Sendang Titis Bukit Sempuh


Perjalanan hidup mendiang Presiden Soeharto memang sangat kental dengan kehidupan olah batin dan laku spiritual. Berbagai daerah dikunjunginya dan dijadikan sebagai tempat untuk mendekatkan dirinya pada alam kebatinan Jawa. Salah satunya adalah di tempat ini yang konon diyakini mampu mengangkat derajat dan pamor Soeharto sehingga ia bisa berkuasa selama 32 tahun memimpin negeri.

Tempat keramat ini berupa sebuah mata air atau orang Jawa sering menyebutnya dengan sebutan sendang. Namanya Sendang Titis namun ada pula yang menyebutnya dengan nama Sendang Semanggi karena berada Dusun Semanggi, Desa Bangunjiwo, Kecamatan, Kasihan, Bantul.

Sendang Titis atau Sendang Semanggi ini terletak di lereng bukit cadas kapur bernama Bukit Sempu. Dari pusat Kota Yogyakarta, berjarak sekitar 15 km ke arah arah selatan atau jika mencapainya dengan berkendaraan akan memakan waktu kurang lebih 35 menit.

Di lereng bukit kapur dengan ketinggian sekitar 30 meter ini siapa pun orangnya harus berjalan kaki dengan melewati jalan berbatu menanjak yang licin. Sendang ini hanya berukuran sekitar 3 x 5 m saja, dipagari dengan tumpukan batu yang dinaungi oleh dua pohon beringin tua.

Mbah Purwoutomo (80), juru kunci Sendang Titis menceritakan tentang asal mula mata air keramat ini. “Tidak ada yang tahu pasti kapan terjadinya sendang ini, tapi yang jelas sudah berabad-abad sebelum kita ada,” terangnya.

Kata Titis pada nama Sendang Titis diambil dari suatu peristiwa yang terjadi yang mengiringi terbentuknya sendang ini secara gaib. Dahulu mata air di atas bukit tersebut mengeluarkan air sampai gemercik menetes seperti sebuah air terjun kecil. Peristiwa menetesnya air terjun kecil ini mirip sekali dengan peristiwa tetasan air hujan yang mengenai Tritisan atap-atap rumah Jawa jaman dahulu.

Tritisan atau kata dasarnya Tritis, dalam dalan bahasa Jawa berarti bagian emperan atau pojokan rumah adat Jawa. Sehingga dengan peristiwa tersebut, kemudian mata air tersebut dinamai dengan nama Sendang Titis, serapan kata dari bahasa Jawa yakni Tritis. Adapula anggapan lain yang menyatakan, kata Titis dari nama Sendang Titis ini berasal dari bahasa Jawa yaitu Titis yang berarti jitu. Konon diyakini, barang siapa saja orangnya yang melakukan laku sritual di tempat ini akan mendapatkan suatu petunjuk yang titis alias jitu.

Menaikan Pamor Soeharto

Sang juru junci mengatakan sendang ini dulunya merupakan tempat mendiang Soeharto untuk melakukan ritual olah batin. Ketika itu, Soeharto dikawal dengan ratusan prajurit militer, pengamanan dibuat beberapa ring atau lapisan hingga kawasan Sendang Titis benar benar-benar steril dari warga demi kekhusukan Soeharto menjalankan ritual.

"Saat itu, Pak Harto masuk ke area Sendang Titis sendiri sambil membawa sebuah keris. Pak Harto waktu itu hanya tidur di bawah pepohonan bambu yang terletak di bawah tebing bukit. Di situ Pak Harto tidur hanya beralaskan karung beras saja,” kata Mbah Purwoutomo sambil menunjuk pepohonan bambu di utara rumahnya tak jauh dari Sendang Titis berada.

Konon ada tata cara ketika seseorang akan melakukan ritual penyucian raga di Sendang Titis ini. Yang pertama-tama, niat harus bersih dan tidak boleh memiliki niat yang buruk. Setelah itu mengambil air sendang dengan tangan kanan, kemudian tangan kiri menepuknya sebanyak tiga kali. Kemudian, cipratkan air yang masih tersisa di tangan tersebut ke bahu kanan dan kemudian ke bahu kiri. Setelah itu, barulah berbilas dan menyucikan badan dengan cara mandi di sendang tersebut.

