The Way of Sufi

"Menjadi seorang Sufi berarti melepaskan diri dari ide-ide yang sudah mapan dan prasangka; dan tidak mencoba menghindari apa yang menjadi takdirmu."

Kaum Sufi tidak memiliki keyakinan atau ketidakpercayaan yang pasti. Cahaya Ilahi adalah satu-satunya penopang jiwa mereka, dan melalui cahaya ini mereka melihat jalan mereka dengan jelas, dan apa yang mereka lihat dalam cahaya ini mereka percayai, dan apa yang tidak mereka lihat tidak mereka percayai secara membabi buta. Namun mereka tidak mencampuri keyakinan atau ketidakpercayaan orang lain, dengan berpikir bahwa mungkin sebagian besar cahaya telah menyalakan hatinya, sehingga ia melihat dan percaya bahwa kaum Sufi tidak dapat melihat atau percaya. Atau, mungkin sebagian kecil cahaya telah membuat penglihatannya redup dan ia tidak dapat melihat dan percaya sebagaimana kaum Sufi percaya. Oleh karena itu kaum Sufi menyerahkan keyakinan dan ketidakpercayaan kepada tingkat evolusi setiap jiwa individu. Pekerjaan Mursyid adalah menyalakan api hati, dan menyalakan obor jiwa muridnya, dan membiarkan muridnya percaya dan tidak percaya sebagaimana ia memilihnya, sambil menempuh perjalanan melalui jalan evolusi. Namun pada akhirnya semua berpuncak pada satu keyakinan, Huma man am, yaitu, 'Aku adalah semua yang ada'; dan semua keyakinan lainnya adalah persiapan untuk keyakinan akhir ini, yang disebut Haqq al-Iman dalam terminologi Sufi.

Jika ada yang bertanya apa itu tasawuf, agama macam apa itu, jawabannya adalah tasawuf adalah agama hati, agama yang mengutamakan pencarian Tuhan di hati manusia.

Seorang Sufi adalah orang yang melakukan apa yang dilakukan orang lain – ketika diperlukan. Ia juga orang yang melakukan apa yang tidak dapat dilakukan orang lain – ketika hal itu diperintahkan.

Semua metode adalah metode, semua cara adalah cara. Dan jika Anda ingin mencapai tujuan akhir, Anda harus meninggalkan semua cara dan semua metode. Itulah satu-satunya cara untuk memasuki tujuan akhir. Sang pencinta harus melupakan semua tentang cinta, dan sang meditator harus melupakan semua tentang meditasi.

Ketika seseorang mulai melihat semua kebaikan sebagai kebaikan Tuhan, semua keindahan yang mengelilinginya sebagai keindahan ilahi, ia mulai menyembah Tuhan yang kasat mata, dan ketika hatinya terus-menerus mencintai dan mengagumi keindahan ilahi dalam semua yang dilihatnya, ia mulai melihat dalam semua yang kasat mata satu visi tunggal; semua menjadi baginya visi keindahan Tuhan. Kecintaannya pada keindahan meningkatkan kapasitasnya sedemikian rupa sehingga kebajikan-kebajikan besar seperti toleransi dan pengampunan muncul secara alami dari hatinya. Bahkan hal-hal yang kebanyakan orang pandang dengan hina, ia pandang dengan toleransi. Persaudaraan manusia tidak perlu ia pelajari, karena ia tidak melihat manusia, ia hanya melihat Tuhan. Dan ketika visi ini berkembang, visi itu menjadi visi ilahi yang mengisi setiap momen dalam hidupnya. Di alam ia melihat Tuhan, dalam manusia ia melihat gambar-Nya, dan dalam seni dan puisi ia melihat tarian Tuhan. Ombak laut membawa pesan dari atas kepadanya, dan goyangan dahan-dahan pohon ditiup angin baginya tampak seperti doa. Baginya ada kontak terus-menerus dengan Tuhannya. Ia tidak mengenal was-was, atau rasa takut apa pun. Kelahiran dan kematian baginya hanyalah perubahan yang tidak berarti dalam hidup. Hidup baginya adalah gambar bergerak yang ia cintai dan kagumi, namun ia terbebas dari semua itu. Di situ ada kegembiraan, banyak berbagai macam keberkahan.

Pencerahan yang Sebenarnya

 

Permata Berharga

Pencerahan pertama adalah Penyatuan dengan Tuhan (Manunggaling Kawulo Gusti) "Aku tidak ada yang ada hanyalah Tuhan."

Pencerahan kedua Pencerahan yang sebenarnya adalah Tuhan sirna (Aku tidak ada dan Tuhan pun tidak ada). Dalam versi yang sering saya ceritakan Tuhan itu adalah : Tuan. Sedang Tuhan yang sebenarnya adalah "The Unknown" Ada banyak orang yang berkhotbah tentang mengulang nama Tuhan dan meditasi, berpura-pura menjadi ahli yang sangat maju. Mereka mengklaim sebagai Master, sehingga mereka dapat mengumpulkan banyak penonton dan memamerkan keterampilan mereka. Tetapi pertunjukan bakat seperti itu bukanlah tanda pencapaian spiritual. 

Pencapaian spiritual menghindari publisitas. Latihan spiritual harus dilakukan dalam KEHENINGAN, jauh dari pandangan umum. Nama dan wujud Tuhan dipuja sebagai "permata berharga". Permata berharga tidak dibawa sebagai barang dagangan ke pasar. Hanya sayuran yang dipamerkan untuk dilihat semua orang.

Awal Kebangkitan Spritual


Awal jiwa terpilih 

Tidak semua orang itu bangkit dalam Kesadaran Spritual nya ...apa lagi di zaman sekarang ini, dominan berpikir logika lebih diutamakan. Biasanya seseorang yang telah bangkit kesadaran spiritualnya itu mengalami ujian kehidupan yang luar biasa. Proses kebangkitan Spritual itu adalah mengalami kehancuran sehancur -  hancurnya entah itu Kesehatan, Kehancuran keluarga, Kehancuran usaha, dll

Berawal dari fase ujian kehidupan yang begitu mendalam membuat diri kita merenung & berpikir lebih dalam lagi bahkan sampai berserah diri kepada Gusti Allah. Seorang Spritual tentu mengalami fase tersebut hingga dititik terendah bahkan sampai dibilang jauh dalam kehidupan normal. Ujian gemblengan kehidupan tersebut merupakan fase menguatkan dan pertumbuhan mental sehingga diberikan ujian-ujian yang begitu luar biasa agar kita introspeksi diri, memahami diri, berserah diri sepenuhnya kepada Gusti Allah.

Bangkitnya Kesadaran Spiritual tentu berawal melalui berbagai proses perubahan diri dengan mencari jati diri, tujuan hidup, ketenangan diri, mencari tahu tentang siapa diri, untuk apa diri hidup di dunia. 

Dari mencari jati diri kemudian mulai dituntun oleh Alam Semesta mencari dan menemukan keilmuan spiritual dengan belajar dari Guru, Kitab, Alam semesta. Sedikit demi sedikit mempraktekkan seperti Meditasi, Zikir, Muraqabah, dan lain-lain yang akhirnya :

1. Mulai memahami dan merasakan kenikmatan dalam pengolahan bathin yang menimbulkan kepekaan Insting, felling dan intuisi meningkat.

2. Mulai memahami tentang Energi kekuatan yang ada didalam diri

3. Setelah memahami tentang energi didalam diri dan titik pembersihan hingga terbukanya chakra dari chakra dasar sampai chakra mahkota, baru kemudian masuk perjalanan spiritual yang sesungguhnya ke dimensi yang lebih tinggi yaitu pencerahan dan terbukanya tabir rahasia dibalik  rahasia....

Jiwa terpilih proses ujiannya di mulai tahun  2019  namun pengalaman dan proses Kebangkitan Spritual seseorang tentu berbeda-beda. 

Sebagai orang yang terpilih Kuncinya, adalah Kenali diri mu sendiri dan percaya kepada kekuatan diri mu karena Semesta tidak mungkin salah pilih. 

Anda pantas dan mampu menyelesaikan itu.....


Pesan untuk calon Penempuh



Seorang pejalan sufi, menjelaskan tentang ajaran tasawuf untuk para calon penempuh jalan ini. 

Tanya : Sudah bertahun-tahun Anda hidup sebagai sufi, dan telah menulis sejumlah buku tentang tasawuf. Saya tahu secara teknis, tasawuf adalah cabang mistik Islam, namun Anda menggambarkannya sebagai jalan cinta universal. Apa artinya kamu menjadi seorang sufi?

Jawab : Anda mulai dengan pertanyaan yang sulit. Awalnya, orang Sufi dikenal sebagai "pembagi Cinta Sufi "pembagi jalan" atau "pelancong di jalur mistik." Kemudian, para mistikus, atau kekasih Tuhan ini, sebagaimana mereka juga disebut, dikenal sebagai Sufi. Sufi mengikuti jalan mistis dimana hubungan dengan Tühan adalah pencinta dan Kekasih. Sederhananya, Sufi adalah kekasih Tuhan.

Tanya : Banyak orang berpikir tentang Darwis Berputar (the whirling dervishes) saat Anda menyebutkan tasawuf. Tapi ini adalah tradisi kuno dengan beberapa cabang (Tharekat/ jalan)?

Jawab : Itu benar Saya termasuk dalam sebuah Tharekat yang dikenal sebagai "Sufi hening" yang dinamai Sufi ke-14, Bahaud-din Naqshbandy. Dia mengajarkan bahwa Tuhan diam dan paling mudah dicapai dalam diam. Kita disebut Sufi yang diam karena praktik spiritual kita dilakukan dalam diam. Kami berlatih meditasi diam dari hati, dan sebuah dzikir yang diam, yang terdiri dari pengulangan nama Tuhan. Jalan kita juga menggabungkan psikologi, Juga, kita tidak berpakaian berbeda dari orang lain. Kita bercampur di dunia dan memberikan kontribusi kita kepada masyarakat. Tidak ada yang tahu secara lahiriah jika Anda seorang Sufi yang diam atau tidak. Kami tak terlalu memperhatikan bentuk luarnya. Kami fokus pada apa yang terjadi di dalam diri manusia, berada di dalam hati pejalan.

