Prabu Jayabaya

Jayabaya adalah seorang raja Hindu yang memerintah kerajaan kuno Kediri. Dia dikreditkan karena mengantarkan kerajaan Jawa Timur ke kemakmuran yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan sebagian besar dikenang karena ramalannya yang terkenal. Di antara ramalannya yang menjadi kenyataan adalah kedatangan penjajah Belanda yang menjajah pulau-pulau di Indonesia yang terjadi lebih dari 800 tahun setelah ia menjadi raja.

Kekayaan dan pengaruh Kediri bahkan didokumentasikan dalam teks Cina abad ke-12 Zhou Qufei. Dalam bukunya, Lingwai Daida , yang diterjemahkan secara longgar menjadi Answers From Beyond The Mountains , Zhou menulis tentang kerajaan Jawa yang makmur yang menyaingi kekayaan China sendiri. Para sarjana percaya dia menulis tentang Kediri.

Seperti banyak raja sebelumnya, Jayabaya melegitimasi haknya atas takhta melalui klaim sebagai keturunan para dewa. Dalam beberapa teks sejarah dia adalah cicit dari dewa kebijaksanaan Hindu, Brahma, sementara yang lain mengklaim dia adalah reinkarnasi Wisnu, dewa berlengan empat yang memulihkan kebaikan dan ketertiban dunia.

Nostradamus (1503 – 1566) paling dikenal sebagai penulis ramalan. Dia dikreditkan oleh beberapa orang dengan memprediksi sejumlah peristiwa dalam sejarah dunia, termasuk Revolusi Perancis, bom atom, kebangkitan Adolf Hitler dan serangan 11 September di World Trade Center. Namun, sekitar 400 tahun sebelum dia hidup Jayabaya, seorang raja Hindu di Jawa yang penting dalam sejarah nusantara yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, juga dikenal karena ramalannya, terutama tentang masa depan Jawa.

Ramalan Jayabaya, seperti ramalan Nostradamus, masih memiliki pengaruh besar di benak banyak orang Indonesia, karena diyakini banyak dari apa yang dia prediksi menjadi kenyataan.

Raja Jayabaya (atau Joyoboyo) memerintah Kerajaan Kediri pada tahun 1135-1157 dan masih populer di kalangan orang Jawa hingga saat ini, seperti yang tertulis dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa.

Ayahnya, Gendrayana, mengaku sebagai keturunan legendaris Pandawa Lima Bersaudara dari epos Hindu Mahabharata, menelusuri garis keturunannya hingga Arjuna, Kakak Pandawa ketiga, yang dirinya adalah putra dewa Indra. Karena itu, Jayabaya diyakini memiliki bakat magis yang kuat yang menyebabkan kemampuannya untuk melihat jauh ke masa lalu dan jauh ke masa depan.

Dalam Serat Musarar Jayabaya diceritakan bahwa Jayabaya belajar dari surai yang bernama Maolana Ngali Samsujen. Dari pembelajarannya, Jayabaya mendapat visi tentang Pulau Jawa dari zaman Aji Saka hingga ujung dunia.

Ramalan Jayabaya masih memiliki pengaruh besar di benak banyak orang Indonesia hari ini karena banyak dari apa yang dia prediksi menjadi kenyataan. Salah satu ramalan Jayabaya yang paling terkenal adalah kedatangan pria berkulit putih yang membawa senjata yang mampu membunuh dari jarak jauh. Dia meramalkan bahwa pria berkulit putih akan menduduki Jawa untuk waktu yang sangat lama. Mereka kemudian akan dikalahkan, katanya, oleh orang-orang berkulit kuning dari Utara, yang hanya akan menduduki Jawa seumur hidup sebagai batang jagung.

Ramalan Jayabaya yang paling dinanti adalah kedatangan Ratu Adil (Raja/Ratu Keadilan, meskipun orang Jawa menganggapnya sebagai laki-laki) sebagai pemimpin baru Indonesia. Jayabaya meramalkan bahwa orang ini akan menjadi keturunan keluarga kerajaan Majapahit kuno yang akan bangkit menjadi pemimpin terbesar yang pernah diketahui Jawa dan dunia. Dia akan muncul, menurut Jayabaya, "ketika kereta besi bisa melaju tanpa kuda dan kapal bisa berlayar di langit" (saat ada mobil dan pesawat terbang).

Nubuatannya kira-kira seperti ini:

Ketika kereta melaju tanpa kuda,

kapal terbang melintasi langit,

dan kalung besi mengelilingi pulau Jawa

Ketika wanita mengenakan pakaian pria,

dan anak-anak mengabaikan orang tua mereka yang sudah lanjut usia,

ketahuilah bahwa waktu kegilaan telah dimulai.

Kereta dengan kuda, kapal yang terbang di langit, wanita yang mengenakan pakaian pria dan anak-anak mengabaikan orang tua mereka….apa yang mungkin terdengar keterlaluan di Jawa abad ke-12 terdengar sangat normal di dunia modern yang mengendarai mobil dan menerbangkan pesawat.

Sebagaimana orang Jawa percaya pada sejarah siklus kemakmuran hidup yang silih berganti - di mana era kemakmuran akan diikuti oleh era kegelapan yang akan kembali lagi ke era kemakmuran pada waktunya, prediksi ini menarik bagi sistem kepercayaan orang Jawa. 

Banyak orang Jawa yang percaya bahwa mereka sekarang berada di tengah Jaman Edan (zaman kegilaan), atau zaman kegelapan. Oleh karena itu, kedatangan Ratu Adil diperkirakan sudah mendekati waktunya dan dia akan mengantarkan fajar zaman keemasan baru.

Sabda Palon bersumpah untuk kembali lagi dalam 500 tahun setelah meninggalkan raja untuk menjadi penjaga Tanah Jawa. 

Selain itu, pada ayat-ayat terakhir kitab nubuat di Jayabaya tahun 1135-1157 disebutkan Sabda Palon pada ayat 164 dan 173 yang menggambarkan sosok Putra Betara Indra yang menguasai seluruh pelajaran, dia membelah tanah Jawa dua kali.

Bagian paling aneh? Jayabaya juga meramalkan bencana alam terakhir dunia akan terjadi pada tahun 2100. Ini untuk 79 tahun lagi di Bumi!

Brawijaya

 

Brawijaya Goa Bribin - Pantai Ngobaran - Tan Keno Kinoyo Ngopo -

Pada permulaan masa dewa-dewa, keberadaan lahir dari ketiadaan. (Rig Veda).

Suatu waktu di sekitar akhir abad XVI, seorang ‘Raja Jawa’ manekung di sebuah gua. Menyendiri. Meninggalkan riuh kekuasaan yang ‘ambruk’. Melenguhkan penderitaan Jawa. Seakan hendak merelakan kebesaran ‘agama’nya dipergantikan; nuju kelepasan. Kemudian, ia mengulang-ulang pertanyaan ini: akan memilih ke mana tubuh-ruhku, ke agamaku ataukah ke ‘anakku’?

Barangkali, jauh di kedalaman hatinya, sebelum menepi-menyepi ke Gua Bribin itu, sebelum meninggi di tebing Ngobaran, sebelum memelosok di gunung-gunung Gunungkidul, ia sudah punya jawaban. Jawaban setua paganisme Jawa. Bukankah Jawa telah cukup dari mula; tak butuh tetek-bengek lagi ideologi? Bukankah orang-orang dunia kuno [baca: Yunani kuno] menyebut Jawa tempat leluhurnya menancapkan paku sebagai ‘tanah suci’, white island; the land pured by fire?