Guru Spiritual Soeharto

Mendiang Soeharto dahulu bisa sampai ke tempat ini bukan tanpa alasan. Hal ini terkait erat dengan adanya sosok seseorang yang disebut-sebut sebagai tokoh yang sangat dihormati oleh Soeharto semasa hidup sampai akhir hayatnya. Ia adalah Almarhum Romo Marto yang telah tutup usia pada tahun 1990 dalam umurnya yang ke 90 tahun.

Sendang Kasihan DIY



Sendang Kasihan adalah objek wisata religi yang berlokasi di Dusun Kasihan, Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Menurut sumber setempat timbulnya sumber air yang kemudian menjadi Sendang Kasihan ini konon oleh karena tongkat milik Sunan Kalijaga. 
Diceritakan bahwa dalam pengembaraannya waktu itu Sunan Kalijaga tiba di daerah Kasihan. Di daerah ini ia membutuhkan air yang bersih. Oleh karena ia tidak mendapatkan sumber air yang dimaksud, ia pun menancapkan tongkatnya ke atas tanah. Setelah tongkat itu dicabut, maka keluarlah sumber mata air yang jernih dan kemudian terkumpul dalam cekungan dan kemudian terkenal dengan nama Sendang Kasihan. 
Menurut cerita tutur setempat Sendang Kasihan juga terkait dengan cerita Rara Pembayun (putri Panembahan Senapati). Konon, ketika Rara Pembayun akan menyamar sebagai penari tledek untuk memikat Ki Ageng Mangir, terlebih dahulu singgah dan menyucikan diri di sendang ini. Proses penyucian diri di sendang ini konon memberi dampak bagi kencantikan Rara Pembayun. Air sendang ini membuat wajah dan tubuh tampak lebih muda, bersinar dan segar.
Fasilitas yang ada di sendang ini ialah kamar mandi, tempat ganti baju, mushola hingga ruang tunggu.
Tidak jauh dari sendang ini terdapat 2 buah arca yaitu arca ganesa dan juga arca agastya. kurang jelas mengapa arca ini bisa berada di halaman sendang. kemungkinan dahulu warga sekitar sebelum berganti masuk islam mereka masih menganut agama hindu. dan 2 arca ini sebagai saksi sejarah bahwa peradaban masa lampau di dusun ini begitu panjang.

Sendang Tuk Si Bedog DIY


Sumber air Tuk Si Bedug merupakan salah satu petilasan dari Sunan Kalijaga yaitu salah seorang wali dari Walisanga. Awal mula dilaksanakannya upacara adat Tuk Si Beduk adalah untuk menghormati perjalanan Sunan Kalijaga. Saat itu kanjeng Sunan Kalijaga sedang dalam perjalanan untuk menyebarkan Agama Islam. Dalam perjalanannya itu Sunan Kalijaga berhenti di bawah pohon besar untuk beristirahat tepatnya pada waktu tengah hari. Pada Waktu Sunan Kalijaga akan melaksanakan sholat jumat ( tepatnya pada jumat pahing), beliau tidak mendapatkan air untuk berwudlu. Maka dengan meminta pertolongan kepada Allah SWT Sunan Kalijaga menancapkan tongkatnya kedalam tanah. Dari tancapan tongkat tersebut, memancar air yang sampai saat ini tidak pernah kering dan diberi nama “ Tuk Si Bedug”. Jadi nama Tuk Si Bedug diperoleh dari mata air yang keluar dari tancapan tongkat Sunan Kalijaga yang terjadi pada waktu bedug dzuhur. 

Bangunan Tuk Si Bedug diresmikan pada hari jumat pahing tanggal 28 September 2001 oleh Drs. Harina. Sebelum dibangun seperti sekarang ini, dahulu Tuk Si Bedug hanya berbentuk kolam yang terus menerus mengeluarkan air. Oleh karena itu masyarakat membangun beberapa bangunan antara lain terdapat dua sendang yang salah satunya digunakan untuk mandi atau berendam baik oleh masyarakat setempat maupun masyarakat luas dan terdapat satu sendang yang disakralkan oleh masyarakat dan hanya diambil untuk minum.

Selain itu disekitar sendang terdapat sebuah mushola dan beberapa ruangan yang salah satunya digunakan sebagai tempat penyimpanan barang pusaka. Barang pusaka tersebut berupa sejumlah tombak, payung, dan kayu yang sudah berumur ratusan tahun akan tetapi sampai sekarang tidak lapuk dan tidak mengelupas kulitnya. Barang pusaka tombak merupakan titipan dari keraton Yogyakarta yang berjumlah 6 buah.

