Sebagai bukti sejarah atas penentangan tersebut, disebutkan oleh Alwi Sihab bahwa Syekh Siti Jenar sebagai seorang yang menyimpang dari tasawuf sunni, karena mengamalkan paham wahdatul wujud. Sehingga karena hal tersebut, Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh para Wali Songo. Dan mereka yang mengikuti pandangan Syekh Siti Jenar, pada akhirnya mengembangkan paham kebatinan atau kejawen.
Tetapi Gus Dur menolak anggapan tersebut, hal itu didasari karena memang sejarah hukuman mati Syekh Siti Jenar mempunyai banyak tafsir yang berbeda-beda. Jika Alwi Shihab menganggap bahwa para ulama Nusantara menentang paham kebatinan atau kejawen. Maka para ulama tersebut telah menentang salah satu bentuk dari wahdatul wujud (pantheisme/manunggaling kawulo gusti).
Dalam hal tersebut, Gus Dur mempunyai pandangan bahwa hukuman mati yang dijatuhkan oleh Wali Songo kepada Syekh Siti Jenar, bukan karena beliau berpaham Wahdatul Wujud. Tetapi karena beliau mengajarkan Wahdatul Wujud kepada banyak orang, termasuk orang awam. Gus Dur beranggapan bahwa dosa Syekh Siti Jenar bukan pada penerimaannya tentang Wahdatul Wujud, tetapi Karena terlalu gegabah dalam mengajarkan paham tersebut dikalangan orang banyak.
Gus Dur yang lahir dari akar tradisi pesantren, dan mengetahui seluk beluk kultural ulama Nusantara. Dan beranggapan bahwa ulama tradisionalis Indonesia, banyak yang mengambil ajaran Wahdatul Wujud, tetapi untuk dirinya sendiri. Hal itu dikarenakan mereka telah menguasai syariat atau fikih. Para ulama tradisional Indonesia menolak penyebaran Wahdatul Wujud dikalangan awam, tetapi bagi kepentingan diri sendiri banyak para ulama yang sudah pada Maqomnya mengamalkan itu, dan mereka menjalankan amalan itu secara tertutup.
Salah satu ajaran Wahdatul Wujud yang digunakan adalah Wahdatul Syuhud. Sebuah ajaran untuk mengetahui sesuatu yang belum terjadi, atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan Weruh Sedurunge Winarah.