Hanya tampak bersit cahaya dari luaran, untuk beberapa waktu ia merenungkannya. Toh pada akhirnya, ia, raja Majapahit yang ‘ada’ dalam angan-angan kolektif rakyat pegunungan selatan, yang tak pernah sama sekali disebut dalam prasasti atau manuskrip sebagai raja terakhir Majapahit―karena sumber prasasti menyebut Raja Majapahit terakhir dari Dinasti Girindrawarddhana, tokoh yang dituturkan ulang kali dalam upacara-upacara, legenda, dan mitologi, yang diceritakan berbeda-beda dalam Babad Tanah Jawi, Serat Kanda, dan Darmogandul tentang keberadaannya menjelang runtuhnya Majapahit, memilih moksa: senyap yang tanpa bekas.

Rakyat punya versi sejarah sendiri tentangnya. Keyakinannya lebih tertanam pada apa yang telah indah dan akan selalu indah di bumi Jawa, di nusa-antara; Eden yang penuh tetumbuhan. Menumbuhkan biji-biji Ideologi. Islam adalah tetumbuh yang keluar dari tanah pertiwi, dan ia, Brawijaya, satu dari sekian bapak sejarahnya di waktu-waktu kemudian. Setelah mengembara sekian lama akhirnya si biji tumbuh menjadi anak ideologi, pulang pada sang ibu, lantas setelah si anak menemukan si ayah diam di situ, dengan bahasa dekoratif yang tenang ia menginjak bapaknya. Menyetubuhi ibunya.

‘Orang-orang’ menganggap pilihan Brawijaya kontroversial. Dan kontroversi metafor bagi kreatifitas. Namun sudah banyak disebutkan dalam cerita-cerita: Raden Patah pulang membawa oleh-oleh, agama hubb yang akan menentramkan nusantara, merubah ibu pertiwi menjadi ‘madani’. ‘Buku sejarah’ pernah mewartakan, manusia berusaha menciptakan sejarah demi visi kemenangan, kejayaan, keadilan satu ideologi, yang dipercaya sebagai ‘satu-satunya’ jalan bagi kehidupan yang serba terbatas.

Suatu wilayah geografi sebagai ‘pan-islam’ adalah sebuah angan-angan. Dan melalui bahasa, Raden Patah mencoba mewujudkannya. Bahasa berujung ganda. Konon ia, Si Anak, akan ‘mengajak’ ayahandanya ke surga. Dan Si Bapak, tanpa ragu, sebenarnya telah memilih surganya sendiri. Bukankah dalam ‘kitab-kitab’ disebutkan bahwa nusa-antara adalah surga, di timur? Bukankah Barat mencari ‘ekstator’ di timur, di wilayah yang katanya disepakati bernama (h)indus-nesos ini? Bukankah Gunungkidul surga bagi manusia pra-aksara? Bukankah sejak 1800-an pegunungan seribu oleh Junghuhn disebut sebagai ‘taman Firdaus’? Brawijaya tak perlu sorga, karena ia di sorga, ia sorga.

Cerita moksa sang raja bermula dari alur yang tidak lah njlimet: Raden Patah bukan ‘orang Jawa’, ia tokoh’ dalam sejarah Jawa. Ini tentang ‘anak’ yang mencari bapaknya; ngawu-awu sudarma jika meminjam terma pewayangan. Ia anak ”Elit Arab” yang karena determinasi peperangan lantas di-aku-kan sebagai anak oleh Brawijaya. Dan, lagi-lagi, konstruksi sejarah nusa-antara yang terpaut langsung atau tak langsung dengan hadirnya ‘Islam’ tetaplah abu-abu, bahkan seluruh bangun sejarah nusa-antara yang ‘kewolak-walik’. Sang Anak tak merasa sebagai bagian klan pribumi yang ‘kafir’; sebutan bagi orang-orang yang kediriannya tak dibentuk oleh baju ”Islam”; oleh langit Islam. Sang Bapak bukan ”Islam”. De­ngan ‘kepercayaan Arab’ yang dihaluskan dalam Kitab ia dianggap nista, melenceng, tak pantas. Sang Anak hendak menuntut tahta, sekaligus menegakkan ‘a-gama’ yang ia bawa dari rantau. Sang Bapak memilih senyap.

Membaca moksa Brawijaya seakan meletakkan Complex Oedius psiko-analisisnya Freudian di lembar-lembar tanah Jawa. Teringat sebuah ketegangan antara Sangkuriang dan ayahnya, atau antara Watugunung dengan para dewa. Jika Oedipus membunuh Laius lantas mendapatkan Jocasta beserta kerajaannya, maka Sangkuriang membunuh ayahnya (anjing Si Tumang) dan kemudian hari mengawini Dayang Sumbi, Watugunung mengawini Shinta, ibunya, maka Raden Patah ‘yang Islam’ menyingkirkan ‘ayahnya’ untuk saresmi dengan Pertiwi, lantas menjadi raja Jawa.

Raden Patah resah layaknya remaja yang sedang mencari kediriannya yang terbelah, risau akan identitas. Siapa aku? Barangkali di dalam hatinya ia berkata: Aku adalah putra raja Jawa! Aku membawa agama perdamaian! Aku bukan anak haram! Aku pemimpin baru, harapan baru! Kelahiran baru! Namun, pantaskah seorang anak menyingkirkan bapak demi sebuah konsep kemaslahatan? Bukankah perkawinan sumbang melahirkan bencana?

Dulu, di masa yang lebih tua, seseorang dari tanah seberang dengan genealogi ‘ibrahiman’ menuju tanah Jawa, mengawini putri leluhur Jawa bernama Aki Tirem dan menggantikannya menjadi raja. Kratonnya bernama Salaka-Nagara [Negeri Perak]. Ia mewartakan ide ‘tuhan yang menyatukan’: allahu ahad. Kemudian, di masa-masa yang kemudian, anak cucu Jawa mengamini ide ketuhanan ini; menggunakannya sebagai laku kehidupannya. Ia seperti Bathara Brahma yang mengabarkan ‘ketuhanan’ di tanah Jawa. Tuhan yang menyatukan. Cerita ini seperti ide tentang tuhan yang mengembara, kemudian di waktu-waktu berikutnya ide tentang tuhan itu pulang kampung.

Terkadang konsep ”tuhan” hanya dilihat seba­gai salah satu terma leksikal: theos saja. Ia tak dipersejajarkan dengan konsep ‘paling mutakhir’ dari ‘bukan konsep tuhan’ yang lain. Dengan demikian, tentu saja, kemaslahatan Raden Patah dengan Allah Semitik-nya seakan-akan ‘antagonisme’ bagi Brawijaya. Bersama dengan itu, Brawijaya tak dianggap punya daya khalifah yang universal. Ia bukan khalifah, namun Brahmin. Dan barangkali Brawijaya waktu itu menjawab: “Jawa adalah Islam, namun ‘Islam’ terkadang bukan Jawa, Anakku!” Dan ia pun tampak tak berkenan dengan ekspresi-agresif Raden Patah dan Sunan Kalijaga yang penuh determinasi atas nama ‘Islam’. Mereka ‘memburu’ Brawijaya dari Ngawen, Nglipar, Gubug Gedhe, Ngobaran, hingga Bribin, dalam rangka agar ‘menjadi Islam’.