Masyarakat sekitar Tuk Si Bedug percaya bahwa mata air tersebut dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan dipercaya membawa berkah bagi kehidupan masyarakat. Tidak hanya masyarakat sekitar dusun saja yang percaya akan hal itu, tetapi banyak juga masyarakat dari luar daerah yang berkunjung ke sendang Tuk Si bedug untuk mencari berkah. Hampir setip hari sendang Tuk si Bedug dipenuhi oleh pengunjung terutama malam selasa dan malam jumat kliwon. Mereka menganggap kedua hari itu adalah hari yang baik untuk meminta berkah dan yang memiliki nadzar .


Sendang Seliran DIY


LOKASI DIKOMPLEK MAKAM RAJA RAJA MATARAM KOTAGEDE

Nama Sendang Seliran itu sendiri itu dapat diartikan atau diambil dari kata DISELIRANI yang artinya dikerjakan sendiri, yang dalam konteks ini berarti kedua sendang ini dulunya dirawat sendiri oleh Kanjeng Panembahan Senopati keberadaanya.

Selain itu Seliran itu dapat diartikan sebagai badan, dalam hal ini dapat diartikan bahwa sendang ini airnya merupakan sumber air yang berasal dari selira (makam panembahan senopati)

Sendang Seliran ini sampai sekarang masih disakralkan keberadaannya. Bisa dikatakan demikian karena sendang ini diyakini sekaligus dipercaya merupakan peninggalan dari Kanjeng Panembahan Senopati , Ki Ageng Pemanahan dan Kanjeng Sunan Kalijaga.

Menurut cerita sejarahnya sendang ini dulunya merupakan mata air yang berasal dari tancapan tongkat Kanjeng Panembahan Senopati , ketika beliau ingin mencari mata air yang digunakan untuk berwudhu sebelum beliau menunaikan ibadah shalat.

Kemudian selain sendang, ada juga sumur yang dinamakan Sumber Kemuning. Sumur ini menurut cerita yang berkembang merupakan sumur yang berasal dari tancapan tongkat Kanjeng Sunan Kalijaga, ketika mensiarkan agama islam di wilayah Kotagede, sebelumnya daerah kotagede dulunya dipercaya merupakan daerah yang memiliki peradaban Hindhu sebelum berkembangnya ajaran Islam diwilayah itu.

Ada dua bagian sendang seliran yang berlokasi si komplek pemakaman ini, yang satu dinamakan SENDANG KAKUNG  dan satunya lagi dinamakan SENDANG PUTRI.

Yang Sendang Kakung digunakan untuk mandi kaum pria, sedangkan yang Sendang Putri digunakan untuk mandi kaum puteri.

Sampai hari ini kedua sendang ini masih dijaga nilai sakralnya.Setiap bulan apa maaf saya agak lupa sendang ini masih sering dibersihkan melalui upacara tradisional yang sering disebut sebagai NAWU SENDANG.

Di kedua sendang ini juga masih terdapat ikan lele putih yang juga masih disakralkan keberadaanya. ikan lele putih  ini masih sering nampak wujudnya.

Menariknya dua sendang ini tidak pernah kering airnya walaupun ketika musim KETIGO atau musim Kemarau datang.Yang sendang kakung dipercaya airnya bersumberatau  berasal dari makam Kanjeng Panembahan Senopati, sedangkan yang sendang Puteri airnya konon dipercaya bersumber di bawah pohon beringin yang lokasinya ada di depan dekat gerbang depan Komplek pemakaman Kotagede.

Nama SELIRAN itu sendiri itu dapat diartikan atau diambil dari kata DISELIRANI yang artinya dikerjakan sendiri, yang dalam konteks ini berarti kedua sendang ini dulunya dirawat sendiri oleh Kanjeng Panembahan Senopati keberadaanya.

Selain itu Seliran itu dapat diartikan sebagai badan, dalam hal ini dapat diartikan bahwa sendang ini airnya merupakan sumber air yang berasal dari selira (makam panembahan senopati) 


Sendang Bagusan Godean DIY





Dahulu air Sendang itu sering digunakan seorang bangsawan bernama Raden Bagus Khasantuko untuk bersuci sebelum menunaikan sholat lima waktu. Kini tempat ini sering didatangi peziarah untuk mendapatkan berkah.

