Tentang Takdir

Syaikh 'Abd al-Qadir al-Jilani Keseriusan masalah takdir  menjadikannya salah satu kontroversi utama dalam teologi Islam ('ilm al-kalām) karena hubungannya dengan artikel iman Islam pertama : doktrin tauhid. Muhammad b. Shihab al-Zuhri, yang merupakan salah satu perwakilan awal aliran Sunni, mengatakan 'Kepercayaan pada takdir adalah bagian integral dari tauhid : siapa pun yang percaya pada tauhid tetapi tidak pada takdir, tauhidnya tidak lengkap'. Mu'tazilah juga menghubungkan tauhid dengan keadilan ('adl), yaitu keadilan Ilahi yang berdasarkan kebenaran dan meminta pertanggungjawaban manusia atas tindakan dan nasibnya. Adapun para Sufi, mereka memasangkan tauhid dengan tawakkul (bergantung pada Tuhan). Al-Ghazali menunjukkan dalam karyanya Iḥyāʾ 'ulūm al-dīn (Kebangkitan Ilmu Agama) bahwa tauḥīd merupakan landasan tawakkul. Qadar menurut Ghazali adalah Sebuah misteri yang membingungkan mayoritas orang, dan mereka yang diberi wawasan tentangnya terhalang untuk mengungkapkannya. Seseorang dapat menyimpulkan bahwa kebaikan dan keburukan telah diputuskan, dan apa yang telah ditetapkan pasti terjadi sebagaimana yang telah dikehendaki [oleh Tuhan]. Tidak ada keberatan terhadap keputusan-Nya atau halangan terhadap Ketetapan (qaḍāʾ) dan Perintah-Nya. Iman yang mendalam pada tawakkul ini menunjukkan determinisme. Namun, Al-Ghazali tidak menerima determinasi buta, yang akan membatalkan pahala dan hukuman, tetapi mendasarkan tawakkul pada memiliki keyakinan mutlak pada 'Agen' Ilahi (wak ī l). Sufi melihat melalui ini bahwa 'tidak ada alam semesta yang diciptakan lebih indah daripada yang ada'. Ini adalah tauhid yang lebih didasarkan pada cinta daripada pada akal. Terlepas dari perluasan pemahaman tentang takdir dalam lingkaran cinta dan iman, al-Ghazali tidak mengatakan bahwa adalah mungkin untuk membaca yang tak terlihat atau membuka segel misteri takdir. Takdir, seperti yang dilaporkan dalam tradisi kenabian, adalah 'rahasia Tuhan' dan itu adalah bagian dari kelengkapan kesopanan spiritual seorang Sufi (adab) bahwa ia harus menahan diri untuk tidak mengungkapkan rahasia ini. 

Orang pertama yang berbicara tentang kemungkinan terungkapnya rahasia ini adalah Syaikh Sufi besar 'Abd al-Qadir al-Jilani (w. ah 571), yang berkata:

Ketika para wali (awliyāʾ) mencapai takdir, mereka semua mendapati takdir itu sebagai dinding yang kokoh, kecuali aku: sebuah jendela terbuka di dalamnya untukku, dan aku masuk melaluinya, sehingga aku menguasai takdir Tuhan (ḥaqq) melalui Tuhan.