Banyak orang menyebut nama Tuhan setiap hari. Lidah bergerak, suara keluar, kata terbentuk dengan sempurna. Namun tidak semua sebutan adalah perjumpaan. Di sinilah letak satu poin penting yang sering luput : kesadaran saat menyebut-Nya.
Nama Tuhan bukan sekadar rangkaian huruf. Ia adalah alamat batin. Ketika disebut tanpa kesadaran, ia hanya menjadi bunyi yang lewat. Tetapi ketika disebut dengan hadirnya hati, ia berubah menjadi cermin—tempat manusia melihat dirinya sendiri: rapuh, terbatas, dan memerlukan.
Kesadaran berarti hadir sepenuhnya. Saat menyebut-Nya dengan sadar, manu berhenti sejenak dari arus pikiran, dari dorongan ego, dari kebisingan dunia. Pada saat itu, yang tersisa bukan permintaan, bukan harapan, bahkan bukan kata—melainkan keheningan yang tahu bahwa ia sedang berada di hadapan Yang Maha Ada.
Di titik ini, doa tidak lagi terasa seperti berbicara ke langit. Ia menjadi kesadaran akan kedekatan. Bukan Tuhan yang mendekat, melainkan manusia yang berhenti menjauh. Nama yang disebut bukan untuk memanggil Tuhan turun, tetapi untuk mengingatkan diri agar kembali.
Maka, satu sebutan yang diucapkan dengan sadar lebih bermakna daripada ribuan lafaz yang dilontarkan tanpa kehadiran hati. Karena Tuhan tidak mencari suara. Yang Dia “terima” adalah kesadaran.
Dan mungkin, puncak spiritualitas bukanlah seringnya menyebut nama-Nya, tetapi saat kita menyebut-Nya dan benar-benar tahu siapa yang sedang kita sebut—dan siapa diri kita di hadapan-Nya.
