Allah Swt berfirman, "Barangsiapa yang berharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia beramal dengan amal yang shaleh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dalam penghambaan kepada Tuhannya."
Nabi Musa As pun menjadi tidak sadarkan diri atau pingsan ketika berkaitan dengan cerita penyaksian Tuhan. Setelah beliau tersadar dari pingsannya bersabda, "Tuhanku Engkau tidak dapat disaksikan tanpa fana dan memutuskan segala bentuk keterikatan dan kebergantungan."
Akan tetapi, persoalan yang sangat mendasar di sini adalah apa makna dari ungkapan bahwa sebagian pembesar para pesuluk dan arif mengklaim dapat menyaksikan Tuhan Yang Maha Tinggi itu dengan tanpa perantara? Dan secara umum apa yang dimaksud dengan perantara-perantara tersebut?

Untuk memahami dan mengerti makna ungkapan tersebut alangkah baiknya kita memperhatikan dan menyimak pernyataan-pernyataan Imam Khomeni qs dalam kitabnya "Arbain Hadis".
Beliau dalam kitab itu mengungkapkan,
"Setelah mencapai ketakwaan yang sempurna, terputusnya secara total perhatian dan kebergantungan hati dari segala sesuatu yang ada di alam, menyirnakan segala bentuk egoisme dan kecintaan kepada diri sendiri, perhatian sempurna kepada Tuhan, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada Yang Maha Suci, melakukan segala bentuk pensucian hati, maka akan muncul dan hadir suatu bentuk pencerahan hati dan cahaya malakuti di dalam hati para pesuluk yang beriringan dengan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan… dan antara ruh suci pesuluk dan Dzat Suci Tuhan hanya terdapat satu hijab, yakni hijab nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Untuk itu sangatlah mungkin mampu merobek hijab-hijab cahaya (hijab nama dan sifat Tuhan) tersebut dan hanya menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada Zat Suci Tuhan, dan dalam penyaksian ini dia "memandang" pancaran eksistensial Tuhan dan kefanaan zatnya sendiri."

Dengan kandungan makna yang kurang lebih sama dengan pernyataan Imam Khomeni qs, di bawah akan diutarakan suatu doa yang mulia, munajat sya'baniyah : "Ya Ilahi anugerahkan kepadaku kesempurnaan penyatuan dengan-Mu … sedemikian sehingga mata hati merobek hijab-hijab cahaya."

Dari berbagai referensi kitab-kitab tua seperti Kitab Syarah Hikam Ibni Athoillah As-Kandariah, Kitab Manhal-Shofi, Kitab Addurul-Nafs dan lain-lain menggunakan istilah-istilah seperti 'binasa' dan 'hapus' untuk memperihalkan tentang maksud fana.
Ulama-ulama lainnya yang banyak menggabungkan beberapa disiplin ilmu lain seperti falsafah menggunakan istilah-istilah seperti 'lebur', 'larut', 'tenggelam' dan 'lenyap' dalama usaha mereka untuk memperkatakan sesuatu tentang 'hal' atau 'maqam' fana ini.
Di dalam Kitab Arrisalah al-Qusyairiah memberikan penjelasan tentang fana.
Fana itu ialah; "Lenyapnya sifat-sifat basyariah(pancaindera)"
"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi
dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk
lain itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk
lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya"
(Al-Qusyairi, t.th: 37)
Maka sesiapa yang telah diliputi Hakikat Ketuhanan sehingga tiada lagi melihat daripada Alam baharu, Alam rupa dan Alam wujud ini, maka dikatakanlah ia telah fana dari Alam Cipta. Fana bererti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiah lahir dan maksiat batin) dan kekalnya sifat-sifat terpuji(mahmudah). Bahawa fana itu ialah lenyapnya segala-galanya, lenyap af'alnya/perbuatannya(fana fil af'al), lenyap sifatnya(fana fis-sifat), lenyap dirinya(fan fiz-zat)
Oleh kerana inilah ada di kalangan ahli-hali tasauf berkata:
"Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya kerena kehadiran hati mereka bersama Allah".
