Fana adalah ketiadaan dan kehancuran. Dan lawan dari fana adalah baqa, abadi, dan tetap ada. Seperti Tuhan termasuk kategori abadi dan baqa, sementara selain-Nya atau seluruh makhluk digolongkan ke dalam ketiadaaan, kehancuran, dan fana. Sedangkan fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak memandang,
memperhatikan, dan menyaksikan keberadaannya sendiri.Yang pasti hal ini
tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, namun lebih bermakna bahwa
seseorang yang hadir di sisi Tuhan sama sekali tidak melihat eksistensi
dirinya sendiri dan dia meniadakan segala sesuatu selain-Nya di dalam
hatinya.
Maqâm Fana dalam Tasawuf
Dalam istilah tasawuf, fana’ berarti penghancuran diri yaitual-fana’‘an al-nafs. Yang dimaksud dengan al-fana’ ‘an al-nafs ialah hancurnya perasaan atau kesadaran seseorang terhadap wujud tubuh kasarnya dan alam sekitarnya.
Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai oleh
seorang Arif setelah bertahun-tahun melewati segala penderitaan,
tazkiyah, dan pensucian diri, serta segala kesulitan. Oleh karena
itu, pada umumnya suatu perubahan akan bersifat tetap, abadi, dan tidak
mudah sirna apabila dilalui dan dicapai dengan susah payah dan kerja
keras.
Pada maqâm fana, manusia di hadapan Tuhan tidak
menyaksikan diri sendirinya, penghambaannya, keinginan-keinginannya,
harapan-harapannya, dan dunia sekelilingnya.
Manusia hanya
memandang dan melihat jamaliyah dan jalaliyah Tuhan. Apa saja yang
disaksikan oleh para wali Tuhan adalah Yang Haq, apakah melalui
perantara atau dengan perantara.
Bagi para pesuluk dan pencari makrifat terkadang perantara itu adalah nama-nama dan sifat-sifat Tuhan,
akan tetapi hijab dan perantara cahaya ini pun akan tersingkap,
"Ya Tuhanku anugerahkan padaku kesempurnaan penyaksian kepada-Mu…
sedemikian sehingga pandangan hati merobek hijab-hijab cahaya."
Inilah puncak dan akhir derajat fana yang setelah itu manusia berada
pada kondisi melupakan segala sesuatu kecuali Yang Haq dan "menyirnakan"
segala sesuatu secara sempurna selain-Nya.
Di sinilah dia mendengar dengan pendengaran Tuhan, melihat dengan pandangan Tuhan, dan berbicara dengan lisan Tuhan. Penyingkapan hakikat zat Tuhan, karena hakikat zat-Nya hanya diketahui
oleh-Nya dan tidak ada satupun makhluk yang dapat menyaksikan hakikat
zat-Nya.
Penjelasan Detail :
Secara leksikal fana bermakna ketiadaan dan kehancuran.
Lawan dari fana adalah baqa yang berarti abadi, tetap, dan eksis. Kata
ini dipergunakan dalam al-Quran, walaupun sebagian dari derivatnya yang
diaplikasikan, seperti:
"Segala sesuatu akan hancur dan yang
tinggal wajah Tuhanmu," Tuhan dalam ayat ini meletakkan kata "fanin"
(hancur) berhadapan dengan kata "yabqa" (yang tetap, yang tinggal, dan
abadi), yang bermakna bahwa hanya Tuhanlah yang selamanya ada dan baqa,
sementara segala sesuatu selain-Nya adalah hancur dan sirna.
Fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak menyaksikan, memandang, melihat, dan mendapatkan dirinya sendiri.
Namun hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, melainkan
manusia tidak menyaksikan dirinya sendiri di hadapan Tuhan dan hanya Dia
yang dipandang. Istilah fana’ memiliki beberapa tingkatan, aspek dan makna. Semuanya dapat diringkaskan sebagai berikut :
a. Transformasi moral dari jiwa yang dicapai melalaui pengendalian
nafsu dan keinginan.
b. Abstarksi mental dan berlakunya pikiran dari seluruh objek
persepsi,pemikiran, tindakan dan perasaan; dan dengan mana
kemudianmemusatkan fikiran tentang Tuhan. Yang dimaksud dengan memikirkan Tuhan adalah memikirkan dan merenunggi sifat-sifat-Nya.
c. Berhentinya pemikiran yang dilandasi kesadaran.
Tingkat fana yang tertinggi akan tercapai apabila kesadaran tentang
fana itu sendiri juga hilang. Inilah yang oleh para sufi dikenal
“kefanaan dari fana”atau lenyapnya kesadaran tentang tiada (fana’
al-fana’)
tahap terakhir dari fana’ adalah lenyapnya diri secara penuh, yang merupakan bentuk permulaan dari baqa, yang artinya berkesinambungan di dalam Tuhan
Bahwa dalam faham fana ini, materi manusianya tetap ada dan sama sekali
tidak hilang atau hancur, yang hilang hanya kesadaran akan dirinya
sebagai manusia. Ia tidak merasakan lagi akan eksistensi jasad
kasarnya..