Raden Bagus Khasantuko atau yang lebih dikenal sebagai Kiai Bagus Khasantuko merupakan seorang pangeran dari Mataram. Ia putra Amangkurat III, raja Mataram Kartasura.

Pangeran yang bernama kecil Raden Bagus Kemuning itu senang mengembara untuk mencari ilmu. Gurunya banyak. Dari para gurunya, ia mempelajari banyak ilmu sehingga ia menjadi manusia yang linuwih, baik dalam bidang agama maupun kesaktian.

Dalam pengembaraannya, ia sering berwudhu dan mandi di sebuah sendang di Senuko, Godean ini. Ia begitu sering mengunjungi desa tersebut. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk mengabdi di Desa Senuko. Di desa itu, ia mengajar agama hingga akhir hayatnya. Itu sebabnya, Sendang tempat berwudhu nya disebut Sendang Bagusan dan makamnya pun terdapat di tempat ini dan dirawat hingga sekarang.








Candi Plaosan Klaten Jawa Tengah



Candi Plaosan Lambang Loyalitas Dan Keharmonisan. 

Tidak hanya Prambanan yang menjadi pesona sejarah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Candi Plaosan salah satunya yang dapat dijadikan referensi berlibur khususnya bagi anda para pecinta Budaya dan Sejarah. Candi Plaosan terletak di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah didirikan pada masa Rakai Panangkaran, seorang Raja yang juga mendirikan Candi Borobudur dan Candi Sewu yang berlatar belakang agama Buddha.

Tidak hanya Prambanan yang menjadi pesona sejarah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Candi Plaosan salah satunya yang dapat dijadikan referensi berlibur khususnya bagi anda para pecinta Budaya dan Sejarah. Candi Plaosan terletak di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah didirikan pada masa Rakai Panangkaran, seorang Raja yang juga mendirikan Candi Borobudur dan Candi Sewu yang berlatar belakang agama Buddha. Candi tersebut terdiri dari dua buah candi induk dan mandapa (bangunan yang digunakan untuk melakukan ritual) yang dikelilingi 58 Candi Perwara (candi pendamping) dan 194 stupa. Pada beberapa Candi Perwara dijumpai tulisan-tulisan pendek yang memberikan indikasi bahwa bangunan tersebut merupakan sumbangan dari bawahan raja sebagai wujud loyalitas.

Menurut sejarahnya, pada zaman kerajaan dulu, seorang Raja bernama Pikatan memberikan sebuah persembahan kepada Pramuda Wardhani sebagai tanda cinta. Raja Pikatan dan Wardhani memiliki perbedaan latar belakang kepercayaan, Hindu dan Buddha. Candi Plaosan merupakan persembahan cinta Raja Pikatan kepada Wardhani yang memiliki unsur campuran dua agama yaitu Hindu dan Buddha. Oleh sebab itulah maka Candi Plaosan melambangkan keharmonisan antara dua agama yang berbeda.

Yang menarik dari Candi Plaosan ini adalah parit berukuran 440m x 270m yang mengelilingi kompleks candi beserta beberapa temuan lepas berupa ribuan fragmen gerabah dan beberapa keramik asing di dalamnya. Kemungkinan besar, parit tersebut dahulu dimanfaatkan untuk menurunkan air tanah di Kompleks candi agar tanahnya menjadi padat. Konon, kerajaan zaman dahulu menganggap bahwa unsur air, gunung, dan sawah merupakan sesuatu yang suci, oleh sebab itu, candi diibaratkan sebagai gunung tempat para dewa bersemayam yang dikelilingi samudera.

Candi Plaosan adalah bukti nyata kekuatan cinta yang mampu menyatukan sekat perbedaan. Candi nan cantik ini dibangun oleh Rakai Pikatan yang beragama Hindu untuk permaisuri terkasih Pramodyawardani yang memeluk Budha. Candi Plaosan tidak hanya mengajarkanmu tentang kekuatan cinta namun juga mempunyai makna arti toleransi yang sesungguhnya yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan adalah anugerah dan bukanlah alasan untuk melenyapkan cinta yang telah tumbuh. Namun justru cintalah yang seharusnya bisa menjadi alat untuk menyatukan perbedaan.

