Suluk Dewa Ruci


Pencarian Guru Sejati Karya Sunan Kalijaga 

Khazanah kepustakaan Jawa kaya dengan karangan-karangan tentang filsafat mistik yang lazim disebut suluk. Pada umumnya suluk disampaikan melalui kisah perumpamaan atau alegori, dan ditulis dalam bentuk puisi atau tembang macapat gaya Mataram, tetapi tidak jarang ditulis dalam bentuk gancaran atau prosa. Sebagai alegori, suluk-suluk itu kaya dengan ungkapan-ungkapan simbolik dan simbol atau image-image simbolik. Karena itu untuk memahaminya diperlukan metode penafsiran atau pemahaman yang sesuai.

Kisah Dewa Ruci adalah salah satu suluk yang populer di Jawa dan sering dipergelarkan sebagai lakon wayang kulit. Keragaman versinya menunjukkan luasnya penyebaran kisah ini, begitu pula dengan banyaknya naskah yang memuat teks kisah ini di berbagai museum dalam dan luar negeri. Sejak lama cukup banyak sarjana sastra Jawa telah menelitinya, berdasar pertimbangan bahwa suluk ini merupakan representasi terbaik dari wacana mistisisme Jawa. Di dalamnya filsafat hidup Jawa yang didasarkan pada bentuk-bentuk spiritualitas atau mistisisme yang sinkretik tergambar dengan jelasnya.

Kisah Dewa Ruci sarat dengan ajaran kebatinan masyarakat Jawa, yakni berisi pencarian jati diri seorang manusia. Resi Drona memerintahkan Bima untuk mencari air kehidupan (tirta pawitra) yang akan membuat Bima mencapai kesempurnaan hidup.

Perjalanan Bima mengalahkan para Raksasa untuk menemukan air pawitra, mengalahkan Naga, dan bertemu dengan Dewa Ruci sesungguhnya sarat dengan simbol-simbol tentang perjuangan manusia mengalahkan nafsu-nafsu yang dapat menghalanginya menuju kesempurnaan.

Kisah Bima mencari tirta pawitra (air kehidupan) dalam lakon wayang cerita Dewaruci secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus menjalani perjalanan batinnya sendiri guna menemukan identitas diri sejatinya. Pencarian sangkan paraning dumadi : asal dan tujuan hidup manusia Darimana asalku ? Untuk apa di dunia ini ? Kemana tujuanku ini ? Pertanyaan itu harus dijawab sendiri oleh manusia, oleh karenanya Bima melakukan perjalanan guna mendapatkan jawabannya. 

Jalan menuju Tuhan yang ditempuh oleh Bima disebutkan melalui empat tahap, yaitu: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa, dalam bahasa keislaman di kenal dengan syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Beberapa guru spiritual di Jawa menambahkan dengan mahabbah atau cinta kasih pada hasil akhir dari 4 tahap proses pencarian tersebut. 

Kemudian diriwayatkan Bima bertemu dengan Dewa Ruci, sosok Dewa yang mirip dengan dirinya namun hanya sebesar Ibu Jari. Sang Dewaruci (ruh suci) memerintahkan Bima agar masuk kedalam diri-Nya melalui lubang telinganNya sebelah Kanan.

Tanpa banyak tanya, Bima pun langsung mematuhi perintah sang guru tersebut ia memasuki tubuh sang dewa melalui telinga KananNya. Dewa Ruci mengatakan bahwa air kehidupan tidak ada di mana-mana, percuma mencari air kehidupan di segala tempat di dunia, sebab air kehidupan berada di dalam diri manusia itu sendiri.

Ada empat macam benda yang tampak oleh Bima, yaitu: Hitam, Merah, Kuning dan Putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci, "Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam Hatimu, yang memimpin dirimu".

Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat 4 (empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat suka maupun duka, hingga layak disebut “Saudara”. Masing-masing ditandai dengan simbol warna putih, merah, kuning dan hitam (Sedulur Papat). Posisi mereka di dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Atman(Pancer), membuat cahayanya membentuk warna “Pelangi”. 

Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk tinggal di hati , Di pusat hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.

Setelah warna yang empat lenyap, lantas muncul: Cahaya Tunggal 8 (Delapan) warna. Bima bertanya: “Apakah cahaya delapan warna ini merupakan hakekat sejati? 

Tampak seolah permata gemerlapan kadang seperti bayangan, mempesona kadang pancaran sinarnya bagaikan zamrud”. 

Dewa Ruci menjawab: “Inilah intipati kesatuan/Artinya segala hal yang ada di alam dunia ada pula dalam dirimu. Pun semua yang ada di alam dunia/Memiliki padanan dalam dirimu/Antara jagad besar/Dan jagad kecil tidak berbeda.