Bukankah ia sudah Islam, dengan baju Budo? Bukankah ia tak pernah memamerkan kepintaran ‘kitab’ dengan suara-suara yang hebat? Brawijaya tidak dengan ‘sholat’ untuk menuju ‘cahaya maha cayaha’, untuk menjadi ‘cahaya’. Ia cahaya. Ketika beberapa helai rambut gondrongnya ditebas dengan pisau, sebagai kode ‘pengislaman’, ia moksa. Ia lenyap; tubuh, pikir, jiwa, dan ruhnya. Kini ia mungkret, karena selama ruang waktu ini keyakinan telah membuatnya mulur. Ia bintang yang tak lagi punya massa. Ia supernova. Ia pekat. Ia memangsa tubuhnya sendiri. Ia irasional. Ia monisme. Dan tentu saja, lagi-lagi, segala aroma Monistik-Timur yang ‘irasional’ Platonik dianggap berbahaya seperti oleh Pythagoras, karena akan merusak alam semesta.

Dari cerita-cerita yang laten di seluas gunung-gunung selatan, Brawijaya menawarkan sesuatu yang akan selalu hidup sebagai spirit paganisme: Jawa adalah heningnya laku, di goa-goa, bukan teriakan yang menggemuruh.

Kesultanan Demak


Kesultanan merupakan sebutan bagi sebuah Kerajaan yg didirikan atas dasar Agama Islam. Di Indonesia sendiri, banyak berdiri Kesultanan, salah satunya yaitu Kesultanan Demak.

Demak adalah Kesultanan atau Kerajaan Islam pertama yg berdiri di Pulau Jawa. Dan Kesultanan Demak lah yg menurunkan Kesultanan lain di Pulau Jawa, seperti Pajang, Banten, dan Mataram.

Sebelumnya, Demak merupakan sebuah Kadipaten yg berdiri dibawah Kerajaan Majapahit. Di Akhir-akhir kekuasaan Majapahit, Kadipaten Demak sendiri dipimpin oleh Jin Bun atau Raden Fatah.

Kala itu, Kerajaan Majapahit mulai terombang-ambing menuju keruntuhan. Kekacauan di internal Kerajaan membuat daerah bawahannya mulai tidak terurus.

Pada saat itulah, sebagai Bupati Demak, Raden Fatah memisahkan diri dari Majapahit, dan memproklamirkan berdirinya Kerajaan tersendiri yaitu Kerajaan Demak.

Setelah Majapahit benar-benar runtuh, maka Kesultanan Demak lah yg disebut-sebut sebagai Ahli Waris dari Kerajaan Majapahit. Terutama karena Raja pertamanya yaitu Raden Fatah adalah keturunan dari Raja Majapahit terakhir, Raja Brawijaya V.

Sepeninggal Raden Fatah, Kesultanan Demak diteruskan oleh Adipati Unus atau yg juga dikenal sebagai Pangeran Sabrang Lor, karena pernah memimpin penyerangan terhadap Portugis di Malaka atau sebelah Utara.

Setelah Adipati Unus wafat, Pemimpin selajutnya diserahkan kepada Saudaranya yaitu Pangeran Trenggono. Di masa kepemimpinannya lah, Kesultanan Demak mencapai puncak kejayaannya. Saat itu, Kesultanan Demak berhasil menguasai hampir seluruh Pulau Jawa.

Namun, setelah berakhirnya era Pangeran Trenggono, di Kesultanan Demak terjadi perebutan tahta kekuasaan. Hingga akhirnya, justru berimbas pada runtuhnya Kesultanan Demak.

Masjid agung Demak

Masjid Agung Demak merupakan Masjid yg dibangun pada abad 15, dan salah satu Masjid tertua di Indonesia.

Letak Masjid ini berada di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Lokasinya yg berada di dekat alun-alun Ibukota Demak, menjadikan Masjid ini mudah untuk ditemui. 

Masjid Agung Demak dibangun oleh Sultan pertama Kesultanan Demak, yaitu Raden Patah, bersama para Walisongo.

4 tiang utama di dalam Masjid atau Saka Guru Masjid, dibuat langsung oleh Walisongo. Tiang sebelah barat laut, dibuat oleh Sunan Bonang. Tiang sebelah barat daya, dibuat oleh Sunan Gunung Jati. Tiang sebelah tenggara, dibuat oleh Sunan Ampel. Tiang sebelah timur laut, dibuat oleh Sunan Kalijaga.

Masjid Agung Demak inilah yg menjadi tempat berkumpulnya Dewan Walisongo, untuk bermusyawarah terutama dalam urusan penyebaran Agama Islam.

Sebagai bangunan penting Kesultanan Demak, Di Komplek Masjid Agung Demak ini, juga terdapat Makam-Makam para Sultan Demak dan abdinya.





Kesultanan Pajang

Sultan Hadiwijaya terlahir dengan nama Mas Karebet pada tanggal 18 Jumadilakhir tahun Dal mongso Kawolu. Beliau adalah putra dari Penguasa Kraton Pengging, Ki Ageng Kebo Kenanga dari garwanya Rara Alit putri Pangeran Gugur (putra Prabu Brawijaya V). Mas Karebet sejak kecil hidup sebatang kara. Pada usia dua tahun, Bapaknya meninggal sewaktu ada penyerangan Demak ke Pengging. Ki Ageng Kebo Kenanga wafat tertusuk keris Sunan Kudus. Sedangkan Ibunya, Rara Alit meninggal setelah 40 hari wafatnya Ki Ageng Kebo Kenanga. Beberapa waktu kemudian Mas Karebet diangkat putra oleh Nyai Ageng Tingkir. Kemudian Mas Karebet dikenal dengan nama Joko Tingkir.

Joko Tingkir sangat suka bertapa dan menyepi untuk menambah kekuatan batinnya. Beliau belajar kepada berbagai Guru antara lain Ki Ageng Selo, Sunan Kalijaga, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, Ki Adirasa, dan Ki Buyut Banyubiru. 

Cinarita Jumungah marêngi | lingsir wêngi saking lèr kang cahya | nalika wahyu dhawuhe | muncar kadya andaru | manjing marang Dyan Jaka Tingkir | waridah ing karajan | wus angalih pulung | pulungira Sultan Dêmak | nganti sangat mring putrangkat Jaka Tingkir | eca panendranira(Sekar Asmaradana pupuh 40, Babad Tanah Jawa ~ tentang rawuhnya Wahyu Ratu kepada Raden Joko Tingkir)

Banyak Tokoh Tokoh yang telah mengetahui bahwa kelak Joko Tingkir akan menjadi Raja yang menurunkan Raja Raja Jawa. Ayahnya pun tahu bahwa beliau harus menikah untuk melahirkan calon raja. Dan akhirnya takdir membawanya ke Keraton Demak. Joko Tingkir menjadi Prajurit Tamtama,  Lurah Wira Tamtama. Kemudian beliau menjadi Pengawal Pribadi Sultan Trenggana dengan nama Rahadyan Joko Tingkir. Meski sempat diusir dari Demak karena salah paham akhirnya  berkat usahanya Joko Tingkir bisa kembali menduduki jabatannya dengan gelar Adipati. Enam bulan kemudian Adipati Joko Tingkir dinikahkan dengan Ratu Mas Cempaka, putri  Sultan Trenggana dari garwa putri ketiga Sunan Kalijaga. Setelah pernikahan, Raden Joko Tingkir diangkat menjadi Adipati di Kadipaten Paos dengan gelar Adipati Pajang. Setelah Sultan Trenggana wafat, Dan kondisi Demak yang tidak stabil, kemudian tahun 1458 Raden Joko Tingkir diangkat menjadi Sultan Pajang oleh Panembahan Giri Prapen juga disaksikan Sunan Kalijaga dengan gelar "  Sultan Hadiwijaya Hing Pajang.Tahun Candrasengkala 1503 Dahana Muluk Barat Nempuh Wani. Sultan Hadiwijaya memerintah Kraton Pajang selama 32 tahun Berikut silsilah Sultan Hadiwijaya :

Retno Pembayun putri Prabhu Brawijaya V menikah dengan Sri Makurung Prabu Handayaningrat yang terakhir, berkedudukan di Pengging . Menurunkan 3(tiga) putera adalah :

1. Ki Ageng Kebo kanigara, tidak mempunyai keturunan

2. Ki Ageng Kebo kenanga, menurunkan Mas Karebet, dan

3. Raden Kebo Amiluhur, dewasa wafat.

Ki Ageng Kebo Kenanga menikah dengan Rara Alit putri Pangeran Gugur menurunkan : Mas Karebet.