Sahabat Rasulullah yang banyak memperkatakan tentang 'fana' ialah Sayyidina Ali, salah seorang sahabat Rasulullah yang terdekat yang diiktiraf oleh Rasulullah sebagai 'Pintu Gedung Ilmu'.
Sayyidina Ali sering berkata tentang fana : "Di dalam fanaku, leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefanaan itulah bahkan aku mendapatkan Engkau Tuhan".
Demikianlah 'fana; ditanggapi oleh para kaun sufi secara baik, bahkan fana itulah merupakan pintu kepada mereka yang ingin menemukan Allah(Liqa Allah) bagi yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu dengan Allah.
Firman Allah yang bermaksud:
"Maka barangsiapa yang ingin akan menemukan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amalan Sholeh dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam beribadat kepada Allah
(Surah Al-Kahfi:)

Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua kewajiban yang mesti dilaksanakan iaitu:
* Pertamanya mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua- sifat-sifat yang tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji iaitu Takhali dan Tahali.
* Keduanya meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang benar-benar wujud/isbat hanya Allah semata-mata dalam beribadat. Itulah artinya memfanakan diri.

Para Nabi-nabi dan wali-wali seperti Sheikh Abu Qasim Al-Junaid, Abu Qadir Al-Jailani , Imam Al-Ghazali, Ab Yazid Al-Busthomi sering mengalami keadaan "fana" fillah dalam menemukan Allah. Umpamanya Nabi Musa alaihisalam ketika ia sangat ingin melihat Allah maka baginda berkata yang kemudiannya dijawab oleh Allah Taala seperti berikut;
"Ya Tuhan, bagaimanakah caranya supaya aku sampai kepada Mu? Tuhan berfirman:
Tinggalkan dirimu/lenyapkan dirimu(fana), baru kamu kemari."
Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.
Ada seorang bertanya kepada Abu Yazid Al-Busthomi;
* "Bagaimana tuan habiskan masa pagimu?". Abu Yazid menjawab: "Diri saya telah hilang(fana) dalam mengenang Allah hingga saya tidak tahu malam dan siang".
* Satu ketika Abu Yazid telah ditanyai orang bagaimanakah kita boleh mencapai Allah.Beliau telah menjawab dengan katanya:
* "Buangkanlah diri kamu. Di situlah terletak jalan menuju Allah. Barangsiapa yang melenyapkan (fana) dirinya dalam Allah, maka didapati bahwa Allah itu segala-galanya".
* Beliau pernah menceritakan sesuatu tentang fana ini dengan katanya;
* Apabila Allah memfanakan saya dan membawa saya baqa dengaNya dan membuka hijab yang mendinding saya dengan Dia, maka saya pun dapat memandangNya dan ketika itu hancur leburlah pancainderaku dan tidak dapat berkata apa-apa. Hijab diriku tersingkap dan saya berada di keadaan itu beberapa lama tanpa pertolongan sebarang panca indera. Kemudian Allah kurniakan saya mata Ketuhanan dan telinga Ketuhanan dan saya dapat dapati segala-galanya adalah di dalam Dia juga."
Dari segi bahasa al-Fana’ berarti binasa,
Fana’ berbeda dengan al-Fasad (rusak).
Fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain . Menurut ahli sufi, arti Fana’ adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazimnya digunakan pada diri.
Fana’juga berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela .
Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu.
Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari alam makhluk .
Selain itu Fana’ juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin.
Sebagai akibat dari Fana’ adalah Baqa’, secara harfiah Baqa’ berarti kekal sedangkan dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) telah lenyap maka yang kekal dan tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Fana’ dan Baqa’ ini menurut ahli tasawuf datang beriringan sebgaimana ungkapan mereka :”Apabila nampak nur ke Baqa’an, maka Fana’lah yang tiada dan Baqa’lah yangkekal”. Juga ungkapan mereka : “Tasawuf itu adalah mereka Fana’ dari dirinya dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran mereka bersama Allah”.
Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya.
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya .
Diantara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengaqn mata sanubarinya .
Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebutFana’ al-nafs

Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara ruhani.
Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materi manusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya.

Al-Kalabazi (wafat 380 H) menjelaskan bahwa keadaan Fana’ itu tidak bisa berlangsung terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan menghentikan organ-organ tubuh untuk melaksanakan fungsinya sebagai hamba Allah dan peranannya sebagain khalifah di muka bumi .
Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya sendiri dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka :
“Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan” .Dengan tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun .
Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan.
Dalam suasana seperti ini mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku” . Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia berbicara atas nama Tuhan. Al-Bustami ketika telah Fana’ dan mencapai Baqa’ maka dia mengucapkan kata-kata ganjil seperti :
“ Tidak ada Tuhan melainkan aku, sembahlah aku, Maha suci aku, Maha suci aku, Maha besar aku” .
Selanjutnya diceritakan bahwa seorang lelaki lewat rumah Abu Yazid (al-Bustami) dan mengetok pintu,
Abu Yazid bertanya : “Siapa yang engkau cari ?” jawabnya : “Abu Yazid”.
Lalu Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi” . Ittihad ini dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf) bagi orang yang toleran, akan tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama hal ini dipandang sebagai suatu kekufuran.
Faham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Ittihad juga adalah hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj (lahir 224 H / 858 M) dengan fahamnya al-Hulul yang berarti penyatuan meliputi :
a) penyatuan substansial antara jasad dan ruh;
b) penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri manusia;
c) inkarnasi suatu aksiden dalam substansinya;
d) penyatuan bentuk dengan materi pertama dan
e) hubungan antara suatu benda dengan tempatnya .
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad al-hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah.
Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh. Faham sufi yang juga dekat dengan faham Ittihad ini adalah dengan faham wahdat al-wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby wafat tahun 638 H/ 1240 M). Faham wahdat al-wujud ini menurut Harun Nasution adalah merupakan kelanjutan dari faham al-Hulul. Konsep wahdat al-wujud ini memahami bahwa aspek ketuhanan ada dalam tiap mahkluk, bukan hanya manusia sebagaimana yang dikatakan al-Hallaj .
Paham fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan dengan Allah.
Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan
Firman Allah SWT yang bunyinya : “Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110) Hal yang lebih jelas mengenai proses Ittihad dapat pula kita simak melalui ungkapan al-Bustami : “Pada suatu hari ketika saya dinaikkan ke hadirat Allah, Ia berkata, “Hai Abu Yazid, mahkluk-Ku ingin melihatmu, aku menjawab, hiasilah aku dengan keesaan itu, sehingga apabila mahkluk itu melihatku mereka akan berkata :“Kami tetap melihat engkau, maka yang demikian adalah engkau dan aku tidak ada disana” . Hal ini merupakan ilustrasi proses terjadinya Ittihad, Demikian juga dalam ungkapan Abu Yazid :
“Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah mahlukku, aku pun berkata : Aku adalah engkau, engkau adalah aku dan aku adalah engkau . sebenarnya kata-kata “Aku” bukanlah sebagai gambaran dari diri Abu Yazid, tetapi gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu dengan Tuhan sehingga dapat dikatakan bahwa Tuhan bicara melalui lidah Abu Yazid sedang Abu Yazid tidak mengetahui dirinya Tuhan.
Al-Junaid Al-Bagdadi yang menjadi Imam Tasauf kepada golongan Ahli Sunnah Wal-Jamaah pernah membicarakan tentang fana ini dengan kata-kata beliau seperti berikut:
* Kamu tidak mencapai baqa(kekal dengan Allah)
sebelum melalui fana(hapus diri)
* Membuangkan segala-galanya kecuali Allah dan 'mematikan diri' ialah kesufian.