Rahayu sagung dumadi




Candi Ijo Sleman Jogjakarta

 





Arca NARASIMHA di CANDI IJO : Simbol Kesedihan atas Perebutan Tahta Sri Maharaja Dyah Gula oleh Rake Garung?

Salam Budaya,

Arca Narasimha ditemukan oleh BPCB DIY tahun 1975 di Candi Ijo. Narasimha merupakan penjelmaan Dewa Wisnu sebagai Singa-Manusia. Ia turun ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia dari kekejaman raksasa Hiranyakaçipu yang hanya dapat dibunuh pada waktu senja. Narasimha juga melambangkan kekacauan yang mulai muncul pada masa Kertayuga yakni awal periode klasik Jawa Tengah (awal berdirinya kerajaan Mataram Hindu abad VIII – IX M). Pemujaan terhadap Narasimha dimaksudkan supaya kekacauan segera berakhir. Ditemukan juga prasasti batu berisi 16 buah kalimat yang berupa mantra kutukan yang diulang-ulang berbunyi Om sarwwawinasa, sarwwawinasa.
Peristiwa kekacauan apa terjadi di kerajaan Medang waktu itu sehingga disimbolkan dengan pemujaan kepada Narasimha di Candi Ijo ?
Candi Ijo merupakan kompleks percandian Siwa yang berada di atas perbukitan yang cukup tinggi dan dikenal sebagai Gumuk Ijo. Bentuk dari bangunan induk Candi ijo pun sengaja dibuat menyerupai piramid lebar puncak Gunung Kailasa di Himalaya. Gunung Kailasa adalah gunung suci tempat Dewa Siwa bertahta. Menurut Groneman yang melakukan penggalian di sumuran candi induk, Candi Ijo adalah sebuah bangunan pemakaman abu jenazah seorang raja.
Dalam Prasasti Wanua Tengah III yang diterbitkan oleh Dyah Balitung tahun 908 M, terdapat raja bernama Rakai Warak Dyah Manara yang setelah meninggal mendapat sebutan " sri maha raja sang lumah i kailasa" (Sri Maharaja yang disemayamkan di Kailasa). Kailasa yang dimaksud ini bisa jadi adalah Candi Ijo.
Dalam Prasasti Wanua Tengah III juga terdapat raja bernama Dyah Gula yang lamanya bertahta sangat singkat, yaitu hanya enam bulan (5 Agustus 827M - 24 januari 828M). Bahkan ia tidak memiliki gelar Rake. Hal ini diduga karena Dyah Gula adalah putra mahkota Rakai Warak Dyah Manara yang ketika ayahnya meninggal masih berusia muda sehingga belum mempunyai wilayah kekuasaan sendiri.
Rake Garung naik tahta tanggal 24 Januari 828 dan memerintah sampai meninggal dunia sebelum atau pada tanggal 22 Februari 847 sehingga masa pemerintahannya berlangsung lebih kurang 1 9 tahun. Melihat masa pemerintahan raja pendahulunya sangat singkat maka diduga Rake Garung naik tahta dengan jalan merebut kekuasaan.
Hubungan Rake Garung dengan Rake Warak diduga adalah saudara tiri dengan ayahnya sama, yaitu Rake Panaraban, Namun Rake Warak beragama Hindu, sedangkan Rakai Garung beragama Budha seperti ayahnya. Dengan demikian Rake Garung telah merebut tahta dari keponakannya sendiri. Kesedihan pihak keluarga Rake Warak inilah yang disimbolkan dengan pemujaan arca Narasimha di Candi Ijo.
Semoga Sejarah Medang Mataram jadi Terang Benderang.


Candi Barong Sleman Jogjakarta


Candi Barong merupakan salah satu candi peninggalan agama Hindu yang berada di kompleks Ratu Boko. Oleh karena itu, lokasinya pun berdekatan dengan candi peninggalan Kerajaan Mataram Kuno lainnya, seperti Candi Banyunibo dan Candi Ijo. 

Letak Candi Barong berada di Dusun Candisari, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Berdasarkan temuan prasasti di sekitarnya, pendiri Candi Barong diperkirakan merupakan raja Mataram Kuno yang berkuasa pada abad ke-9

Candi Borobudur Magelang Jogjakarta

 

Sekilas Sejarah Candi Borobudur

Memuliakan Buddha Mahayana

Mengutip buku Kearifan Lokal Jawa Tengah: Tak Lekang Oleh Waktu oleh Retno Susilorini, dijelaskan bahwa filosofi dari bangunan candi Borobudur bisa dilihat dari relief Karmawibhangga yang menggambarkan kehidupan manusia dan memberikan petunjuk pendirinya yakni Raja Samaratungga yang berkuasa pada tahun 782-812 masehi.