Yakni, “Fana, sirnanya sufi terhadap wujud dirinya, masuk
ke dalam baqa, kesinambungan wujudnya yang sebenarnya. Dia orang yang
kelihatan pribadi, hidup bersama Tuhan, dan fana, kesempurnaan dari
kematian (kehancuran) ini,menandakan tercapainya baqa, atau persatuan
dengan kehidupan Ilahi”
Definisi Fana dalam Perspektif Para Arif
Al-Junaid, sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim Basyuni, menggambarkan fana’ sebagai “sirnanya daya tangkap hati terhadap yang
bersifat indrawi karena menyaksikan sesuatu, maksudnya lenyap segala
yang ada dihadapan serta segala sesuatu dari serapan indrawi sehingga
tidakada sesuatu yang dapat diraba dan dirasakan”
Abu Said
Harraz mendefenisikan fana sebagai berikut, "Fana adalah fananya seorang
hamba dari memandang penghambaannya, dan baqa adalah baqanya seorang
hamba dengan penyaksian Ilahi.
Qusyairi menyatakan, "Setiap kali
Pemiliki Hakikat menyelimuti dirinya maka dia tidak lagi menyaksikan
segala sesuatu selain-Nya baik wujudnya maupun perbuatannya, dia fana
dari makhluk dan baqa dengan perantaran-Nya."
Mir Syarif Jurjany
juga mengungkapkan, "Sirna dan tiadanya sifat-sifat buruk itu disebut
fana, sebagaimana keberadaan sifat-sifat yang terbatas dikatakan baqa."
Maqâm Fana
Di dalam Irfan terdapat dua istilah:
1. Maqâm;
2. Hâl.
Maqâm adalah suatu derajat dan tingkatan yang telah dicapai secara
ikhtiari (dengan kehendak sendiri) oleh seorang Arif setelah
bertahun-tahun melewati segala tempaan, tazkiyah, pensucian diri, dan
segala kesulitan. Oleh karena itu, secara umum maqâm itu sangatlah sulit
untuk sirna dan tiada. Dengan ungkapan lain, penderitaan dan kesulitan
yang dijalani dan dialami secara terus menerus dan bergradual oleh
seorang Arif dan pesuluk dalam praktek-praktek kezuhudan dan pengorbanan
diri sendiri telah mengantarkannya pada suatu derajat khusus dan maqâm
tertentu yang pantas baginya. Dan karena tingkatan-tingkatan dan
tahapan-tahapan pensucian diri itu dilaluinya dengan upaya yang
sungguh-sungguh dan kerja keras, maka maqâm yang telah digapainya itu
tidak akan turun dan sirna dengan mudah.
Sementara pengertian hâl
berlawanan dengan maqâm tersebut. Hâl adalah suatu bentuk perubahan
yang hadir pada diri seorang arif tanpa kehendaknya sendiri setelah
menapaki tahapan-tahapan spiritual. Karena perubahan yang hadir itu
datang secara tiba-tiba, maka sangat mungkin akan sirna juga dengan
tiba-tiba. Dengan demikian, hâl adalah suatu kualitas spiritual yang
tidak bersifat konstan dan terus menerus mengalami suatu perubahan.
Manusia dalam maqâm fana tidak menyaksikan dirinya sendiri,
penghambaannya, kecenderungan-kecenderungannya, harapan-harapannya, dan
alam sekitarnya di hadapan Tuhan dan hanya semata-mata memandang Yang
Haq.
Dalam kondisi demikian, fana tidak lagi bersesuaian dengan
makna leksikalnya yang bernada negatif, bahkan merupakan suatu tingkatan
kesempurnaan. Dan inilah yang sebenarnya dimaksudkan oleh para urafa
yang menyatakan, "Puncak fana adalah baqa dan abadi di hadapan Yang
Haq." Inilah yang dalam istilah Irfan dinamakan sebagai "fana fii Allah"
(fana dalam sifat-sifat Tuhan).
Bagaimana Mencapai Maqâm Fana
Ketika antara manusia dan Tuhannya terdapat hijab-hijab berupa
dosa-dosa, maksiat, dan egoisme, serta kebergantungan kepada selain-Nya,
maka hijab-hijab kegelapan ini akan menjadi penghalang yang sangat
besar untuk sampainya seorang hamba di hadapan suci Tuhannya.
Apabila dia tidak memiliki dosa-dosa, hijab-hijab kegelapan, dan
kebergantungan kepada selain-Nya serta sirnanya perhatian kepada
keinginan diri sendiri, maka sangat mungkin dia menggapai derajat
penyaksian sifat-sifat Tuhan secara terbatas. Setelah mencapai tingkatan
ini barulah maqâm fana itu akan diraihnya dan hadir dalam dirinya.Yang pasti bahwa tingkatan-tingkatan dan tahapan-tahapan yang kita tidak akan bahas dalam kesempatan ini.
Akan tetapi, maksud dari "liqa ullah" (perjumpaan dengan Tuhan) yang
dibungkus dalam kata-kata seperti syuhud, baqa, dan… adalah tidak dengan
menggunakan mata lahiriah ini, karena sebagaimana dalam ayat al-Quran
dikatakan, "Dia (Tuhan) tidak dapat dilihat dan dijangkau dengan mata."[3] Dan begitu pula Tuhan tidak dapat diliputi dengan pikiran-pikiran,
karena pikiran dan metode rasionalitas itu tidak disebut sebagai syuhud,
liqa, dan …; melainkan apabila seorang hamba ingin "menyaksikan"
sifat-sifat Tuhan dan mencapai maqâm fana maka -sebagaimana yang
difirmankan dalam al-Quran- dia harus meninggalkan segala sesuatu selain
Tuhan, melaksanakan amal dan perbuatan shaleh, dan tidak menyekutukan
Tuhan.
Seorang hamba yang berkehendak menyaksikan Yang Haq
dengan tanpa perantara mestilah dia tidak memandang dirinya sendiri dan
segala sesuatu selain-Nya.
