Sang Pecinta

Oh Tuhan, Telah ku temukan Cinta!!!. Betapa menakjubkan, betapa hebat, betapa indahnya…Kuhaturkan puja-puji bagi gairah yang bangkit dan menghiasi alam semesta ini maupun segala yang ada di dalamnya!. (Rumi). 

Rumi lebih dikenal sebagai penyair sufi, sering menjadi sumber inspirasi bagi penyair sufi lainnya. Puisi-puisinya sering diciptakan secara spontan dikala ia menari, memutar-mutar tongkatnya dan kemudian para murid-murid mencatatnya.

Wahai para pencari mukjizat, kalian selalu menginginkan tanda-tanda. Lantas dimanakah tanda-tanda itu?. Engkau tidur menangis dan bangun pun tetap menangis. Engkau mengharap yang tak mungkin tiba. Sampai ia menggelapkan hari-harimu. Engkau berikan segalanya, bahkan pikiranmu. Engkau duduk di muka api, ingin jadi abu. Dan ketika kau jumpai sebilah pedang. Kau lemparkan dirimu ke arahnya. Terjebak ke dalam hal-hal gila tanpa harapan semacam ini…Engkau akan menemukan tanda. (Bagaimana Aku Bisa Tahu?, Rumi). 

Walaupun mereka telah “hanyut” oleh tarian dan nyanyian para Darwis, para penduduk desa dan murid-murid yang terpesona mengelilingi Rumi masih merasa ragu untuk melemparkan dirinya ke dalam keadaan yang sedemikian gila. Biarlah para kekasih gila, hina dan ganas. Mereka yang meributkan hal-hal semacam itu tidak sedang kasmaran. (Memberi Ruang Bagi Cinta, Rumi). 

Tetapi bagi pecinta yang tergila-gila, ia tidak merasa takut. Sekalipun Tuhan Yang Terkasih tidak tampak, jauh dan tidak tersentuh fisik, keadaan mabuk cinta kepada Tuhan membuat ia rela menyerahkan seluruh jiwanya pada bara api yang menyala atau pada sebilah pedang yang terhunus. Lewat malam hadir sebuah lagu lembut mendayu. Pada saat aku tak bisa mendengarnya. Aku akan tiada. (Suara-Suara Malam, Rumi)

Para penari Sema berputar-putar. Rok lebar yang dikenakan para penari berkibar indah, berputar-putar semakin cepat, semakin panjang seirama alunan musik pengiring. Bahwa semua proses kehidupan manusia adalah sebuah perputaran, begitulah makna dari Tarian Sema. Dari ada, lalu tiada. Dari duka, lalu bahagia. Butir-butir debu dalam cahaya. Itu tarian kita juga. Kita tidak menyimak yang ada di dalam untuk mendengar musik. Tak apa …Tarian ini terus berlanjut, dan dalam kebahagiaan sang surya. Tersembunyilah Tuhan Yang mengajarkan kepada kita bagaimana caranya menari. (Tarian, Rumi). 

Di tengah-tengah Tari Sema meluncur dari mulut Rumi bait-bait puisi bagai nyanyian suci memuji Tuhan. Bila tak kunyatakan keindahan-Mu dalam kata, Kusimpan kasih-Mu dalam dada. Bila kucium harum mawar tanpa cinta-Mu, Segera saja bagai duri bakarlah aku. Meskipun aku diam tenang bagai ikan,  Tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan. Kau yang telah menutup rapat bibirku, Tariklah misaiku ke dekat-Mu. Apakah maksud-Mu? Mana kutahu? Aku hanya tahu bahwa aku siap dalam iringan ini selalu. Kukunyah lagi mamahan kepedihan mengenangmu, Bagai unta memamah biak makanannya, Dan bagai unta yang geram mulutku berbusa. Meskipun aku tinggal tersembunyi dan tidak bicara, Di hadirat Kasih aku jelas dan nyata. Aku bagai benih di bawah tanah, Aku menanti tanda musim semi. Hingga tanpa nafasku sendiri aku dapat bernafas wangi, Dan tanpa kepalaku sendiri aku dapat membelai kepala lagi. (Pernyataan Cinta, Rumi)

Melalui puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik atau otak semata. Cinta adalah lautan tak bertepi. langit hanyalah serpihan buih belaka. Ketahuilah langit berputar karena gelombang Cinta. Andai tak ada Cinta, Dunia akan membeku. Cinta yang dimaksud adalah cinta Yang Terkasih kepada hambanya. Jika engkau bukan seorang pencinta, maka jangan pandang hidupmu adalah hidup. Sebab tanpa cinta, segala perbuatan tidak akan dihitung pada Hari Perhitungan nanti. Setiap waktu yang berlalu tanpa Cinta, akan menjelma menjadi wajah yang memalukan dihadapan-Nya. Burung-burung Kesadaran telah turun dari langit dan terikat pada bumi sepanjang dua atau tiga hari. Mereka merupakan bintang-bintang di langit, agama yang dikirim dari langit ke bumi. Demikian pentingnya "Penyatuan" dengan Allah dan betapa menderitanya  m "Keterpisahan" dengan-Nya. (Tanpa Cinta, Segalanya Tak Bernilai, Rumi)

Dalam puisinya Rumi juga mengajarkan bahwa hendaklah Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan hidup, tidak ada tujuan lainnya yang menyamai. Wahai angin, buatlah tarian ranting-ranting dalam zikir hari yang kau gerakkan dari Persatuan Lihatlah pepohonan ini!.  Semuanya gembira bagaikan sekumpulan kebahagiaan. Tetapi wahai bunga ungu, mengapakah engkau larut dalam kepedihan ? Sang lili berbisik pada kuncup, “Matamu yang menguncup akan segera mekar. Sebab engkau telah merasakan bagaimana Nikmatnya Kebaikan.” Di manapun, jalan untuk mencapai Kesucian Hati adalah melalui Kerendahan Hati. Hingga dia akan sampai pada jawaban “Ya” dalam pertanyaan, "Bukankah Aku ini Rabbmu ?” (Tanpa Cinta, Segalanya Tak Bernilai, Rumi)