Tanya : Apa praktik khusus untuk para "Sufi Hening"?

Jawab : Saya sebutkan dua praktik kami. Salah satunya adalah dzikir yang diam, yang merupakan pengulangan diam-diam dari nama Tuhan, "Allah" Saat kita mempraktikkan zikir kita tidak hanya mengulangi sepatah kata pun. Kami berusaha untuk mengingat Tuhan dengan setiap nafas. Kabir seorang mistikus berkata, "Nafas yang tidak mengulangi nama Tuhan adalah nafas yang terbuang sia-sia." Praktik kita yang lain adalah meditasi diam dari hati. Dalam meditasi ini kita menggunakan energi cinta untuk tetap memikirkannya. Kita membenamkan diri kita dalam perasaan cinta di dalam hati, sampai pikiran tenggelam dalam cinta. Tahap pertama meditasi ini disebut dhyana, keadaan tidak sadarkan diri yang bisa terasa seperti tidur, dimana pikiran individu digabungkan ke dalam pikiran universal. Kemudian seseorang terbangun pada bidang kesadaran yang berbeda : inilah keadaan samadhi. Tentu ini proses yang sangat bertahap yang memakan waktu bertahun-tahun. Langkah pertama adalah masih pikiran.

Tanya : Anda menyebutkan bahwa jalan para Sufi yang sunyi adalah jalan yang sangat psikologis. Dan di derel audio Anda memberikan ceramah yang menarik tentang "Tujuan Masalah". Dari sudut pandang Sufi, apa tujuan dari masalah kita?

Jawab : Sufi mengatakan bahwa kita ada di dunia ini untuk belajar sesuatu. Kita menarik masalah kita pada diri kita untuk belajar sesuatu dari mereka. Satu perbedaan, jika Anda suka, antara individu yang berada dalam perjalanan spiritual yang bertentangan dengan orang yang tidak, adalah kemauan untuk menghadapi masalah dan bertanya : Mengapa saya menarik Ini? Apa yang harus diajarkan padaku? Kebanyakan manusia hanya belajar melalui penderitaan. Jika Anda bersenang-senang, Anda menikmati sendiri. Tetapi jika Anda menderita, maka Anda terlibat dengan kehidupan dengan cara yang berbeda, sangat dalam dan akut. Ini bisa menjadi kesempatan untuk pergi ke bawah permukaan kehidupan Anda dan benar-benar belajar sesuatu tentang diri Anda. Jadi jika Anda menderita, dan berusaha untuk menemukan tujuan dari masalah Anda, Anda bukan lagi korban kemalangan. Anda menyadari bahwa Anda ada di sini untuk belajar. Dan sementara banyak orang melihat kehidupan mereka dalam hal kesuksesan atau kegagalan, kesuksesan atau kegagalan luar pada khususnya, mistikus, musafir, tahu bahwa banyak masalah yang lebih dalam dipertaruhkan daripada apa yang ada di permukaan. Dan seringkali kegagalan bisa mengajari kita lebih banyak tentang diri kita daripada kesuksesan.

Tanya : Inti praktik tasawuf adalah konsep "kerinduan hati." Tolong bicarakan peran yang kerinduan mainkan dalam kehidupan spiritual Sufi.

Jawab : Penyair sufi agung Rumi berkata, "Saya akan menangis kepada-Mu, dan menangis kepada-Mu, dan menangislah kepadaMu, sampai susu kebaikanMu mendidih." Rumi mengungkapkan apa yang paling berharga bagi Sufi. kerinduan akan Tuhan. Sufi tahu bahwa kerinduan inilah yang menawarkan rute yang paling langsung kepada Sang Kekasih, kepada Tuhan. 

Jauh di dalam hati ada rasa kesedihan yang prima, jeritan jiwa terpisah dari sumbernya. Rasa sakit ini berasal dari ingatan ketika kita bersama dengan Tuhan, apa yang oleh para sufi disebut "kemanisan yang ada sebelum madu atau lebah." Pada saat-saat Istimewa dalam hidup kita, kita bisa diberi rasa persatuan ini, sebuah rasa ilham ilahi. Hal ini sangat luar biasa manis dan memabukkan. Dan itu membangunkan pengetahuan laten dalam jiwa, untuk bersama-sama dengan Tuhan. Inilah yang memicu kerinduan, api di dalam hati yang mulai terbakar seperti sakit hati. Dalam urusan cinta apa pun, Anda merindukan yang Anda cintai. Anda menunggu teleponnya. Anda menunggu suratnya. Anda menunggu kekasih Anda pulang. Dalam hubungan asmara dengan Tuhan, perasaan itu sama, namun diperkuat. Anda rindu dan Anda menunggu. Anda menunggu saat dimana Kekasih tiba-tiba muncul di hati Anda, saat Anda merasakan sentuhan lembut Kekasih Anda.

Tanya : Apakah anda percaya bahwa semua orang memiliki kerinduan akan Tuhan?

Jawab : Mari saya mulai dengan mengatakan bahwa saya pikir kerinduan ini adalah rasa sakit terdalam dan sakit hati yang terdalam yang ada di dalam setiap manusia, karena ini adalah rasa sakit jiwa karena berpisah dari Tuhan. Dan meskipun mereka tidak mengetahuinya, mereka yang mencari keintiman dengan orang lain bereaksi terhadap kerinduan ini. Mereka berpikir bahwa manusia lain akan memenuhi mereka, akan menjawab kebutuhan ini. Tapi berapa banyak dari kita yang benar-benar dan pernah dipenuhi oleh orang lain? Mungkin untuk sementara, tapi tidak selamanya. Kami menginginkan sesuatu yang lebih memuaskan, lebih intim. Kami menginginkan Tuhan. Dan begitu juga semua orang. Tapi tidak semua orang berani masuk ke dalam jurang rasa sakit ini, kerinduan ini, yang bisa mengantarmu ke sana.

Tanya : Banyak tradisi spiritual tidak terlalu memusatkan perhatian pada rasa sakit dari apa yang hilang, tapi untuk mencapai rasa keutuhan. Dalam terang ini, bagaimana Anda bisa menjelaskan fokus Sufisme pada membuka rasa sakit karena kerinduan?

Jawab : Sekali lagi saya kembali ke inti tasawuf, yaitu tentang hubungan asmara dengan Tuhan, di mana kita ingin bersama Kekasih kita, ingin dipersatukan dengan Kekasih kita. Begitu sederhana, sangat utama. Ini adalah jalan bagi mereka yang tidak hanya mencari keutuhan, atau untuk integrasi, yang tidak peduli melarikan diri dari rasa sakit dan penderitaan, Ini adalah jalan bagi orang-orang yang hanya tertarik pada hubungan asmara dengan Kekasih ilahi mereka. Dan saat cinta membuka Anda, dan membawa Anda ke kedalaman hati Anda sendiri, itu bisa sangat menyakitkan.

Tanya : Tolong jelaskan konsep sufi tentang fana atau pemusnahan.

Jawab : Ini adalah salah satu landasan jalan Sufi, dan dienkapsulasi dalam pepatah yang dikaitkan dengan nabi Muhammad, "Mati sebelum kamu mati." Anda lihat, kebanyakan orang menunggu sampai mereka meninggal secara fisik untuk kembali ke rumah kepada Tuhan. Tapi Sufi, yang didorong oleh kerinduan jiwa, ingin mengalami kembali kepada Tuhan secara sadar, dalam kehidupan ini. Dan untuk ini Anda harus melampaui ego Anda. Inilah artinya mati sebelum kamu mati. Fana adalah tentang pemusnahan ego. Seorang sufi yang agung berkata, "Antara Engkau dan aku di sana ada 'Ini adalah Aku', Ya Tuhan, melalui rahmat-Mu angkatlah ini aku dari antara kita berdua. Apa yang harus "mati" adalah "aku" yang memisahkan kita dari Tühan. Inilah bagian yang menyakitkan dari jalan, karena mengisyaratkan bahwa kita menyerahkan ego kita dan belajar untuk memberikan diri kita sepenuhnya untuk dicintai. Fana adalah proses yang panjang dan lamban, butuh waktu bagi ego untuk menyerah, untuk minggir, untuk dimusnahkan.

Tanya : Bagaimana judul seri pembelajaran audio baru Anda, "Love is a Fire, and I is Wood" berhubungan dengan proses fana?

Jawab : Sufi mengatakan, "Dua orang tidak dapat hidup dalam satu hati. Entah ego atau Kekasih. Dan jika Kekasih adalah untuk tinggal di dalam hati Anda, Anda harus dibakar. Anda harus menjadi kayu yang dikonsumsi dalam api cinta ilahi.

Melalui meditasi, doa, dan aspirasi, para Sufi menyerah pada api cinta ilahi ini, mengetahui bahwa salah satu cara tercepat untuk mati dan mencapai Kekasih adalah melalui api cinta ini. Ini bukan hanya api metafisik. Anda bisa merasakannya terbakar di dalam diri Anda, kerinduan Anda akan Tuhan menjadi api yang menyakitkan yang membakar dalam hati Anda. Dan akhirnya, hanya cinta Tuhan yang tersisa. Kemudian Anda menyadari salah satu rahasia besar jalan mistik, bahwa kerinduan yang terbangun di dalam hati Anda sebenarnya adalah kerinduan Tuhan untuk Anda.

Rumi menyimpulkan hidupnya sebagai berikut: "Dan hasilnya tidak lebih dari tiga kata ini, 'Aku dibakar, dibakar, dan dibakar."

Tanya : Anda telah membicarakan rasa sakit yang terkait dengan kerinduan besar tasawuf ini. Kelihatannya paradoks bahwa si pejalan benar-benar menyambut rasa sakit ini, perasaan kerinduan ini.

Jawab : Salah satu sufi besar, Ibn 'Arabi, memiliki doanya, "Oh Tuhan, beri aku tidak dengan cinta tapi dengan keinginan untuk cinta" Sementara sufi lain berdoa, "Beri aku rasa sakit karena cinta, rasa sakit karena cinta, bukan kegembiraan cinta, rasa sakit karena cinta, dan aku akan membayar harga yang kamu minta." Sufi tahu bahwa rasa sakit adalah apa yang akan membawa kita pulang ke rumah. Rasa sakit cinta ini melewati pikiran; itu bisa melewati banyak masalah psikologis. Kerinduan murni akan Tuhan tercetak oleh Tuhan di dalam hati manusia. Dan karena kerinduan ini, api di dalam hati ini sangat berharga, Anda berdoa agar luka bakar lebih kuat.