Allah Swt berfirman,
"Barangsiapa
yang berharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia beramal
dengan amal yang shaleh dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun
dalam penghambaan kepada Tuhannya."
Nabi Musa As pun menjadi
tidak sadarkan diri atau pingsan ketika berkaitan dengan cerita
penyaksian Tuhan. Setelah beliau tersadar dari pingsannya bersabda,
"Tuhanku Engkau tidak dapat disaksikan tanpa fana dan memutuskan segala
bentuk keterikatan dan kebergantungan."
Akan tetapi, persoalan
yang sangat mendasar di sini adalah apa makna dari ungkapan bahwa
sebagian pembesar para pesuluk dan arif mengklaim dapat menyaksikan
Tuhan Yang Maha Tinggi itu dengan tanpa perantara? Dan secara umum apa
yang dimaksud dengan perantara-perantara tersebut?
Untuk memahami
dan mengerti makna ungkapan tersebut alangkah baiknya kita
memperhatikan dan menyimak pernyataan-pernyataan Imam Khomeni qs dalam
kitabnya "Arbain Hadis".
Beliau dalam kitab itu mengungkapkan,
"Setelah mencapai ketakwaan yang sempurna, terputusnya secara total
perhatian dan kebergantungan hati dari segala sesuatu yang ada di alam,
menyirnakan segala bentuk egoisme dan kecintaan kepada diri sendiri,
perhatian sempurna kepada Tuhan, nama-nama, dan sifat-sifat-Nya, larut
dalam kecintaan kepada Yang Maha Suci, melakukan segala bentuk pensucian
hati, maka akan muncul dan hadir suatu bentuk pencerahan hati dan
cahaya malakuti di dalam hati para pesuluk yang beriringan dengan
manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan… dan antara ruh suci pesuluk
dan Dzat Suci Tuhan hanya terdapat satu hijab, yakni hijab nama-nama
dan sifat-sifat Tuhan. Untuk itu sangatlah mungkin mampu merobek
hijab-hijab cahaya (hijab nama dan sifat Tuhan) tersebut dan hanya
menyaksikan dirinya bergantung secara mutlak kepada Zat Suci Tuhan, dan
dalam penyaksian ini dia "memandang" pancaran eksistensial Tuhan dan
kefanaan zatnya sendiri."
Dengan kandungan makna yang kurang
lebih sama dengan pernyataan Imam Khomeni qs, di bawah akan diutarakan
suatu doa yang mulia, munajat sya'baniyah:
"Ya Ilahi anugerahkan kepadaku kesempurnaan penyatuan dengan-Mu … sedemikian sehingga mata hati merobek hijab-hijab cahaya."
Dari berbagai referensi kitab-kitab tua seperti Kitab Syarah Hikam Ibni
Athoillah As-Kandariah, Kitab Manhal-Shofi, Kitab Addurul-Nafs dan
lain-lain menggunakan istilah-istilah seperti 'binasa' dan 'hapus' untuk
memperihalkan tentang maksud fana.
Ulama-ulama lainnya yang banyak
menggabungkan beberapa disiplin ilmu lain seperti falsafah menggunakan
istilah-istilah seperti 'lebur', 'larut', 'tenggelam' dan 'lenyap'
dalama usaha mereka untuk memperkatakan sesuatu tentang 'hal' atau
'maqam' fana ini.
Di dalam Kitab Arrisalah al-Qusyairiah memberikan penjelasan tentang fana.
Fana itu ialah; "Lenyapnya sifat-sifat basyariah(pancaindera)"
"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi
dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk
lain itu……. Sebenarnya dirinya ada dan demikian pula makhluk
lain ada. Tetapi Ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya"
(Al-Qusyairi, t.th: 37)
Maka sesiapa yang telah diliputi Hakikat Ketuhanan sehingga tiada lagi
melihat daripada Alam baharu, Alam rupa dan Alam wujud ini, maka
dikatakanlah ia telah fana dari Alam Cipta. Fana bererti hilangnya
sifat-sifat buruk (maksiah lahir dan maksiat batin) dan kekalnya
sifat-sifat terpuji(mahmudah). Bahawa fana itu ialah lenyapnya
segala-galanya, lenyap af'alnya/perbuatannya(fana fil af'al), lenyap
sifatnya(fana fis-sifat), lenyap dirinya(fan fiz-zat)
Oleh kerana inilah ada di kalangan ahli-hali tasauf berkata:
"Tasawuf itu ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya kerena kehadiran hati mereka bersama Allah".
Sahabat Rasulullah yang banyak memperkatakan tentang 'fana' ialah
Sayyidina Ali, salah seorang sahabat Rasulullah yang terdekat yang
diiktiraf oleh Rasulullah sebagai 'Pintu Gedung Ilmu'.
Sayyidina Ali sering berkata tentang fana : "Di dalam fanaku, leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefanaan itulah bahkan aku mendapatkan Engkau Tuhan".
Demikianlah 'fana; ditanggapi oleh para kaun sufi secara baik, bahkan
fana itulah merupakan pintu kepada mereka yang ingin menemukan
Allah(Liqa Allah) bagi yang benar-benar mempunyai keinginan dan keimanan
yang kuat untuk bertemu dengan Allah.
Firman Allah yang bermaksud:
"Maka barangsiapa yang ingin akan menemukan dengan Tuhannya maka
hendaklah ia mengerjakan amalan Sholeh dan janganlah ia mempersekutukan
siapapun dalam beribadat kepada Allah
(Surah Al-Kahfi:)
Untuk mencapai liqa Allah dalam ayat yang tersebut di atas, ada dua kewajiban yang mesti dilaksanakan iaitu:
* Pertamanya mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua-
sifat-sifat yang tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji
iaitu Takhali dan Tahali.
