Sejarah Perkembangan Tharekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) di Indonesia

Tharekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) adalah sebuah tarekat yang merupakan hasil unifikasi dua tharekat besar, yaitu Tharekat Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Penggabungan kedua tersebut kemudian dimodifikasi sedemikian rupa sehingga terbentuk sebuah tarekat yang mandiri dan berbeda dengan tarekat induknya. Perbedaan itu terutama terdapat dalam bentuk-bentuk riyadah dan ritualnya. Penggabungan dan modifikasi yang demikian ini memang yang terjadi dalam tarekat Qadiriyah.

Pada tahun 1878 M seorang ulama besar dari Indonesia yang tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Syaikh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid Tarekat Qadiriyah, di samping ada yang menyebutkan bahwa beliau adalah juga mursyid Tarekat Naqsyabandiyah.[1] Tetapi beliau menyebutkan silsilah tarekatnya hanya dari sanad Tarekat Qadiriyah.[2] Sampai sekarang belum ditemukan, dari sanad mana beliau menerima bai’at Tarekat Naqsyabandiyah.
Sebagai seorang mursyid yang sangat alim, Syekh Ahmad Khatib memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya karena dalam Tarekat Qadiriyah ada kebebasan untuk itu bagi yang telah mencapai derajat mursyid, tetapi yang jelas pada masanya telah terdapat pusat penyebaran Tarekat Naqsabandiyah, baik di Makkah pun di Madinah sehingga sangat dimungkinkan ia mendapat bai’at Tarekat Naqsyabandiyah dari kemursyidan tarekat tersebut. Kemudian, ia menggabungkan inti ajaran kedua tarekat tersebut, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, dan mengajarkan pada murid-muridnya yang berasal dari Indonesia.[3]
Penggabungan inti ajaran kedua tarekat tersebut dimungkinkan atas dasar pertimbangan logis dan strategis bahwa kedua ajaran inti itu bersifat saling melengkapi, terutama dalam hal jenis zikir dan metodenya.
Tarekat Qadiriyah menekankan ajarannya pada zikir jahr nafy al-isbat, sedangkan Tarekat Naqsyabandiyah menekankan model zikir sirr Ism atau zikir lathif. Dengan penggabungan itu, diharapkan para muridnya dapat mencapai derajat kesufian yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih efektif dan efisien.
Di dalam kitab Fathul ‘Arifin dinyatakan bahwa sebenarnya tarekat ini tidak hanya merupakan unifikasi dari dua tarekat tersebut, tetapi merupakan penggabungan dan modifikasi dari lima ajaran tarekat, yaitu: Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Anfasiyah, Junaidiyah, dan Muwafaqah.[4] Hanya saja, karena yang diutamakan adalah ajaran Qadiriyah dan Naqsyabandiyah, maka tarekat ini diberi nama Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Konon tarekat ini tidak berkembang selain di kawasan Asia Tenggara.
Penamaan tarekat ini tidak terlepas dari sikap tawadhu’ dari Syekh Ahmad Khatib yang sangat alim itu kepada pendiri kedua tarekat tersebut, sehingga ia tidak menisbatkan nama tarekatnya kepada dirinya. Padahal, kalau melihat modifikasi ajaran dan tata cara ritual tarekatnya itu, sebenarnya lebih tepat kalau dinamakan dengan Tarekat Khatibiyah/Sambasiyah karena tarekat ini merupakan hasil ijtihadnya.
Syekh Ahmad Khatib Sambas memiliki banyak murid dari beberapa daerah di kawasan Nusantara dan beberapa orang khalifah. Di antara khalifah-khalifahnya yang terkenal dan kemudian menurunkan murid-murid yang banyak sampai sekarang adalah Syekh Abd al-Karim dari Banten, Syekh Talhah dari Cirebon, dan Syekh Ahmad Hasbullah dari Madura.
Tarekat ini berkembang dengan cukup pesat setelah Syekh Ahmad Khatib Sambas digantikan oleh Syekh Abd al-Karim Banten sebagai syekh tertinggi tarekat tersebut. Syekh Abd al-Karim adalah pimpinan pusat terakhir yang diakui dalam tarekat ini. Sejak wafatnya, tarekat ini terpecah menjadi sejumlah cabang yang masing-masing berdiri sendiri dan berasal dari ketiga khalifah pendirinya tersebut di atas.[5]
Sedangkan khalifah-khalifah yang lain, seperti: Muhammad Ismail ibn Abd. Rakhim dari Bali, Syekh Yasin dari Kedah Malaysia, Syekh H. Ahmad Lampung dari Lampung, dan M. Ma’ruf ibn Abdullah al-Khatib dari Palembang, berarti dalam sejarah perkembangan tarekat Ini.[6]
Syekh Muhammad Ismail (Bali) menetap dan mengajar di Makkah. Sedangkan Syekh Yasin setelah menetap di Makkah, belakangan menyebarkan tarekat ini di Mempawah Kalimantan Barat. Adapun H. Lampung dan M. Ma’ruf al-Palembangi Mereka membawa ajaran tarekat ke daerahnya masing-masing.[7]
Penyebaran tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah (TQN) di daerah Sambas (asal daerah Syekh Ahmad Khatib), dilakukan oleh dua khalifahnya yaitu Syekh Nuruddin dari filipina dan Syekh Muhammad Sa’ad putra asli Sambas.[8]
Sebagaimana pesantren di pulau Jawa, maka penyebaran yang dilakukan oleh para khalifah Syekh Ahmad Khatib diluar pulau Jawa kurang berhasil. Sehingga sampai sekarang ini, keberadaanya tidak begitu dominan.
Setelah wafatnya Syekh Ahmad Khatib, maka kepemimpinan tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Mekkah dipegang oleh Syekh Abd. Karim al-Bantani. Dan semua khalifah Syekh Ahmad Khatib menerima kepemimpinan ini. Tetapi setelah Syekh Abd Karim al-Bantani meninggal, maka khalifah tersebut kemudian melepaskan diri dan masing-masing bertindak sebagai mursyid yang tidak terikat kepada mursyid yang lain. Dengan demikian berdirilah kemursyidan-kemursyidan baru yang independent.[9]
Khalifah Syekh Ahmad Khatib yang berada di Cirebon yaitu Syekh Talhah adalah orang yang mengembangkan tarekat ini secara mandiri. Kemursyidan yang dirintis oleh Syekh Talhah ini kemudian dilanjutkan oleh KH. Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad di Tasikmalaya dan K.H. Thahir Falaq di Pegentongan Bogor.
KH. Abdullah Mubarak mendirikan pusat penyebaran tarekat ini di wilayah Tasikmalaya (Suryalaya). Sebagai basisnya dirikanlah Pondok Pesantren Suryalaya, dan belakangan nama beliau sangat terkenal dengan panggilan “Abah Sepuh”. Kepemimpinan tarekat yang berada di Suryalaya ini setelah meninggalnya Abah Sepuh digantikan oleh Abah Anom. Beliau adalah putera Abah Sepuh, bernama Sahibul Wafa’ Tajul Arifin.[10]