Seperti warna yang empat/Kepada dunia memberi hayat/ Jagad besar dan jagad kecil/ Setiap yang ada sama dalam keduanya/Jika rupa di alam dunia/Ini lenyap seisinya/Maka semua wujud akan tiada/Dan menyatu dalam wujud tunggal/Tiada lelaki atau wanita".

Bima bertanya kepada Dewa Ruci, apakah yang tampak itu merupakan dhat hakiki yang dicarinya selama ini? Dewa Ruci menjawab, bukan itu yang harus dicari. “Sesuatu” yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tampak kuntul nglayang (bekas burung terbang), gigi panglu (pinggir dari globe), wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu yang “tidak tergambarkan” atau “tidak dapat di sepertikan” yang dalam bahasa Jawa “Tan kena kinaya ngapa”. Ketika tiba diambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah menyelinap ke dalam Rasa Sejati.

Sangkan Paraning Dumadi

Tuhan adalah Sangkan Paraning Dumadi”, asal usul dan tujuan akhir makhluk. Leluhur kita menyebutnya “tan kena kinaya ngapa”, tak dapat disepertikan, Acintya. Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan peranan-Nya. Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua mahluk), Gusti Kang Murbeng Gesang (Penguasa kehidupan), Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar) dll yang dikenal dengan “Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti” artinya “Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebut-Nya dengan banyak nama”.

Perjalanan manusia menemukan Tuhannya digambarkan seperti perjalanan Bima, satria Pandawa mencari susuhing angin, sarangnya angin. Mencari TAPAKE KUNTUL NGLAYANG, jejaknya burung yang terbang, mencari galihing kangkung, intinya sayur kangkung yang kosong. Sebelum bertemu dengan Dewa Ruci, Bima dalam samudera kehidupan harus mengalahkan naga ganas keduniawian yang membelitnya dengan kuat dan erat. Kesungguhan hatinya, naga dapat dikalahkan dengan kuku pancanakha, dan Bima bertemu dengan Dewa Ruci, wujud kembarannya yang kecil. Dewa Ruci meminta Bima memasuki dirinya lewat telinganya. Pada awalnya Bima ragu-ragu, wujud dirinya besar sedang wujud Dewa Ruci kecil. Dewa Ruci mengatakan, besar mana antara diri Bima dengan samudera dan jagad raya, karena seluruh jagad raya ini bisa masuk ke dalam dirinya.

Leluhur kita menggambarkan wadag, raga ini sebagai warangka, sarung keris, sedang roh kita adalah curiga, kerisnya Manusia hidup di alam ini disebut curiga manjing warangka, keris di dalam sarungnya. Setelah manusia sadar atas ketidaksempurnaan duniawi ini dan dapat melepaskan dari belitan naga ganas duniawi dan yakin pada dirinya yang sejati, maka dia dapat memasuki dirinya yang sejati, seperti Bima yang memasuki Dewa Ruci. Di dalam diri Dewa Ruci ini ternyata sangat luas, alam pun berada pada dirinya. Leluhur kita menggambarkan peristiwa ini ibarat warangka manjing curiga, sarung keris masuk kedalam keris, kodok ngemuli lenge, katak menyelimuti liangnya, Manunggaling Kawula Gusti, bersatunya makhluk dengan Keberadaan. Selama ini manusia diibaratkan golek banyu apikulun warih (manusia mencari air sedang dirinya memikul air).

Rahayu🙏

Uninong Aning Unong

Jalaluddin Rumi berpendapat bahwa seluruh benda yang tergelar di jagat raya ini adalah manifestasi (tajalli) atau pengejawantahan Tuhan. Allah tidak mewujud, tapi meliputi seluruh wujud, begitu antara lain tertulis dalam "Fihi ma Fihi", salah satu kumpulan karya sastra sufistiknya.

Dengan maksud yang sama, orang Jawa mengatakan: "Gusti Allah ora maujud, nanging nglimputi sakehing wujud". Rumi juga mengatakan, Tuhan tidak dapat dibayangkan seperti apa. "Apa pun bayangan Anda tentang Tuhan, Ia berbeda dengan itu", begitu konsep awal kaum sufi.

Cangkriman (teka-teki) guyonan antara punakawan Petruk dengan cantrik (santri) Begawan Abiyasa. "Ana kanthi kang tansah kinanti-kanthi, nanging yen didumuk dudu" (Ada teman yang selalu (diajak) ikut serta, tetapi, jika diraba bukan).

"Apakah itu?" tanya cantrik setelah pusing berpikir tujuh keliling. Jawab Petruk entheng (ringan): "Bayangan (ayang-ayang). Memang betul, bayang-bayang bukanlah eksistensi yang sebenarnya apa yang membayang. Orang Jawa menyimpulkan: "Gusti Allah tan keno, kinoyo ngopo (Allah, tidak bisa direka-reka)". Tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Beyond intellect. Di luar jangkauan nalar.