* Keduanya meniadakan/menafikan segala
sesuatu termasuk dirinya sehingga yang benar-benar wujud/isbat hanya
Allah semata-mata dalam beribadat. Itulah artinya memfanakan diri.
Para Nabi-nabi dan wali-wali seperti Sheikh Abu Qasim Al-Junaid, Abu
Qadir Al-Jailani , Imam Al-Ghazali, Ab Yazid Al-Busthomi sering
mengalami keadaan "fana" fillah dalam menemukan Allah. Umpamanya Nabi
Musa alaihisalam ketika ia sangat ingin melihat Allah maka baginda
berkata yang kemudiannya dijawab oleh Allah Taala seperti berikut;
"Ya Tuhan, bagaimanakah caranya supaya aku sampai kepada Mu? Tuhan berfirman:
Tinggalkan dirimu/lenyapkan dirimu(fana), baru kamu kemari."
Abu Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-ittihad.
Ada seorang bertanya kepada Abu Yazid Al-Busthomi;
* "Bagaimana tuan habiskan masa pagimu?". Abu Yazid menjawab: "Diri saya telah hilang(fana) dalam mengenang Allah hingga saya tidak tahu malam dan siang".
* Satu ketika Abu Yazid telah ditanyai orang bagaimanakah kita boleh mencapai Allah.Beliau telah menjawab dengan katanya:
* "Buangkanlah diri kamu.Di situlah terletak jalan menuju Allah.
Barangsiapa yang melenyapkan (fana) dirinya dalam Allah, maka didapati
bahawa Allah itu segala-galanya".
* Beliau pernah menceritakan sesuatu tentang fana ini dengan katanya;
* Apabila Allah memfanakan saya dan membawa saya baqa dengaNya dan
membuka hijab yang mendinding saya dengan Dia, maka saya pun dapat
memandangNya dan ketika itu hancur leburlah pancainderaku dan tidak
dapat berkata apa-apa. Hijab diriku tersingkap dan saya berada
di keadaan itu beberapa lama tanpa pertolongan sebarang panca indera.
Kemudian Allah kurniakan saya mata Ketuhanan dan telinga Ketuhanan dan
saya dapat dapati segala-galanya adalah di dalam Dia juga."
Dari segi bahasa al-Fana’ berarti binasa,
Fana’ berbeda dengan al-Fasad (rusak).
Fana’ artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak
adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain . Menurut ahli sufi,
arti Fana’ adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri
atau dengan sesuatu yang lazimnya digunakan pada diri.
Fana’juga
berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan
dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat tercela .
Mustafa
Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya inderawi
atau kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada
syahwat dan hawa nafsu.
Orang yang telah diliputi hakikat
ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan alam
wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari alam
makhluk .
Selain itu Fana’ juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin.
Sebagai akibat dari Fana’ adalah Baqa’, secara harfiah Baqa’ berarti
kekal sedangkan dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya
sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena
sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) telah lenyap maka yang kekal dan
tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Fana’ dan Baqa’ ini
menurut ahli tasawuf datang beriringan sebgaimana ungkapan mereka
:”Apabila nampak nur ke Baqa’an, maka Fana’lah yang tiada dan Baqa’lah
yangkekal”. Juga ungkapan mereka : “Tasawuf itu adalah mereka Fana’ dari
dirinya dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran mereka bersama
Allah”.
Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya
se-esensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu
melebur eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak
menyadari dirinya.
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah :
Fana’nya seseorang dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan
hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu.
Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi
ia tidak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya .
Diantara kaum
sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan.
Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan
dengaqn mata sanubarinya .
Menurut al-Syathi, proses penghancuran
sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses penghancuran
tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran
tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebutFana’ al-nafs
Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak
disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya
dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara ruhani.
Dari berbagai
uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’
adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan,
sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian
materi manusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur, demikianlah juga
alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran dirinya sebagai
manusia, ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya.
Al-Kalabazi
(wafat 380 H) menjelaskan bahwa keadaan Fana’ itu tidak bisa berlangsung
terus-menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan
menghentikan organ-organ tubuh untuk melaksanakan fungsinya sebagai
hamba Allah dan peranannya sebagain khalifah di muka bumi .
Bila
seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya sendiri
dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan
berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan
tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka :
“Siapa yang
menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan”
.Dengan tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah
sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal
(Tuhan) yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu
dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun .
Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya
ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang
dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran
peranan antara manusia dengan Tuhan.
Dalam suasana seperti ini
mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang
mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu
memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku” . Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia berbicara atas nama Tuhan. Al-Bustami ketika telah Fana’ dan mencapai Baqa’ maka dia mengucapkan kata-kata ganjil seperti :
“ Tidak ada Tuhan melainkan aku, sembahlah aku, Maha suci aku, Maha suci aku, Maha besar aku” .
Selanjutnya diceritakan bahwa seorang lelaki lewat rumah Abu Yazid (al-Bustami) dan mengetok pintu,
Abu Yazid bertanya : “Siapa yang engkau cari ?” jawabnya : “Abu Yazid”.
Lalu Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa dan Maha Tinggi” . Ittihad ini dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf) bagi orang yang
toleran, akan tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama hal ini
dipandang sebagai suatu kekufuran.
