Suluk Pangeran Panggung
Apa yang menarik dari Suluk Malang Sumirang? Mari kita lihat analisa George Quinn, Wali Berandal Tanah Jawa (2018 : 189-190). Ia menyebut bahwa Suluk Malang Sumirang merupakan teks yang melawan ragam baku Islam. Ragam baku menurutnya adalah arus utama tauhid Islam yang berpandangan bahwa Allah dan manusia berlainan dalam segala hal,. Bahkan kesempurnaan Islami terdapat dalam keyakinan dan praktik kaum kafir :
Ananging aran tokidan
Lawan ujar kupur kapir iku kaki
Aja masih rerasan
Yen tan wruha ujar kupur kapir
Pasthi wong iku during sampurna
Maksi bakal pangrawuhe
Pan kupur kapir iku
Yaiku sampurna jati
Pan weka ing kasidan
Kupur kapir iku
Iya sadat iya salat
Iya idhep, iya urip,. Iya jati
Iku jatining salat
Inilah radikalisme Pangeran Panggung yang sejajar dengan Syekh Siti Jenar dalam berpandangan soal bergama dan berkeyakinan. Memang sepintas teks Malang Sumirang menyerang mereka yang menjalankan syariah. Ini merupakan paradoks. Keyakinan pada umumnya hukum syariah dan mekanisme beribadah secara umum sebagai landasan masuk untuk pencapaian tahap berikutnya. Malang Sumirang mengajarkan bahwa pengetahuan rohani/spiritual tidak sempit dan bersifat menolak eksklusif.
"Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahami karena hanya sibuk menghitung dosa-dosa kecil yang diketahui.
Tentang hal kufur-kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah pengetahuannya.
Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan Tuhan.
Sembah puji puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran.
Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa-dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur-kafir yang dijauhi justru membuatnya bingung.
Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Mencipta dan Maha Memelihara".
Suluk Seh Malang Sumirang tercipta dari amukan api yang tiada mampu menyentuh jasad Malang Sumirang.
Suluk sang sufi gila, sosok antitatanan yang tidak terjangkau poros kekuasaan. Malang Sumirang mewariskan suluk liar mengingkari semua tatanan. Menyingkap tabir rahasia, menyurat yang tersembunyi. Suluknya lebih tajam dari pedang Sultan Demak...
"...Manusia, sebelum tahu maknanya Alif, akan menjadi berantakan... Alif menjadi panutan sebab huruf, Alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif lapat. Sebelum itu jagad ciptaan-Nya sudah ada. Lalu Alif menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. Alif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenis ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syariat. Allah itu penjabarannya adalah Zat yang Maha Mulia dan Maha Suci. Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti Alif. Allah itulah adanya. Alif penjabarannya adalah permukaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun melihat Zat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan cahaya yang terang-benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan zat yang mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut zikir sejati, laa ilaaha illallah."
Ilmu adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh perbuatan.
Dan perbuatan adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh keikhlasan.
Dan keikhlasan adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh kesabaran.
Dan kesabaran adalah huruf yang tak terungkap oleh penyerahan
Sifat pasrah berhasil diungkapkan dalam bahasa yang indah.
Puisi ini menggambarkan bagaimana sebaiknya mengartikan kepasrahan secara mendasar. Totalitas penyerahan kepada Tuhan akan menghasilkan pemaknaan yang benar tentang Islam. Dan itulah pula makna sujud yang dilakukan oleh umat Islam dalam sholat.
Tidak hanya kening yang melekat di hamparan sajadah.
Tetapi jauh lagi adalah menyerahkan jiwa raganya kepada Allah.
Pada akhirnya, “dalam hampa terdapat Ada, dalam Ada terdapat hakikat sejati”.