Candi yang dibangun pada masa kejayaan Wangsa Syailendra dan didirikan oleh Samaratungga ini bertujuan untuk memuliakan Buddha Mahayana sebagai kepercayaan yang banyak dianut masyarakat pada waktu itu.

Penemuan dan Pemugaran Candi Borobudur

Penemuan candi borobudur sendiri berawal dari perjalanan yang dilakukan oleh Sir Thomas Stamford Raffles ke kota Semarang.

Kala itu, ia menemukan informasi bahwa di kawasan Kedu (karesidenan yang meliputi Magelang), ada beberapa susunan batu bergambar yang ditutupi semak belukar.

Kemudian pada tahun 1835, Raffles mengutus Cornelius untuk meninjau dan membersihkan bangunan tersebut bersama Residen Kedu.

Adapun pemugaran bagian Arupadhatu (puncak candi) dilakukan oleh Theodore Van Erp pada tahun 1907-1911.

Pemugaran lanjutan dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan UNESCO pada tahun 1973 - 1983. Pemugaran yang dilakukan berfokus pada bagian candi di bawah arupadhatu yang dibersihkan dan dikembalikan ke posisi semula.

Bentuk Bangunan Candi Borobudur

Bangunan candi Borobudur dibedakan menjadi tiga bagian yakni Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu.

1. Kamadhatu adalah bagian tingkat pertama hingga tingkat ketiga dari candi Borobudur. Bagian Kamadhatu memiliki relief karmawibhangga yang menggambarkan hukum pada umat manusia.

2. Rupadhatu adalah bagian tingkat keempat hingga keenam candi yang memiliki relief Lalitavistara dan Jatakamala yang menggambarkan kisah hidup sang Buddha.

3. Arupadhatu atau bagian atap candi tingkat ketujuh hingga kesepuluh. Pada bagian ini tidak ada relief namun memiliki banyak stupa yang menggambarkan pencapaian sempurna umat manusia

Candi Sukuh Dan Suku Maya


Candi Sukuh - Kab Karanganyar Jawa Tengah

Hubungan antara Suku Maya dan Asia menarik minat sejumlah sejarawan dan antropolog. Pasalnya, candi-candi yang terletak di kompleks Chichen Itza mirip dengan candi di Asia. Bahkan, ada pula yang persis dengan yang dimiliki Indonesia.

Lantas, bagaimana para ahli menjelaskan adanya persamaan antara bahasa Jepang dan Bahasa Maya.

Apakah Suku Maya dan Asia berasal dari satu nenek moyang? Ataukah mereka pernah menetap di Asia, termasuk Indonesia? 

Kompleks candi suku Maya di Chichen Itza dibangun sekitar tahun 502-522 Masehi. Ia merupakan bangunan peninggalan Suku Maya yang paling lengkap dan terawat dengan baik. Kompleks candi ini cukup luas dan tiap candi terpisah satu sama lain. Di tengah-tengah berdiri Candi El Castilo yang bentuknya menyerupai piramida dengan atap terpancung. 

Yang mengherankan, Candi El Castilo mirip dengan Candi Sukuh di Kabupaten Karanganyar,Jawa tengah.

Ratu Kidul

 

Salah satu bentuk pemujaan yang paling menarik adalah kultus Ratu Kidul. Babad Tanah Jawi menceritakan bagaimana Sutawijaya, pendiri dinasti, bertemu dengan Ratu Kidul di Parang Tritis, pantai selatan Yogyakarta, dan bersetubuh dengannya di istananya yang terletak di bawah laut. 

Ratu Kidul konon tidak hanya menguasai ombak-ombak Samudera Selatan yang mengamuk, tetapi juga semua dedemit yang melanda dan mengancam kerajaan. Dengan bersanggama dengannya, Senapati telah mengadakan semacam perjanjian dengan alam gaib yang memperkukuh keseimbangan alam dan dengan demikian menjamin keamanan bagi kawulanya. 