Faham ittihad ini selanjutnya
dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Ittihad juga adalah
hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj (lahir 224 H / 858 M)
dengan fahamnya al-Hulul yang berarti penyatuan meliputi :
a) penyatuan substansial antara jasad dan ruh;
b) penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri manusia;
c) inkarnasi suatu aksiden dalam substansinya;
d) penyatuan bentuk dengan materi pertama dan
e) hubungan antara suatu benda dengan tempatnya .
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu
dalam hulul, jasad al-hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam
diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah.
Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh. Faham sufi yang juga dekat dengan faham Ittihad ini adalah dengan faham
wahdat al-wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby wafat tahun 638 H/
1240 M). Faham wahdat al-wujud ini menurut Harun Nasution adalah
merupakan kelanjutan dari faham al-Hulul. Konsep wahdat al-wujud ini
memahami bahwa aspek ketuhanan ada dalam tiap mahkluk, bukan hanya
manusia sebagaimana yang dikatakan al-Hallaj .
Paham fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan dengan Allah.
Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan
Firman Allah SWT yang bunyinya : “Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi,
18 : 110) Hal yang lebih jelas mengenai proses Ittihad dapat pula kita simak melalui ungkapan al-Bustami : “Pada suatu hari ketika saya dinaikkan ke hadirat Allah, Ia berkata,
“Hai Abu Yazid, mahkluk-Ku ingin melihatmu, aku menjawab, hiasilah aku
dengan keesaan itu, sehingga apabila mahkluk itu melihatku mereka akan
berkata :“Kami tetap melihat engkau, maka yang demikian adalah engkau
dan aku tidak ada disana” . Hal ini merupakan ilustrasi proses terjadinya Ittihad, Demikian juga dalam ungkapan Abu Yazid :
“Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah mahlukku, aku pun
berkata : Aku adalah engkau, engkau adalah aku dan aku adalah engkau .
sebenarnya kata-kata “Aku” bukanlah sebagai gambaran dari diri Abu
Yazid, tetapi gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu dengan Tuhan
sehingga dapat dikatakan bahwa Tuhan bicara melalui lidah Abu Yazid
sedang Abu Yazid tidak mengetahui dirinya Tuhan.
Al-Junaid
Al-Bagdadi yang menjadi Imam Tasauf kepada golongan Ahli Sunnah
Wal-Jamaah pernah membicarakan tentang fana ini dengan kata-kata beliau
seperti berikut:
* Kamu tidak mencapai baqa(kekal dengan Allah)
sebelum melalui fana(hapus diri)
* Membuangkan segala-galanya kecuali Allah dan 'mematikan diri' ialah kesufian.
* Seorang itu tidak akan mencapai Cinta kepada Allah (mahabbah) hingga
dia memfanakan dirinya. Percakapan orang-orang yang cinta kepada Allah
itu pandangan orang-orang biasa adalah dongeng sahaja.
3. Himpunan perkataan Tentang Fana
A. Sembahyang orang yang cinta (mahabbah) ialah memfanakan diri sementara sembahyang orang awam ialah rukuk dan sujud.
B. Setengah mereka yang fana (lupa diri sendiri) dalam satu tajali zat
dan kekal dalam keadaan itu selama-lamanya. Mereka adalah Majzub yang
hakiki.
C. Sufi itu mulanya satu titik air dan menjadi lautan.
Fananya diri itu meluaskan kupayaannya. Keupayaan setitik air menjadi
keupayaan lautan.
D. Dalam keadaan fana, wujud Salik yang terhad
itu dikuasai oleh wujud Allah yang Mutlak. Dengan itu Salik tidak
mengetahui dirinya dan benda-benda lain. Inilah
peringkatWilayah(Kewalian). Perbezaan antara Wali-wali itu ialah
disebabkan oleh perbezaan tempoh masa keadaan ini. Ada yang merasai
keadaan fana itu satu saat, satu jam, ada yang satu hari an seterusnya.
Mereka yang dalam keadaan fana seumur hidupnya digelar majzub. Mereka
masuk ke dalam satu suasana dimana menjadi mutlak.
E. Kewalian
ialah melihat Allah melalui Allah. Kenabian ialah melihat Allah melalui
makhluk. Dalam kewalian tidak ada bayang makhluk yang wujud. Dalam
kenabian makhlik masih nampak di samping memerhati Allah. Kewalaian
ialah peringakat fana dan kenabian ialah peringkat baqa
F. Tidak
ada pandangan yang pernah melihat Tajalinya Zat. Jika ada pun ia
mencapai Tajali ini, maka ianya binasa dan fana kerana Tajali Zat
melarutkan semua cermin penzohiran.
Firman Allah yang bermaksud :
Sesungguhnya Allah meliputi segala-galanya.(Surah Al-Fadhilah:54)
G. Tajali bererti menunjukkan sesuatu pada diriNya dalam beberapa dan
berbagai bentuk. Umpama satu biji benih menunjukkan dirinya sebgai
beberapa ladang dan satu unggun api menunjukkan dirinya sebagai beberapa
unggun api.
H. Wujud alam ini fana (binasa) dalam wujud Allah.
Dalilnya ialah Firman Allah dalam Surah An-Nur:35
yang bermaksud;
"Cahaya atas cahaya, Allah membimbing dengan cahayanya sesiapa yang dikehendakinya." dan "Allah adalah cahaya langit dan bumi."