Mas Karebet atau Raden Joko Tingkir menikah dengan Ratu Mas Cempaka putri Sultan Trenggana.

Menurunkan 7 (tujuh) putera puteri, adalah:

 1. Ratu Mas Pambayun, di Ngarisbaya;

 2. Ratu Mas Kumelut, di Tuban;

 3. Ratu Mas Adipati, di Surabaya;

 4. Ratu Mas Banten menikah dengan Ki Juru Mertani.

 5. Ratu Mas Jepara menikah dengan Arya Pangiri ( putra Panembahan Prawata )

 6. Pangeran Benawa 

 7. Pangeran Sindusena

Tahun 1458 Sultan Hadiwajaya, dinobatkan Raja di Pajang, dan berkuasa selama 32 (tiga puluh dua) tahun.

Sultan Ngawantipura, dinobatkan sebagai raja dan berkuasa selama 3 (tiga) tahun.

Adipati Benawa Sultan Hawijaya, dinobatkan sebagai raja dan berkuasa selama 1 (satu) tahun.

Setelah wafat Sultan Hadiwijaya dan puteranya Adipati Benawa, dimakamkan di Pasareyan Butuh, terletak di wilayah Kabupaten Sragen.

Kanjeng Adipati Benawa menurunkan 3 (tiga) putera puteri yaitu  :

1. Pangeran Mas, menjabat sebagai Adipati di Pajang.

2. Pangeran Sidowingi

3. Pangeran Kaputrah, di Pajang.

4. Kanjeng Ratu Mas Hadi, sebagai prameswari Hingkang Sinuhun Prabu Hadi Hanyakrawati, di Mataram, menurunkan putra Hingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma di Mataram.

Dan kelak menurunkan Raja Raja Jawa.

Al Fatihah kagem Eyang Sultan Hadiwijaya.

Ki Ageng Pamanahan

Kiai Gede Mataram sebelum pindah ke alas Mentaok pemberian Sultan Hadiwijaya dari Kerajaan Pajang dikenal sebagai Kiai Gede Pamanahan atau Ki Ageng Pamanahan. Ia putra dari Kiai Gede Ngenis atau Ki Ageng Ngenis, dari Laweyan (sebelah timur Pajang) cucu dari Kiai Gede Sela atau Ki Ageng Selo. Kiai Gede Sela ini putra  dari Ki Getas Pandawa yang nikah dengan  putri Ki Ageng Ngerang Jadi Kiai Gede Mataram ini buyut (cicit) dari Ki Getas Pandawa. Ki Getas Pandawa memiliki  putra-putri sebanyak tujuh orang yakni :

1. Ki Ageng Selo

2. Nyi Ageng Pakis.

3. Nyi Ageng Purna.

4.  Nyi Ageng Kare.

5.  Nyi Ageng Wanglu.

6.  Nyi Ageng Bokong.

7.  Nyi Ageng Adibaya.

Sedang  Kiai Ageng Selo dikaruniai putra-putri juga sebanyak tujuh orang seperti ayahnya masing masing adalah :

1.  Nyi Ageng Lurung Tengah.

2.  Nyi Ageng Saba.

3.  Nyi Ageng Bangsri.

4.  Nyi Ageng Jati.

5.  Nyi Ageng Patanen.

6.  Nyi Ageng Pakis Dadu.

7.   Ki Ageng Ngenis.

Sungguh suatu kebetulan atau memang sudah kehendak Tuhan, bila Ki Getas Pandawa putranya cuma satu yaitu Ki Ageng Selo yang menempati urutan pertama (Sulung) giliran Ki Ageng Sela putranya juga cuma satu yaitu Ki Ageng Ngenis namun menempati urutan terakhir (Bungsu)  kebalikan dengan ayahnya. Ki Ageng Pamanahan  adalah  putra Ki Ageng Ngenis, nama kecilnya ialah Bagus Kacung aslinya dari Grobogan dekat Purwadadi, ikut ayahnya mengabdi di Kerajaan Pajang. Kebetulan Sultan Hadiwijaya itu saudara  seperguruan dengannya  dalam  Olah Kanuragan dan spiritual kepada Ki Ageng  Selo. Maka tak heran bila ia adalah Andi yang disayangi dan dihormati Sultan, bahkan  anaknya  yang bernama Danang  Sutawijaya  menjadii  anak angkat Sultan. Kepribadian Ki Ageng Pemanahan sederhana suka mengalah dalam  menghadapi setiap masalah, baginya  mengalah itu bukan berarti kalah tetapi merupakan kemenangan yang tertunda. Sesudah memperoleh anugerah tanah yang terletak di Alas Mentaok dari Sultan Hadiwijaya, dalam perjalanan ke daerahnya yang baru, Kiai Gede Pemanahan  selanjutnya  bernama Kiai Gede Mataram.  Keberangkatannya dari Pajang  berlangsung secara sederhana tanpa kebesaran. Kiai Gede Mataraman berjalan didepan, kemudian istri dan anak-anaknya dalam deretan panjang, dengan membawa  berbagai macam barang  dan bekal. Apa  saja yang termasuk keperluan rumah tangga dibawa semua, tidak ada sepotong barangpun yang ditinggalkan. Maka tidak mengherankan apabila perjalanan mereka lamban. Versi lain menceritakan bahwa perjalanan dimulai dari daerah asalnya  (Grobogan) dengan disertai istri, anak-anaknya  dan  seluruh kerabat serta pen-duduk Desa yang mau ikut. Perjalanan membentuk barisan  panjang mengurai  mengular,  maka tidak mengherankan  perjalanan terasa lamban. Keperluan yang dibawa tidak beda alias sama. Upacara keberangkatan Kiai Gede Pemanahan dari Pajang biasa-biasa  saja. Ini berlawanan  dengan Serat Kandha (hal. 504) yang masih menceritakan penyerahan sebuah piagam secara resmi. Mengenai permukimsn Kiai Gede Pamanahan atau  Kiai  Gede  Pemanahan di Mataram, Babad Tanah Jawi  (Meinsma, Babad, hal. 66-67)  cuma  dicerita- kan hal-hal yang menggembirakan yaitu Alam  membantu dengan panen yang berlimpah, bahkan air sumur tampak  jernih. Perdagangan berkembang dengan pesat. Banyak orang-orang yang menetap di sana. Ki Gede Pamanahan yang sudah  berganti  nama menjadi Ki Ageng Mataram, bersama kaumnya menikmati kehidupan tanpa kesulitan apa pun. Namun, ia  melakukan tapa disebabkan ia mendengar  dan  mengetahui apa yang pernah diramalkan oleh Sunan Giri bahwa dikelak  kemudian hari, di Mataram akan muncul  Raja-Raja besar yg berkuasa atas seluruh  tanah Jawa dan ramalan yang  mengatakan  kelak keturunannya akan menjadi Raja. Dan berharap bahwa keturunannya menjadi Raja dikemudian hari.


- DR.H.J de Graaf  "Awal Kebangkitan Mataram" Penerbit PT Pustaka Gtafitipers, Cetakan Pertama 1985.