Di Jawa Timur, pusat penyebaran TQN yang sangat besar adalah Pondok Pesantren Rejoso, Jombang. Dari sini TQN menyebar ke berbagai penjuru di Tanah Air.[11] Tarekat ini berkembang melalui Syekh Ahmad Hasbullah, berasal dari Madura dan salah satu khalifah Syekh Ahmad Khatib, tetapi beliau juga tinggal di Makkah sampai wafatnya. Tarekat ini kemudian dibawa ke Jombang oleh KH. Khalil dari Madura (menantu KH. Tamim, pendiri Pondok Pesantren Darul ‘Ulum, Jombang), yang telah memperoleh ijazah dari KH. Ahmad Hasbullah di Makkah. Selanjutnya, K.H. Khalil menyerahkan kepemimpinan ini kepada iparnya, yaitu KH. Ramli Tamim. Setelah KH. Ramli wafat, panji kemursyidan digantikan oleh K.H. Musta’in Ramli (anak KH. Ramli sendiri).[12] Kemudian dilanjutkan oleh adiknya, K.H. Rifai’i Ramli. Sepeninggal KH. Rifa’i, jabatan mursyid selanjutnya dipegang oleh adik KH. Mustain yang lain, yaitu KH. Ahmad Dimya Ramli sampai sekarang.[13]
Di Lampung, TQN dikembangkan oleh Syekh Arsyad Alwan Banten, murid Syekh Abdul Karim Banten. Syekh Arsyad Alwan Banten menyebarkan TQN sampai ke Lampung dan membaiat Muhammad Shaleh (w. 1940 M). Dari Muhammad Shaleh mengangkat anaknya KH. Ahmad Shabir menjadi mursyid TQN sampai sekarang.[14]
Diperoleh data bahwa di Jawa Tengah ada dua Pondok Pesantren sebagai pusat penyebaran TQN, yaitu Pesantren al-Futuhiyah Mranggen dan pesantren al-Nawawi Berjan Purworejo, namun Zamakhsyari Dhofier hanya menyebut lima Pondok Pesantren sebagai pusat penyebaran TQN di Jawa, yaitu (1) Pesantren Suryalaya Tasikmalaya Jawa Barat, (2) Pesantren pegentongan Bogor Jawa Barat, (3) Pesantren Rejoso Jombang Jawa Timur, (4) Pesantren Tebuireng Jombang JawaTimur, (5) Pesantren al-Futuhiyah Mranggeng Jawa Tengah, tidak menyebut Pesantren al-Nawawi. Dengan demikian Keterangan Zamakhsyari Dhofier kurang teliti.[15]
Di Mranggen, TQN dibawa oleh KH. Ibrahim al-Brumbungi, khalifah Syekh Abd al-Karim al-Bantani. Beliau bertindak sebagai mursyid yang mandiri.[16] TQN berkembang di Mranggen di bawah kemursyidan KH. Mu’liy ibn Abd al-Rahman, seorang mursyid dan guru utama yang mengajar di Pesantren al-Futuhiyah, Mranggen. Ia telah menulis beberapa risalah yang dibaca secara luas, bahkan sampai ke kemursyidan KH. Muhammad Ali Kuala Tungkal sebagai buku pegangan, antara lain: al-Futuhat al-Rabbaniyyah fi al-‘Araqah al-Qadiriyyah wa al-Naqsyabandiyah dan ‘Umdah al-Salik fi Khair al-Masalik.
KH. Mu’liy mempunyai garis keguruan ganda dalam TQN. Dalam bukunya disebutkan, ia lebih mengutamakan gurunya yang di Banten, dari Abd al-Karim melalui Kyai Asnawi Banten dan Kyai Abd al-Latif Banten; tetapi ia juga menyebutkan seorang guru dari daerahnya sendiri, Mbah Abd al-Rahman dari Menur (sebelah Timur Mranggen), yang memperoleh ijazah dari Ibrahim al-Brumbungi (dari Brombong, di daerah yang sama), yang juga merupakan seorang khalifah Abd al-Karim.[17] Setelah KH. Mu’liy wafat pada tahun 1981, kepemimpinan tarekat ini dipegang oleh puteranya yang bernama M. Lutfil Hakim sampai saat ini.[18]
Sepulang dari Makkah, Syekh Zarkasyi bermukim di Desa Baledono Kedunglo, Purworejo, dan berguru kepada KH. Shaleh Darat di Semarang untuk memperdalam ilmu syari’at. Di samping menjadi guru Syekh Zarkasyi, KH. Shaleh Darat adalah juga teman belajar tarekat ketika masih di Makkah.
Kemudian KH. Shaleh Darat menganjurkannya untuk mendirikan masjid di Dukuh Berjan, dengan membekali dua batu merah. Mulai saat itulah berdiri sebuah mesjid yang kemudian berkembang menjadi pondok pesantren bernama Miftahul ‘Ulum (sekarang bernama Pondok Pesantren al-Nawawi).[19]
Sejak Syekh Zarkasyi menjadi mursyid (1860-1914), ia memiliki sejumlah murid dari berbagai daerah: Magelang, Temanggung, Purworejo, dan daerah sekitarnya, bahkan dari Johor, Malaysia.
Pada masa Sultan Abu Bakar (Tumenggung Abu Bakar) berkuasa di Kesultanan Johor, beliau pernah berkirim surat kepada Syekh Zarkasyi Berjan, yang pada intinya memohon kepada syekh itu untuk berkenan mengirimkan seorang guru TQN. Menyikapi permohonan tersebut, maka Syekh Zarkasyi mengirimkan seorang muridnya yang bernama Syekh Sirat untuk mengajarkan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di Johor, Malaysia. Syekh Sirat berasal dari Dusun Buntil, sebuah dusun di sebelah Utara Dusun Berjan, dan masih dalam wilayah Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Purworejo, Jawa Tengah.
——————–
[1] Zurkani Yahya, Asal-usul Tarekat Qadiryah wa Naqsabndiyah dan perkembangannya, dalam: Harun Nasution, Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah: Sejarah, Asal-usul, dan perkembangannya, (Tasikmalaya: IAILM, 1990), hlm. 83.
[2] Dari berbagai silsilah yang penulis dapatkan disemua cabang, silsilah ini bersumber pada satu sanad, yaitu dari syekh Abd al-Qadir al-jailani. Lihat misalnya: Muhammad Usman ibn Nad al-Isaqi, al-Khujah al-Wafiyah al-Adab wa Kafiyah al-Ikr ‘Inda Sadah al-Qadiriyah al-Naqsbandiyah, (Surabaya: al-Fitrah, 1994), hlm. 16-18
[3] Martin van Bruinessen, Tarekat Qadiriyah wa Naqsbandiyah, (Bandung: Mizan Anggot Ikapi, 1992), hlm. 100
[4] Ahmad Khatib Sambas, Fathul ‘Arifin, (Surabaya: Syarikat Bengkulu Indah), hlm. 2
[5] Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 92
[6] Ibid, hlm. 92
[7] Ibid, hlm. 93
[8] Hawas Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya Di Nusantara, (Surabaya: Al-ihlas, 1990), hlm. 177
[9] Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 94
[10] Zurkani Yahya, Op. Cit., hlm. 88
[11] Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 96
[12] Ibid, 96
[13] Kharisdun Aqib, Al-Hikmah: Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, (Surabaya : Dunia Ilmu, 1998) hlm. 55-56
[14] Ahmad Rahman, K.H. Ahmad Shabir: Biografi Sosial Intlektual, Jurnal Penelitian Agama dan Kemasyarakatan, Pena Mas No. 40, th ke-14, (Jakarta : Balitbang Departemen Agama, 2001), hlm. 58
[15] Zamkhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang pandangan HIdup Kiyai, (Jakarta: LP3S, 1994). hlm. 90. Penelitian ini merupakan tambahan terhadap hasil penelitian Martin van Bruinessen dan Zamakhsyari Dhofier yang menyebutkan hanya pesantren al-Futhiyah, Mranggen, yang dipimpin oleh Mursyid K.H. Mjli, sebagai pusat penyebaran TQN di Jawa Tengah.
[16] Martin van Bruinessen, Op. Cit., hlm. 94-95
[17] Ibid, hlm. 95
[18] Ibid, hlm, 95
[19] Syekh Zarkasyi atau kurun waktu dengan Syekh Shaleh Darat Semarang; di mana yang kedua ini merupakan guru Syekh Zarkasyi sendiri.