I. Muraqobah ialah memfanakan hamba akan afaalnya dan sifatnya dan zatnya dalam afaal Allah, sifat Allah dan zat Allah.
J. Al-Thomsu atau hilang yaitu hapus segala tanda-tanda sekalian pada sifat Allah.Maka Yaitu satu bagai daripada fana.
5. Tajuk-tajuk yang berkaitan dengan Fana
* Mikraj Muhammad
* Alamat Sampai Kepada Maqam Yang Tinggi Adalah sangat mungkin manusia mencapai suatu derajat yang antara dia
dan Tuhannya hanya terhijabi cahaya nama dan sifat Tuhan. Dan juga
sangatlah mungkin manusia menggapai suatu tingkatan yang tidak ada lagi
hijab-hijab cahaya antara dia dan Zat Suci Tuhan. Yang sempurna akan mampu melewati hijab-hijab cahaya ini dan meraih kefanaan yang sempurna.
Dalam kondisi puncak spiritual ini, apa yang disaksikannya adalah hanya
Yang Maha Suci. Apa yang didengarnya tidak lain adalah bersumber dari
Yang Maha Benar. Dia melihat dengan "mata" Tuhan, mendengar dengan
"telinga" Tuhan, dan berucap dengan "lisan" Tuhan. Inilah puncak dan
akhir fana dalam Tuhan (fana fillah) Insya Allah.... aamiiin
penghujung Ilmu, Adalah Ilmu Penamat, Penutut Dan Penghabisan Segala Ilmu!
Mereka yang berjaya sampai kepada tahap makrifat itu, adalah
mereka-mereka yang telah mencapai makan atau tingkatan ilmu kerohanian
yang tertinggi.
Tahap atau makam ilmu makrifat yang tertinggi itu,
adalah tahap pencapaian atau tahap persingahan ilmu pada garis penamat
yang penghabisan dan terakhir. Inilah yang dikatakan pencarian di
penghujuan tujuan.
Ucapan, perasaan atau pengakuan qalbu dihujung pencarian itu, adalah qalbu yang meluap, pecah dan meletup denngaan ucapan
“la haulawala kuuwatailla billahhilaliyilzim”
(tiada daya upaya kita, melainkan segalanya dari Allah).
Perkataan yang lahir dari pandangan qalbu itu, tidak lagi boleh menurut
pengertian akal. Bilamana pengertian qalbu, tidak lagi dapat dibaca
oleh akal itu, Maka lahirlah perkataan “aku tidak ada”. Bahasa
pengakuan hati atau bahasa pengakuan qalbu yang makrifat kepada Allah
Taala itu, tidak lagi boleh berdalil, bersandar, berpaut atau bergantung
lagi pada akal!.
Segala ikhtiar atau usaha akal kita itu,
sesungguhnya sudah berakhir, binasa dan karam kerana tenggelam dalam
lautan makrifat Allah. Inilah yang dikatakan penamat, penutup dan ibu
segala ilmu!.
Sekiranya tuan-tuan lalu ditepi sungai, saya minta
tuan-tuan kutib seketul batu dan campakkan ia kedalam sungai yang
dalam. Saya mahu bertanya, apakah lagi yang tuan-tuan nampak dan apakah
lagi yang terlihat, cuba jawab?…
Begitulah dalil dan contohnya jika diri kita, kita tengelamkan atau campakkan kedalam dasar lautan makriffat!. Makrifat (mengenal Tuhan) itu, adalah tauhid.
Tauhid itu, adalah hijrah akal menuju qalbu dalam mengesakan Allah!.
Hijrah akal menuju qalbu, itulah intipati ilmu makrifatullah. Hijrah
akal menuju qalbu itu, adalah hijrah jahil kepada alim.
Hijrah
akal kepada perbicaraan qalbu para-para arifin billah itu, membawa kita
kepada ilmu megesakan Allah (penutup segala ilmu). Hijrah akal kepada makam qalbu inilah yang menyebabkan
Tidak kurang pula di tuduh ilmu salah, kafir, sesat dan zindik.
Maaf Kiranya sampai disini kurang berkenan.
Kebanyakkan dari ulama kita, tidak ramai yang dibedahkan dengan pengajian ilmu makrifat (ilmu rohani).
Ketidak pakaran dalam ilmu makrifat itu, bagaimana mungkin mereka boleh
menghukum ulama-ulama yang mengajar ilmu makrifat itu, sesat atau
salah?.
Jika sekiranya pihak ulama mendakwa yang mereka juga memiliki kepakaran dalam bidang ilmu makrifat,
cuba jelas dan terangkan kepada kami, dimanakah sekolah, dimanakah
pondok atau dimanakah pusat-pusat pengajian tinggi yang mengajar ilmu
makrifat.
Mari kita tanya ulama feqah, dimana mereka belajar
ilmu makrifat, supaya kita juga boleh dengan beramai-ramai turut serta
meuntut ditempat yang didakwa!. Sedangkan tidakkah kita tahu yang bidang ilmu makrifat itu, adalah bidang ilmu yang wajib, bidang ilmu fardhu ain (suatu bidang ilmu yang wajib) bagi setiap umat yang begelar Islam!.
Fakta atau kenyataan sesat yang tuan-tuan feqah bawa itu, dari mana
asasnya dan dimana ulama-ulama feqah, belajar atau beguru ilmu
makrifat, sehingga dapat menuduh sesat?. Saya sebagai pengarang ilmu
makrifat yang sudah berkecimpung dalam bidang ini selama 38.00 tahun,
saya tidak pernah jumpa ada pusat pengajian ilmu makrifat, guru atau
sekolah ilmu makrifat, baik didalam negeri mahupun diluar negara!.
Dengan berbekalkan ilmu syarie, ilmu fiqah atau dengan berbekalkan
dengan ilmu akal, apakah layak tuan-tuan feqah menuduh, menanggkap dan
menghukum golongan makrifat, sebagaimana yang berlaku kepada
pentadbiran-pentadbiran terdahulu?.