* Seorang itu tidak akan mencapai Cinta kepada Allah (mahabbah) hingga dia memfanakan dirinya. Percakapan orang-orang yang cinta kepada Allah itu pandangan orang-orang biasa adalah dongeng sahaja.
3. Himpunan perkataan Tentang Fana
A. Sembahyang orang yang cinta (mahabbah) ialah memfanakan diri sementara sembahyang orang awam ialah rukuk dan sujud.
B. Setengah mereka yang fana (lupa diri sendiri) dalam satu tajali zat dan kekal dalam keadaan itu selama-lamanya. Mereka adalah Majzub yang hakiki.
C. Sufi itu mulanya satu titik air dan menjadi lautan. Fananya diri itu meluaskan kupayaannya. Keupayaan setitik air menjadi keupayaan lautan.
D. Dalam keadaan fana, wujud Salik yang terhad itu dikuasai oleh wujud Allah yang Mutlak. Dengan itu Salik tidak mengetahui dirinya dan benda-benda lain. Inilah peringkatWilayah(Kewalian). Perbezaan antara Wali-wali itu ialah disebabkan oleh perbezaan tempoh masa keadaan ini. Ada yang merasai keadaan fana itu satu saat, satu jam, ada yang satu hari an seterusnya. Mereka yang dalam keadaan fana seumur hidupnya digelar majzub. Mereka masuk ke dalam satu suasana dimana menjadi mutlak.
E. Kewalian ialah melihat Allah melalui Allah. Kenabian ialah melihat Allah melalui makhluk. Dalam kewalian tidak ada bayang makhluk yang wujud. Dalam kenabian makhlik masih nampak di samping memerhati Allah. Kewalaian ialah peringakat fana dan kenabian ialah peringkat baqa
F. Tidak ada pandangan yang pernah melihat Tajalinya Zat. Jika ada pun ia mencapai Tajali ini, maka ianya binasa dan fana kerana Tajali Zat melarutkan semua cermin penzohiran.
Firman Allah yang bermaksud :
Sesungguhnya Allah meliputi segala-galanya.(Surah Al-Fadhilah:54)
G. Tajali bererti menunjukkan sesuatu pada diriNya dalam beberapa dan berbagai bentuk. Umpama satu biji benih menunjukkan dirinya sebgai beberapa ladang dan satu unggun api menunjukkan dirinya sebagai beberapa unggun api.
H. Wujud alam ini fana (binasa) dalam wujud Allah.
Dalilnya ialah Firman Allah dalam Surah An-Nur:35
yang bermaksud;
"Cahaya atas cahaya, Allah membimbing dengan cahayanya sesiapa yang dikehendakinya." dan "Allah adalah cahaya langit dan bumi."
I. Muraqobah ialah memfanakan hamba akan afaalnya dan sifatnya dan zatnya dalam afaal Allah, sifat Allah dan zat Allah.
J. Al-Thomsu atau hilang yaitu hapus segala tanda-tanda sekalian pada sifat Allah.Maka Yaitu satu bagai daripada fana.
5. Tajuk-tajuk yang berkaitan dengan Fana
* Mikraj Muhammad
* Alamat Sampai Kepada Maqam Yang Tinggi Adalah sangat mungkin manusia mencapai suatu derajat yang antara dia dan Tuhannya hanya terhijabi cahaya nama dan sifat Tuhan. Dan juga sangatlah mungkin manusia menggapai suatu tingkatan yang tidak ada lagi hijab-hijab cahaya antara dia dan Zat Suci Tuhan. Yang sempurna akan mampu melewati hijab-hijab cahaya ini dan meraih kefanaan yang sempurna.