Dalam istilah Ki Ageng Suryomentaram disebut sebagai “rasa; aku bukan kramadhangsa” atau “aku kang madeg pribadi” atau saya sebut sebagai Rahsa Sejati. Itulah paraning dumadi manusia, tak berada jauh di atas langit sana, tetapi ada dalam setiap pribadi kita masing-masing. Kesadaran ini dapat menjelaskan pula mengapa nenek moyang bangsa kita dulu jika berdoa tidak menengadah sambil menatap langit, melainkan cukup dengan telapak tangan memegang dada. 

Dalam maneges pun tersebutlah NIAT INGSUN, yang bermakna Ingsun ing sajroning aku, Aku ing sajroning Ingsun. 

Konsep KGPAA Mangkunegoro ke IV sebagai Roroning Atunggil, dwi tunggal, atau Manunggaling Kawula Gusti. 

Sebuah pelataran spiritual yang pernah pula digelar oleh Ki Ageng Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging) bersama Syeh Lemah Abang (Syekh Abdul Jalil) sebagai UNINONG ANING UNONG.

Mengurusi tiap tetes embun yang hadir sebelum kokok ayam jago.

Menyamar menjadi para peminta hanya untuk menyapaku.

Ada kalanya meniupkan angin untuk menggugurkan dedaunan di depan rumah.

Dan kadang, bisa aku temukan dalam senyuman mbok jamu di pasar itu.

Suluk Saloka Jiwa Ronggo Warsito

Suluk Saloka Jiwa Ranggawarsita - Islam dan Mistik Jawa

Alkisah, seorang dewa Hindu, Wisnu didorong oleh keinginannya yang besar untuk mencari titik temu antara ajaran Hindu dan Islam, rela menempuh perjalanan jauh, dengan mengarungi lautan dan daratan, untuk datang ke negeri Rum (Turki), salah satu pusat negeri Islam, yang kala itu dalam penguasaan Daulah Usmaniyah. Untuk mencapai maksud itu, Wisnu mengubah namanya menjadi Seh Suman. Dia pun menganut dua agama sekaligus, lahir tetap dewa Hindu namun batinnya telah menganut Islam.

Dan demikianlah, setelah menempuh perjalanan yang demikian jauh dan melelahkan, sampailah Seh Suman di Negeri Rum. Kebetulan pada masa itu Seh Suman bisa menghadiri musyawarah para wali itu bertujuan untuk mencocokkan wejangan enam mursyid (guru sufi):

1) Seh Sumah,

2) She Ngusman Najid,

3) Seh Suman sendiri,

4) Seh Bukti Jalal,

5) Seh Brahmana dan

6) Seh Takru Alam.

Demikianlah ikhtisar Suluk Saloka Jiwa karya pujangga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabehi Ranggawarsita, sebagaimana dirangkumkan oleh pakar masalah kejawen dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr. Simuh (1991:76). Menurut Simuh, kitab ini nampaknya diilhami oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membahas ilmu kasampuranan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat.

Dunia Penciptaan.

Sumber lain menyebut kitab ini sebagai Suluk Jiwa begitu saja. Misalnya, dalam disertasi Dr. Alwi Shihab di Universitas ‘Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma’asir yang kemudian diindonesiakan oleh Dr. Muhammad Nursamad menjadi Islam Sufistik : “Islam Pertama” dan pengaruhnya hingga kini di Indonesia.

Bahkan bukan saja penyebutan judulnya yang berbeda, namun nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Sehingga, Seh Suman oleh Alwi Shihab ditulisnya sebagai Sulaiman. Seh Ngusman Najib ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu alur cerita yang digambarkan oleh Alwi Shihab tidak berbeda dengan yang dipaparkan oleh Dr. Simuh.

Dari perbedaan penyebutan itu timbul beberapa spekulasi. Spekulasi pertama barangkali memang penyebutan Alwi Shihab kurang lengkap mengingat Alwi tampaknya tidak mengambil dari sumber langsung atau mungkin kekeliruan dalam penerjemahan. Namun, spekulasi yang lain bisa saja antara Suluk Saloka Jiwa dan Suluk Jiwa memang kitab yang berbeda atau turunan yang lain. Hal ini bisa saja terjadi karena kitab Jawa, yang penurunannya belum memakai metode cetak tapi tulisan tangan, suatu kitab sejenis antara turunan yang satu dengan turunan yang lainnya bisa mengalami perubahan karena ditulis dalam waktu dan kesempatan yang berbeda, bahkan bisa oleh penulis yang berbeda pula.

Namun antara apa yang diungkapan oleh Dr. Simuh dengan Dr. Alwi Shihab tidak ada perbedaan yang berarti. Keduanya menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya mensinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme). Bahkan, Dr. Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen. Menurut Menteri Luar Negeri RI pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, penjulukannya ini didasarkan pada kenyataan bahwa karya-karya Ranggawarsita menjadi rujukan utama untuk kebatinan Jawa.