Tanya : Bagaimana kerinduan ini membawa anda kembali kepada Tuhan? Membawa Anda ke persatuan ilahi?

Jawab : Rumi berkata, "Jangan cari air, carilah haus." Rasa haus Anda menarik Tühan karena kerinduan Anda akan Tuhan adalah kerinduan Allah bagi Anda. Ini adalah cara yang paling langsung kembali kepada Tuhan karena ini adalah daya tarik magnet jiwa bagi Sumber. Seperti nyengat yang tertarik pada api, kita ditarik kembali kepada Tuhan oleh api kerinduan. Semakin terang api, semakin kuat kerinduannya. Dan kerinduan ini memurnikan Anda. Ini membakar Anda sampai tidak ada yang tertinggal dalam hati Anda selain Tuhan.

Catatan : Llewellyn Vaughan-Lee adalah seorang mistikus sufi dan penerus silsilah Tharekat Sufi Naqsyabandiyah Mujaddiyah. Dia adalah dosen yang ekstensif dan penulis beberapa buku tentang tasawuf, mistisisme, karya mimpi, dan spiritualitas. 








Jalan Sufi Dan Kebenaran Tanpa Bentuk


Jalan Sufi bukanlah terjebak dalam keyakinan bahwa satu agama atau filsafat adalah kebenaran (ini hanyalah 'pengkondisian'), tetapi mengembangkan keterbukaan yang membebaskan Anda untuk dapat mendamaikan pihak dan gagasan yang berlawanan. 

Namun, kebanyakan orang merasa nyaman di dalam 'agama' karena agama mengurung mereka di dalam dinding pemikiran dan kebiasaan mereka sendiri, tidak pernah merasakan kebebasan yang ada di baliknya

Tulisan-tulisan sufi yang berasal dari abad ke-12 dan ke-13 berbicara tentang keadaan dan prosedur psikologis tertentu yang hanya 'ditemukan' di abad ke-20 oleh orang-orang seperti Freud dan Jung

Shah mencatat bahwa 'delapan ratus tahun sebelum Pavlov', Imam Ghazali menyoroti pertanyaan pengkondisian atau indoktrinasi, yang merupakan musuh spiritualitas sejati. Kebanyakan orang tidak mandiri karena mereka menerima kepercayaan yang diberikan kepada mereka tanpa banyak pertanyaan; dalam agama mereka tidak mencari pencerahan sejati, tetapi keamanan

Tingkat mengetahui

Penulis membahas studi tasawuf sebagai gerakan 'budaya' atau 'religius', namun berpendapat bahwa mungkin untuk terlibat dalam penelitian akademis dan tetap tidak menghasilkan apa-apa yang berarti dari upaya tersebut. Dia mengutip guru Sufi Saadi dari Shiraz: "Orang terpelajar yang hanya berbicara tidak akan pernah selalu melalui cerita, legenda, teka-teki dan lelucon yg bertujuan untuk mengejutkan pikiran menjadi realisasi kebijaksanaan yang tiba-tiba.

Mistikus besar dan penyair Rumi mengatakan bahwa puisi-puisinya begitu banyak sampah dibandingkan dengan pengembangan diri individu yang sebenarnya. Apresiasi akademik seni, sastra dan agama semua sangat baik, tapi ini hanya bisa menjadi bantuan untuk tugas yang lebih besar mencapai kesufian. 

Ibnu Arabi memberi tahu para pengikutnya bahwa ada tiga bentuk pengetahuan : 

1. Intelektual/kumpulan fakta, 

2. Pengetahuan tentang keadaan/memiliki perasaan spiritual, 

3. Pengetahuan tentang Realitas sejati yang mendasari segala sesuatu. 

Ketiga ini Ibnu Arabi menulis:

“Tentang ini tidak ada bukti akademis di dunia; karena itu tersembunyi,tersembunyi dan tersembunyi." 

Shah menyertakan kutipan pendek dan sederhana dari seorang Ibnu El-Jalali yang meringkas sifat di luar agama, di luar akademik dari kebijaksanaan ini : "Sufisme adalah kebenaran tanpa bentuk."

Jalan tasawuf

Saat ini ada banyak organisasi sufi yang ada di dalam Islam, tetapi ajaran Sufi selalu meremehkan pentingnya struktur formal, termasuk agama yang terorganisir, alih-alih menempatkan perkembangan individu di atas segalanya. Penekanan pada kebenaran sebelum bentuk, pada pribadi di atas kelembagaan, yang telah memungkinkan ide-ide sufi berulang kali muncul sepanjang sejarah.

Sufisme mengakui bahwa orang memiliki kapasitas berbeda untuk memahami pembelajaran esoterik dan mistik, dan tulisan-tulisannya biasanya memiliki beberapa lapisan sehingga pembaca yang berbeda akan belajar pada tingkat yang sesuai dengan mereka.

Banyak kisah sufi mencoba menunjukkan bahwa satu-satunya kekayaan sejati yang dimiliki seseorang adalah pengetahuan dan kebijaksanaannya; yang lainnya fana. 

Murid Sufi tidak ingin terikat dengan dogma, tetapi berusaha membuka mata mereka terhadap kebenaran dalam bentuk apa pun yang muncul.

Tasawuf mencoba menunjukkan kepada kita bahwa apa yang kita anggap penting mungkin hanya depannya saja, yang dilihat dari tingkat pemikiran lain, dasar-dasar kehidupan Anda dapat dengan mudah tersapu. Bagi sebagian orang, hal ini membuat gagasan Sufi berbahaya dan tidak ortodoks. 

Namun cita-cita Sufi adalah 'Insan Kamil' orang yang 'sempurna' yang telah melihat inti kebenaran, dan dari sudut pandang ini mampu melihat kesia-siaan dan visi mayoritas yang membutakan.

Bahkan orang yang mencoba-coba tulisan sufi, meskipun kelihatannya tidak jelas dan sulit dipahami, akan menemukan perbendaharaan kebijaksanaan manusia yang kembali ke kabut waktu. Paling tidak, mengikuti jalan Sufi mengurangi kemungkinan kita berjalan sambil tidur dalam hidup.

“ Jauh di dalam laut adalah kekayaan yang tak tertandingi. Tetapi jika Anda mencari keselamatan, itu ada di pantai


Hanya Napas

Bukan Kristen, Yahudi, atau Muslim, bukan Hindu, Buddha, Sufi, atau Zen. Bukan agama atau sistem budaya apa pun.

Aku bukan dari Timur atau Barat, bukan dari lautan atau dari atas tanah, bukan alam atau makhluk halus, bukan terbuat dari unsur-unsur apa pun.

Saya tidak ada, bukan entitas di dunia ini atau dunia berikutnya,  tidak berasal dari Adam atau Hawa atau kisah asal usul apa pun.

Tempatku hampa, jejak dari kehampaan. Tak berwujud, tak berwujud. Tak berwujud, tak berwujud.

Aku milik yang terkasih, telah melihat dua dunia sebagai satu dan yang satu itu memanggil dan mengetahui, pertama, terakhir, luar, dalam, hanya manusia yang bernapas itu.

- Rumi

Jika Anda bertanya kepada seorang Sufi tentang Tuhan, ia akan tertawa, atau ia akan menyanyikan lagu yang tidak ada hubungannya dengan Tuhan, atau ia akan menceritakan kisah yang sama sekali tidak berhubungan dengan pertanyaan tersebut. Ia hanya berkata, "Jangan bodoh. Mari kita bersikap praktis." Anda bertanya tentang Tuhan dan ia akan berbicara tentang doa, bukan tentang Tuhan. 

Seorang Sufi sejati akan menghindari topik tentang Tuhan. Ia akan berbicara tentang doa; doa itu praktis. Anda bertanya tentang surga dan ia akan berbicara tentang kesengsaraan Anda dan cara melepaskannya -- itulah kepraktisan. Karena surga tidak berada di tempat lain, ketika Anda telah melepaskan cara hidup Anda yang menyedihkan, Anda berada di surga, atau lebih tepatnya, Anda ADALAH surga.


Meditasi Jalan Sufi

 

Muraqabah adalah sama dengan meditasi tapi kebanyakan orang telah mendengar meditasi, namun sangat sedikit orang yang benar-benar mengalaminya dalam arti yang sebenarnya. Meditasi adalah pengalaman hidup; itu adalah keadaan berada di luar bidang pemikiran. Ketika keadaan ini diketahui maka tidak ada kata-kata yang diperlukan. Ketika orang merujuk pada meditasi, mereka biasanya merujuk pada berbagai teknik meditasi yang pada akhirnya dapat mengarahkan seseorang ke keadaan meditasi. Meditasi adalah proses pelatihan pikiran dan mengakses lapisan pikiran yang lebih dalam. Apa itu pikiran? Bertolak belakang dengan apa yang dipikirkan pikiran bukanlah entitas yang terkandung di dalam otak. Otak lebih seperti penerima informasi daripada sumbernya. Para sufi akan berbicara dalam bentuk pikiran-hati dan melampaui wawasan ini ke dalam pikiran yang tak terbatas. Tujuan meditasi adalah untuk menemukan dan menjalani kehidupan batin. Esensi dari itu adalah untuk mengembangkan kesadaran akan berbagai bidang pikiran. Tanpa kesadaran, keadaan meditasi tidak mungkin.

Konsentrasi adalah awal dari meditasi. Para sufi menggunakan banyak metode konsentrasi untuk mengolah hati dan pikiran. Para sufi selalu memiliki musik sebagai bagian dari meditasi. Musik mungkin adalah salah satu misteri terbesar di dunia. Seluruh kenyataan yang diwujudkan terbuat dari getaran dan getaran musik dapat membebaskan jiwa dan melepaskan semua beban yang dapat menjaganya tetap terikat. Musik segera menyentuh jiwa dan oleh para Sufi dipandang sebagai makanan bagi jiwa. Musik dikatakan sebagai cara tercepat dan paling langsung untuk membebaskan kesadaran. Ketika seseorang menggabungkan suara dengan Dance Spiritual, efeknya dapat sangat diperkuat dan metode ini adalah bagian dari aliran batin tasawuf kami. Bagi kami, kesadaran dan perkembangan napas adalah salah satu praktik utama meditasi. Pada dasarnya perkembangan spiritual identik dengan perkembangan napas.

