“Indonesia, adalah negara terkaya di dunia, bahkan seluruh kesuburan tanah di Eropa jika dikumpul tak akan menyamai kesuburan di tanah Jawa.”
Petikan kalimat di atas terdapat dalam naskah kuno “Babad Tanah Jawi”. Di situ, ada kesaksian Belanda sebagai negara penjajah tentang Indonesia yang “Gemah Ripah Loh Jinawi”.
Naskah “Babad Tanah Jawi” merupakan salah satu naskah kuno tahun 1700-an mengenai sejarah Indonesia yang kini awet tersimpan di tanah air. Sayang, tidak banyak naskah kuno yang bernasib baik seperti “Babad Tanah Jawi”.
Sebagian naskah kuno tak jelas keberadaannya, sebagian lagi dibawa oleh negara lain. Maka tak perlu heran, jika para peneliti asal Indonesia yang ingin meneliti sejarah negerinya sendiri, seringkali kerepotan akan referensi naskah-naskah kuno. Banyak di antaranya yang harus terbang ke Belanda atau Inggris untuk mengakses naskah kuno yang justru tersimpan apik di negara orang.
Menurut data Perpustakaan Nasional, terhitung sekitar 26.000 koleksi naskah Indonesia terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Angka itu belum terhitung naskah-naskah kuno Indonesia yang tersimpan di Perpustakaan The British Library London, The Bodleian Library di Oxford, Perpustakaan Berlin di Jerman, atau di sejumlah negara lainnya. Semua naskah-naskah itu, hampir dapat dipastikan kondisinya terawat dengan sangat baik dan dapat diakses dengan mudah. Tentu melalui prosedur tertentu.
Diboyongnya warisan budaya ini memang telah lama terjadi, bahkan sejak ratusan tahun lalu. Maklum, saat itu kita masih dijajah Belanda atau Inggris di beberapa wilayah. Walau begitu, hal yang harus digarisbawahi, para negara pemboyong sangat peduli terhadap kekayaan sejarah bangsa lain.
Terbukti di Inggris, naskah-naskah Indonesia telah berdiam dan terinventarisasi secara teliti dalam sebuah katalogus susunan MC Ricklefs dan P Voorhoeve sejak awal abad ke-17. Sebanyak lebih dari 1.200 naskah teridentifikasi ditulis dalam berbagai bahasa daerah.
Sebut saja Aceh, Bali, Batak, Bugis, Jawa (kuno), Kalimantan, Lampung, Madura, Makasar, Melayu, Minangkabau, Nias, Rejang, Sangir, Sasak, Sunda (kuno), dan Sulawesi (di luar Bugis dan Makasar). Naskah-naskah itu, menurut Oman Fathurahman, Filolog Indonesia, tersebar di 20-an perpustakaan dan museum di beberapa kota di Inggris. Koleksi terbanyak bermukim di dua tempat, yakni British Library dan School of Oriental and African Studies.
Pada tahun 1990, British Library bahkan mengklaim bahwa naskah yang berada di tempatnya mulai dikoleksi sejak abad ke-15. Koleksi mereka berisi berbagai macam hikayat, syair, primbon, surat, sampai bukti transaksi dagang dari abad ke-15.
Menurut Syarif Bando, Kepala Membaca Perpusnas, Inggris memang merupakan salah satu negara yang menyimpan naskah-naskah kuno Indonesia terbanyak kedua setelah Belanda. Hal ini dikarenakan Inggris pernah menduduki Bengkulu. Selain itu, Raffles yang datang di abad ke-18 juga banyak membawa surat-surat dari berbagai raja yang berkuasa di Indonesia.
Surat-surat tersebut, banyak yang merupakan koleksi unggulan, seperti surat dari Sultan Pontianak kepada Gubernur Thomas Stamford Raffles yang dikirim dalam sampul terbuat dari kain sutra berwarna-warni. Inggris juga menyimpan surat dari Raja Bali kepada seorang Gubernur Belanda di Semaran yang ditulis di atas lempengan emas.
“Karena Bengkulu jajahan Inggris, lalu Belanda jajah Singapura, lalu kemudian mereka bertukar, jadi banyak juga naskah kita di sana” Panjangnya 12 Km
Selain Inggris, negara yang juga banyak mengoleksi naskah kuno Indonesia adalah Belanda. Maklum, Negara Kincir Angin ini telah berada di Indonesia 350 tahun lamanya. Naskah kuno di Belanda banyak tersimpan di sejumlah perpustakaan dan museum, antara lain di Amsterdam, Leiden, Delft, dan Rotterdam.
Pada tahun 2015 lalu, Rektor Universitas Leiden, Belanda, Profesor Carel Stolker, pernah berkunjung ke Yogyakarta dan mengatakan bahwa naskah-naskah kuno Indonesia yang berada di negaranya, jika dijejer panjangnya bisa mencapai 12 km. Kebanyakan, naskah-naskah yang berada di sana tergolong adikarya, warisan berbagai kerajaan di Nusantara. Salah satu yang terkenal yakni naskah “Nagarakretagama” yang baru dikembalikan pada tahun 1970 oleh Ratu Yuliana kepada Presiden Soeharto setelah dikuliti isinya dan menjadi ampas.
Menurut penuturan Profesor Stolker, koleksi mereka dahsyat lantaran Universitas Leiden memiliki jurusan yang khusus mempelajari budaya timur, budaya Asia. Amsterdam juga turut menyumbang naskah kuno untuk memperkaya koleksi.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X, pernah menginginkan ribuan naskah yang ada di Belanda dan Inggris, khususnya yang berkaitan dengan keraton DIY, dapat ditarik ke Indonesia. Namun Stolker bergeming. Ia malah menyatakan sebagian besar naskah yang tersimpan di Leiden merupakan naskah berbahasa Belanda, sehingga sudah semestinya bermukim di sana. Walau begitu, pihaknya berjanji akan fokus pada digitalisasi naskah yang rapuh agar kajian Asia atau Indonesia tersebut dapat diakses dengan mudah.
Berdasarkan data Keraton Yogyakarta, ada sekitar 7.000 naskah atau manuskrip milik keraton yang ada di Belanda dan Inggris. Sedangkan Museum Sonobudoyo hanya mengoleksi 363 naskah saja. Inggris sendiri baru mengembalikan 21 microfilm kepada pihak keraton. Hal ini lantaran mereka khawatir pihak keraton tak mampu merawatnya.
Menurut Syarif, selain Belanda dan Inggris, terdapat negara lain yang juga menyimpan naskah-naskah kuno Indonesia, misal Myanmar, Thailand, dan Malaysia. Secara keseluruhan, diperkirakan naskah-naskah ini tersebar di 30 negara di dunia.