Dalam kondisi puncak spiritual ini, apa yang disaksikannya adalah hanya Yang Maha Suci. Apa yang didengarnya tidak lain adalah bersumber dari Yang Maha Benar. Dia melihat dengan "mata" Tuhan, mendengar dengan "telinga" Tuhan, dan berucap dengan "lisan" Tuhan. Inilah puncak dan akhir fana dalam Tuhan (fana fillah) Insya Allah.... aamiiin
penghujung Ilmu, Adalah Ilmu Penamat, Penutut Dan Penghabisan Segala Ilmu!
Mereka yang berjaya sampai kepada tahap makrifat itu, adalah mereka-mereka yang telah mencapai makan atau tingkatan ilmu kerohanian yang tertinggi.
Tahap atau makam ilmu makrifat yang tertinggi itu, adalah tahap pencapaian atau tahap persingahan ilmu pada garis penamat yang penghabisan dan terakhir. Inilah yang dikatakan pencarian di penghujuan tujuan.
Ucapan, perasaan atau pengakuan qalbu dihujung pencarian itu, adalah qalbu yang meluap, pecah dan meletup denngaan ucapan
“la haulawala kuuwatailla billahhilaliyilzim”
(tiada daya upaya kita, melainkan segalanya dari Allah).
Perkataan yang lahir dari pandangan qalbu itu, tidak lagi boleh menurut pengertian akal. Bilamana pengertian qalbu, tidak lagi dapat dibaca oleh akal itu, Maka lahirlah perkataan “aku tidak ada”. Bahasa pengakuan hati atau bahasa pengakuan qalbu yang makrifat kepada Allah Taala itu, tidak lagi boleh berdalil, bersandar, berpaut atau bergantung lagi pada akal!.
Segala ikhtiar atau usaha akal kita itu, sesungguhnya sudah berakhir, binasa dan karam kerana tenggelam dalam lautan makrifat Allah. Inilah yang dikatakan penamat, penutup dan ibu segala ilmu!.
Sekiranya tuan-tuan lalu ditepi sungai, saya minta tuan-tuan kutib seketul batu dan campakkan ia kedalam sungai yang dalam. Saya mahu bertanya, apakah lagi yang tuan-tuan nampak dan apakah lagi yang terlihat, cuba jawab?…
Begitulah dalil dan contohnya jika diri kita, kita tengelamkan atau campakkan kedalam dasar lautan makriffat!. Makrifat (mengenal Tuhan) itu, adalah tauhid.
Tauhid itu, adalah hijrah akal menuju qalbu dalam mengesakan Allah!. Hijrah akal menuju qalbu, itulah intipati ilmu makrifatullah. Hijrah akal menuju qalbu itu, adalah hijrah jahil kepada alim.
Hijrah akal kepada perbicaraan qalbu para-para arifin billah itu, membawa kita kepada ilmu megesakan Allah (penutup segala ilmu). Hijrah akal kepada makam qalbu inilah yang menyebabkan
Tidak kurang pula di tuduh ilmu salah, kafir, sesat dan zindik.
Maaf Kiranya sampai disini kurang berkenan.

Kebanyakkan dari ulama kita, tidak ramai yang dibedahkan dengan pengajian ilmu makrifat (ilmu rohani).
Ketidak pakaran dalam ilmu makrifat itu, bagaimana mungkin mereka boleh menghukum ulama-ulama yang mengajar ilmu makrifat itu, sesat atau salah?.
Jika sekiranya pihak ulama mendakwa yang mereka juga memiliki kepakaran dalam bidang ilmu makrifat,
cuba jelas dan terangkan kepada kami, dimanakah sekolah, dimanakah pondok atau dimanakah pusat-pusat pengajian tinggi yang mengajar ilmu makrifat.
Mari kita tanya ulama feqah, dimana mereka belajar ilmu makrifat, supaya kita juga boleh dengan beramai-ramai turut serta meuntut ditempat yang didakwa!. Sedangkan tidakkah kita tahu yang bidang ilmu makrifat itu, adalah bidang ilmu yang wajib, bidang ilmu fardhu ain (suatu bidang ilmu yang wajib) bagi setiap umat yang begelar Islam!.