Dalam Tarian Spiritual dan Meditasi Sufi kami menumbuhkan kesadaran baik dalam keheningan maupun dalam suara. Kami memanfaatkan metode latihan duduk tradisional serta yang memanfaatkan gerakan dalam tarian dan berjalan. Praktek individu dan praktik kelompok dieksplorasi. Suasana pribadi dan suasana kelompok ditingkatkan dan dikembangkan melalui praktik-praktik ini. Dengan latihan tidak ada keraguan pertumbuhan bertahap dalam kedamaian batin, wawasan, intuisi dan penyempurnaan keberadaan. Bagi banyak orang berusaha menenangkan pikiran mungkin merupakan tugas yang mustahil. Melampaui ego dengan proses pemikirannya yang liar dan kondisi emosi yang tidak terkendali sering membutuhkan apa yang bisa disebut metode pintu belakang. Dengan belajar memberi perhatian penuh pada praktik yang dinikmati seseorang, yang membangkitkan semangat, ini dapat memiliki efek melewati pikiran yang berpikir. 

Dengan melakukan hal ini dibutuhkan seseorang ke tingkat kesadaran yang lebih dalam dengan sedikit usaha dan seringkali lebih efektif. Meski begitu butuh latihan dan bimbingan dari orang yang telah mengembangkan kapasitas seperti itu. Meditasi pada akhirnya adalah cara mengalami semua kehidupan, dalam dan luar, dalam kepenuhan setiap momen saat ini.

Meditasi tidak hanya jauh lebih penting daripada belajar, itu adalah studi yang benar. Ketika seseorang benar-benar merilekskan tubuh dan pikiran, dan menjadi reseptif kepada Tuhan, maka Suara Tuhan akan berbicara kepada seseorang dalam bahasa jiwa. Inilah tasawuf sejati yang tidak pernah bisa dijelaskan, namun jelas dapat dipahami.

Tasawuf Jalan Para Sufi

Tasawuf dikenal sebagai “Jalan Hati, Jalan Suci, Jalan Mistik Islam”. Itu juga disebut Sekolah Pengetahuan Diri atau Ngaji Diri. Sufisme adalah cara untuk menghilangkan gravitasi dari diri yang lebih rendah (yang membebani roh) dan naik melalui metode dan praktik ke keadaan di mana "Visi Tuhan" disajikan. 

Ini adalah seni menemukan keabadian dalam diri kita sendiri. Jalan Sufi membawa pencari ke Dzat Ilahi, tujuan akhir adalah untuk larut dalam Kebenaran Mutlak  Tuhan. Jalan menuju Tuhan sama banyaknya dengan nafas manusia, dan setiap individu memiliki jalannya sendiri-sendiri. 

Sufisme menekankan perlunya menembus tabir keberadaan selama di bumi, karena “Siapa pun yang buta di dunia ini akan buta di akhirat dan semakin tersesat.”Berasal dari mistisisme Islam, alat terbesar tasawuf adalah Al-Qur'an ("The Instrument of Discernment") yang dikenal sebagai "Firman Tuhan yang Tidak Diciptakan." Sufi berbicara tentang "berusaha menenggelamkan diri" dalam ayat-ayatnya. Mereka ingin minum sebanyak yang bisa mereka tahan, karena mereka menyadari kekosongan internal mereka dan rasa sakit untuk mengisi Roh mereka daripada Pikiran mereka. Sufi terus berusaha untuk menghayati Quran eksplisit, mengakui bahwa Tuhan ada di mana-mana. “Kami (Tuhan) lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya.” Bagi para Sufi, Tuhan adalah segala sesuatu yang "Keagungan" dan "Indah". Dengan mewujudkan dua kualitas ilahi ini, para Sufi hidup di Surga, di bumi. Bagi mereka, dunia fisik hanyalah proyeksi dari dunia surgawi.

Apa itu tasawuf ? Kenikmatan indera adalah bayangan pola dasar surgawi yang ingin disampaikan oleh Tuhan. Bagi para sufi, Anugerah yang muncul dari melihat pemandangan yang indah adalah Tuhan. Tuhan terus-menerus berada di dalam dan di dalam kita, begitu banyak di dalam dan di luar, sehingga kita tidak mengenali-Nya tetapi berbalik mencari.“Dia tersembunyi dalam manifestasi luarnya sendiri di mana Dia muncul sebagai selubung demi selubung yang dibuat untuk menutupi kemuliaan-Nya.” Saat kita semua hidup dan menghirup udara yang sama, Ibu Pertiwi menyatukan kita semua dan meneriakkan semua rahasia di antara kita begitu keras sehingga kita tidak mendengarnya! 

Sufi adalah jalan mistik. Untuk masuk ke dalam tarekat sufi, individu harus "dihantui oleh pemikiran Tuhan" dan memiliki "pernyataan tentang keadaan yang lebih tinggi." Tujuan dari awal tidak kurang dari kesucian; Sufi berusaha untuk Kesempurnaan. Dari Rukun Islam yang Lima (Syahadat, Sholat, Zakat, Puasa, dan Haji ke Mekah), Sufi hanya mengamalkan Rukun Pertama, yang dapat disimpulkan sebagai, “Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya.” 

Para Sufi lebih mementingkan ketulusan pengabdian yang luwes, dibandingkan dengan perhatian Islam yang kaku dengan doa ritual. Sufi terbungkus dalam perjuangan terus-menerus berjuang tanpa henti dalam mengejar Pengetahuan Penuh tentang Ke ILLAHI an diatas segalanya, tujuan Sufi adalah untuk kehilangan rasa diri mereka. Individualitas, kata para sufi, adalah jumlah dari segala sesuatu yang pernah dipelajari oleh seseorang. 

Betapapun bangganya kita, tasawuf memohon agar kita melepaskan diri dari tipu muslihat ini. Sufi berkata, "lepaskan dirimu untuk menjadi bebas." Para ahli telah mencapai Fana, keadaan “kematian-diri”, di mana Sufi telah benar-benar kehilangan “dirinya” dan mencapai stasiun spiritual “kedai kehancuran.”Sufisme adalah “Kewaspadaan Hati.” Sebagaimana jantung tubuh menerima Kehidupan dari Keilahian yang membanjiri tubuh dengan Kehidupan, demikian juga itu merupakan titik fokus konsentrasi semua kekuatan jiwa dalam aspirasinya menuju Yang Tak Terbatas. 

Bagi Sufi, Hati adalah Akal dan Roh. Ini adalah Akal dalam istilah Latin intelektus , yaitu, "kemampuan yang merasakan yang transenden." Apa itu tasawuf? menggambarkan The Heart. Sebagai, "pusat dan puncak umat manusia, itu adalah langsung dari visi spiritual (atau intelektual)." Kita melihat baik-baik dengan mata kita, Hati kitalah yang menjadi buta. Penekannya adalah pada berpikir dengan Hati daripada pikiran. Syekh `Al 'al Jamal berkata, “Rilekskan pikiran dan belajar berenang.” Pikiran adalah jebakan satu dimensi, hanya dengan melepaskan jiwa dapat mengalami intuisi.

Sufisme sangat tertutup. Ada makna ganda dalam tulisan mereka yang melampaui terjemahan puitis biasa. Seorang pemula dapat menghargai bahasa tasawuf karena keindahan yang dimilikinya, tetapi orang yang mahirlah yang mengenali makna terdalamnya. Misalnya, ketika seorang Sufi mengacu pada "Cinta", kita akan melihatnya secara langsung dan menjelaskan perasaan asmara dan kemudian menerapkannya pada perasaan Sufi terhadap Tuhan. Tetapi apa yang digambarkan oleh Sufi adalah keadaan tidak berwujud yang memiliki Tuhan sepenuhnya di dalam. Sufi bahkan tidak mencoba menjelaskan kepada orang luar. Buket Cinta tidak cocok untuk semua orang. "Sufi adalah orang-orang yang menjalani kehidupan yang penuh rasa ingin tahu di bumi – di sini, tetapi tidak lagi benar-benar. Mereka telah menemukan jawaban dengan tenang, bahkan ketika seluruh dunia berteriak.

Meditasi Hening


Karena semua orang yang mencoba mengajarkan meditasi, kata mereka, kendalikan pikiran Anda, pikiran Anda harus benar-benar hening. Dan Anda mencoba mengendalikannya, dan terus-menerus bertarung dengannya dan menghabiskan empat puluh tahun mengendalikannya, yang benar-benar konyol, karena anak sekolah mana pun dapat berkonsentrasi, mengendalikan. Kami tidak mengatakan itu sama sekali, kami mengatakan, sebaliknya, pikiran yang mengamati - tolong dengarkan ini, yang mengamati - tidak menganalisis, tidak mencari pengalaman, hanya mengamati, harus bebas dari segala kebisingan. Dan karena itu pikiran menjadi benar-benar hening. Jika saya ingin mendengarkan Anda, saya harus mendengarkan Anda, tidak menerjemahkan apa yang Anda katakan atau menafsirkan apa yang Anda katakan sesuai dengan diri saya sendiri, atau untuk mengutuk Anda atau untuk menghakimi Anda, harus mendengarkan.

Jadi tindakan mendengarkan itu sendiri adalah perhatian, yang artinya, tidak berlatih sama sekali. Jika Anda mempraktikkannya, Anda sudah menjadi lalai. Apakah Anda mengikuti semua ini? Jadi, ketika Anda penuh perhatian dan pikiran Anda mengembara, yang menunjukkan bahwa ia lalai, biarkan ia mengembara dan ketahuilah bahwa itu lalai, dan kesadaran akan kurangnya perhatian itu adalah atensi. Jangan berkelahi dengan kurangnya perhatian, jangan mencoba dan berkata, 'Saya harus penuh perhatian' - itu kekanak-kanakan. Ketahuilah bahwa Anda lalai, waspadalah, tanpa pilihan, bahwa Anda lalai. Apa itu? Tetapi saat dalam ketidakpedulian itu ada tindakan, waspadalah terhadap tindakan itu.