Panembahan Senopati


RADEN DANANG SUTAWIJAYA PELETAK DASAR EKSITENSI KERAJAAN MATARAM PADA TAHUN 1584

Raden Danang Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pamanahan(Pemanahan), terlahir  dari rahim putri Ki Ageng Saba yang dinikahi oleh Bagus Kacung (Ki Ageng Pamanahan. Silsilah dan garis ibu yaitu Ki Ageng Saba(kakek Raden Danang Sutawijaya)atau mertua ayahnya. Ki Ageng Saba sendiri adalah putra Sunan Giri ke II, Sunan Giri ke II putra Sunan Giri I. Dari garis ayah, ia putra Ki Ageng Pamanahan, ayahnya adalah Ki Ageng Ngenis berdiam di Laweyan (sebelah  timur Pajang). Selanjutnya ayah Ki Ageng  Ngenis adalah Ki Ageng Selo dan ayah Ki Ageng Selo adalah Ki Getas Pandawa.

Raden Danang Sutawijaya juga disebut Bagus Srubut, mempunyai saudara :

1. Raden Tompe.

2. Raden Santri.

3. Raden Jambu.

4. Putri (istri Tumenggung Mayang).

Raden Danang Sutawijaya dijadikan putra angkat oleh Sultan Hadiwijaya dari  Kerajaan Pajang dan diangkat sebagai Ngabehi, sejak itu disebut Raden Ngabehi Loring Pasar, Dimungkinkan kediamannya di sebelah utara pasar, hanya saja tidak  terlacak pasar mana? diduga ada tiga kemungkinan tempat dimana pasar itu yakni :

1. Pasar Pajang.

2.  Pasar Jongke.

3.  Pasar Laweyan.

Awal kekuasaan Raden Danang Sutawijaya  tidak lepas dari pemberitaan Babad Tanah Jawi (BTJ)Meinsma, Babad,hal.72 memberikan gambaran yg singkat sekali :

- Setelah ada berita mengenai kemakmuran Mataram murah sandang pangan menyusul berita tentang  penyakit  Kiai Gede Mataram. Ia menyerahkan sepeninggalnya atas nasib keturunannya kepada Ki Juru Martani, yang harus dipatuhi oleh anak-anaknya. Putranya   Ngabehi Loring Pasar, akan menjadi penggantinya. Selanjutnya jenazahnya  dimakamkan disebelah barat masjid.

Serat Kandha (hal. 527-528)  tidak  memuat penjelasan lain. Namun sesudah itu terdapat berita mengenai  pengangkatan putranya (Meinsma, Babad,

hal. 72-73) :

- Sehari setelah meninggalnya Ki Gede Mataram, Ki Juru Martani bersama  seluruh keluarga pergi ke Pajang  menghadap Sultan, tepat pada suatu hari  Senin. Mereka mengambil tempat dibawah

pohon beringin kurung. Setelah dipanggil Sultan Ki Juru Martani menyampaikan  berita tentang junjungannya, dan bertanya  siapakah dari kelima  putranya  yang  akan  menggantikan petinggi  Mataram itu. Sultan menunjuk "putranya",Ngabehi  Loring Pasar dan memberikan nama Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama. Tahun pertama ia tidak usah datang di istana Pajang, agar dapat menggunakan  waktunya untuk menertibkan daerahnya  dan mencicipi kenikmatan.

- Setelah itu Ki Juru Martani dan kemenakannya mencium kaki Sultan dan minta izin pulang.

- Semenjak itu jumlah penduduk Mataram bertambah banyak dan Senapati menikmati Kehidupan tanpa kesulitan.

Itulah awal berkuasanya Senapati dibumi  Mataram, tahun 1584 merupakan juga tahun meninggalnya Ki Gede Pamanahan. Menjadi Raja di Kerajaan Mataram yang  didirikannya pada tahun 1586 dan meninggal pada tahun 1601.  Versi lain mengatakan mulai memerintah pada tahun 1584. Ia dimakamkan disebelah selatan masjid, diujung kaki ayahnya. Meninggalkan 2 orang permaisuri, yang nomor satu putrinya Ki Ageng Panjawi (Pati) dan yang nomor dua putrinya Panembahan Mas (Madiun). Putra-putrinya ada 23 orang, yang hidup cuma18(Putra 11, Putri 7) serta yang  meninggal sewaktu masih kecil 5 orang. Dalam bidang budaya Panembahan  Senopati telah menyempurnakan bentuk  wayang dengan tatahan gempuran.

 (Haryanto,1988, hal.204).


Watu Gilang Lipuro DIY

BATU GILANG PETILASAN PASUJUDAN PANEMBAHAN SENOPATI

Lokasi Berada Di Gilang Harjo Pandak Bantul Yogyakarta

Diceritakan Pada sekitar Tahun 1491 M ketika Kerajaan Pajang dipimpin oleh Raja Kanjeng Sultan Hadi Wijaya, terdapat pemberontakan dari Adipati Harya Penangsang yang berasal dari Jipang Panolan (Sekarang Kabupaten Blora). Pemberontakan tersebut bisa dikalahkan oleh Raden Mas Danang Sutawijaya (Senopati / Panglima Perang Kerajaan Pajang) beserta Kyai Agêng Juru Mertani ,Kyai Agêng Pemanahan Dan Kyai Agêng Penjawi. Atas jasa jasanya Tersebut kemudian Raden Danang Sutawijaya dihadiahi Bumi Perdikan yaitu Bumi Alas Mentaok dengan area di sebelah selatan Gunung Merapi, sebelah utara Pantai Selatan. ​Sedangkan Kyai Ageng Penjawi di berikan Bumi Perdikan daerah Pati

Di Kala itu, Raden Danang Sutawijaya mengembara, sampailah Beliau di hutan Wanalipura. Di tengah hutan Wanalipura Tersebut, terdapat sebuah Danau / Belik  Dan Di tengah Belik, terdapat sebuah batu “Gilang”. Kemudian, Oleh Raden Danang Sutawijaya Batu Gilang Tersebut Dipergunakan sebagai tempat Bertapa dan bermunajat kepada Gusti Kang Murbeng jagad

Konon Diceritakan Bahwa Hutan Lipura Disebut Sebagai Kembarannya Alas Purwa Banyuwangi , Disebut Demikian Karena Kedua Alas Tersebut sdh Sangat Terkenal Keangkerannya​ ,Wingit Kepati Pati Jalmo Moro Jalmo Mati..Sehingga Tidak sembarangan Orang yg berani Memasuki Alas tersebut..

Konon Di Zaman Kerajaan Majapahit Alas Lipura yg terkenal wingit Tersebut Pernah Dipergunakan sebagai tempat pembuatan Tosan aji / Pembuatan Benda2 Pusaka Oleh Empu Supodriyo dan Empu Supodigdo

Sementara itu, di wilayah Kotagedhe kala itu, Kyai Ageng Juru Mertani dan Kyai Ageng Pamanahan menuju ke peraduan Raden Danang Sutawijaya. Mereka mengira bahwa Raden Danang Sutawijaya hanya berdiam diri saja tanpa Ikhtiar usaha mengingat keinginannya untuk menjadi seorang Raja. Lalu, Kyai Agêng Juru Mertani dan Kyai Ageng Pamanahan menanyakan perihal keberadaan Raden Danang Sutawijaya kepada prajurit penjaga. Akan tetapi, prajurit memberitahukan bahwa sebenarnya yang ia tunggui hanyalah bantal dan guling. Kemudian, ia mengantarkan mereka ke Wanalipura 

Ketika Kyai Agêng Juru Mertani dan Kyai Ageng Pamanahan sampai di Hutan Lipura, mereka melihat Ternyata Raden Danang Sutawijaya sedang bermunajat. Tiba-tiba muncullah cahaya terang /LINTANG JOHAR masuk kedalam tubuh Sang Senopati tersebut. Cahaya itu dapat berbicara layaknya manusia. Cahaya itu menyampaikan pesan sebagai berikut :

“Kau kelak akan menjadi Raja dan akan disegani di seantero Jawa, lalu disempurnakan oleh cucumu (Sultan Agung) yang menjadikan masa kejayaan Kerajaan Mataram. Kemudian akan banyak bencana, gempa bumi, gunung meletus, dan timbul tenggelamnya Mataram akan menjadi tanda-tanda dari akhir zaman”.