 Sumber :
Yayasan Alam Melayu Sriwijaya


TQN Berjan Purworejo

Foto : Bersama Gus Ridloamin Mundzakir - Badal TQN Godean Jogjakarta

Biografi singkat KH. Nawawi Berjan Purworejo Tokoh dibalik berdirinya Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh Al- Mu'tabaroh An-Nahdliyyah (JATMAN) Almaghfurlah Simbah KH. Nawawi Lahir pada hari Selasa Kliwon, 10 Januari 1916, Beliau KH. Nawawi kalau dirunut Silsilah atau garis Nasab beliau masih keturunan Sultan Agung Prabu Hanyokrokusomo (Raden Mas Djatmiko) dari Salah satu Putranya ke 6 yakni Sinuhun Sayyid Tegal Arum atau Sultan Amangkurat Agung yang dimakamkan di daerah Tegal, Adapun putra putri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusomo :

1. Pangeran Tumpo Nangkil atau Raden Muhammad Kosim

2. Pangeran Ronggo Kawijen

3. Bendoro Raden Ayu Winonga

4. Pangeran Ngabehi Loring Pasar

5. Sayyid Abdul Ghaffar atau Raden Purbaya atau Mbah Kyai Kalisoka dimakamkan di Desa Kalisoka Tegal

6. Sayyid Tegal Arum atau Sinuhun Sultan Amangkurat Agung, beliaulah yang menggantikan kedudukan menjadi Sulthan atau Raja Mataram Islam Darussalam

7. Bendoro Raden Ayu Wiratmantri

8. Pangeran Haryo Danupoyo atau Raden Mas Alit, Beliau Raden Mas Alit inilah kelak yang menggantikan Sultan Amangkurat Agung ( Sayyid Tegal Arum) utk menjadi Sulthan atau Raja Mataram Islam Darussalam, dengan Gelar Kebangsawanannya. Sultan Amangkurat Mas I (Sumber Silsilah Paneraban Pusat Sayyid Abdul Ghaffar atau Pangeran Purbaya Kalisoka Tegal)

SULTAN AGUNG PRABU HANYOKROKUSUMO (Raden Mas Djatmiko) dirunut runut ke atas bersambung dengan Sunan Giri (Sayyid Ainul Yaqin) dan terus keatas nasabnya akan bertemu kepada Baginda Rosululloh SAW, adapun Nasab Sultan Agung Prabu Hanyokrokusomo bin Prabu Hanyokrowati (Raden Mas Jolang) bin Panembahan Senopati bin Nyai Sabinah (Istri Ki. Ageng Pemanahan) bin Ki Ageng Saba bin Nyai Pandan bin Sunan Giri II (Sunan Giri Ndalem) bin Sunan Giri (Sayyid Ainul Yaqin) bin Sayyid Maulana Ishaq (Sumber dari Silsilah Paneraban Pusat Sayyid Abdul Ghaffar atau Raden Purbaya Kalisoka Tegal)

Adapun Nasab atau Silsilah KH. Nawawi Berjan Purworejo bin KH. Shiddiq Berjan bin KH. Zarkasyi Berjan bin KH. Asnawi Tempel bin KH. Nuriman Tempel bin Ky. Burhan Joho bin Ky. Suratman Pacalan bin Jindi Amoh Plak Jurang bin Ky. Dalujah Wunut bin Gusti Oro Oro Wunut bin Gusti Untung Suropati bin Sinuwun Sayyid Tegal Arum bin Sultan Agung Hanyokrokusomo (Raden Mas Djatmiko) bin Pangeran Senopati. (sumber buku Mengenal KH. Nawawi Berjan Purworejo,hal 11 sd 12), bahkan dalam salah satu sumber menyebutkan bahwa Sinuwun Sultan Agung Prabu Hanyokrokusomo juga seorang Pengamal Tarekat Syadziliyyah. Subhanalloh

NASAB KEILMUAN Ilmu Thoriqoh (Tarekat)

Silsilah Kemursyidan Tarekat Qodiriyyah Wa Naqsyabandiyah (TQN) dari Ayahanda beliau yakni Syech Shiddiq Berjan Bin Syech Zarkasyi Berjan Purworejo juga dari Pakdenya yakni Syech Munir Berjan bin Syech Zarkasyi Berjan Purworejo, Kemursyidan Syech Zarkasyi bin Asnawi Berjan Purworejo dari Syech Abdul Karim Al-Bantani dari Syech Achmad Khotib bin Abdul Ghoffar Sambas Kalimantan. Salah satu murid yang utama diangkat menjadi Khalifah/ Mursyid adalah Tuan Guru Ali bin Abdul Wahhab Al-Banjari Kuala Tungkal Tanjung Jabung Barat Jambi bahkan Zawiyyah atau komunitas tarekat Tuan Guru Ali merupakan Zawiyyah yang terbesar di luar Pulau Jawa, karena Acara Peringatan Haul Sultanul Auliya' Syech Abdul Qodir Al-Jaelani QSA. masuk dalam APBD Provinsi Jambi. KH. Nawawi Bin Syech Shiddiq RA. (1947-1982), juga telah mengangkat Kholifah sbb; KH. Achmad Chalwani Bin KH. Nawawi, Tuan Guru Ali bin Abdul Wahhab Al Banjari Kuala Tungkal Jambi, KH. Masduqi Syarofuddin Purworejo, KH. Abdurrahim Kebumen, KH. Zuhri Syamsuddin Wonosobo, KH. Nachrowi Magelang, KH. Baqiruddin Magelang, KH. Madchan Magelang, KH. Machfudz Magelang, KH. Mundasir Magelang, KH. Parlan Cilacap, KH. Ilyas Singapura, KH. Djazoeli Magelang. Selain itu Beliau KH. Nawawi aktif menulis dan membaca terbukti dengan menghasilkan beberapa karya meliputi kitab tentang Tarekat, kitab-kitab fiqh, dan syair-syair.

Ilmu Syari'at

Beliau KH. Nawawi pernah belajar di beberapa pesantren Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Watucongol Magelang, Krapyak Yogyakarta, Lasem Rembang, Tremas Pacitan, Jampes Kediri, Tebuireng Jombang dan Lirboyo Kediri.

ULAMA KHARISMATIK

Beliau adalah Seorang Ulama kharismatik sekaligus Ulama Thoriqoh dari Dukuh Berjan Desa Gintungan Kecamatan Gebang Kabupaten Purworejo, sebagai seorang Guru Mursyid beliau juga berperan aktif diberbagai kegiatan thoriqoh yaitu pernah menjadi Ketua | Kongres I Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabaroh pada tanggal 12-13 Oktober 1957 di legalrejo Magelang yang mengasilkan keputusan bahwa tanggal 10 Oktober 1957 adalah sebagai hari Lahirnya Jamiyyah Ahlith Thoriqoh Al- Mu'tabaroh yang pada tahun 1979 pada saat Muktamar NU ke 26 di Semarang, Jamiyyah Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabaroh kemudian dimasukkan sebagai salah satu Badan Otonom dibawah Nahdlatul Ulama dan dikukuhkan. dengan Surat Keputusan Syuriah PBNU Nomor 137/Syur.PBNU/V/1980. Sejak itulah sampai sekarang Jam'iyyah ini dikenal dengan nama Jam'iyyah Ahli Thariqoh Al-Mu' tabaroh An- Nahdliyyah (JATMAN), bahkan beliau juga pernah ditunjuk menjadi Mudir Tsani Idaroh 'Aliyah Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh Al- Mu'tabaroh An-Nahdliyyah (JATMAN Pusat). Saat ini estafet kepemimpinan beliau dilanjutkan oleh putranya yaitu Romo KH. Achmad Chalwani Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan Purworejo.