Keheningan pikiran adalah keindahan itu sendiri. Untuk mendengarkan burung, suara manusia, politisi, pendeta, semua kebisingan propaganda yang berlangsung, mendengarkan sepenuhnya diam-diam. Dan kemudian Anda akan mendengar lebih banyak lagi, Anda akan melihat lebih banyak lagi.

Meditasi :

1.Si pengamat adalah yang di amati

2.Bukan konsentrasi tapi Mengamati

3.Mati dan Lahir kembali Baru setiap saat

Belajar Tasawuf



Fana adalah ketiadaan dan kehancuran. Dan lawan dari fana adalah baqa, abadi, dan tetap ada. Seperti Tuhan termasuk kategori abadi dan baqa, sementara selain-Nya atau seluruh makhluk digolongkan ke dalam ketiadaaan, kehancuran, dan fana. Sedangkan fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak memandang, memperhatikan, dan menyaksikan keberadaannya sendiri.Yang pasti hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, namun lebih bermakna bahwa seseorang yang hadir di sisi Tuhan sama sekali tidak melihat eksistensi dirinya sendiri dan dia meniadakan segala sesuatu selain-Nya di dalam hatinya.

Maqâm Fana dalam Tasawuf
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitual-fana’‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.
Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala penderitaan, tazkiyah, dan pensucian diri, serta segala kesulitan. Oleh karena itu, pada umumnya suatu perubahan akan bersifat tetap, abadi, dan tidak mudah sirna apabila dilalui dan dicapai dengan susah payah dan kerja keras.
Pada maqâm fana, manusia di hadapan Tuhan tidak menyaksikan diri sendirinya, penghambaannya, keinginan-keinginannya, harapan-harapannya, dan dunia sekelilingnya.
 
Manusia hanya memandang dan melihat jamaliyah dan jalaliyah Tuhan. Apa saja yang disaksikan oleh para wali Tuhan adalah Yang Haq, apakah melalui perantara atau dengan perantara.
Bagi para pesuluk dan pencari makrifat terkadang perantara itu adalah nama-nama dan sifat-sifat Tuhan,
akan tetapi hijab dan perantara cahaya ini pun akan tersingkap,
 
"Ya Tuhanku anugerahkan padaku kesempurnaan penyaksian kepada-Mu… sedemikian sehingga pandangan hati merobek hijab-hijab cahaya."
 
Inilah puncak dan akhir derajat fana yang setelah itu manusia berada pada kondisi melupakan segala sesuatu kecuali Yang Haq dan "menyirnakan" segala sesuatu secara sempurna selain-Nya.
 
Di sinilah dia mendengar dengan pendengaran Tuhan, melihat dengan pandangan Tuhan, dan berbicara dengan lisan Tuhan. Penyingkapan hakikat zat Tuhan, karena hakikat zat-Nya hanya diketahui oleh-Nya dan tidak ada satupun makhluk yang dapat menyaksikan hakikat zat-Nya.

Penjelasan Detail :

Secara leksikal fana bermakna ketiadaan dan kehancuran. Lawan dari fana adalah baqa yang berarti abadi, tetap, dan eksis. Kata ini dipergunakan dalam al-Quran, walaupun sebagian dari derivatnya yang diaplikasikan, seperti:
"Segala sesuatu akan hancur dan yang tinggal wajah Tuhanmu," Tuhan dalam ayat ini meletakkan kata "fanin" (hancur) berhadapan dengan kata "yabqa" (yang tetap, yang tinggal, dan abadi), yang bermakna bahwa hanya Tuhanlah yang selamanya ada dan baqa, sementara segala sesuatu selain-Nya adalah hancur dan sirna.
Fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak menyaksikan, memandang, melihat, dan mendapatkan dirinya sendiri.
 
Namun hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, melainkan manusia tidak menyaksikan dirinya sendiri di hadapan Tuhan dan hanya Dia yang dipandang. 
Istilah fana’ memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat diringkaskan sebagai berikut :

a. Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalui pengendalian nafsu dan keinginan.

b. Abstraksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek persepsi,pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana kemudian memusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenungi sifat-sifat-Nya.

c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran.
Tingkat fana yang tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentang fana itu sendiri juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal “kefanaan dari fana”atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana’ al-fana’)
tahap terakhir dari fana’ adalah lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa, yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan
Bahwa dalam faham fana ini, materi manusianya tetap ada dan sama sekali tidak hilang atau hancur, yang hilang hanya kesadaran akan dirinya sebagai manusia. 
Ia tidak merasakan lagi akan eksistensi jasad kasarnya..Yakni, “Fana, sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk ke dalam baqa, kesinambungan wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang kelihatan pribadi, hidup bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari kematian (kehancuran) ini, menandakan tercapainya baqa, atau persatuan dengan kehidupan Ilahi”
Definisi Fana dalam Perspektif Para Arif
Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni, menggambarkan fana’ sebagai “sirnanya daya tangkap hati terhadap yang bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga tidak ada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan”
 
Abu Said Harraz mendefinisikan fana sebagai berikut, "Fana adalah fana nya seorang hamba dari memandang penghambaan nya, dan baqa adalah baqa nya seorang hamba dengan penyaksian Ilahi. Qusyairi menyatakan, "Setiap kali Pemiliki Hakikat menyelimuti dirinya maka dia tidak lagi menyaksikan segala sesuatu selain-Nya baik wujudnya maupun perbuatannya, dia fana dari makhluk dan baqa dengan Perantara Nya."
Mir Syarif  Jurjany juga mengungkapkan, "Sirna dan tiadanya sifat-sifat buruk itu disebut fana, sebagaimana keberadaan sifat-sifat yang terbatas dikatakan baqa."

Maqâm Fana

Di dalam Irfan terdapat dua istilah:
1. Maqâm;
2. Hâl.

Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai secara ikhtiari (dengan kehendak sendiri) oleh seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala tempaan, tazkiyah, pensucian diri, dan segala kesulitan. Oleh karena itu, secara umum maqâm itu sangatlah sulit untuk sirna dan tiada. Dengan ungkapan lain, penderitaan dan kesulitan yang dijalani dan dialami secara terus menerus dan bergradual oleh seorang Arif dan pesuluk dalam praktek-praktek kezuhudan dan pengorbanan diri sendiri telah mengantarkannya pada suatu derajat khusus dan maqâm tertentu yang pantas baginya. Dan karena tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan pensucian diri itu dilaluinya dengan upaya yang sungguh-sungguh dan kerja keras, maka maqâm yang telah digapainya itu tidak akan turun dan sirna dengan mudah.
Sementara pengertian hâl berlawanan dengan maqâm tersebut. Hâl adalah suatu bentuk perubahan yang hadir pada diri seorang arif tanpa kehendaknya sendiri setelah menapaki tahapan-tahapan spiritual. Karena perubahan yang hadir itu datang secara tiba-tiba, maka sangat mungkin akan sirna juga dengan tiba-tiba. Dengan demikian, hâl adalah suatu kualitas spiritual yang tidak bersifat konstan dan terus menerus mengalami suatu perubahan.

Manusia dalam maqâm fana tidak menyaksikan dirinya sendiri,  penghambaannya, kecenderungan-kecenderungannya, harapan-harapannya, dan alam sekitarnya dihadapan Tuhan dan hanya semata-mata memandang Yang Haq.

Dalam kondisi demikian, fana tidak lagi bersesuaian dengan makna leksikalnya yang bernada negatif, bahkan merupakan suatu tingkatan kesempurnaan. Dan inilah yang sebenarnya dimaksudkan oleh para urafa yang menyatakan, "Puncak fana adalah baqa dan abadi di hadapan Yang Haq." Inilah yang dalam istilah Irfan dinamakan sebagai "fana fii Allah" (fana dalam sifat-sifat Tuhan).

Bagaimana Mencapai Maqâm Fana

Ketika antara manusia dan Tuhannya terdapat hijab-hijab berupa dosa-dosa, maksiat, dan egoisme, serta kebergantungan kepada selain-Nya, maka hijab-hijab kegelapan ini akan menjadi penghalang yang sangat besar untuk sampainya seorang hamba di hadapan suci Tuhannya.
Apabila dia tidak memiliki dosa-dosa, hijab-hijab kegelapan, dan kebergantungan kepada selain-Nya serta sirnanya perhatian kepada keinginan diri sendiri, maka sangat mungkin dia menggapai derajat penyaksian sifat-sifat Tuhan secara terbatas. Setelah mencapai tingkatan ini barulah maqâm fana itu akan diraihnya dan hadir dalam dirinya.Yang pasti bahwa tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan yang kita tidak akan bahas dalam kesempatan ini.
Akan tetapi, maksud dari "liqa ullah" (perjumpaan dengan Tuhan) yang dibungkus dalam kata-kata seperti syuhud, baqa, dan… adalah tidak dengan menggunakan mata lahiriah ini, karena sebagaimana dalam ayat al-Quran dikatakan, "Dia (Tuhan) tidak dapat dilihat dan dijangkau dengan mata. "[3] Dan begitu pula Tuhan tidak dapat diliputi dengan pikiran-pikiran, karena pikiran dan metode rasionalitas itu tidak disebut sebagai syuhud, liqa, dan …; melainkan apabila seorang hamba ingin "menyaksikan" sifat-sifat Tuhan dan mencapai maqâm fana maka -sebagaimana yang difirmankan dalam al-Quran- dia harus meninggalkan segala sesuatu selain Tuhan, melaksanakan amal dan perbuatan shaleh, dan tidak menyekutukan Tuhan.

Seorang hamba yang berkehendak menyaksikan Yang Haq dengan tanpa perantara mestilah dia tidak memandang dirinya sendiri dan segala sesuatu selain-Nya.
Allah Swt berfirman, "Barangsiapa yang berharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia beramal dengan amal yang shaleh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dalam penghambaan kepada Tuhannya."