Dalam kepercayaan Jawa, Lintang Johar / Nur Muhammad adalah perwujudan Hidup (Allah ), merupakan Sumber Segala Ruh, Pusar Alam Semesta.

Ada Pula yang menyebut Lintang Johar Berasal dari Maruta (Hawa/Angin ) Bersinar Kuning Jernih Seperti Cahaya Bulan , bersemayam di dalam Empedu dan memiliki kekuatan mengatur Keluar masuknya Udara di Paru paru

Lalu berkatalah Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Pamanahan, “Wahai Anakku, wahyu itu jaiz (semu), yang pasti kita akan diserang oleh pasukan Kerajaan Pajang, yang dpimpin oleh Sang Putra Mahkota. Sekarang, marilah berbagi tugas, mintalah pertolongan kepada Gusti Allah , kami akan pergi ke Gunung Merapi, dan kamu ke Cempuri dengan tujuan untuk berdoa meminta belas kasih Gusti Allah sebagai perlawanan tanpa mengangkat senjata dan agar tidak terjadi peperangan.” Atas rahmat Gusti Allah Doa mereka terkabul. Peperangan tidak terjadi 

Setelah bermunajat di Gilanglipuro, Raden Danang Sutawijaya bergelar Panembahan Senopati. Panembahan Senopati bermakna Senopati / Panglima Perang sekaligus sebagai Ulama. Panembahan berasal dari kata “Manembah” yang berarti ulama, tetapi pada waktu itu  status ulama  masih disamarkan karena masih banyak rakyat yang menganut kepercayaan Hindhu dan Budha.

Setelah bermunajat, Panembahan Senopati memiliki keinginan untuk mendirikan atau membangun Sebuah Kraton di wilayah Alas Sepura Tersebut dan Diceritakan Beliau Sempat Mendirikan Sebuah Kraton ,Akan tetapi  rencana utk melanjutkannya diurungkan karena mengingat di sebelah Barat Wanalipura masuk wilayah Wanabaya yaitu Daerah Perdikan /Kekuasaan Ki Ageng Mangir Wanabaya, sedangkan di sebelah Timur Wanalipura masuk wilayah Wanadara Yaitu kekuasaan Ki Ageng Paker Maka, tidaklah pantas membangun Sebuah kerajaan di wilayah perbatasan orang lain.Kemudian Kraton yg sdh buat Oleh Panembahan Senopati tersebut Dengan Kesaktiannya​/ Karomah Beliau Hanya dengan Di Usap dengan Telapak tangannya Kraton Tersebut hilang musnah amblas tertutup tanah

Adapun rencana pembangunan kerajaan / istana selanjutnya akhirnya dilaksanakan di Kotagede. 

Pada Sekitar tahun 1746 M, area Belik / Danau tempat permunajatan /Pasujudan Raden Danang Sutawijaya Tersebut ,oleh  Kanjeng Sinuwun Pakubuwono II diurug menjadi daratan dan didirikan sebuah bangunan untuk menjaga, melindungi dan melestarikan Gilanglipuro yang dulunya merupakan tempat bertapa Panembahan Senopati. 

Hingga kini tempat Tersebut masih juga Angker dan Dipercaya Siapa saja yg Berdoa di tempat tersebut Dengan Niat yg bersungguh sungguh insyaAllah Apapun Khajatnya akan Terkabul

Bangunan Tersebut diberi nama “Patilasan Pasujudan Gilanglipuro”. “Gilang” artinya batu sedangkan “Lipuro” berarti pelipur lara. Sehingga jika diruntut dari sejarah, nama resmi situs ini adalah Gilang Lipura...


WallahuA'lam....

Kisah Mistik Sultan Agung


Suatu ketika pada saat Sultan Agung Shalat Jumat rutin di Masjidil Haram, Mekah. Pada salah satu Jumat, ia berjumpa dengan penguasa Mekah dan meminta agar diizinkan membuat pasarean di dekat Masjidil Haram untuk makamnya kelak. Disana, Sultan Agung diizinkan membangun makam, tapi Sunan Kalijaga berhasil membujuk agar niat itu tidak dilaksanakan dengan alasan banyak kawula Mataram nantinya tak bisa berziarah.

Sunan Kalijaga menawarkan jalan keluar, beliau mengambil segumpal tanah dari Pasarean Nabi, dibungkusnya dalam sepotong kain, lalu dilempar kearah Pulau Jawa. Sunan Kalijaga menjelaskan, dimana tanah itu jatuh, di situlah makam boleh dibangun.

Gumpalan tanah itu jatuh di bukit Imogiri, kawasan yang menjadi pemakaman Raja-Raja Mataram Islam di kemudian hari. Sultan Agung akhirnya dimakamkan disana.

Babad Nitik, sebagai contoh tradisi babad di awal perkembangan Islam di Jawa, menjadi sangat penting. Babad ini menggambarkan kepandaian keagamaan dan kemampuan Mistik Sultan Agung, termasuk dalam menaklukkan Sumatera dan Mekah dengan cara-cara mistik.

Imogiri dilukiskan sebagai Mekah-nya Jawa dan tempat pemakaman Iskandar Agung.Beliau dikatakan mempunyai kemampuan melakukan Shalat Jumat di Mekah secara rutin. Babad ini mewakili tradisi yang, di sepanjang pemerintahan Sultan Agung, dimaksudkan untuk menegaskan legitimasi keagamaan Mataram.

Kisah lain, misalnya, tentang penentuan arah kiblat Masjid Demak. Kisah yang sangat populer ini menuturkan bagaimana akurasi arah kiblat Masjid Demak ditentukan oleh, siapa lagi kalau bukan, Sunan Kalijaga yang merentangkan kedua tangannya, tangan kanan menyentuh Ka’bah dan tangan kiri menyentuh Masjid Demak.

Ini termasuk kisah-kisah kesaktian para tokoh yang sanggup mengatasi ruang dan waktu untuk melakukan perjalanan bolak-balik antara Jawa dan Mekah. Sultan Agung adalah salah satu tokoh yang dikonstruksi sanggup melakukan hal itu. Sunan Kalijaga, Syekh Siti Jenar, dan beberapa waliyullah lain juga dipercaya punya kemampuan itu.  

Bagi para Raja Mataram, sebelum atau sesudah pembagian Surakarta dan Yogyakarta, pusat dunia berada di tempat mereka bertakhta.


Astana Imogiri Tempat Para Raja Jawa

Makam Raja-Raja Mataram di puncak bukit ini dibangun atas gagasan Sultan Agung. Bukit ini dinamakan Pajimatan Girirejo, terletak di Bantul, arah selatan Kota Yogyakarta, tak jauh dari pantai selatan. Imogiri berasal dari dua kata yang berasal dari bahasa Jawa Kuna, Ima dan Giri, Ima berarti Kabut, Giri berarti Gunung. secara utuh Imogiri memiliki arti Gunung yang berkabut, karena Imogiri terletak di kaki Bukit Merak (lembah). Diapit dua aliran sungai disebelah barat dan timur, yaitu sungai opak dan sungai celeng. Pembangunan kompleks makam raja-raja di Imogiri ini dimulai pada 1632, atau memasuki dekade kedua era Sultan Agung. Pusat pemerintahan Kesultanan Mataram Islam kala itu berada di Kotagede, dekat pusat Kota Yogyakarta dan sekarang area pemakaman ditempatkan di puncak bukit Imogiri.