Fakta atau kenyataan sesat yang tuan-tuan feqah bawa itu, dari mana asasnya dan dimana ulama-ulama feqah, belajar atau beguru ilmu makrifat, sehingga dapat menuduh sesat?. Saya sebagai pengarang ilmu makrifat yang sudah berkecimpung dalam bidang ini selama 38.00 tahun, saya tidak pernah jumpa ada pusat pengajian ilmu makrifat, guru atau sekolah ilmu makrifat, baik didalam negeri mahupun diluar negara!. Dengan berbekalkan ilmu syarie, ilmu fiqah atau dengan berbekalkan dengan ilmu akal, apakah layak tuan-tuan feqah menuduh, menanggkap dan menghukum golongan makrifat, sebagaimana yang berlaku kepada pentadbiran-pentadbiran terdahulu?.
Namun pesan dan nasihat saya kepada para arifin billah sekalian yang ada, terutama kepada yang memperjuankan ilmu makrifat, hadapilah kenyataan pemerintah dan golongan feqah hari ini dengan tabah dan jangan sekali-kali berputus asa. Kayu ukur atau tanda aras pentadbiran ulamak atau pemerintah yang ada pada dunia hari ini, untuk menghukum adalah melalui bacaan ilmu akal (hukum feqah). Mereka tidak sekali-kali memandang pada bacaan ilmu rohani (Ilmu makrifat). Mereka tidak faham apa itu makrifat! (diri yang fana’, diri yang lebur, diri yang baqa’ atau diri yang karam engan Allah!).
Bilamana tidak faham dan tidak arif dalam bidang ilmu fana’ atau ilmu baqa’, mana mungkin golongan yang beilmu feqah itu dapat menyelami ilmu makrifat!.
Bilamana tidak faham ilmu makrifat, itulah makanya tuduhan demi tuduhan mereka lontarkan kepada pengamal ilmu makrifat!. Mereka itu, hanya berpandukan kayu pengukr ilmu feqah, untuk menghukum dan menuduh kesesatan ilmu makrifat.Yang menjadi mangsa ulamak feqah itu, adalah orang-orang yang berilmu makrifat. Itulah makanya golongan makrifat itu,Selalu dituduh sesat dan selalu dipandang salah dimata golongan ahli feqah.Sesunggunya bidang ilmu makrifat itu, Adalah cabang ilmu rohani (ilmu mantik) yang tidak memungkinkan difahami oleh kebanyakkan Ulama. 
Jika kita tidak faham ilmu makrifat, sekurang-kurangnya jangan mudah menuduh sesat kepada golongan makrifat!.
Ulama keluaran dari pusat pengajian tinggi itu, hanya belajar dalam bidang ilmu fiqih sedangkan mereka tidak pernah dididik atau didedah dengan ilmu makrifat!. Mana mungkin akan memahami ilmu makrifat!.
Namun siapa yang akan peduli dan siapakah yang akan faham luahan hati orang-orang makrifat!,
Saranan demi saranan diutarakan kepada pucuk pimpinan agama, namun keluhan serta laungan kita itu, sekadar menjadi menjadi hiasan mata dan hawa telinga mereka semata-mata. Pun begitu, kita tidak boleh sekali-kali memandang rendah atau menyalahkan penjawab awam atau menyalahkan para ulamak feqah dalam hal ini. Mereka-mereka itu, terdidik dan terasuh dengan ilmu feqah tanpa didedahkan dengan ilmu makrifat. Selayaknyalah mereka begitu!.
Kerana ilmu makrifat itu, adalah persingahan terakhir segala ilmu! (ibu segala ilmu).
Ilmu Makrifat Itu, Adalah Ilmu Yang Melewati Hayalan Akal!