Nabi Musa As pun menjadi tidak sadarkan diri atau pingsan ketika berkaitan dengan cerita penyaksian Tuhan. Setelah beliau tersadar dari pingsannya bersabda, "Tuhanku Engkau tidak dapat disaksikan tanpa fana dan memutuskan segala bentuk keterikatan dan kebergantungan."
Akan tetapi, persoalan yang sangat mendasar di sini adalah apa makna dari ungkapan bahwa sebagian pembesar para pesuluk dan arif mengklaim dapat menyaksikan Tuhan Yang Maha Tinggi itu dengan tanpa perantara? Dan secara umum apa yang dimaksud dengan perantara-perantara tersebut?

Untuk memahami dan mengerti makna ungkapan tersebut alangkah baiknya kita memperhatikan dan menyimak pernyataan-pernyataan Imam Khomeni qs dalam kitabnya "Arbain Hadis".
Beliau dalam kitab itu mengungkapkan,
"Setelah mencapai ketakwaan yang sempurna, terputusnya secara total perhatian dan kebergantungan hati dari segala sesuatu yang ada di alam, menyirnakan segala bentuk egoisme dan kecintaan kepada diri sendiri, perhatian sempurna kepada Tuhan, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya, larut dalam kecintaan kepada Yang Maha Suci, melakukan segala bentuk pensucian hati, maka akan muncul dan hadir suatu bentuk pencerahan hati dan cahaya malakuti di dalam hati para pesuluk yang beriringan dengan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan… dan antara ruh suci pesuluk dan Dzat Suci Tuhan hanya terdapat satu hijab, yakni hijab nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Untuk itu sangatlah mungkin mampu merobek hijab-hijab cahaya (hijab nama dan sifat Tuhan) tersebut dan hanya menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada Zat Suci Tuhan, dan dalam penyaksian ini dia "memandang" pancaran eksistensial Tuhan dan kefanaan zatnya sendiri."
Dengan kandungan makna yang kurang lebih sama dengan pernyataan Imam Khomeni qs, di bawah akan diutarakan suatu doa yang mulia, munajat sya'baniyah : "Ya Ilahi anugerahkan kepadaku kesempurnaan penyatuan dengan-Mu … sedemikian sehingga mata hati merobek hijab-hijab cahaya."

Dari berbagai referensi kitab-kitab tua seperti Kitab Syarah Hikam Ibni Athoillah As-Kandariah, Kitab Manhal-Shofi, Kitab Addurul-Nafs dan lain-lain menggunakan istilah-istilah seperti 'binasa' dan 'hapus' untuk memperihalkan tentang maksud fana.
Ulama-ulama lainnya yang banyak menggabungkan beberapa disiplin ilmu lain seperti falsafah menggunakan istilah-istilah seperti 'lebur', 'larut', 'tenggelam' dan 'lenyap' dalama usaha mereka untuk memperkatakan sesuatu tentang 'hal' atau 'maqam' fana ini.
Di dalam Kitab Arrisalah al-Qusyairiah memberikan penjelasan tentang fana.
Fana itu ialah; "Lenyapnya sifat-sifat basyariah(pancaindera)"
"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi
dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk
lain itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk
lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya"
(Al-Qusyairi, t.th: 37)
Maka sesiapa yang telah diliputi Hakikat Ketuhanan sehingga tiada lagi melihat daripada Alam baharu, Alam rupa dan Alam wujud ini, maka dikatakanlah ia telah fana dari Alam Cipta. Fana berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat lahir dan maksiat batin) dan kekalnya sifat-sifat terpuji(mahmudah). Bahwa fana itu ialah lenyapnya segala-galanya, lenyap af'alnya/perbuatannya(fana fil af'al), lenyap sifatnya(fana fis-sifat), lenyap dirinya(fan fiz-zat). 

Oleh karena inilah ada di kalangan ahli-ahli tasawuf berkata :
"Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya kerena kehadiran hati mereka bersama Allah".
Sahabat Rasulullah yang banyak memperkatakan tentang 'fana' ialah Sayyidina Ali, salah seorang sahabat Rasulullah yang terdekat yang diiktiraf oleh Rasulullah sebagai 'Pintu Gedung Ilmu'.
Sayyidina Ali sering berkata tentang fana : "Di dalam fanaku, leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefanaan itulah bahkan aku mendapatkan Engkau Tuhan".
Demikianlah 'fana; ditanggapi oleh para kaun sufi secara baik, bahkan fana itulah merupakan pintu kepada mereka yang ingin menemukan Allah(Liqa Allah) bagi yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu dengan Allah.
 
Firman Allah yang bermaksud : 
"Maka barangsiapa yang ingin akan menemukan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amalan Sholeh dan janganlah ia mempersekutukan siapapun dalam beribadat kepada Allah
(Surah Al-Kahfi)

Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua kewajiban yang mesti dilaksanakan yaitu :

* Pertamanya mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua- sifat-sifat yang tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji iaitu Takhali dan Tahali.

* Keduanya meniadakan/menafikan segala sesuatu termasuk dirinya sehingga yang benar-benar wujud/isbat hanya Allah semata-mata dalam beribadat. Itulah artinya memfanakan diri.

Para Nabi-nabi dan wali-wali seperti Sheikh Abu Qasim Al-Junaid, Abu Qadir Al-Jailani , Imam Al-Ghazali, Ab Yazid Al-Busthomi sering mengalami keadaan "fana" fillah dalam menemukan Allah. Umpamanya Nabi Musa alaihisalam ketika ia sangat ingin melihat Allah maka baginda berkata yang kemudiannya dijawab oleh Allah Taala seperti berikut; "Ya Tuhan, bagaimanakah caranya supaya aku sampai kepada Mu? Tuhan berfirman : Tinggalkan dirimu/lenyapkan dirimu(fana), baru kamu kemari."

Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.
Ada seorang bertanya kepada Abu Yazid Al-Busthomi; 
* "Bagaimana tuan habiskan masa pagimu?". Abu Yazid menjawab: "Diri saya telah hilang(fana) dalam mengenang Allah hingga saya tidak tahu malam dan siang".

* Satu ketika Abu Yazid telah ditanyai orang bagaimanakah kita boleh mencapai Allah. Beliau telah menjawab dengan katanya:
"Buangkanlah diri kamu. Di situlah terletak jalan menuju Allah. Barangsiapa yang melenyapkan (fana) dirinya dalam Allah, maka didapati bahwa Allah itu segala-galanya".

* Beliau pernah menceritakan sesuatu tentang fana ini dengan katanya;
Apabila Allah memfanakan saya dan membawa saya baqa dengan Nya dan membuka hijab yang mendinding saya dengan Dia, maka saya pun dapat memandangNya dan ketika itu hancur leburlah panca inderaku dan tidak dapat berkata apa-apa. Hijab diriku tersingkap dan saya berada di keadaan itu beberapa lama tanpa pertolongan sebarang panca indera. Kemudian Allah kurnia kan saya mata Ketuhanan dan telinga Ketuhanan dan saya dapat dapati segala-galanya adalah di dalam Dia juga."
Dari segi bahasa al-Fana’ berarti binasa,
Fana’ berbeda dengan al-Fasad (rusak).
Fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain . 

Menurut ahli sufi, arti Fana’ adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazimnya digunakan pada diri.
Fana’juga berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela. 

Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya inderawi atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu.
Orang yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari alam makhluk .
Selain itu Fana’ juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin.
Sebagai akibat dari Fana’ adalah Baqa’, secara harfiah Baqa’ berarti kekal sedangkan dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) telah lenyap maka yang kekal dan tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Fana’ dan Baqa’ ini menurut ahli tasawuf datang beriringan sebgaimana ungkapan mereka :”Apabila nampak nur ke Baqa’an, maka Fana’lah yang tiada dan Baqa’lah yangkekal”. Juga ungkapan mereka : “Tasawuf itu adalah mereka Fana’ dari dirinya dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran mereka bersama Allah”.

Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi keberadaan-Nya sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya.

Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya. 

Diantara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengan mata sanubarinya.

Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebutFana’ al-nafs

Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara ruhani.

Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materi manusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya.

Al-Kalabazi (wafat 380 H) menjelaskan bahwa keadaan Fana’ itu tidak bisa berlangsung terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan menghentikan organ-organ tubuh untuk melaksanakan fungsinya sebagai hamba Allah dan peranannya sebagain khalifah di muka bumi .
Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya sendiri dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad.

Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka : “Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan”. Dengan tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantar oleh sesuatu apapun. 

Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan.
Dalam suasana seperti ini mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku” . Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia berbicara atas nama Tuhan.

Al-Bustami ketika telah Fana’ dan mencapai Baqa’ maka dia mengucapkan kata-kata ganjil seperti : “Tidak ada Tuhan melainkan aku, sembahlah aku, Maha suci aku, Maha suci aku, Maha besar aku”. 
Selanjutnya diceritakan bahwa seorang lelaki lewat rumah Abu Yazid Al-Bustami dan mengetok pintu, Abu Yazid bertanya : “Siapa yang engkau cari ?” jawabnya : “Abu Yazid”. Lalu Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi”.  Ittihad ini dipandang sebagai  penyelewengan (inhiraf) bagi orang yang toleran, akan tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama hal ini dipandang sebagai suatu kekufuran.
Faham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud

Ittihad juga adalah hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj (lahir 224 H / 858 M) dengan fahamnya al-Hulul yang berarti penyatuan meliputi :
 
a) penyatuan substansial antara jasad dan ruh;
b) penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri manusia;
c) inkarnasi suatu aksiden dalam substansinya;
d) penyatuan bentuk dengan materi pertama dan
e) hubungan antara suatu benda dengan tempatnya .
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad al-hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah.
Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh. Faham sufi yang juga dekat dengan faham Ittihad ini adalah dengan faham wahdat al-wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby wafat tahun 638 H/ 1240 M). Faham wahdat al-wujud ini menurut Harun Nasution adalah merupakan kelanjutan dari faham al-Hulul. Konsep wahdat al-wujud ini memahami bahwa aspek ketuhanan ada dalam tiap mahkluk, bukan hanya manusia sebagaimana yang dikatakan al-Hallaj .
Paham fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan dengan Allah.
Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan
Firman Allah SWT yang bunyinya : “Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110) Hal yang lebih jelas mengenai proses Ittihad dapat pula kita simak melalui ungkapan al-Bustami : “Pada suatu hari ketika saya dinaikkan ke hadirat Allah, Ia berkata, “Hai Abu Yazid, mahkluk-Ku ingin melihatmu, aku menjawab, hiasi lah aku dengan ke Esaan itu, sehingga apabila mahkluk itu melihatku mereka akan berkata :“Kami tetap melihat engkau, maka yang demikian adalah engkau dan aku tidak ada disana”. Hal ini merupakan ilustrasi proses terjadinya Ittihad, Demikian juga dalam ungkapan Abu Yazid :
“Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah mahlukku, aku pun berkata : Aku adalah engkau, engkau adalah aku dan aku adalah engkau. Sebenarnya kata-kata “Aku” bukanlah sebagai gambaran dari diri Abu Yazid, tetapi gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu dengan Tuhan sehingga dapat dikatakan bahwa Tuhan bicara melalui lidah Abu Yazid sedang Abu Yazid tidak mengetahui dirinya Tuhan.