Di Balik Berdirinya Jam'iyyah Ahli Thariqot al- Mu'tabaroh

Secara singkat, sejarah Thariqoh al-Qhadiriyyah wa Naqsyabandiyyah berkembang di Berjan adalah merupakan hasil gabungan antara dua aliran, yakni aliran Thariqoh Qhadiriyyah dan aliran Thariqoh Naqsyabandiyyah yang gagas oleh Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar daerah Sambas Kalimantan Barat (1802-1872 M). Sedangkan aliran Thariqoh al-Qhadiriyyah pencetusnya adalah Syaikh Abdul Qhodir al- Jailani sebagai pelopor cikal-bakal aliran-aliran organisasi thariqoh dengan cabang-cabangnya di belahan penjuru dunia Islam. Sementara aliran Thariqoh Naqsyabandiyyah adalah dirintis oleh Syaikh Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Bukhari al- Naqsyabandi (717 H/1318 M-791 H/1389 M) seorang tokoh sufi yang memulai belajar tentang tasawuf kepada gurunya Baba al- Samsyi pada saat berusia 18 tahun. Syekh Ahmad Khatib Sambas telah berhasil untuk menggabungkan dua aliran Thariqoh tersebut sebagaimana tertulis dalam karya kitabnya Fath al-Arifin dengan metode jenis Dzikir yaitu Dzikir Jahr dalam Thariqoh Qhadiriyyah dan Dzikir Khafı dalam Thariqoh Naqsybandiyyah. Syekh Ahmad Khatib Sambas menjadi pelopor pemikiran Thariqoh Qhadiriyyah wa Naqsyandiyyah walaupun lama bermukim di Mekah pada pertengahan abad ke-19, maka banyak yang bersedia menjadi muridnya baik dari Negara Malaysia, Jawa dan luar Jawa. Pada perkembangannya Thariqoh wa Naqsyabandiyyah di Nusantara banyak yang bersumber kepada salah satu atau ketiga. menjadi Mursyid pertama, mulai dan Syaikh Abdul Karim paman Syekh Nawawi Banten sebagai pimpinan Thariqoh. Sedangkan muridnya meneruskan dan berjasa besar untuk mengembangkan Thariqoh wa Naqsyabandiyyah di Nusantara yaitu, Kiai Asnawi Caringan Banten (w.1937), Syekh Zarkasyi (1830-1914 M), pada tahun 1860. Sementara Syekh Zarkasyi pada periode pertama mengembangkan Thoriqoh wa Naqsyabandiyyah diteruskan pada periode kedua Muhammad Siddiq dan diteruskan ke periode ketiga yaitu KH. Nawawi Berjan Purworejo Jawa Tengah. Pada periode KH Nawawi pada mulanya tidak bersedia untuk di baiat menjadi mursyid karena alasan berjuang bersama laskar Hizbullah pada saat itu, lalu pamannya, memberanikan diri Kiai Abdul Majid Pagedangan matur untuk di baiat sebagai mursyid tapi KH. Nawawi jawabannya tetap sibuk berjuang bersama laskar Hizbullah, maka sementara kedudukan mursyid dilanjutkan oleh parmannya sendiri, Simbah Kiai Munir bin Zarkasyi. Setelah pasca perjuangan melawan penjajah, dan saudara kandung mirip ayahandanya wafat bernama Muhammad Kahfi pada hari kamis tanggal 6 Dzulqo'dah 1371/ 1950 M, maka barulah KH Nawawi berkenan untuk di baiat sebagai mursyid kepada Simbah Kiai Munir (w. 1958) Amanah yang berat sebagai pewaris pimpinan pondok pesantren dan juga sebagai mursyid Thariqoh wa Naqsyabandiyah selama 35 tahun (1947-1982). Pada saat itulah, KH Nawawi mulai merasakan keadaan terhadap aliran dan organisasi Thoriqoh yang berkembang dengan saling menyalahkan dan bahkan mengkafirkan antara aliran Thariqoh seperti Thariqoh Tijaniyyah dan Thariqoh Syathoriyyah yang sejatinya sama- sama berasal dari organisasi NU. Pada tanggal 31 Desember Tahun 1955 KH Nawawi Berjan dan KH Masruhan berdialog untuk berusaha meluruskan para penganut Thariqoh dan perlunya menyepakati dalam bentuk Jam'iyyah thoriqoh yang benar dan lurus, mana yang mu'thabaroh maupun yang tidak. Sekitar dua tahun kemudian, KH Nawawi bersilaturrahim kebeberapa daerah Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah bersama Kiai Mahfudz Rembang, maka pada tahun 1957 yang didampingi oleh Kiai Abdurrahim Pagedangan sehingga melahirkan Tim Pentasheh Thariqoh yang beranggotakan enam orang diantaranya Kyai Muslih Mranggen, dan Kiai Baedlowi Lasem. Dengan keperihatinan dalam menyaksikan maraknya perpecahan dikalangan para penganut Thariqoh ini, kemudian KH Nawawi mengabadikan dalam catatan buku hariannya dengan menulis yaitu cara-cara yang menjalin hubungan persatuan berbagai panganut Thariqoh. Menurut catatan-catatan buku harian KH Nawawi, cara-cara mengeratkan ukhuwah di antara ikhwan thoriqoh. Pertama, para mursyid diberi tuntunan-tuntunan asas Thoriqoh yang semuanya asas-asas tadi dimengerti sampai tahu betul para murid dengan asas tujuan Thoriqoh hingga paham adab-adabnya murid Thoriqoh, adab kepada guru dan adab teman- teman Thoriqoh dengan inshaf, dan patuh terutama adab ma'a Allah dan Rasulnya. Kedua, supaya dianjurkan tazawur diantara mursyidin dengan para abdal satu sama lain, dengan tukar pikiran bagaimana caranya mentarbiyah murid-murid mana yang baik ditiru oleh ikhwan lain agar menambah amal khair. Ketiga, para mursyid menganjurkan kepada abdal-abdal supaya berangkat khataman, tawajuhan dan riyadloh jasmaniyah dan rohaniyah serta tafakkur yang dapat mendekatkan muroqobah hingga para ikhwan Thoriqoh bisa melatih diri inshaf kepada ajaran-ajaran Sufi yang mana bisa sabar dan Ridho pada hukum Allah, dan membuat kebaikan kepada makhluk serta cinta kepada teman-teman dan menjauhi larangan- larangan tuhan dan terus mengabdi tambahannya ilmu serta ingat kepada mati agar giat beribadah. Dengan terbentuknya panitia sementara dalam rencana penyelenggarakan kongres pertama. Maka pada tanggal 11 Agustus tahun 1956 dengan susunan kepanitiaan Pelindung KH Romli Tamim Rejo Jombang dan Ketua I KH Nawawi Berjan serta pembantu-pembantu | KH Khudlori Magelang. Hasil Presidium Kepengurusan Kongres perdana dengan Anggota KH. Mandhur, KH. Chudlori Tegalrejo, KH. Usman, KH. Chafidz Rembang, KH. Nawawi, KH. Masruchan Brumbung, dengan sidang pertama di Rejoso Jombang. Kesepakatan kongres pada tanggal 19/20 Rabiul awal 1377 atau 10 Oktober 1957 sebagai hari lahir Jam'iyyah Ahli Thariqoh al-Mu'tabaroh. Pendirian Jam'iyyah ini telah direstui oleh KH. Dalhar Watucongol, walaupun pada saat itu beliau tidak berkenan naik panggung.