Serat Suluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari masa manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sangkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.

Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah SWT itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah :

* al-nur yang kemudian terpancar darinya 4 unsur : tanah, api, udara, dan air.

* Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari 4 unsur: darah, daging, tulang dan tulang rusuk.

Api melahirkan 4 jenis jiwa/nafsu : aluamah (dlm ejaan Arab lawamah) yang memancarkan :

1) warna hitam;

2) amarah (ammarah) memancarkan warna merah;

3) supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan

4) mutmainah (muthma’inah) berwarna putih.

Yang di kalangan Kebatinan Jawa di kenal sebagai: Sedulur Papat Lima Pancer

Sapta Darma

 

Pada mulanya Hardjosapoero menerima ‘wahyu’ pada tanggal 27 Desember 1952. Pada hari kamis, 26 Desember 1952 atau sehari sebelum Hardjosapoero menerima wahyu, Hardjosapoero merasa gelisah. Hingga akhirnya mengantarkannya kepada temannya. Pada pukul 24.00, ia kembali ke rumahnya. Hardjosapoero mengambil tikar dan beralaskan lantai kemudian tidur-tiduran. Pada saat ia akan terlelap tidur, dengan “sekonyong-konyong”, ia digerakan oleh kekuatan supranatural untuk terus melakukan sujud. Sujud tersebut terus ia lakukan dengan melafalkan lafal yang sama hingga pukul 05.00 pagi.

Sapta Darma dan Praktek Sujud

Dalam melakukan sujud tersebut, ia dalam kondisi sangat sadar. Namun disisi lain, ia tidak mampu mengendalikan tubuhnya. Kekuatan tersebut terus membimbingnya untuk melakukan gerakan sujud tersebut. Gerakan sujud tersebut dinamakan wahyu sujud. Dalam melakukan sujud tersebut, Hardjosapoero duduk bersila dengan tangan bersidekap dan sujud hingga dahi menyentuh lantai. Wahyu sujud tersebut terus dilakukan dengan meneriakkan lafal dalam bahasa Jawa, yang berbunyi :

“Allah Hyang Maha Agung

Allah Hyang Maha Rahim

Allah Hyang Maha Adil”

Gerakan sujud yang ia lakukan tersebut hingga tiga kali namun dengan keadaan tetap duduk bersila dan tangan bersedekap. Dalam sujud keduanya, ia melafalkan lafal yang berbunyi :

“Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa”

Lafal tersebut ia ucapkan sebanyak tiga kali dalam sujud keduanya tersebut. Dan pada sujud ketiga, dengan posisi duduk kemudian sujud hingga dahi menyentuh lantai dan mengucapkan lafal:

“Kesalahane Hyang Maha Suci, Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuwasa”

Lafal tersebut juga ia ucapkan sebanyak tiga kali. Dalam keadaan bergetar dan ketakutan, ia kembali duduk dan mengulang gerakan sujud tersebut dengan lafal yang berbeda disetiap sujudnya. Kejadian ini terjadi pada Jum;at Wage pukul 01.00 WIB sampai 05.00 WIB. 

Lafal tersebut pada akhirnya dijadikan acuan bagi penganut Sapta Darma ketika melakukan ibadah sujudnya.

Lingkaran ditengah–tengah berwarna putih yang tertutup oleh gambar Semar menggambarkan: lubang pada ubun–ubun manusia (merupakan lubang yang ke–10 yang tertutup = pudak sinumpet). 

Warna putih yang ada pada gambar Semar itupun menggambarkan Nur Cahaya atau Nur Putih ialah hawa suci (Hyang Maha Suci) yang dapat berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa. 

Artinya : Menyatupadukan rasa di ubun–ubun hingga mewujudkan Nur Putih Yang dapat menghadap Hyang Maha Kuasa.

SUJUD

Warga Sapta Darma diwajibkan sujud dalam sehari semalam (24 jam) sedikit–dikitnya sekali. Lebih dari itu lebih baik, dengan pengertian bahwa yang penting bukan banyak kalinya ia melakukan sujud tetapi kesungguhan sujudnya. Bila sujud dilakukan di sanggar, dapat dilakukan bersama–sama dengan tuntunan dan dapat sewaktu–waktu. Namun lebih baik waktu ditentukan. 

Sikap duduk 

Duduk tegak menghadap ke timur (=timur/kawitan/asal), artinya di waktu sujud manusia harus menyadari/mengetahui asalnya. Bagi pria duduk bersila jajar kaki kanan di depan kaki kiri. Bagi wanita bersimpuh. Namun diperkenankan, mengambil sikap duduk seenaknya asal tidak meninggalkan kesusilaan sikap duduk dan mengganggu jalannya getaran rasa. Tangan bersedakep, yang kanan didepannya yang kiri.