Al-Junaid Al-Bagdadi yang menjadi Imam Tasawuf kepada golongan Ahli Sunnah Wal-Jamaah pernah membicarakan tentang fana ini dengan kata-kata beliau seperti berikut:
* Kamu tidak mencapai baqa(kekal dengan Allah)
sebelum melalui fana(hapus diri)
* Membuangkan segala-galanya kecuali Allah dan 'mematikan diri' ialah kesufian.
* Seorang itu tidak akan mencapai Cinta kepada Allah (mahabbah) hingga dia memfanakan dirinya. Percakapan orang-orang yang cinta kepada Allah itu pandangan orang-orang biasa adalah dongeng sahaja.
3. Himpunan perkataan Tentang Fana
A. Sembahyang orang yang cinta (mahabbah) ialah memfanakan diri sementara sembahyang orang awam ialah rukuk dan sujud.
B. Setengah mereka yang fana (lupa diri sendiri) dalam satu tajali zat dan kekal dalam keadaan itu selama-lamanya. Mereka adalah Majzub yang hakiki.
C. Sufi itu mulanya satu titik air dan menjadi lautan. Fana nya diri itu meluaskan keupayaannya. Keupayaan setitik air menjadi keupayaan lautan.
D. Dalam keadaan fana, wujud Salik yang terhadap itu dikuasai oleh wujud Allah yang Mutlak. Dengan itu Salik tidak mengetahui dirinya dan benda-benda lain. Inilah peringkat Wilayah(Kewalian). 
Perbedaan antara Wali-wali itu ialah disebabkan oleh perbedaan tempo masa keadaan ini. Ada yang merasakan keadaan fana itu satu saat, satu jam, ada yang satu harian seterusnya. Mereka yang dalam keadaan fana seumur hidupnya digelar majzub. Mereka masuk ke dalam satu suasana dimana menjadi mutlak.
E. Kewalian ialah melihat Allah melalui Allah. Kenabian ialah melihat Allah melalui makhluk. Dalam kewalian tidak ada bayang makhluk yang wujud. Dalam kenabian makhluk masih nampak di samping memerhati Allah. Kewalian ialah peringkat fana dan kenabian ialah peringkat baqa
F. Tidak ada pandangan yang pernah melihat Tajalinya Zat. Jika ada pun ia mencapai Tajali ini, maka ianya binasa dan fana kerana Tajali Zat melarutkan semua cermin penzohiran. Firman Allah yang bermaksud : Sesungguhnya Allah meliputi segala-galanya.(Surah Al-Fadhilah:54)
G. Tajali berarti menunjukkan sesuatu pada diriNya dalam beberapa dan berbagai bentuk. Umpama satu biji benih menunjukkan dirinya sebagai beberapa ladang dan satu unggun api menunjukkan dirinya sebagai beberapa unggun api.
H. Wujud alam ini fana (binasa) dalam wujud Allah. Dalilnya ialah Firman Allah dalam Surah An-Nur:35 yang bermaksud;
"Cahaya atas cahaya, Allah membimbing dengan cahayanya sesiapa yang dikehendakinya." dan "Allah adalah cahaya langit dan bumi."
I. Muraqobah ialah memfanakan hamba akan afaalnya dan sifatnya dan zatnya dalam afaal Allah, sifat Allah dan zat Allah.
J. Al-Thomsu atau hilang yaitu hapus segala tanda-tanda sekalian pada sifat Allah.Maka Yaitu satu bagai daripada fana.
5. Tajuk-tajuk yang berkaitan dengan Fana
* Mikraj Muhammad
* Alamat Sampai Kepada Maqam Yang Tinggi Adalah sangat mungkin manusia mencapai suatu derajat yang antara dia dan Tuhannya hanya terhijabi cahaya nama dan sifat Tuhan. Dan juga sangatlah mungkin manusia menggapai suatu tingkatan yang tidak ada lagi hijab-hijab cahaya antara dia dan Zat Suci Tuhan. Yang sempurna akan mampu melewati hijab-hijab cahaya ini dan meraih kefanaan yang sempurna.
Dalam kondisi puncak spiritual ini, apa yang disaksikannya adalah hanya Yang Maha Suci. Apa yang didengarnya tidak lain adalah bersumber dari Yang Maha Benar. Dia melihat dengan "mata" Tuhan, mendengar dengan "telinga" Tuhan, dan berucap dengan "lisan" Tuhan. 

Inilah puncak dan akhir fana dalam Tuhan (fana fillah) Insya Allah.... aamiiin
penghujung Ilmu, Adalah Ilmu Penamat, Penutut Dan Penghabisan Segala Ilmu!
Mereka yang berjaya sampai kepada tahap makrifat itu, adalah mereka-mereka yang telah mencapai maqam atau tingkatan ilmu kerohanian yang tertinggi.
 
Tahap atau maqam ilmu makrifat yang tertinggi itu, adalah tahap pencapaian atau tahap persinggahan ilmu pada garis penamat yang penghabisan dan terakhir.

Inilah yang dikatakan pencarian di penghujung tujuan. Ucapan, perasaan atau pengakuan qalbu di ujung pencarian itu, adalah qalbu yang meluap, pecah dan meletup dengan ucapan
“La haulawala kuuwatailla billahhilaliyilzim” (Tiada daya dan upaya kita, melainkan segalanya dari Allah).
Perkataan yang lahir dari pandangan qalbu itu, tidak lagi boleh menurut pengertian akal. Bilamana pengertian qalbu, tidak lagi dapat dibaca oleh akal itu, Maka lahirlah perkataan “aku tidak ada”. Bahasa pengakuan hati atau bahasa pengakuan qalbu yang makrifat kepada Allah Taala itu, tidak lagi boleh berdalil, bersandar, berpaut atau bergantung lagi pada akal!.
 
Segala ikhtiar atau usaha akal kita itu, sesungguhnya sudah berakhir, binasa dan karam karena tenggelam dalam lautan makrifat Allah. Inilah yang dikatakan penamat, penutup dan ibu segala ilmu!.

Sekiranya tuan-tuan lalu ditepi sungai, saya minta tuan-tuan kutip seketul batu dan campakkan ia kedalam sungai yang dalam. Saya mau bertanya, apakah lagi yang tuan-tuan nampak dan apakah lagi yang terlihat, cuba jawab?…
Begitulah dalil dan contohnya jika diri kita, kita tengelamkan atau campakkan kedalam dasar lautan makriffat!. Makrifat (mengenal Tuhan) itu, adalah tauhid.
Tauhid itu, adalah hijrah akal menuju qalbu dalam mengEsakan Allah!. Hijrah akal menuju qalbu, itulah intisari ilmu makrifatullah. Hijrah akal menuju qalbu itu, adalah hijrah jahil kepada alim.
Hijrah akal kepada perbicaraan qalbu para-para arifin billah itu, membawa kita kepada ilmu mengEsakan Allah (penutup segala ilmu). Hijrah akal kepada makam qalbu inilah yang menyebabkan pula di tuduh ilmu salah, kafir, sesat dan Zindik.

Maaf Kiranya kalau kurang berkenan.

Kebanyakkan dari ulama kita, tidak ramai yang dibedahkan dengan pengajian ilmu makrifat (ilmu rohani).
Ketidak pakaran dalam ilmu makrifat itu, bagaimana mungkin mereka boleh menghukum ulama-ulama yang mengajar ilmu makrifat itu, sesat atau salah?.
Jika sekiranya pihak ulama mendakwa yang mereka juga memiliki kepakaran dalam bidang ilmu makrifat,
cuba jelas dan terangkan kepada kami, dimanakah sekolah, dimanakah pondok atau dimanakah pusat-pusat pengajian tinggi yang mengajar ilmu makrifat.
Mari kita tanya ulama fiqih, dimana mereka belajar ilmu makrifat, supaya kita juga boleh dengan beramai-ramai turut serta menuntut ditempat yang didakwa!. Sedangkan tidakkah kita tahu yang bidang ilmu makrifat itu, adalah bidang ilmu yang wajib, bidang ilmu fardhu ain (suatu bidang ilmu yang wajib) bagi setiap umat yang bergelar Islam!.
Fakta atau kenyataan sesat yang tuan-tuan fiqih bawa itu, dari mana asasnya dan dimana ulama-ulama fiqih, belajar atau berguru ilmu makrifat, sehingga dapat menuduh sesat?. Saya sebagai pengarang ilmu makrifat yang sudah berkecimpung dalam bidang ini selama 38.00 tahun, saya tidak pernah jumpa ada pusat pengajian ilmu makrifat, guru atau sekolah ilmu makrifat, baik didalam negeri maupun diluar negara!. Dengan berbekalkan ilmu syariat, ilmu fiqih atau dengan berbekalkan dengan ilmu akal, apakah layak tuan-tuan fiqih menuduh, menangkap dan menghukum golongan makrifat, sebagaimana yang berlaku kepada pentadbiran-pentadbiran terdahulu?
Namun pesan dan nasihat saya kepada para arifin billah sekalian yang ada, terutama kepada yang memperjuangkan ilmu makrifat, hadapilah kenyataan pemerintah dan golongan fiqih hari ini dengan tabah dan jangan sekali-kali berputus asa. Kayu ukur atau tanda aras pentadbiran ulama atau pemerintah yang ada pada dunia hari ini, untuk menghukum adalah melalui bacaan ilmu akal (hukum fiqih). Mereka tidak sekali-kali memandang pada bacaan ilmu rohani (Ilmu makrifat). Mereka tidak faham apa itu makrifat! (diri yang fana’, diri yang lebur, diri yang baqa’ atau diri yang karam dengan Allah!).
Bilamana tidak faham dan tidak arif dalam bidang ilmu fana’ atau ilmu baqa’, mana mungkin golongan yang beilmu fiqih itu dapat menyelami ilmu makrifat!.
Bilamana tidak faham ilmu makrifat, itulah makanya tuduhan demi tuduhan mereka lontarkan kepada pengamal ilmu makrifat!. Mereka itu, hanya berpandukan kayu pengukur ilmu fiqih, untuk menghukum dan menuduh kesesatan ilmu makrifat. Yang menjadi mangsa ulama fiqih itu, adalah orang-orang yang berilmu makrifat. Itulah makanya golongan makrifat itu, selalu dituduh sesat dan selalu dipandang salah dimata golongan ahli fiqih. Sesungguhnya bidang ilmu makrifat itu, Adalah cabang ilmu rohani (ilmu mantik) yang tidak memungkinkan difahami oleh kebanyakan Ulama. 