Konsep ilmu ketuhanan orang arifin billah yang berilmu makrifat itu, adalah konsep ilmu yang melewati hayalan akal atau mengatasi kenyataan akal. Konsep ilmu ketuhanan para-para arifin billah yang berilmu makrifat itu, adalah berlandaskan hanya dengan satu jalan, satu konsep, satu kaedah dan satu cara, iaitu jalan fana’, jalan baqa’ dan jalan berserah diri kepada Allah Taala.
Berkonsepkan “hanya Allah yang wujud, hanya Allah yang ujud dan hanya Allah yang maujud”.
Kenyataan atau pendapat ahad itu,
bukan berlandas atau bukan berkonsepkan kepada konsep hulul atau konsep wahdatul wujud!.
Konsep ilmu makrifat itu, adalah konsep mengEsakan Allah Taala. Konsep mengEsakan Allah Taala itu, adalah konsep yang tidak berdalil kepada sebarang konsep dan konsep yang tidak pergantungan kepada dalil akal!. Allah itu, adalah Allah. Allah yang tidak ada seumpama, tidak seumpama sebagaimana yang difikir oleh akal, oleh angan-angan atau hayalan.
Makrifat itu, adalah konsep yang sudah tengelam dalam lautan makrifat kepada Allah!.
Konsep yang menengelamkan diri dalam lautan hadiah
(Ahad atau Esa).Yaitu suatu konsep yang semestinya tidak difahami oleh akal!.
Konsep yang melewati hayalan atau melewati keyataan akal!.
Untuk memahaminya hendaklah turun kedalam kolam air makrifatullah!.
Ilmu Makrifat Bukan Konsep Yang DiBuat-Buat! (Tetapi Dari Ilmu Rasulullah Dan Iman Ghazali Sendiri)
Pendapat, pegangan, pengakuan serta fahaman ilmu makrifat itu, sesungguhnya bukan dibuat-buat atau diada-adakan tetapi ianya, adalah datangnya dari Baginda Rasulullah dan disambung oleh para sahabat dan Iman Al-Ghazali sendiri. Namun tidak ramai yang mendalami, menyelami dan memahaminya!. Konsep ini, adalah satu-satunya konsep yang boleh menunjang tauhid kedalam qalbu para arifin billah, sebagaimana iman Ghazali sendiri. Inilah makam tauhid, makam ilmu rasa dan makam ilmu para arifin billah terdahulu!.
Yang menjadi pegangan, pangakuan dan yang menyebabkan menunjangnya keyakinan tauhid kepada Allah Taala. Ilmu makrifat itu, merupakan inti tertinggi para ulamak arifin billah terdahulu. Yang mana sesungguhnya tidak sedikitpun menjadi percangahan atau berlawanan dengan konsep Ahli Sunnah Waljamaah!.
Hanya bagi yang tidak arif dengan ilmu makrifat sahaja yang memandang bahawa ilmu makrifa itu, salah atau sesat!. Sedangkan hanya melalui ilmu makrifat sahajalah sat-satunya ilmu yang boleh membawa, mengarah dan menghala hati-hati kita kepada arah meEsakan Allah Taala.
 
Inilah konsep dan inilah ilmu yang dibawa oleh Baginda Rasulullah, semasa mula-mula Baginda berpindah dari Kota Makkah ke Kota Madinah!. Yaitu konsep ilmu tauhid atau konsep ilmu megEsakan Allah Taala.
Soal:-Bagaimanakah caranya untuk mengatakan yang Allah itu benar-benar Esa?.
Untuk menyatakan yang Allah itu benar-benar Esa,
ianya bukan dengan sebutan kalimah syahadah, bukan dengan mengerjakan ibadah sembahyang, puasa, zakat atau bukan dengan ibadah perkerjaan ibadah haji!.
Menyatakan keEsaan Allah itu, adalah hendaknya dan sepatutnya sebelum melafas kalimah syahadah, sebelum ibadah sembahyang atau sebagainya!.
Menyatakan Allah itu, bukan perkara untuk dinyatakan sesudah sembahyang atau bukan untuk dinyatakan didalam waktu ketika tengah sembahyang, apa lagi diketika sesudah sembahyang!.