Selanjutnya menentramkan badan, mata melihat ke depan ke satu titik yang terletak + satu meter di tanah tepat didepannya. Kepala dan punggung (tulang belakang) segaris lurus. Setelah merasa tenang dan tenteram, serta adanya getaran (hawa) dalam tubuh yang berjalan merambat dari bawah ke atas. Selanjutnya getaran rasa tersebut harus merambat ke atas sampai dikepala, karenanya lalu mata terpejam dengan sendirinya. Kemudian setelah ada tanda pada ujung lidah terasa dingin seperti kena angin (jawa = pating trecep) dan keluar air liurnya terus ditelan, lalu mengucap dalam batin : Allah Hyang Maha Agung Allah Hyang Maha Rohim Allah Hyang Maha Adil Bila kepala sudah terasa berat, tanda bahwa rasa telah berkumpul di kepala. Hal ini menjadikan badan tergoyang dengan sendirinya. 

Kemudian di mulai dengan merasakan jalannya air sari yang ada di tulang ekor (Jawa : brutu atau silit kodok). 

Jalannya air sari merambat halus sekali, naik seolah–olah mendorong tubuh membungkuk ke muka. Membungkuknya badan diikuti terus, (bukan karena kemauan tapi karena rasa) sampai dahi menyentuh tanah. 

Setelah dahi menyentuh tanah, dalam batin mengucap: “Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa” (sampai 3 kali).

Selesai mengucapkan, kepala diangkat perlahan–lahan, hingga badan dalam sikap duduk tegak lagi seperti semula. 

Mengulang lagi merasakan di tulang ekor seperti tersebut di atas, sehingga dahi menyentuh tanah lagi. 

Setelah dahi menyentuh tanah diucapkan di dalam batin: “Kesalahannya Hyang Maha Suci Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa” (sampai 3 kali). 

Dengan perlahan–lahan tegak kembali, lalu mengulang, merasakan lagi di tulang ekor seperti tersebut di atas sampai dahi menyentuh tanah yang ke–3 kalinya. 

Kemudian dalam batin diucapkan: “Hyang Maha Suci Bertobat Hyang Maha Kuasa” (sampai 3 kali). 

Akhirnya duduk tegak kembali, masih tetap dalam sikap tersebut hingga beberapa menit lagi : baru kemudian sujud selesai.

Apakah sebenarnya getaran–getaran serta air sari itu, dari mana asalnya dan dimana tempatnya? Getaran atau Sinar Cahaya Allah adalah cahaya yang digambarkan berwarna Hijau muda (=maya) yang ada di dalam seluruh pribadi manusia. 

Adapun air sari atau air putih/suci berasal dari sari bumi yang akhirnya menjadi bahan makanan yang di makan manusia. 

Sari–sari makanan tersebut mewujudkan air sari yang tempatnya di ekor (Jawa=Cetik/silit kodok/brutu). 

Bersatu padunya getaran sinar cahaya dengan getaran air sari yang merambat berjalan halus sekali di seluruh tubuh,menimbulkan daya kekuatan yang besar sekali. 

Daya kekuatan ini disebut: Atom Berjiwa yang ada pada pribadi manusia. 

Jadi kekuatan ini mempunyai arti dan guna yang besar sekali seperti antaranya: - Dapat memberantas kuman–kuman penyakit dalam tubuh. - Dapat menentramkan/menindas nafsu angkara. - Dapat mencerdaskan pikiran. - Dapat memiliki kawaskitan, seperti kawaskitan akan penglihatan, pendengaran, penciuman, tutur kata atau percakapan serta kewaskitaan rasa.

Bila telah memusat di ubun–ubun akan mewujudkan Nur Putih. Akhirnya naik menghadap Hyang Maha Kuasa untuk menerima perintah–perintah/petunjuk yang berupa isyarat/kias seperti berupa gegambaran, tulisan–tulisan (tulis tanpa papan = sastra jendra hayuningrat). 

Sekali lagi dikatakan, bahwa syarat untuk memiliki kemampuan itu semua, tiada lain adalah pengolahan/penyempurnaan budi pekerti yang menuju keluhuran pada sikap dan tindakan sehari–hari. 

Pengolahan/penyempurnaan pribadi itu, bagi para pemeluk yang sudah dapat/mampu, adalah berarti selalu mencetak atom berjiwa pada pribadinya. 

Atom tersebut digunakan untuk peri–kemanusiaan ialah menolong orang yang menderita sakit.

Cara mengobati (penyembuhan) di jalan Tuhan dilakukan dengan : 

Ening sambil memandang bagian badan si pasien (si penderita) yang sakit, setelah merasa bahwa seluruh rasa terkumpul di dalam mulut, dengan tanda lidah seperti terbelai angin (Jawa: pating trecep) dan ujung lidah terasa berat, maka dalam batin menyabut Nama Allah (Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil), kemudian menyabda : Sembuh (Waras). 