Dalam kongres Jam'iyyah Ahli Thoriqoh ke 1 pada tanggal 12-13 Oktober 1957 di Tegalrejo Magelang dalam kapasitasnya sebagai ketua Panitia Kongres, KH. Nawawi dan Kyai Siraj Payaman yang paling banyak memberikan Jawaban setiap pertanyaan dari peserta, termasuk dari Kiai Mahrus Lirboyo.

KAROMAH/KERAMAT

Pada waktu wafatnya KH. Nawawi, tempat yang digali untuk pemakaman beliau tiba-tiba memancarkan cahaya sangat terang yang ditimbulkan oleh batu-batu yang menyerupai berlian/ permata. Seketika orang yang berada di sekitarnya berebut mengambil batu-batu tersebut untuk dibawa pulang ke rumahnya. Konon, semasa hidupnya beliau pernah berwasiat ketika wafat nanti supaya dimakamkan di tempat tersebut. Subhanalloh

Wafat

Beliau wafat pada hari Ahad Pahing, tanggal 4 Syawal 1982 sekitar jam 23.00 WIB. dan di makamkan di Pemakaman Keluarga Desa Bulus Gebang Purworejo, pada waktu Upacara Pemakaman doa pemberangkatan dipimpin oleh KH. Nadzir Kebarongan Banyumas dengan diamini oleh KH. Achmad Abdul Haq Dalhar ( Mbah Mad) Watucongol Magelang, KH. Mustholih Badawi Kesugihan Cilacap dan para muazziyin, muazziyat yang hadir.

Sumber:

* Buku Mengenal KH. Nawawi Berjan Purworejo hal. 38, 39, 40)

* Pondok Pesantren An-Nawawi purworejo













Ziarah ke Makam KH Zarkasyi Berjan Purworejo


Mursyid Tharekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah

Berjan adalah sebuah pedukuhan yang masuk dalam wilayah Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo Jawa Tengah. Di sana terdapat lembaga pendidikan Islam yang kini bernama Pondok Pesantren An-Nawawi. Pesantren tersebut sekarang dihuni oleh lebih dari 3000 santri.
Pesantren itu didirikan oleh Kyai Zarkasyi pada sekitar tahun 1870. Kyai Zarkasyi sendiri adalah seorang ulama yang garis nasabnya menyambung kepada Sultan Agung.
Ayahnya bernama Kyai Asnawi Tempel bin Kyai Nuriman Tempel bin Kyai Burhan Joho bin Kyai Suratman Pacalan bin Jindi Amoh Plak Jurang bin Kyai Dalujah Wunut bin Gusti Oro-Oro Wunut bin Untung Suropati bin Sinuwun Sayyid Tegal Arum bin Sultan Agung bin Pangeran Senopati.
Kyai Zarkasyi lahir pada tahun 1830. Dengan demikian, usia beliau tidak terpaut jauh dengan Kyai Sholeh Darat (lahir 1820), Kyai Ibrahim Brumbung (lahir 1839), dan bahkan seumuran dengan Syaikh Abdul Karim Agung Tanara Banten (lahir 1830). Kelak, tiga nama yang terakhir disebut itu memang ada kaitannya dengan kehidupan Kyai Zarkasyi. Syaikh Abdul Karim, meski dari segi usia seumuran, adalah guru Kyai Zarkasyi yang memberikan ijazah kemursyidan tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Kyai Zarkasyi menerima ijazah kemursyidan itu saat belajar di Makkah, tepatnya di Suq al-Lail, bersama dengan kawannya, Kyai Ibrahim Brumbung dan Kyai Abdullah Faqih Bumen Wonosobo. 

Setelah belajar di Makkah dan mendapat ijazah dari Syaikh Abdul Karim, Kyai Zarkasyi kemudian pulang ke Tanah Air, belajar kepada Kyai Sholeh Darat, dan mengembangkan tharekat di wilayahnya. Pesantren yang awal mula didirikan oleh Kyai Zarkasyi, dengan demikian, adalah pesantren tharekat yang santrinya rata-rata telah lanjut usia. Kyai Zarkasyi memiliki sejumlah murid yang memungkinkan jaringan tharekatnya menyebar ke berbagai wilayah, bukan hanya di wilayah sekitaran Berjan seperti Magelang, tetapi bahkan ke Johor Baru Malaysia. Adalah Kyai Siraj (w. 1920), murid Kyai Zarkasyi yang dikirim ke Johor Baru ketika beliau mendapat surat permintaan dari Tumenggung Abu Bakar Johor agar mengirimkan seorang Mursyid Tharekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah ke Malaysia. Melalui Kyai Siraj dan murid-muridnya jaringan tharekat Kyai Zarkasyi ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Sumatera seperti Riau dan Lampung. Adapun melalui murid Kyai Zarkasyi lainnya, seperti Kyai Mudzakir (kakak Kyai Dalhar Watucongol) dan Kyai Umar Payaman (Magelang), tarekat ini menyebar ke Wonosobo, Salatiga, Ambarawa, Kendal, Pekalongan, Ciamis (Jawa Barat) dan Malang (Jawa Timur).

Di Berjan sendiri, kemursyidan tarekat Kyai Zarkasyi diturunkan kepada putranya, Kyai Shiddiq (w. 1947). Beliau adalah seorang kyai alim yang belajar kepada sejumlah kyai seperti Kyai Idris Jamsaren Solo dan Kyai Kholil Bangkalan. Pada era Kyai Shiddiq, jaringan tarekat Berjan makin meluas ke berbagai wilayah.
Era setelah Kyai Shiddiq adalah era Kyai Nawawi (w. 1982). Salah satu sumber menyebutkan bahwa Kyai Nawawi baiat mursyid kepada pamannya, Kyai Munir Zarkasyi (w. 1958).  Seperti ayahandanya, Kyai Nawawi adalah sosok alim yang ditempa di sejumlah pesantren seperti Lirboyo, Lasem, Termas, dan Tebu Ireng.
Kyai Nawawi adalah kyai produktif yang karya-karyanya meliputi berbagai bidang keilmuan. Di bidang tasawuf atau tarekat saja, karya Kyai Nawawi ada sekitar 18 judul. Mutiara peninggalan Kiai Nawawi itu selama ini masih dicetak secara terbatas dan hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Selain memiliki banyak karya, cucu Kyai Zarkasyi ini juga dikenal sebagai tokoh di balik berdirinya federasi tarekat di Indonesia, yakni Jamiyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah (JATM). Beliau, bersama dengan Kyai Masruhan, Kyai Muslih (keduanya dari Mranggen), Kyai Khudori Tegalrejo, dan kyai lainnya, atas restu kyai sepuh seperti Kyai Makshum Lasem, mengumpulkan para ulama tarekat di Tegalrejo Magelang pada 10 Oktober 1957.
Peristiwa itu kemudian dikenal dengan Kongres pertama Jamiyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah. Kelak pada Muktamar Nahdlatul Ulama di Semarang pada 1979, organisasi ini berubah nama menjadi Jamiyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN). Tranformasi dari JATM menjadi JATMAN tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan politik waktu itu.
Demikianlah, dengan reputasi keilmuan dan aktivisme Kyai Nawawi dalam organisasi tarekat, jaringan tarekat Berjan makin meluas. Sepeninggal Kyai Nawawi (1982) sampai sekarang, tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah Berjan diteruskan oleh putranya, Kyai Achmad Chalwani. Bukan hanya tarekatnya, di era kepemimpinan Kyai Achmad Chalwani Pesantren An-Nawawi juga semakin besar.
Dengan ketokohan yang begitu mapan dan jaringan yang sedemikan luas, agak mengherankan bahwa nama Berjan cenderung tidak muncul dalam historiografi tarekat di Nusantara. Martin van Bruinessen, sarjana Belanda yang banyak mengkaji tharekat di Nusantara, tidak memasukkan Berjan sebagai salah satu pusat tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di era 1970-an.