Namun pesan dan
nasihat saya kepada para arifin billah sekalian yang ada, terutama
kepada yang memperjuankan ilmu makrifat, hadapilah kenyataan pemerintah
dan golongan feqah hari ini dengan tabah dan jangan sekali-kali berputus
asa. Kayu ukur atau tanda aras pentadbiran ulamak atau pemerintah yang
ada pada dunia hari ini, untuk menghukum adalah melalui bacaan ilmu akal
(hukum feqah). Mereka tidak sekali-kali memandang pada bacaan ilmu
rohani (Ilmu makrifat). Mereka tidak faham apa itu makrifat! (diri yang
fana’, diri yang lebur, diri yang baqa’ atau diri yang karam engan
Allah!).
Bilamana tidak faham dan tidak arif dalam
bidang ilmu fana’ atau ilmu baqa’, mana mungkin golongan yang beilmu
feqah itu dapat menyelami ilmu makrifat!.
Bilamana tidak faham ilmu makrifat, itulah makanya tuduhan demi tuduhan mereka lontarkan kepada pengamal ilmu makrifat!. Mereka itu, hanya berpandukan kayu pengukr ilmu feqah, untuk menghukum dan menuduh kesesatan ilmu makrifat.Yang menjadi mangsa ulamak feqah itu, adalah orang-orang yang berilmu makrifat. Itulah makanya golongan makrifat itu,Selalu dituduh sesat dan selalu dipandang salah dimata golongan ahli feqah.Sesunggunya bidang ilmu makrifat itu, Adalah cabang ilmu rohani (ilmu mantik) yang tidak memungkinkan difahami oleh kebanyakkan Ulama.
Jika kita tidak faham ilmu makrifat, sekurang-kurangnya jangan mudah menuduh sesat kepada golongan makrifat!.
Ulama keluaran dari pusat pengajian tinggi itu, hanya belajar dalam
bidang ilmu fiqih sedangkan mereka tidak pernah dididik atau didedah
dengan ilmu makrifat!. Mana mungkin akan memahami ilmu makrifat!.
Namun siapa yang akan peduli dan siapakah yang akan faham luahan hati orang-orang makrifat!,
Saranan demi saranan diutarakan kepada pucuk pimpinan agama, namun
keluhan serta laungan kita itu, sekadar menjadi menjadi hiasan mata dan
hawa telinga mereka semata-mata. Pun begitu, kita tidak
boleh sekali-kali memandang rendah atau menyalahkan penjawab awam atau
menyalahkan para ulamak feqah dalam hal ini. Mereka-mereka itu, terdidik
dan terasuh dengan ilmu feqah tanpa didedahkan dengan ilmu makrifat.
Selayaknyalah mereka begitu!.
Kerana ilmu makrifat itu, adalah persingahan terakhir segala ilmu! (ibu segala ilmu).
Ilmu Makrifat Itu, Adalah Ilmu Yang Melewati Hayalan Akal!
Konsep ilmu ketuhanan orang arifin billah yang berilmu makrifat itu,
adalah konsep ilmu yang melewati hayalan akal atau mengatasi kenyataan
akal. Konsep ilmu ketuhanan para-para arifin billah yang berilmu
makrifat itu, adalah berlandaskan hanya dengan satu jalan, satu konsep,
satu kaedah dan satu cara, iaitu jalan fana’, jalan baqa’ dan jalan
berserah diri kepada Allah Taala.
Berkonsepkan “hanya Allah yang wujud, hanya Allah yang ujud dan hanya Allah yang maujud”.
Kenyataan atau pendapat ahad itu,
bukan berlandas atau bukan berkonsepkan kepada konsep hulul atau konsep wahdatul wujud!.
Konsep ilmu makrifat itu, adalah konsep mengEsakan Allah Taala. Konsep
mengEsakan Allah Taala itu, adalah konsep yang tidak berdalil kepada
sebarang konsep dan konsep yang tidak pergantungan kepada dalil akal!. Allah itu, adalah Allah. Allah yang tidak ada seumpama, tidak seumpama
sebagaimana yang difikir oleh akal, oleh angan-angan atau hayalan.
Makrifat itu, adalah konsep yang sudah tengelam dalam lautan makrifat kepada Allah!.
Konsep yang menengelamkan diri dalam lautan hadiah
(Ahad atau Esa).Yaitu suatu konsep yang semestinya tidak difahami oleh akal!.
Konsep yang melewati hayalan atau melewati keyataan akal!.
Untuk memahaminya hendaklah turun kedalam kolam air makrifatullah!.
Ilmu Makrifat Bukan Konsep Yang DiBuat-Buat! (Tetapi Dari Ilmu Rasulullah Dan Iman Ghazali Sendiri)
Pendapat, pegangan, pengakuan serta fahaman ilmu makrifat itu,
sesungguhnya bukan dibuat-buat atau diada-adakan tetapi ianya, adalah
datangnya dari Baginda Rasulullah dan disambung oleh para sahabat dan
Iman Al-Ghazali sendiri. Namun tidak ramai yang mendalami,
menyelami dan memahaminya!. Konsep ini, adalah satu-satunya konsep yang
boleh menunjang tauhid kedalam qalbu para arifin billah, sebagaimana
iman Ghazali sendiri. Inilah makam tauhid, makam ilmu rasa dan makam
ilmu para arifin billah terdahulu!.
