Jalur perdagangan maritim mencipta sejuta peradaban yang menarik untuk dikaji, salah satunya adalah pemujaan sesosok dewi penyelamat, yang dipercaya Tiongkok hingga Nusantara.
Uniknya adalah, hampir semuanya berkaitan dengan Avalokiteshvara (Guanyin), sesosok dewi yang amat dicintai oleh orang Tionghoa.
Guanyin di Sanfoqi
Paralel dengan putri Jnanacandra sebagai Tārā (Lady of the Star), di Tiongkok Guanyin dikisahkan sebagai putri Miaoshan (妙善南海觀音/Guanyin Laut Selatan). Di dalam dua naskah periode Dinasti Ming yaitu Nanhai Guanyin Quanzhuan dan Guanyin Jidu Benyuan Zhenjing (Xiangshan Baojuan), dikisahkan bahwa Guanyin terlahir sebagai putri Raja Miaozhuang yang di tanah Xinglin yang daerahnya mencakup sampai di sebelah barat India. Menariknya di kedua teks itu pula, dikatakan batas timur Xinglin adalah negara Foqi 佛齊, yaitu Sanfoqi atau dengan kata lain: Sriwijaya.
Zhao Rugua (1170–1228 M)) mencatat bahwa setiap tanggal 15 bulan ke-6 Imlek, para pangeran Sanfoqi (Sriwijaya) akan pergi ke daerah kekuasaannya, Folo’an, untuk menghormati dua rupang Buddha bertangan empat dan bertangan enam. Kapal yang mengangkutnya dikatakan secara gaib langsung ditiup ke samudera. Menurut naskah Sancai Tuhui (1607) kedua rupang ini adalah dua rupang dewi yang terbuat dari tembaga. Tanggal 15 bulan ke-6 Imlek juga dekat dengan perayaan Guanyin versi Tiongkok yaitu tanggal 19 bulan ke-6 Imlek. Apakah ini semua ada kaitannya?
Guanyin - Dewi Samudera
Beberapa peneliti berusaha membandingkan Tara, Guanyin, dan Nyai Loro Kidul. Jika kita tarik semuanya kembali pada Guanyin, barangkali bisa saja ada hubungannya, apalagi jika kita familiar dengan sebutan Nanhai Guanyin (Guanyin Laut Selatan) dan Ratu Kidul Laut Selatan. Beberapa peneliti mengaitkan Kidul dengan Tara yang dipuja di Candi Kalasan, yang lain sebagai gabungan antara Dewi Sri (Laksmi) dan Durga (yang ketiganya membentuk kosmologi unik Jawa). Dalam sutra-sutra Buddhis, ketiga Dewi ini lahir dari Avalokiteshvara itu sendiri.
Menurut Sutra Karandavyuha, Bhudevi (Sri Laksmi) juga lahir dari Avalokiteshvara dan Umadevi (Durga) mendapat peneguhan dari Avalokiteshvara.
Fakta unik lainnya, Guanyin berjubah ayu putih yang kita lihat di film Sun Wukong itu adalah Tara. Orang Tiongkok secara kreatif menyatukan wujud Avalokiteshvara dan Tara.
Dikatakan dalam Sutra Mahavairocana bahwa Tara berjubah putih adalah perwujudan dari Avalokiteshvara. Dalam Sutra Pancamudra Pandaravasini Dharani atau Sutra Guanyin Berjubah Putih juga disebutkan mantra Tara. Dari 33 perwujudan Guanyin, juga ada Duoluo Guanyin (Tara Avalokiteshvara) yang berjubah putih.
Guanyin dan Tara keduanya dikenal sebagai penyelamat pelayaran. Orang-orang Tionghoa selalu memuja Guanyin ketika berlayar ke Nusantara, khususnya Nanhai Guanyin. Mereka juga memuja satu dewi lagi yaitu Mazu atau Tianshang Shengmu yang merupakan titisan dari Avalokiteshvara Laut Selatan. Maka dari itu kita lihat dalam setiap hunian perantau Tionghoa di tanah air kita ini hampir selalu berdiri kelenteng Mazu. Paling awal sejak masa Song, yaitu pada tahun 1138 M, Xiangying Miaoji mencatat para pelaut dari Fujian ke Sriwijaya sudah memuja sesosok dewi pelayaran yang kemungkinan adalah Mazu.
Kunlun = Jawa/Sumatera?
Jawa dan Sumatera zaman dulu juga disebut sebagai Kunlun dan masyarakatnya sebagai orang-orang Kunlun. Catatan-catatan Tiongkok menyebut orang-orang Kunlun ini berkeyakinan Buddhis.
Menarik untuk diketahui bahwa sejak zaman dahulu Tiongkok memuja seorang dewi Xi Wangmu yang tinggal di pegunungan Kunlun.
Maharaja Nanzhao (877-897) juga dikisahkan mempersunting pengantin dari negara Kunlun dan diduga merupakan asal usul rupang Acuoye Guanyin yang berlanggam Sriwijaya. Acuoye sendiri berasal dari kata “Ajaya” yang diduga berasal dari kata Sriwijaya.
Guanyin di Nusantara
Jika kita berjalan-jalan di Pulau Bali atau Gunung Kawi, kita akan banyak menyaksikan kelenteng Avalokiteshvara atau Guanyin di kompleks Pura seperti Pura Ulundanu, Pura Klentingsari, Pura Goa Giri Putra Nusa Penida, dan banyak pura lainnya.
Klenteng/pelinggih Guanyin di sana teruwujud dalam suatu bangunan dan rupang yang khas Tionghoa. Klenteng tertua di Nusantara juga adalah Klenteng Guanyin (Jinde Yuan di Batavia).
Zheng He atau Sam Poo Kong juga turut membawa pemujaan Mazu ke Nusantara. Zheng He berkali-kali memohon Mazu untuk keselamatan pelayarannya.
Atas saran Biksu Shenghui, krunya dan Biksu Daoyan, gurunya, Zheng He mencetak kitab Taishang shuo tianfei jiuku lingyan jing. Pada masa Ming ini, Mazu memang dipandang sebagai manifestasi dari Avalokiteshvara termasuk di Jepang.
Nusantara memang tampaknya berjodoh erat dengan Avalokiteshvara dan Tara. Rupang-rupangnya juga banyak sekali ditemukan di Jawa dan Sumatera. Atlantis?