Untuk mencapainya harus menaiki tingkat yang berjumlah 409 anak tangga dengan kemiringan 45 derajat dan lebar sekitar 4 meter. Menurut mitos setempat, barangsiapa saat menaiki anak tangga itu dapat menghitung jumlahnya dengan tepat, maka keinginannya akan terkabul. Sebagaimana namanya, kompleks makam Imogiri memang diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan terakhir bagi raja-raja Mataram Islam dan raja-raja turunannya, hingga terbelahnya Dinasti Mataram menjadi dua kerajaan yang masih eksis hingga saat ini, yakni Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta dibagi menjadi tiga wilayah utama, yaitu Astana Kesultanan Agung, Wilayah Makam Raja-raja Surakarta, dan Wilayah Makam Raja-raja Yogyakarta.

Di kawasan Astana Kesultanan Agung terdapat makam Sultan Agung, Kanjeng Ratu Batang (istri Sultan Agung), Amangkurat II (pendiri Kasunanan Kartasura setelah runtuhnya Mataram Islam), dan Amangkurat III (raja kedua Kasunanan Kartasura). Sedangkan di wilayah makam raja-raja Surakarta dikebumikan Pakubuwana I (raja ketiga Kasunanan Kartasura) dan para penguasa Kasunanan Surakarta dari Susuhunan Pakubuwana II hingga Pakubuwana XII. Terakhir adalah wilayah makam raja-raja Yogyakarta untuk sebagai tempat persemayaman terakhir para pemimpin Kasultanan Yogyakarta, dari Pangeran Mangkubumi atau Sultan Hamengkubuwana I hingga Hamengkubuwana IX, kecuali Hamengkubuwana II yang dimakamkan di Kotagede, bekas ibukota Mataram Islam. 

Di tembok sebelah timur luar makam Sultan Agung, terdapat 3 makam misterius yang asal-usulnya sulit sekali untuk dilacak. Hanya nama Cindeamoh tertulis dipagar tembok makam. Konon, dulu sebelum di pugar, separo nisannya, di dalam rumah cungkup makam Sultan Agung, ini menunjukkan betapa dekatnya hubungan antara Sultan Agung dengan Kyai Cindeamoh. Di samping makam Kyai Cindeamoh, terdapat pohon Randu Alas yang telah tumbuh ratusan tahun yang mitosnya sering terlihat sosok Naga bersayap. 

Sosok Kyai Cindeamoh, dikatakan sebagai abdi-dalem terkasih Sultan Agung dan merupakan empu keris keraton. Silsilah Kyai Cindeamoh sangat samar. Di samping makamnya, ada bangunan makam Tumenggung Suponto. Agak kebawah tanpa peneduh merupakan makam Tumenggung Nolodermo. Pengkhianatan Tumenggung Endranata  membuat Sultan Agung murka. Panglima perang Mataram itu pun diadili dan dijatuhi hukuman mati. Tubuhnya dipenggal menjadi tiga bagian. Ketiga potongan tubuh ini kemudian ditanam di jalur anak tangga yang mengarah ke kompleks pemakaman raja-raja di Imogiri, sehingga jasad si pengkhianat terinjak-injak oleh orang yang sedang menaiki anak tangga tersebut.

Sejarawan Belanda, H. J. De Graaf dalam penelitiannya mengemukakan beberapa hal yang menarik disimak. Menurut De Graaf (1986), gelar Sultan bukanlah gelar yang sejak awal digunakan oleh cucu Panembahan Senapati itu. Awalnya ia menggunakan gelar Sunan atau Susuhunan. Menurut Anthony Reid (1999), pun gelar ini dikenakan sejak 1624 setelah ia berhasil menaklukan Jawa lebih luas dari penguasa manapun sejak surutnya Majapahit. Gelar ini sekaligus juga menandaskan bahwa secara spiritual ia berdiri sejajar dengan para Wali. 

Banyak di antara para Peziarah dalam melakukan ritual, selain berdzikir juga tak sedikit di antara mereka yang berjalan mengitari tembok makam Searah dengan arah jarum jam. Mereka melakukan hitungan ganjil. Bisa tiga, tujuh, sembilan, sebelas atau bahkan sepuas hatinya (manteb), asalkan jatuh pada angka ganjil.

Bagi orang Islam-Jawa yang sosiokulturalnya cenderung berwarna pedesaan ketimbang perkotaan, ternyata mereka punya anggapan bahwa melakukan ritual kubur dan mengelilingi makam raja-raja di Imogiri nilai atau maknanya tidak berbeda dengan orang pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Alas Krendhawahana

 

Banyak yang percaya, bahwa Kasunanan Surakarta Hadiningrat masih dilindungi kekuatan gaib. Kekuatan itu ada di empat arah mata angin.

Untuk wilayah Selatan dilindungi Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang beristanakan di Salokadomas (Pantai Selatan). Sebelah Barat dilindungi Kanjeng Ratu Mas yang bersemayam di Gunung Merapi. Wilayah Timur dijaga Kanjeng Sunan Lawu dengan Keraton di Gunung Lawu.  Dan Utara dijaga Kanjeng Ratu Bathari Durga (Bathari Kalayuwati) dengan istana di Alas Krendhawahana.

Meyakini dijaga dan dilindungi oleh leluhur-leluhur gaib, maka setiap tahun Keraton Kasunanan Surakarta mengadakan ritus. Memberi persembahan di empat tempat itu. Upacara sesaji Mahesa Lawung yang diadakan setiap tahun itu sebagai bentuk persembahan kepada Kanjeng Bathari Durga. 

Dalam buku Durga Umayi yang disusun Y.B. Mangunwijaya 1991, agama Hindu mempercayai Bathara Durga adalah ibu dari Dewa Ghanesa dan Dewa Kumara (Kartikeya). Bathara Durga kadangkala disebut Uma atau Parwati. Bathara Durga biasanya digambarkan sebagai seorang wanita cantik memiliki banyak tangan berkulit kuning yang mengendarai seekor harimau. "Itu karena Alas Krendhawahana sebagai tempat bersemayamnya Kanjeng Bathari Kalayuwati. Tempat itu tetap disakralkan pihak keraton. Jadi, jika Alas Krendhawahana sampai sekarang ini masih terasa angker dan keramat itu logis". "Karenanya, tempat itu juga diberi nama Setra Ganda Mayit (tanah yang berbau mayat). Kusumo Tanoyo menuturkan, dari masalah rupa Kanjeng Bathari Durga (Bathari Kalayuwati) yang semula amat jelita. Karena melakukan perselingkuhan, dia menjelma menjadi Raseksi (raksasa perempuan) yang wajahnya amat menyeramkan. Dia memutuskan untuk tinggal di Setra Ganda Mayit membawahi para lelembut dan siluman.

Situs Mistis. Di kisahkan bahwa di Alas Krendhowahono inilah tempat yang biasa digunakan raja-raja Mataram zaman dahulu untuk menyepi dan bersemadi guna mendapatkan wangsit atau petunjuk. Tempat ini dulunya merupakan hutan yang angker, pepatah mengatakan jalmo moro jalmo mati.