Yang menjadi pegangan, pangakuan dan yang menyebabkan menunjangnya keyakinan tauhid kepada Allah Taala. Ilmu makrifat itu, merupakan inti tertinggi para ulamak arifin billah
terdahulu. Yang mana sesungguhnya tidak sedikitpun menjadi percangahan
atau berlawanan dengan konsep Ahli Sunnah Waljamaah!.
Hanya bagi yang tidak arif dengan ilmu makrifat sahaja yang memandang bahawa ilmu makrifa itu, salah atau sesat!. Sedangkan hanya melalui ilmu makrifat sahajalah sat-satunya ilmu yang
boleh membawa, mengarah dan menghala hati-hati kita kepada arah meEsakan
Allah Taala.
Inilah konsep dan inilah ilmu yang dibawa oleh
Baginda Rasulullah, semasa mula-mula Baginda berpindah dari Kota Makkah
ke Kota Madinah!. Yaitu konsep ilmu tauhid atau konsep ilmu megEsakan Allah Taala.
Soal:-Bagaimanakah caranya untuk mengatakan yang Allah itu benar-benar Esa?.
Untuk menyatakan yang Allah itu benar-benar Esa,
ianya bukan dengan sebutan kalimah syahadah, bukan dengan mengerjakan
ibadah sembahyang, puasa, zakat atau bukan dengan ibadah perkerjaan
ibadah haji!.
Menyatakan keEsaan Allah itu, adalah hendaknya dan
sepatutnya sebelum melafas kalimah syahadah, sebelum ibadah sembahyang
atau sebagainya!.
Menyatakan Allah itu, bukan perkara untuk
dinyatakan sesudah sembahyang atau bukan untuk dinyatakan didalam waktu
ketika tengah sembahyang, apa lagi diketika sesudah sembahyang!.
Bagi menyatakan Allah itu, bukannya semasa didalam berpuasa atau
selepas berbuka puasa!. Ataupun bukan didalam ketika menyebut perkataan
syahadah!.
Ilmu makrifat itu, adalah ilmu menyatakan
Allah (ilmu menyatakan keEsaan Allah), ilmu mengEsakan Allah dan ilmu
menzahirkan Allah, dengan nyata dan senyata-nyatanya!.
Bukan ilmu hanya bercakap dibibir!.
Kita boleh menyebut perkataan syahadah (perkataan mentauhidkan Allah)
sebanyak mungkin yang kita mampu menyebut, tetapi Islam itu bukan agama
bunyi atau agama suara yang keluar dari lidah atau dibibr!. Islam itu,
adalah agama benar, agama nyata dan agama pasti!.
Ilmu makrifat itu, adalah ilmu yang tidak sekali-kali mengasingkan Tuhan dengan alam!.
Imu makrifat itu, adalah ilmu mengEsakan Allah, Yaitu ilmu yang tidak menduakan Allah (tidak mensyirikkan Allah dengan sesuatu). Ilmu makrifat itu, adalah ilmu yang tidak menwujudkan Allah dengan wujud yang lain selain Allah Taala. Ilmu makrifat itu, adalah ilmu yang tidak memandang bahawa Allah dan
makhluk itu, dua wujud yang berbeza atau “dua yang bersifat wujud”. Dari kaca mata ilmu makrifat, barangsiapa yang memandang, barangapan
atau beriktikad bahawa adanya wujud Allah dan adanya wujud alam makhluk,
bersama-sama dengan wujud Allah, maka hukumnya adalah syirik. Allah lain dan makhluk lain itu, maka terputuslah seluruh kesedaran
batinnya terhadap Allah Taala dan terputus juga kesadaran rohaninya
terhadap makhluk. Tetapi jangan pula hendaknya disatukan makhluk dengan
Allah!, Ingat itu………………….
Allah dengan makhluk itu, bercerai tidak dan bersatu tiada,
ini adalah terjemahan mengikut suluhan bahasa makrifat dan bahasa
rohani yang tidak sama sekali difahami atau dimengerti oleh akal, apa
lagi oleh ahl ilmu feqah. Allah dan makhluk itu, bercerai tidak dan
berpisah tiada!. Sebagaimana kata orang tua-tua kita dahulu,
belajar ilmu makrifat itu, susahnya “seumpama mati”, manakala setelah
mengenal makrifat, senangya “seumpama tidur”. Belajar ilmu makifat itu, senang, mudah dan tak payah. Belajar ilmu makrifat atau ilmu megenal Allah.
Apa tidaknya, terang cahaya mata hari itu, terang lagi Allah, dekatnya mata putih dengan mata hitam itu, dekat lagi Allah, mana mungkin megenal Allah itu payah!. Mengenal Allah itu, adalah ilmu yang paling senang dan paling mudah,
berbanding dengan ilmu-ilmu yang lain. Allah tidak terhijab atau
terdinding, tidak tertutup atau terhalang oleh seuatu!. Masakan kita tidak mengenal Allah dengan mudah!.
Mudahnya sekolah tadika atau sekolah kafa
itu, mudah dan senang lagi ilmu mengenl Allah!.
Kenapa tidak kenal?……………………………………….
Ini bukan bertujuan untuk Menerapkan nilai-nilai hulul atau unsur-unsur
wahdatul wujud!. Ini semata-mata bertujuan untuk membuka mata semua
pihak-pihak yang mendakwa
Tafsir kalimah ahad, isinya adalah suatu perkara yang berbeda berbanding dengan tafsiran kalimah wahdatul wujud!. Sebenarnya ilmu makrifat sejati dan sebenar itu,
tidak mensamakan Allah dengan makhluk, tetapi tidak juga memisahkan dengan makhluk!.
Seumpama “asap bukan api, tetapi tidak lain dari api”.
Faham itu baik-baik.