Selanjutnya si pasien/si sakit disuruh merasakan keadaan badannya. 

Bagi mereka yang sakitnya telah menahun (bertahun–tahun), atau sakit bagian dalamnya seperti antara lain: paru–paru, asma, ayan, lepra, nier (ginjal), tekanan darah tinggi, seyogyanya mereka itu dituntuni sujud yang sungguh–sungguh (emat).

Setelah melakukan sujud, lalu didalam batin supaya mengucapkan: “Minta geraknya Nur Rasa”, kemudian disuruh ening, rasa ditujukan pada tangan. Bila tangannya telah bergerak (bergetar) : lalu diminta mengucapkan “Mohon diobati hingga sembuh” gerak tangan itu diikuti kemana arahnya guna mengobati sakitnya, hingga badan menjadi ringan/enak. 

Manakala penyakit telah sembuh, bagi yang habis sakit boleh meneruskan sujudnya, boleh tidak.

Warga Sapta Darma harus dapat menggunakan kewaskitaan. Yaitu supaya dieningkan dengan mata terpejam, bagimana kias (isyarat) atau tanda–tanda si sakit. Artinya bila ada gegambaran atau tanda–tanda seperti : burung yang kekablak (menggerak–gerakan sayapnya) atau burung terbang, pohon kering/menjadi kering, orang yang duduk membelakangi, atau tercium bau jenazah berarti bahwa telah sampai waktunya bagi si sakit, atau sudah sampai pada garis yang ditentukan oleh Hyang Maha Kuasa. Dalam hal ini meskipun di sabda sembuh (waras), penyakit menjadi sembuh namun umur telah sampai pada janji untuk diambil kembali oleh Hyang Maha Kuasa. Jadi ajal tak dapat dielakkan lagi. 

Apabila pada waktu ening kita lihat tanda–tanda/gegambaran seperti : pohon beringin, bunga mawar yang kembang (mekar) ini adalah petunjuk bahwa : si sakit akan sembuh.

Bagi mereka yang sakit lumpuh, atau badannya mati sebelah cara mengobatinya seperti yang diterangkan diatas, dan simpul–simpul tali rasa pada bagian tubuh yang sakit di uyeg (di guyar–guyar) dengan jari tengah tangan kanan. Kemudian disuruh menggerakkan tangan dan kakinya, dan akhirnya, di sabda “sembuh” (waras)!

TALI RASA

Manusia memiliki saluran rasa yang jalannya tali temali merupakan saluran–saluran yang disebut TALI RASA. Di beberapa tempat tali rasa/saluran –saluran rasa tersebut mewujudkan simpul, yaitu merupakan sentral setempat. 

Di seluruh tubuh ada 20 sentral/simpul tali rasa, dan ditandai dengn abjad huruf jawa sebagai berikut : Ha – di dagu (di tengah–tengah) Na – di tenggok (pangkal leher bawah muka, tempat di atas pertemuan tulang selangka). Ca – di atas tonjolan pertemuan kedua tulang rusuk yang nomor 2 (di dada). Ra – di cekungan di bawah tulang stenum (tulang dada tempat pertemuan lubang rusuk kecer hati). Ka – di pusat perut (Jawa : puser). Da – di tengah–tengah tulang kemaluan. Ta – di ujung tulang ekor. Sa – di tulang belakang tepat di belakang pusat perut. Wa – di bawah ujung tulang belikat (Jawa: entong–entong). La – di pundak (tonjolan ujung tulang belakang yang di atas) Pa – di tengah ketiak. Dha – di siku. Ja – di tengah–tengah pergelangan tangan bagian depan. Ya – di tengah–tengah telapak tangan (pangkal jari tengah) Nya – di susu kanan kiri. (bagi wanita di pangkal lipatan buah dada). Ma – di tengah–tengah pangkal paha. Ga – di tengah–tengah belakang lutut (lipatan lutut). Ba – di atas tumit aschiles bagian dalam. Tha – di tengah–tengah telapak kaki. Nga – di pangkal hidung (di tengah–tengah antara kedua kening)

Bila Warga Sapta Darma menolong mengobati/ menyembuhkan orang yang mati urat syarafnya seperti lumpuh, mati separo, setelah ening maka simpul–simpul tali rasa bagian tubuh yang lumpuh, tadi di uyeg–uyeg (di guyar–guyar) sambil ening, kemudian di sabda sembuh (waras).

RACUT

CARANYA : Setelah melakukan sujud wajib (sujud dasar), maka sujudnya ditambah lagi dengan satu bungkukan, yang diakhiri dengan ucapan di dalam batin : “HYANG MAHA SUCI MENGHADAP HYANG MAHA KUWASA.” Kemudian lalu berbaring dalam SIKAP ULAH RASA,hanya saja kedua tangan dilipat (bersedakep), tapak tangan kanan ditumpangakan (diletakan) di atas telapak tangan kiri menghadap ke bawah, dan diletakan di atas “CO” (=tonjolan pertemuan kedua tulang rusuk nomor dua di dada di bawah pertemuan kedua tulang selangka). Segala kegiatan pikiran da angan–angan dan sebagainya dihentikan, Satria Utama (mata satu yang tak dapat rusak) digunakan untuk menyaksikan berangkatnya Hyang Maha Suci (Nur Putih), keluar dari ubun–ubun menghadap Hyang Maha Kuasa.