Ia hanya menyebut empat pusat, yakni Suryalaya dengan Abah Anom, Pagentongan dengan Kyai Tubagus Muhammad Falak, Mranggen dengan Kyai Muslih, dan Rejoso dengan Kyai Romli Tamim. Kita tidak tahu alasan mengapa Martin tidak memasukkan Berjan. Yang jelas narasi Martin itu kemudian dikutip dan diikuti sarjana setelahnya, seperti Sri Mulyati dan lain-lain.
Zamakhsyari Dhofier agak berbeda dengan sarjana lainnya. Ia, dalam disertasinya untuk Australian National University tidak sepenuhnya sependapat dengan Martin. Ia menambah satu pusat lagi: Tebu Ireng. Dengan demikian menurut Dhofier ada lima pusat tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.
Ternyata lima tempat yang diajukan Dhofier belum mengkonfirmasi semuanya. Masih ada satu lagi pusat tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang belum mereka masukkan: Berjan dengan Kyai Nawawi. Karya, jaringan, dan warisan para mursyid Berjan, mulai dari Kyai Zarkasyi sampai Kyai Nawawi dan Kyai Chalwani, jejaknya masih bisa kita saksikan sampai sekarang.
Kyai Zarkasyi wafat tahun 1914. Beliau, bersama anak dan cucunya dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga Tjokro Negoro (Bupati I Purworejo). Lokasi makam itu berada di Bulus, Gebang, kurang lebih 7 km dari Pesantren An-Nawawi Berjan. 






KH Muhammad Munawwir Krapyak


Pelopor pesantren tahfiz Al-Qur'an pertama di Indonesia.

Sosok KH. Munawwir Krapyak tidak bisa lepas dari kebesaran nama Kyai Hasan Bashari atau lebih dikenal dengan Kyai Hasan Besari. Kyai Hasan Besari adalah merupakan ajudan pangeran Diponegoro, seorang pahlawan nasional yang sangat berjasa dalam usaha penumpasan penjajah di muka bumi pertiwi ini. 

Pada waktu hidupnya, Kyai Hasan Besari ini ceritanya ingin menjadi seorang ulama yang hafal al-Quran dan karenanya beliau melakukan riyadhah dan berusaha keras lahir batin untuk menghafal al-Quran. Namun beliau suatu ketika mendapatkan ilham bahwa yang akan menjadi ahli al-Quran adalah anak cucu beliau. Demikian pula anaknya yang bernama KH. Abdullah Rosyad yang juga berjuang dengan riyadhah dan kedisiplinan tinggi untuk menghafal al-Quran. Bahkan ketika di tanah suci Makkah selama 9 tahun beliau riyadhah untuk menghafalkan al-Quran, namun beliau mendapatkan ilham bahwa yang akan dianugerahi hafal al-Quran adalah anak cucunya.

Di kemudian hari KH. Abdullah Rosyad ini memiliki sebelas orang anak dari empat orang istri. Dari kesebelas orang anak ini salah satunya adalah Kyai Haji Muhammad Munawwir yang merupakan anak beliau dari buah pernikahan beliau dengan salah satu istri bernama Nyai Khadijah dari Bantul, Yogyakarta.

Suatu ketika KH. Munawwir pernah bertemu dengan nabiyullah Khidir alaihis salam dan mendapatkan doa secara langsung dari beliau. Ceritanya, beliau di masa thalabul ilminya di tanah suci sedang dalam suatu perjalanan dari makkah menuju Madinah. Di suatu tempat di Rabigh beliau berumpa dengan seorang pak tua yang tidak beliau kenal. Pak tua tersebut kemudian mengajak berjabat tangan dan lantas  mendoakan beliau semoga beliau menjadi seorang hafidzul quran wa hamilul quran sejati. Menurut Syaikh Arwani Amin, Kudus, orang tua yang menjabat tangan dan mendoakan KH. Munawwir itu adalah Nabiyullah Khidir Alaihis Salaam.

Beliau secara istiqamah mengkhatamkan al-Quran seminggu sekali tepatnya pada hari kamis sore beliau melakukan khataman al-Quran. Amalan ini beliau lakukan sejak beliau masih berusia 15 tahun hingga beliau wafat. Apabila KH. Munawir sedang menghadapi peristiwa ataupun masalah yang menyangkut umat/santri, maka beliau biasanya segera mengumpulkan para santri untuk berdoa bersama. Biasanya beliau memerintahkan para santri untuk bersama-sama mewiridkan shalawat nariyah sebanyak 4444 kali dan membaca surah Yasin sebanyak 41 kali. 

Sosok KH. Munawir merupakan sosok yang amat istiqamah dalam beribadah. Lebih-lebih terkait ibadah shalat fardhu, maka beliau senantiasa menggunakan awal waktu untuk melaksanakannya. Begitu pula dengan shalat sunnah seperti shalat sunnah rawatib juga tidak pernah beliau tinggalkan. Beliau juga merupakan ulama yang senantiasa melanggengkan shalat sunnah witir, shalat sunnah isyraq, shalat sunnah dhuha, dan shalat sunnah tahajud. Beliau juga sangat menekankan pentingnya untuk berziarah kubur, mendoakan orang tua, ulama dan kaum muslimin yang telah lebih dahulu wafat dan bertabarukkan dengan mereka. Bahkan saking pentingnya, beliau mewajibkan para santri untuk istiqamah ziarah kubur setiap kamis sore. Di mata beliau, seorang penghafal al-Quran yang sejati adalah sebagai berikut :

Senantiasa bertakwa kepada Allah ta'ala

Mampu shalat tarawih dengan hafalan al-Quran sebagai bacaan surahnya

Beliau sangat mengangungkan al-Quran dan mushaf suci al-Quran. Beliau termasuk orang yang sangat ketat dalam hal ini, hingga hanya akan memberikan undangan haflah khotmil Qur'an kepada orang-orang yang kalau memegang mushaf al-Quran senantiasa dalam keadaan suci dari najis dan hadats.