Bagi menyatakan Allah itu, bukannya semasa didalam berpuasa atau selepas berbuka puasa!. Ataupun bukan didalam ketika menyebut perkataan syahadah!.
Ilmu makrifat itu, adalah ilmu menyatakan Allah (ilmu menyatakan keEsaan Allah), ilmu mengEsakan Allah dan ilmu menzahirkan Allah, dengan nyata dan senyata-nyatanya!.
Bukan ilmu hanya bercakap dibibir!.
Kita boleh menyebut perkataan syahadah (perkataan mentauhidkan Allah) sebanyak mungkin yang kita mampu menyebut, tetapi Islam itu bukan agama bunyi atau agama suara yang keluar dari lidah atau dibibr!. Islam itu, adalah agama benar, agama nyata dan agama pasti!.
Ilmu makrifat itu, adalah ilmu yang tidak sekali-kali mengasingkan Tuhan dengan alam!.
Imu makrifat itu, adalah ilmu mengEsakan Allah, Yaitu ilmu yang tidak menduakan Allah (tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatu). Ilmu makrifat itu, adalah ilmu yang tidak menwujudkan Allah dengan wujud yang lain selain Allah Taala. Ilmu makrifat itu, adalah ilmu yang tidak memandang bahawa Allah dan makhluk itu, dua wujud yang berbeza atau “dua yang bersifat wujud”. Dari kaca mata ilmu makrifat, barangsiapa yang memandang, barangapan atau beriktikad bahawa adanya wujud Allah dan adanya wujud alam makhluk, bersama-sama dengan wujud Allah, maka hukumnya adalah syirik. Allah lain dan makhluk lain itu, maka terputuslah seluruh kesedaran batinnya terhadap Allah Taala dan terputus juga kesadaran rohaninya terhadap makhluk. Tetapi jangan pula hendaknya disatukan makhluk dengan Allah!, Ingat itu………………….
Allah dengan makhluk itu, bercerai tidak dan bersatu tiada,
ini adalah terjemahan mengikut suluhan bahasa makrifat dan bahasa rohani yang tidak sama sekali difahami atau dimengerti oleh akal, apa lagi oleh ahl ilmu feqah. Allah dan makhluk itu, bercerai tidak dan berpisah tiada!. Sebagaimana kata orang tua-tua kita dahulu, belajar ilmu makrifat itu, susahnya “seumpama mati”, manakala setelah mengenal makrifat, senangya “seumpama tidur”. Belajar ilmu makifat itu, senang, mudah dan tak payah. Belajar ilmu makrifat atau ilmu megenal Allah.
Apa tidaknya, terang cahaya mata hari itu, terang lagi Allah, dekatnya mata putih dengan mata hitam itu, dekat lagi Allah, mana mungkin megenal Allah itu payah!. Mengenal Allah itu, adalah ilmu yang paling senang dan paling mudah, berbanding dengan ilmu-ilmu yang lain. Allah tidak terhijab atau terdinding, tidak tertutup atau terhalang oleh seuatu!. Masakan kita tidak mengenal Allah dengan mudah!.
Mudahnya sekolah tadika atau sekolah kafa
itu, mudah dan senang lagi ilmu mengenl Allah!.
Kenapa tidak kenal?……………………………………….
Ini bukan bertujuan untuk Menerapkan nilai-nilai hulul atau unsur-unsur wahdatul wujud!. Ini semata-mata bertujuan untuk membuka mata semua pihak-pihak yang mendakwah.
Tafsir kalimah ahad, isinya adalah suatu perkara yang berbeda berbanding dengan tafsiran kalimah wahdatul wujud!. 
Sebenarnya ilmu makrifat sejati dan sebenar itu, tidak mensamakan Allah dengan makhluk, tetapi tidak juga memisahkan dengan makhluk!.
Seumpama “asap bukan api, tetapi tidak lain dari api”.
Fahami itu baik-baik.