Jika kita tidak faham ilmu makrifat, sekurang-kurangnya jangan mudah menuduh sesat kepada golongan makrifat!
Ulama keluaran dari pusat pengajian tinggi itu, hanya belajar dalam bidang ilmu fiqih sedangkan mereka tidak pernah dididik atau didedah dengan ilmu makrifat!. Mana mungkin akan memahami ilmu makrifat!.
Namun siapa yang akan peduli dan siapakah yang akan faham luapan hati orang-orang makrifat!,
Saran demi saran diutarakan kepada pucuk pimpinan agama, namun keluhan serta ucapan kita itu, sekadar menjadi menjadi hiasan mata dan hawa telinga mereka semata-mata. Pun begitu, kita tidak boleh sekali-kali memandang rendah atau menyalahkan penjawab awam atau menyalahkan para ulama fiqih dalam hal ini. Mereka-mereka itu, terdidik dan terasuh dengan ilmu fiqih tanpa didedahkan dengan ilmu makrifat. Selayaknyalah mereka begitu!.

Karena ilmu makrifat itu, adalah persinggahan terakhir segala ilmu! (ibu segala ilmu).

Ilmu Makrifat Itu, Adalah Ilmu Yang Melewati Hayalan Akal!

Konsep ilmu ketuhanan orang arifin billah yang berilmu makrifat itu, adalah konsep ilmu yang melewati hayalan akal atau mengatasi kenyataan akal. 

Konsep ilmu ketuhanan para-para arifin billah yang berilmu makrifat itu, adalah berlandaskan hanya dengan satu jalan, satu konsep, satu kaedah dan satu cara, yaitu jalan fana’, jalan baqa’ dan jalan berserah diri kepada Allah Taala.
 
Berkonsepkan “hanya Allah yang wujud, hanya Allah yang ujud dan hanya Allah yang maujud”.
Kenyataan atau pendapat ahad itu,
bukan berlandas atau bukan berkonsepkan kepada konsep hulul atau konsep wahdatul wujud!.
 
Konsep ilmu makrifat itu, adalah konsep mengEsakan Allah Taala. Konsep mengEsakan Allah Taala itu, adalah konsep yang tidak berdalil kepada sembarang konsep dan konsep yang tidak ketergantungan kepada dalil akal!. 

Allah itu, adalah Allah. Allah yang tidak ada seumpama, tidak seumpama sebagaimana yang dipikir oleh akal, oleh angan-angan atau hayalan.

Makrifat itu, adalah konsep yang sudah tengelam dalam lautan makrifat kepada Allah!. Konsep yang menenggelamkan diri dalam lautan hadiah (Ahad atau Esa).Yaitu suatu konsep yang semestinya tidak difahami oleh akal!. Konsep yang melewati hayalan atau melewati kenyataan akal!.
Untuk memahaminya hendaklah turun kedalam kolam air makrifatullah!.

Ilmu Makrifat Bukan Konsep Yang DiBuat-Buat! (Tetapi Dari Ilmu Rasulullah Dan Iman Ghazali Sendiri). 
Pendapat, pegangan, pengakuan serta pemahaman ilmu makrifat itu, sesungguhnya bukan dibuat-buat atau diada-adakan tetapi hanya, adalah datangnya dari Baginda Rasulullah dan disambung oleh para sahabat dan Iman Al-Ghazali sendiri. Namun tidak ramai yang mendalami, menyelami dan memahaminya!. Konsep ini, adalah satu-satunya konsep yang boleh menunjang tauhid kedalam qalbu para arifin billah, sebagaimana imam Ghazali sendiri. Inilah makam tauhid, makam ilmu rasa dan makam ilmu para arifin billah terdahulu!. Yang menjadi pegangan, pengakuan dan yang menyebabkan menunjangnya keyakinan tauhid kepada Allah Taala. 

Ilmu makrifat itu, merupakan inti tertinggi para ulama arifin billah terdahulu. Yang mana sesungguhnya tidak sedikitpun menjadi percangahan atau berlawanan dengan konsep Ahli Sunnah Waljamaah!.
Hanya bagi yang tidak arif dengan ilmu makrifat saja yang memandang bahwa ilmu makrifat itu, salah atau sesat!. Sedangkan hanya melalui ilmu makrifat sajalah satu-satunya ilmu yang boleh membawa, mengarah dan menghala hati-hati kita kepada arah meEsakan Allah Taala.
 
Inilah konsep dan inilah ilmu yang dibawa oleh Baginda Rasulullah, semasa mula-mula Baginda berpindah dari Kota Makkah ke Kota Madinah!. Yaitu konsep ilmu tauhid atau konsep ilmu megEsakan Allah Taala.
Soal:-Bagaimanakah caranya untuk mengatakan yang Allah itu benar-benar Esa?.
Untuk menyatakan yang Allah itu benar-benar Esa,
ianya bukan dengan sebutan kalimah syahadah, bukan dengan mengerjakan ibadah sembahyang, puasa, zakat atau bukan dengan ibadah perkerjaan ibadah haji!.
Menyatakan keEsaan Allah itu, adalah hendaknya dan sepatutnya sebelum melafas kalimah syahadah, sebelum ibadah sembahyang atau sebagainya!.
Menyatakan Allah itu, bukan perkara untuk dinyatakan sesudah sembahyang atau bukan untuk dinyatakan didalam waktu ketika tengah sembahyang, apa lagi diketika sesudah sembahyang!.
Bagi menyatakan Allah itu, bukannya semasa didalam berpuasa atau selepas berbuka puasa!. Ataupun bukan didalam ketika menyebut perkataan syahadah!.
Ilmu makrifat itu, adalah ilmu menyatakan Allah (ilmu menyatakan keEsaan Allah), ilmu mengEsakan Allah dan ilmu menzahirkan Allah, dengan nyata dan senyata-nyatanya!.
Bukan ilmu hanya bercakap dibibir!.
Kita boleh menyebut perkataan syahadah (perkataan mentauhidkan Allah) sebanyak mungkin yang kita mampu menyebut, tetapi Islam itu bukan agama bunyi atau agama suara yang keluar dari lidah atau dibibr!. Islam itu, adalah agama benar, agama nyata dan agama pasti!.
Ilmu makrifat itu, adalah ilmu yang tidak sekali-kali mengasingkan Tuhan dengan alam!.
Imu makrifat itu, adalah ilmu mengEsakan Allah, Yaitu ilmu yang tidak menduakan Allah (tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatu). Ilmu makrifat itu, adalah ilmu yang tidak menwujudkan Allah dengan wujud yang lain selain Allah Taala. Ilmu makrifat itu, adalah ilmu yang tidak memandang bahawa Allah dan makhluk itu, dua wujud yang berbeza atau “dua yang bersifat wujud”. Dari kaca mata ilmu makrifat, barangsiapa yang memandang, barangapan atau beriktikad bahawa adanya wujud Allah dan adanya wujud alam makhluk, bersama-sama dengan wujud Allah, maka hukumnya adalah syirik. Allah lain dan makhluk lain itu, maka terputuslah seluruh kesedaran batinnya terhadap Allah Taala dan terputus juga kesadaran rohaninya terhadap makhluk. Tetapi jangan pula hendaknya disatukan makhluk dengan Allah!, Ingat itu………………….
Allah dengan makhluk itu, bercerai tidak dan bersatu tiada,
ini adalah terjemahan mengikut suluhan bahasa makrifat dan bahasa rohani yang tidak sama sekali difahami atau dimengerti oleh akal, apa lagi oleh ahl ilmu feqah. Allah dan makhluk itu, bercerai tidak dan berpisah tiada!. Sebagaimana kata orang tua-tua kita dahulu, belajar ilmu makrifat itu, susahnya “seumpama mati”, manakala setelah mengenal makrifat, senangya “seumpama tidur”. Belajar ilmu makifat itu, senang, mudah dan tak payah. Belajar ilmu makrifat atau ilmu megenal Allah.
Apa tidaknya, terang cahaya mata hari itu, terang lagi Allah, dekatnya mata putih dengan mata hitam itu, dekat lagi Allah, mana mungkin megenal Allah itu payah!. Mengenal Allah itu, adalah ilmu yang paling senang dan paling mudah, berbanding dengan ilmu-ilmu yang lain. Allah tidak terhijab atau terdinding, tidak tertutup atau terhalang oleh seuatu!. Masakan kita tidak mengenal Allah dengan mudah!.
Mudahnya sekolah tadika atau sekolah kafa
itu, mudah dan senang lagi ilmu mengenl Allah!.
Kenapa tidak kenal?……………………………………….
Ini bukan bertujuan untuk Menerapkan nilai-nilai hulul atau unsur-unsur wahdatul wujud!. Ini semata-mata bertujuan untuk membuka mata semua pihak-pihak yang mendakwah.
Tafsir kalimah ahad, isinya adalah suatu perkara yang berbeda berbanding dengan tafsiran kalimah wahdatul wujud!. 
Sebenarnya ilmu makrifat sejati dan sebenar itu, tidak mensamakan Allah dengan makhluk, tetapi tidak juga memisahkan dengan makhluk!.
Seumpama “asap bukan api, tetapi tidak lain dari api”.
Fahami itu baik-baik.