Ulama Besar yang Penuh Kesederhanaan

Sosok KH. Munawwir juga merupakan sosok yang terkenal rapi dan bersih serta senantiasa menampilkan kesederhanaan hidup. Beliau senantiasa menggunakan imamah dan penutup kepala seperti sorban, peci, maupun kedua-duanya. Kalau berpakaian maka beliau menggunakan pakaian yang bersih, suci, dan sederhana, seperti jubah, sarung, serban senantiasa bersih. Apabila bepergian beliau menggunakan jas hitam, sorban hijau, sarung dan alas kaki. Beliau tidak pernah makan hingga kenyang, terlebih di waktu bulan ramadhan, maka beliau berbuka dan sahur ala kadarnya, cukup dengan satu cawan nasi ketan untuk sekali makan. Hal ini tentu saja akan bermanfaat bagi tubuh, karena mengonsumsi makanan dengan wajar akan menjadikan tubuh sehat dan proporsional, berbeda apabila terlalu kenyang maka akan menjadikan tidak bersemangat, mengantuk, dan pada akhirnya tidak bisa istiqamah beribadah kepada Allah. 

Diantara berbagai macam karamah yang dimiliki oleh KH. Munawwir krapyak adalah beliau mampu menghafal keseluruhan al-Quran yang 30 juz hanya dalam jangka waktu 70 hari. Sebagian riwayat lainnya mengatakan hanya 40 hari. Kisahnya, ketika beliau sampai di tanah suci dan belajar ilmu agama di sana, beliau menulis surat kepada sang ayah yang isinya minta restu karena ingin menghafal al-Quran. Namun sang ayah belum mengizinkannya dan berniat akan mengirimkan surat balasan. Namun belum sempat surat balasan dikirim, sang ayah sudah mendapatkan surat kedua dari KH. Munawwir yang isinya memberitahukan bahwa ia sudah terlanjur hafal 30 juz. 

Saat berusia 10 tahun, KH. Munawwir berangkat untuk mondok nyantri kepada Sayyidi Asy-Syaikh Kholil Bangkalan, Madura. Sesampainya di sana, saat iqamah shalat selesai dikumandangkan, tiba-tiba saja Kyai Kholil tidak bersedia menjadi imam. Beliau kemudian berkata, "Mestinya yang berhak menjadi imam shalat adalah anak ini (yakni KH. Munawir). Walaupun ia masih kecil tetapi ahli qiraat."

Sosok Mbah Munawwir yang terkenal sebagai pembawa Qur’an ke Tanah Jawa tidak lepas dari figur ayahanda beliau yang bernama KH. Abdulloh Rosyad. Pada waktu muda, Mbah Rosyad punya keinginan kuat untuk menghafal Qur’an. Itu dibuktikan, ketika beliau menghafal dibarengi dengan riyadloh/ tirakat berendam di sungai (mungkin agar tidak ngantuk). Berkali-kali beliau melakukan tirakat tersebut dan suatu hari, beliau mendengar suara: “Hafalkan semampumu, karena itu bagianmu. Dan tidak usah berkecil hati, kamu akan diberi keturunan yang ahli Qur’an.” 

Sumber dari buku yang berjudul "Manaqibus Syaikh: KH. M. Moenauwir Almarhum: Pendiri Pesantren Krapyak Yogyakarta" yang diterbitkan oleh Majelis Ahlein (keluarga besar Bani Munawwir) Pesantren krapyak, Keluaran tahun 1975 masehi.

رب فانفعنا ببركاتهم # واهدنا الحسنى بحرمتهم

وأمتنا في طريقتهم  # ومعافاة من الفتن

اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه اجمعين

Ritual Ngapuro Dilangit Mlangi



Huruf  Vokal Alam Semesta

Bagaimana saya bisa membantu?" katanya, dan suaranya—kuat dan angkuh, meninggi bergema memancarkan kebaikan. Ia memiliki kelembutan dan kehadiran, terlepas dari kualitas Jalla - Jalaluhu (atribut kekuatan ilahi). 

Melalui nafas dan bacaan vokal Hu (esensi ilahi) kehadiran Sang Kekasih dipanggil. Dengan mengulangi kalimat ini, kita meniadakan segala sesuatu kecuali Tuhan, menyapu bersih ilusi, meneguhkan kebijaksanaan yang dimiliki jiwa tetapi pikiran telah lupa.  Siapapun yang duduk di kursi ini, saya berdoa untuk mereka. Allah mengetahui siapa mereka. Bukan saya."
Permohonan bantuan beragam, dan mereka datang dari siapa saja. Dari bankir dan presiden perusahaan hingga ibu rumah tangga dan pekerja konstruksi, individu dan seluruh keluarga menyaring, mencari jawaban dan bantuan alam ilahi dalam masalah hati, pernikahan, perpisahan, lamaran, masalah hukum dan bisnis, penghapusan rintangan, penyakit fisik non fisik dan penyakit anak-anak nakal.
Untuk setiap penyakit atau masalah tertentu yang disajikan kepadanya, mengiris kulit kata-kata, mengupas sampai ke inti, inti masalahnya. Dia merasakan "penyebab di balik penyebabnya." Dia tidak membuat janji kepada kliennya. Dia berdoa Semuanya adalah hikmah (kebijaksanaan) Allah. Keadilan Allah. Allah adalah satu-satunya yang membuat sesuatu terjadi. Aturan-aturan-Nya didasarkan pada ilham dan bimbingan ilahi, yang diterima pada saat itu juga. Banyak dari obatnya bekerja dengan Asma nya dan dengan Ism-i-Azam, nama tertinggi Tuhan. Atribut ilahi, diwujudkan dalam nama-nama Allah, berada di dalam diri kita masing-masing. 

Para sufi percaya, dalam praktik mengulang nama, atau kombinasi nama, pusat halus terbangun, penyumbatan hilang, dan kualitas yang diinginkan terwujud.

Pada Zaman Arcadia manusia tahu cara mendengarkan suara para dewa melalui tujuh huruf vokal Alam Semesta.
Ketujuh vokal Ha Hu He Ho Hi Em Ss bergema dalam tubuh yang tak terucapkan dari irama api yang berkesan. Suara Alam Semesta harus menyuarakan vokal selama satu jam setiap hari dalam urutan huruf vokal yang diuraikan. 

Setiap vokal harus diperpanjang sebagai berikut, Mengosongkan paru-paru dengan setiap intonasi. Mereka diucapkan sebagai vokal bersama alat Gamelan yang di tabuh.

Haaaaaaa, Heeeeeeeee, Hoooooooooo, Hiiiiiiiiiii, Huuuuuu, Emmmm, Ssssssss

HA seperti “tinggi"
Huruf HA membuat chakra paru-paru bergetar dengan demikian manusia memperoleh kekuatan mengingat kehidupan masa lalunya.

HI seperti didalam “pohon"
Huruf HI membuat kelenjar pituitari dan kelenjar pineal bergetar; dengan demikian manusia menjadi waskita.

HU seperti “kamu"
Huruf HU membangkitkan solar plexus (Ulu hati) bergetar dengan demikian manusia membangkitkan telepati dan Esensi Ilahiah

HE seperti “jatuh"
Huruf HE membuat kelenjar tiroid bergetar; dengan demikian manusia menjadi clairaudient (mendengar suara dari sesuatu yang tidak hadir)

HO seperti “rendah"
Huruf HO membuat cakra jantung bergetar dengan demikian manusia menjadi intuisi/insting/naluri kuat.