Racut dapat memungkinkan seseorang dapat memiliki kewaskitaan yang tinggi. 

Racut ini tidak membahayakan, karena hanya Hyang Maha Suci saja yang meninggalkan jasmani sementara. 

Sedang 11 saudara yang lain masih tetap menjaga dalam tubuh (badan).

Serat Pangracutan Sultan Agung Mataram

Naskah Serat Kakiyasaning Pangracutan ini mencakup berbagai serat. 

Ada dugaan bahwa naskah tersebut merupakan kumpulan beberapa nukilan dari berbagai naskah yang berisi ilmu kasampurnan Manunggaling Kawula Gusti. 

Isi naskah itu ialah : Uraian Serat Kakiyasaning Pangracutan, Serat Banyu Bening, Ilmu Kasampurnan, Sastra Jendra dan Sastra Ceta, Mardi Utami, Mardi Budi, Lampahing Agesang, Serat Sastra Harjendra, dan Bunga Rampai.

Serat Kekiyasanning Pangracutan adalah salah satu buah karya sastra Sultan Agung Raja Mataram antara (1613-1645). 

Serat Kekiyasaning Pangracutan ini juga menjadi sumber penulisan Serat Wirid Hidayat Jati yang dikarang oleh R.Ng Ronggowarsito karena ada beberapa bab yang terdapat pada Serat kekiyasanning Pangrautan terdapat pula pada Serat Wirid Hidayat Jati. 

Pada manuskrip huruf Jawa Serat kekiyasanning Pangracutan tersebut telah ditulis kembali pada tahun shaka 1857 / 1935 masehi.

Keluar masuknya nafas benar-benar dirasakan adanya energi hidup sembari mengucap mantra dalam hati/batin saja. 

Mengucap “Hu” pada saat nafas ditarik dari puser ke arah ubun-ubun. 

Lalu mengucap “Ya” pada saat keluarnya nafas yakni turunnya nafas dari ubun-ubun ke arah pusar. 

Naik turunnya nafas tadi melewati dada dan cethak. Nah, disebut sastra cetha karena pada saat mengucapkan kedua mantra hu – ya  dibarengi dengan pengendalian buka tutupnya cethak untuk menahan dan melepas nafas.

Setelah masuknya Islam ke nusantara, terjadi beberapa anasir seperti dalam wirid naqshabandiyah SSJ mantra hu – ya dirubah bunyi menjadi hu – allah. 

Namun kemudian terdapat mazab lain di luar mazabnya SSJ, dan melakukan modifikasi zikir Hu – allah menjadi haillah – haillallah, dikenal sebagai wirit tharekat Satariyah. 

Perbedaannya, dalam tradisi satariyah ini tidak dilakukan menahan nafas, melainkan hanya bernafas seperti biasanya.

Cara Melakukan Pangracutan:

Langkah 1 - Rilekskan Pikiran dan Tubuh Anda

Waktu terbaik untuk mencobanya adalah sekitar jam 5-7 pagi, setelah Anda mendapatkan kualitas tidur yang baik, tetapi masih cukup lelah untuk kembali tidur REM yang berkepanjangan.

Berbaring dalam posisi yang nyaman (telentang adalah pilihan yang populer).

Ambil napas perlahan dan terkontrol dan biarkan mata Anda menutup secara alami. Cobalah untuk tidak memikirkan apa pun - biarkan pikiran apa pun lewat pada waktunya sendiri.

Mulailah rutinitas meditasi Anda. Pemula mungkin merasa terbantu untuk mendengarkan suara blisscode di headphone, karena hal ini menghilangkan gangguan pikiran dan merangsang keadaan kesadaran yang lebih rileks.

Tujuan awalnya adalah untuk menjernihkan dan memfokuskan pikiran Anda saat tubuh Anda tertidur.

Lakukan rutinitas relaksasi sistematis Anda. Mulai dari jari kaki, kencangkan lalu kendurkan setiap kelompok otot di tubuh Anda. Bayangkan mereka tenggelam ke tempat tidur atau melayang dan menjadi tidak berbobot atau menghilang begitu saja. Akhiri dengan merilekskan wajah, rahang, dan leher Anda sepenuhnya di tempat Anda paling tegang.

Dalam 5-10 menit Anda akan merasa rileks dan melamun, dengan kesadaran tubuh Anda yang sangat berkurang. Anda mungkin mulai merasakan anggota badan mengambang atau lengan Anda berada pada posisi yang berbeda dari sebelumnya. Ini adalah kemajuan besar!