Presiden pertama dan kedua kita yakni Soekarno dan Soeharto kabarnya juga pernah menyepi ditempat ini untuk urusan besar mengenai negara. Keberadan tempat ini sangat lama bahkan sudah diketahui sejak jaman Kediri, terbukti dari ramalan Jayabaya yang juga menyinggung mengenai keberadaan tempat ini. Pada zaman Pakubuwono XII  bertakhta (1945-2004), Setiap Grebeg Maulud tahun Dal (grebeg kelima dalam siklus sewindu), Sunan dan Garwa Ampeyan (selir) mengadakan upacara khusus dengan mengukus dandang beras bersama. Inilah yang menggarisbawahi makna Sekaten sebagai ritual panen tingkat kerajaan. Dua utusan kerajaan mengunjungi tempat sakral paling penting bagi Keraton Surakarta yakni Alas Krendowahono (di utara Surakarta) dimana menjadi tempat bagi Batari Durga bersemayam, dan Parangtritis (di pantai selatan) yang dipercaya sebagai kerajaan Ratu Kidul. Melalui Sang Ratu Kidul, Raja-Raja di Jawa  mempunyai pertalian kekerabatan dengan penguasa baru VOC Belanda di tanah sabrang di Batavia.

Ratu Kidul merupakan seorang Dewi yang kecantikan dan kemudaannya bergantung pada tua-mudanya peredaran bulan, juga merupakan penjelmaan Batari Durga atau Dewi Uma. Sebagai Dewi Uma ia bisa membawa perlindungan dan kemakmuran dan sebagai Dewi Durga  ia bisa menimbulkan bencana dan penghancuran besar-besaran. Tidak jauh dari Punden Bathari Durga di bawah pohon beringin besar yang biasa digunakan sebagai tempat pelaksanaan sesaji Mahesa Lawung, terdapat sendang (sumur) Sihna dan Batu Gilang Selakandha Waru Binangun. Kedua-keduanya diyakini sebagai sebuah tempat keramat dan angker. Sendang Sihna ini dulu merupakan tempat pesiraman (mandi) dari Sri Susuhunan Pakoe Boewana VI sampai Pakoe Boewana X, ketika sedang berada di Alas Krendhawahana. "Dan di tempat inilah Pangeran Bangun Tapa (Pakoe Boewana VI) pernah mendapatkan Wahyu".  Karena kekeramatan sendang Sihna ini sampai sekarang banyak didatangi orang dari berbagai pelosok daerah untuk mengambil airnya. Ada kepercayaan yang berkembang, air sendang Sihna itu bisa digunakan penawar berbagai jenis penyakit. Selain dipercaya bisa membuat awet muda. Tentang sendang (sumur) Sihna yang sampai sekarang masih dikeramatkan itu, Kusumo Tanoyo menjelaskan, bahwa tempat itu sudah tersirat dalam Serat Sudamala. "Afdolnya, air sendang Sihna itu digunakan untuk kaum wanita. Lebih-lebih bagi mereka yang sedang mempunyai masalah," ujarnya.

Bhaerawa Tantra Tanah Jawa

Alas Krendawahana adalah sebuah hutan yang sampai sekarang masih terkenal dengan kesan keangkerannya. Karena dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Bathari Kalayuwati [Durga].
Mungkin tidak banyak yang pernah mendengar nama Krendawahana, kecuali para penggemar wayang kulit dan orang-orang yang aktif di dunia spiritual Jawa.
Hutan Krendawahana identik dengan Hutan Pasetran Gandamayit tempat tinggal Bathari Durga dari dunia pewayangan.

Durga

Bathari Durga adalah manifestasi (avatara) Bathari Uma atau Parwati yang merupakan permaisuri Bathara Guru (Shiva) dalam mitologi Jawa Kuno.
Lebih jauh mengenai Dewi Durga dan Dumawati, dalam mitologi Hindu Dumawati hanya dikenal dalam aliran Tantra, yaitu sebuah aliran esoterik yang dianut terbatas oleh kalangan tertentu di masa Hindu-Buddha. Masyarakat umum biasanya menganut aliran Shaiva atau Siwa-isme yang cenderung moderat, namun kalangan tertentu  menganut aliran Tantra yang bersifat esoterik atau mistik.
Salah satu tokoh penganut aliran Tantra yang terkenal adalah Raja Singasari terakhir yaitu Raja Kertanegara. Dia menganut agama Buddha aliran Tantrayana yang bersifat mistik yang umumnya dipenuhi dengan ritual-ritual pengorbanan yang diyakini sebagai jalan pintas untuk memutus rantai Karma. Namun nampaknya hingga era peralihan Hindu – Islam, aliran tantra masih bertahan di daerah-daerah terpecil  di Jawa Tengah & Jawa Timur, hal ini terbukti dengan temuan-temuan arkeologis yang bersifat tantra di candi-candi lereng Gunung Lawu (Sukuh-Cetho dll) yang berasal dari dari abad 15-16.
Hutan Krendawahana nampaknya juga memiliki kaitan dengan Candi-candi Tantra di lereng Gunung Lawu. Candi Sukuh & Candi Cetho memiliki relief yang bercerita mengenai Sudamala, dimana tokoh sentral dalam cerita ini adalah Sadewa (bungsu Pandawa). Dalam kisah ini Sadewa diculik oleh Ranini Dewi Durga untuk dikorbankan supaya Dewi Durga yang berwujud raksasa bisa kembali menjadi dewi yang cantik dan kembali tinggal di kahyangan. Setelah berhasil menculik Sadewa, Dewi Durga kemudian mengikat Sadewa disebuah pohon di Hutan Sentra Ganda Mayit. Namun sebelum Sadewa berhasil dijadikan korban persembahan, Sadewa berhasil diselamatkan oleh Bathara Guru yang merasuk ke dalam tubuhnya. Setelah selamat Sadewa pun meruwat Dewi Durga dan mengembalikan ke wujud aslinya yang cantik kemudian kembali ke Kahyangan.

Di situs Hutan Krendawahana dapat ditemukan Pohon Beringin Putih yang dinamakan Punden, yang menurut legenda merupakan pohon tempat Dewi Durga mengikat Sadewa sebelum dikorbankan. Setiap tahun, Keraton Surakarta mengadakan upacara Wilujengan Nagari Mahesa Lawung, dalam upacara ini dilakukan penanaman kepala kerbau lawung, yaitu kerbau jantan khusus yang masih belum kawin dan belum dipakai untuk bekerja.
Penanaman kepala kerbau ini semakin menguatkan hubungan hutan ini dengan Dewi Durga, mengingat dalam mitologi Hindu, Dewi Durga digambarkan berkendaraan kerbau yang kepalanya dipenggal yaitu Mahesasura (Arca Durga Mahisasuramardini). Upacara Mahesa Lawung sendiri  menurut literatur kuno merupakan upacara Raja Weda dari masa kerajaan Hindu-Buddha  yang diformat ulang oleh wali songo sehingga menjadi upacara yang lebih Islami.
Pada zaman Pakubuwono XII  bertakhta (1945-2004), Setiap Grebeg Maulud tahun Dal (grebeg kelima dalam siklus sewindu), Sunan dan Garwa Ampeyan (selir) mengadakan upacara khusus dengan mengukus dandang beras bersama. Inilah yang menggarisbawahi makna Sekaten sebagai ritual panen tingkat kerajaan.
Dua utusan kerajaan mengunjungi tempat sakral paling penting bagi Keraton Surakarta yakni Alas Krendowahono (di utara Surakarta) dimana menjadi tempat bagi Batari Durga bersemayam, dan Parangtritis (di pantai selatan) yang dipercaya sebagai kerajaan Ratu Kidul.