M seperti "bersenandung" Dan

S seperti "berdesis"

Vokal M dan S secara efisien membantu dalam pengembangan semua kekuatan gaib. Oleh karena itu, satu jam vokalisasi harian lebih berharga daripada  membaca sejuta buku teosofi oriental. Irama yang menakjubkan dimana ketujuh vokal alam terdengar dengan euforia kosmos yang luar biasa.
Menggunakan suara vokal Adalah Ingat / rasakan, seolah-olah ini adalah suara Alam Ilahi / Ibu / Semesta yang hidup.
Membuat suara HU (whoo),  membiarkan suara itu datang dari atas Anda, merasa seolah-olah yang menciptakan semua kehidupan entah bagaimana bernafas sumber kehidupan / cahaya / cinta ke dalam dirimu. Biarkan suara ini menyentuh ulu hati dan isi tubuh Anda serta keberadaan Anda. Biarkan kepala Anda sedikit naik dan alihkan perhatian Anda ke hati Anda. Luangkan waktu sejenak untuk menyadari cahaya yang meluas di dalam diri Anda. Rasakan getaran ritual ini menyatu dalam hati, seperti hujan yang menyejukkan, mengingat tujuan Anda, kerinduan hati Anda, 'kebutuhan akan panggilan' dalam hidup. Buat suara yang membantu Anda melangkah sepenuhnya ke dalam hidup Anda, untuk merasa Anda memiliki alat yang dibutuhkan dan entah bagaimana dapat membuat perbedaan. Seperti halnya semua praktik spiritual, lebih banyak belum tentu lebih baik. Ritual bisa 11 siklus. Ditutup dengan :

1 Subhanallah walhamdulillah wala ilaha ilallah wallahu Akbar.

2. Shollallahu robbunā alā nūril mubin,
Aḥmadal Mushthofa sayyidil mursalin
Wa ‘ala alihi wa shobbihi ajmain.

3. Alfatihah


Mandi Garam Teknik dan Aplikasi

Lokasi Parang Wedang - Parang Tritis

Bagi praktisi penyembuhan prana yang rutin menangani energi sakit dan kotor selama penyembuhan, mandi air garam bahkan lebih penting lagi untuk menghilangkan sisa-sisa energi kotor lama dari aura Anda.

Pentingnya mandi air garam

“Air laut atau air asin sangat efektif menghilangkan energi penyakit dari tubuh energi. Perawatan air garam secara signifikan akan membersihkan energi tubuh dan secara bertahap memperkuat tubuh dan sistem pertahanannya. Meskipun pengobatan ini sederhana, namun cukup efektif dan oleh karena itu harus ditanggapi dengan serius.”  Perawatan ini sebaiknya dilakukan satu atau dua kali sehari karena energi tubuh menjadi kotor kembali setelah beberapa saat atau sehari. Ini juga mengapa pengobatan harus dilakukan setiap hari atau tiga kali seminggu selama setidaknya beberapa bulan atau seumur hidup.

Perendaman dalam bak garam

Siapkan campuran garam dan air. Masukkan sekitar dua pon garam laut atau garam halus ke dalam bak berisi air hangat. Suhunya harus sekitar 40°C. Rendam di dalamnya selama +15 menit. Ini harus dilakukan setiap hari. Anda dapat mulai melakukan ini setiap hari selama dua minggu pertama, lalu secara bertahap mengurangi frekuensinya menjadi tiga kali seminggu selama diperlukan. Anda juga dapat menambahkan sekitar tujuh tetes minyak esensial seribu bunga, lavender dan Tea Tree. Ini memiliki efek pembersihan dan normalisasi.

Mandi air asin

Ambil segenggam garam biasa atau garam halus. Jika suka, Anda bisa menambahkan beberapa tetes minyak pohon teh dan minyak lavendel ke dalam garam. Mandilah secara normal. Kemudian, saat tubuh masih lembab, usapkan garam tersebut ke seluruh tubuh mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki, terutama di ketiak, kedua lengan, cakra limpa, cakra solar plexus frontal dan dorsal, serta cakra perineum. Beberapa orang mungkin mengalami reaksi alergi jika garam dioleskan ke wajah. Jika nyaman bagi Anda, Anda bisa mengaplikasikannya ke wajah Anda dengan lembut.

Simpan garam di dalam tubuh selama 3 menit – ini sangat penting. Setelah itu, Anda bisa membilas garam dari tubuh Anda dan melanjutkan mandi seperti biasa. Yang terpenting adalah diamkan garam di tubuh selama 3 menit sebelum dicuci. Hal ini memberikan cukup waktu bagi garam untuk hancur dan mengeluarkan banyak energi kotor dari aura sebelum membersihkannya. Beberapa orang, karena kekurangan waktu, melarutkan garam ke dalam ember berisi air dan menuangkan air tersebut ke seluruh tubuh. Meskipun ini lebih baik daripada tidak mandi garam, hal ini memiliki keterbatasan. Misalnya, ketika Anda ingin menggosokkan sabun ke badan, apakah Anda melarutkannya ke dalam air lalu menuangkan busanya ke tubuh Anda? Hal ini tidak terlalu efektif. Anda harus benar-benar mengoleskan sabun ke tubuh Anda agar mendapatkan efek pembersihan. Inilah sebabnya mengapa disarankan untuk mengoleskan garam halus pada tubuh agar efeknya maksimal.

Dalam beberapa kasus, ketika pemurnian ekstra diinginkan, rendaman garam dapat ditingkatkan dengan mencampurkannya dengan kopi. 

Cuci tangan Anda dengan garam dan air “Selalu cuci tangan dengan garam dan air setelah penyembuhan. Banyak yang belajat penyembuhan prana yang terkadang terlalu asyik dengan teknik penyembuhan yang canggih sehingga mereka melupakan dasar-dasar penyembuhan prana, sehingga membuat kesalahan mendasar.” 

Bagi praktisi penyembuhan prana yang rutin menangani energi sakit dan kotor selama penyembuhan, mandi air garam bahkan lebih penting lagi untuk menghilangkan sisa-sisa energi kotor lama dari aura Anda. Seorang Penyembuh Prana yang tidak mandi garam bisa tertular energi sakit dari pasiennya dan terkena penyakit itu sendiri. Situasi ekstrem ini sangat jarang terjadi, namun bisa terjadi jika instruksi sederhana tidak diikuti berulang kali.

Bagi seorang praktisi spiritual yang serius, mandi garam bahkan lebih penting. Hal ini disebabkan karena latihan spiritual mendatangkan sejumlah besar energi ilahi yang begitu murni dan kuat sehingga memerlukan wadah yang bersih untuk menopang diri mereka sendiri.

Mandi garam memurnikan aura tidak hanya secara eterik, tetapi juga pada semua tingkat yang lebih tinggi, membuat praktisi siap untuk latihan spiritual. Selama sindrom kundalini fisik, salah satu pengobatan utama adalah mandi garam yang tepat.

Ritual dengan air

Mandi garam tidak hanya membersihkan secara eterik, tetapi juga dapat membersihkan secara emosional, mental, dan spiritual.

Mandi garam sebenarnya adalah pemurnian dengan air. Wujud garam pada gaib dan air mengacu pada energi ilahi. Mandi garam sederhana dapat ditingkatkan lebih jauh lagi. Garamnya mengandung prana hijau keputihan yang membersihkan secara eterik. Ketika minyak lavender, yang mengandung banyak prana ungu, ditambahkan ke dalam garam, bunga violet membersihkan secara emosional dan mental. Jika Anda tidak memiliki minyak lavender, gunakan saja saat mandi untuk membersihkan diri. 

Anda dapat berdoa yang Anda inginkan. Doa untuk menurunkan energi ilahi dan dengan pengabdian menghasilkan energi ungu. Bersama mandi garam, doa, dan pengabdian memiliki efek yang sangat memurnikan tubuh. Ini hanyalah satu tingkat kebenaran. Masih banyak lagi tingkat kebenaran mandi garam yang ditingkatkan lebih lanjut untuk membuatnya lebih manjur.