Cara menyampaikan pendapat tanpa menyerang
Mengungkap pendapat dengan jujur bukan alasan untuk menyakiti orang lain.
Di meja makan keluarga, kamu bilang tidak setuju dengan pandangan ayahmu soal pekerjaan impian. Ia tersinggung, ibumu gelisah, suasana makan malam rusak. Di rapat kantor, kamu mengkritik usulan rekanmu. Dia langsung defensif, dan kolaborasi kalian jadi dingin.
Mengapa menyampaikan pendapat seringkali terdengar seperti menyerang, padahal niatnya tidak begitu?
Dalam bukunya Nonviolent Communication, Marshall Rosenberg menjelaskan bahwa konflik dalam komunikasi seringkali bukan karena konten pendapat, tapi karena cara penyampaiannya. Banyak orang mengira kejujuran itu identik dengan ketegasan tanpa sensor. Padahal, kejujuran yang brutal adalah bentuk lain dari kekerasan verbal yang dibungkus idealisme.
Riset dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa feedback yang disampaikan tanpa empati justru 40 persen lebih mungkin ditolak, bahkan jika isinya benar. Artinya, pesan yang baik bisa gagal total hanya karena pilihan kata yang salah.
Berikut ini adalah tujuh cara konkret menyampaikan pendapat tanpa berubah jadi penyerang dalam diskusi.
1 Ganti penilaian dengan pengamatan
Banyak orang bilang, “Kamu malas sih,” padahal maksudnya, “Aku melihat kamu belum menyelesaikan tugasmu.” Marshall Rosenberg menekankan pentingnya membedakan antara observasi dan evaluasi. Kalimat yang menuduh membuat lawan bicara mengunci telinga. Kalimat yang menggambarkan situasi membuat mereka mau mendengar.
2 Gunakan kalimat “Saya merasa” bukan “Kamu itu”
Buku Difficult Conversations menyarankan untuk selalu membawa percakapan ke posisi pribadi. “Saya merasa cemas saat pekerjaan ini terlambat,” lebih konstruktif daripada “Kamu bikin semua ini jadi kacau.” Bahasa yang berangkat dari perasaan menunjukkan bahwa kamu ingin dimengerti, bukan ingin menang.
3 Fokus pada kebutuhan, bukan kesalahan
Alih-alih berkata, “Kamu nggak pernah mendengar saya,” coba, “Saya butuh ruang untuk didengarkan, karena itu bikin saya merasa dihargai.” Pendapatmu akan terdengar sebagai undangan untuk kerja sama, bukan tuduhan yang menuntut pembelaan.
4 Jangan langsung sanggah, pahami dulu konteksnya
Dalam Crucial Conversations, penulis menyarankan satu teknik sederhana: ulangi inti dari lawan bicara sebelum memberi pendapatmu. Contoh, “Jadi kamu merasa kita terlalu cepat ambil keputusan, ya?” Baru setelah itu, kamu bisa menyampaikan perspektifmu sendiri. Ini membangun rasa dihargai, bukan dilawan.
5 Ubah nada dari menekan jadi bertanya
Daripada berkata, “Itu cara lama yang nggak efisien,” coba ubah jadi, “Apa kamu terbuka kalau kita coba pendekatan baru?” Dengan bertanya, kamu memberi kontrol pada lawan bicara. Saat seseorang merasa dilibatkan, mereka lebih terbuka terhadap pendapat baru.
6 Pilih waktu yang tepat, bukan saat emosi meledak
Buku Thinking, Fast and Slow karya Daniel Kahneman mengingatkan kita bahwa saat sistem otak emosional aktif, logika mati. Maka, sampaikan pendapat saat semua orang tenang. Dalam situasi panas, kebenaran pun terdengar seperti serangan.
7 Akui bahwa kamu bisa saja salah
Kalimat, “Saya bisa salah, tapi ini yang saya lihat…” menciptakan ruang dialog yang dewasa. Ini menunjukkan bahwa kamu menyampaikan pendapat untuk eksplorasi, bukan untuk mendikte. Dalam The Righteous Mind, Jonathan Haidt menunjukkan bahwa kerendahan hati dalam debat justru memperkuat daya persuasi
Menyampaikan pendapat tidak harus keras. Justru kekuatan sebenarnya muncul saat kamu bisa bersuara jernih tanpa harus menenggelamkan suara orang lain.
.