Langkah 2 - Geser Kesadaran Anda

Ketika Anda memiliki sedikit sensasi tubuh yang tersisa, alihkan kesadaran Anda dari tubuh Anda dan pandanglah ke ruang hitam di depan Anda.

Visualisasikan bintang dan planet yang jauh, atau ikuti hipnagogia alami Anda (lampu berputar dan pola geometris yang menghipnotis Anda untuk tidur). Saat Anda masuk lebih dalam, waspadai gambaran yang muncul di mata batin Anda, di luar bidang penglihatan Anda.

Ini dikenal sebagai "tertidur secara sadar". Anda menipu tubuh Anda dengan berpikir bahwa Anda telah tertidur. Otak dan tubuh Anda memiliki cara komunikasi yang tidak biasa dan Anda hanya mengeksploitasi celah yang tidak banyak diketahui dalam proses itu.

Jangan menggerakkan otot - tetap rileks dan lembut sepenuhnya. (Jika Anda merasa gatal, tidak apa-apa untuk menggaruknya, tetapi kemudian lacak kembali atau lanjutkan dari bagian terakhir yang Anda tinggalkan.)

Pada tahap ini Anda mungkin merasakan efek kelumpuhan tidur, seolah-olah ada beban berat yang bergerak di tubuh Anda. Biarkan itu datang, mengetahui bahwa Anda sekarang sangat dekat dengan pengalaman di luar tubuh. Namun, beberapa orang tidak pernah merasakan tahap ini sama sekali, karena kesadaran mereka sudah terfokus jauh di luar tubuh fisik.

Saat pikiran Anda mengembara lebih jauh ke dalam kegelapan, Anda mungkin dikejutkan oleh getaran keras atau suara dengung di dalam kepala Anda!

Ini hanyalah fase lain dalam proses keluar tubuh. Anggap ini sebagai kebisingan statis di radio antara dua frekuensi. Kemungkinan besar komunikasi dari otak menanyakan apakah Anda masih terjaga, jadi lawan insting Anda dan abaikan saja.

(Sebenarnya, beberapa kali pertama ini mungkin sangat sulit untuk diabaikan karena bisa memekakkan telinga. Tapi Anda akan segera terbiasa dan menyadari tidak ada hal buruk yang terjadi.)

Langkah 3 - Keluar dari Tubuh

Getaran segera berlalu dan begitu itu terjadi, Anda akan dibebaskan ke dunia impian Anda.

Anda mungkin mendapati bahwa lengan atau kaki Anda sudah bebas, sepenuhnya melayang di atas tubuh Anda di tempat tidur, atau Anda telah berguling di tempat tidur dan jatuh ke lantai!

Jangan khawatir - tubuh asli Anda sedang berbaring di tempat tidur dan tidur dengan nyenyak. Gerakan awal ini bisa sangat membingungkan tetapi tetap dengan itu atau Anda mungkin terbangun. Jika ternyata Anda masih "terjebak" di tubuh Anda, ingatlah bahwa Anda sekarang berada di dunia mimpi jernih, di mana pikiran Anda menjadi sangat kuat dan mengendalikan semua gerakan Anda. 

Gunakan salah satu metode berikut untuk meninggalkan tubuh "lumpuh" Anda:

Melayang keluar - visualisasikan sudut pandang Anda telah naik beberapa kaki ke udara

Ayunkan - visualisasikan ayunan yang membentuk busur panjang saat Anda mendapatkan momentum

Tenggelam - bayangkan tubuh impian Anda perlahan jatuh ke tempat tidur

Roll out - bayangkan diri Anda berputar ke samping dan berguling

Teleportasi - bayangkan lokasi lain dan libatkan indra Anda

Jika Anda belum melakukannya, secara alami Anda akan mendapatkan kembali penglihatan Anda ketika kesadaran Anda keluar dari tubuh.

* Metode meraga sukma versi rileksasi

Serat Pangracutan

Menutup Babahan Howo Songo

Arus kesadaran yang tersebar di sembilan gerbang tubuh dan indera, harus dikumpulkan di gerbang kesepuluh.

Gerbang kesepuluh adalah titik  berkumpulnya kesadaran. Di situlah letak jalan untuk kita kembali. Gerbang kesepuluh juga dikenal sebagai chakra keenam, mata ketiga, bindu, pusat yang terletak di antara dua alis. Ini adalah gerbang yang melaluinya kita meninggalkan gerbang organ-organ indera dan memasuki alam ilahi dan akhirnya menjadi mapan dalam jiwa. Kita melakukan perjalanan kembali dari Alam Kegelapan ke Alam Cahaya, dari Cahaya ke Suara Ilahi, dan dari Alam Suara ke Status Tanpa Suara. Ini disebut kembali ke Sumber.