Ratu Kidul itu menjadi obyek pemujaan rakyat sepanjang pantai selatan, Setiap tahun, pada waktu perayaan hari ulang tahun Sultan yang sedang berkuasa, diadakan suatu upacara di Parang Tritis, tepat di tempat yang menurut tradisi terjadi hierogami (perkawinan suci dengan tujuan mendapat kesaktian) antara Senapati dan Ratu Kidul. Iringan para abdi kraton Yogya membawa berbagai sesajian yang kebanyakan berupa pakaian, untuk dihanyutkan ke laut di atas sebuah rakit bambu (getek ). Pada tahun Dai, sekali dalam delapan tahun sesuai dengan siklus windu, sesajian itu luar biasa mewahnya. Sebuah pelana ditambahkan, dan biayanya dapat mencapai beberapa juta rupiah.

Pada waktu yang sama juga diadakan perayaan serupa di lereng Gunung Lawu, sehingga Ratu Kidul — walaupun pada hakikatnya berhubungan dengan Laut — dapat juga dikaitkan dengan Gunung. 

Di kota Yogyakarta, 

konon Ratu Kidul kadang-kadang muncul dengan iringan panjang roh bercahaya(lampor), suatu hal yang selalu menandai bakal terjadinya peristiwa naas. 

Pada setiap penobatan raja baru di Surakarta, sekuntum bunga langka yang dianggap milik Ratu Kidul — wijayakusuma ( pisonia silvestris) — harus dipetik dengan khidmat di pantai selatan. Sampai sekarang, hari ulang tahun Sunan diperingati dengan sebuah tarian keramat, bedoyo ketawang. Tarian itu dahulu hanya boleh ditonton oleh warga kraton. Baru pada tahun-tahun akhir-akhir ini tamu dari luar kraton diperbolehkan menikmatinya . Para penarinya selalu terdiri atas sembilan gadis pilihan yang sudah lama terlatih. 

Ratu Kidul konon ikut menari, tetapi hanya Sunan yang dapat melihatnya.  Dalam tarian itu kesembilan penarinya bergerak lamban di sekeliling raja yang duduk dengan agungnya. Hendaknya dicatat bahwa tarian ini dianggap mempunyai arti kosmis yang mendalam. Konon yang digambarkan adalah gerak bintang-bintang di angkasa. 

Ciri kuno yang lain ialah perawatan pusaka, yaitu alat-alat kebesaran. Pemilikan alat kebesaran ini, sebagaimana pemilikan wahyu , merupakan tanda keabsahan. Pusaka itu ada yang dikatakan berasal dari zaman Mojopahit dan Demak. Pusaka-pusaka kraton Yogyakarta yang paling terkenal adalah 

gong Kiyayi Bicak (yang dihubungkan dengan Sunan Kali Jaga), tombak Kiyayi Plered dan Kiyayi Baruklinting (berbentuk lidah ular, dirampas dari Kiyayi Ageng Mangir yang telah berani memberontak), gamelan Nyayi Sekati, yang dimainkan pada waktu perayaan garebeg , dan keris Kiyayi Jaka. 

Yang paling istimewa di antara pusaka itu barangkali adalah Kotang Antakusuma. Rompi itu disimpan dengan khidmat di keraton Yogyakarta dan hanya dipakai oleh para sultan pada saat berperang. Pakaian yang beraneka warna itu secara cermat dapat dibandingkan dengan bianglala yang dalam mitos-mitos Nusantara dianggap sebagai jalan alami antara alam manusia dan alam Dewata. 

Namun hendaknya dicatat bahwa unsur Islam juga hadir. Rompi Antakusuma itu dianggap dibuat oleh Sunan Kali Jaga sendiri dari sehelai kulit kambing yang secara ajaib dikirim oleh Nabi Muhammad kepada majelis Wali yang sedang berkumpul di Demak...

Nyai Roro Kidul Lanjutan

Ada sebuah kecurigaan tentang adanya sebuah peradaban yang tersimpan dan bersembunyi di Indonesia bahkan hingga saat ini. Kecurigaan yang pertama adalah tentang bangunan Taman Sari di Yogyakarta. Salah satu kepercayaan raja-raja jawa zaman dahulu adalah persinggungan dengan Ratu Kidul, atau yang biasa disebut dengan Nyai Roro Kidul. Keberadaan terowongan di Taman Sari menguatkan sebuah fakta bahwa para raja-raja melakukan komunikasi dengan ratu kidul ini dengan menggunakan terowongan di Taman Sari ini.

Gunung-gunung berapi dikendalikan dari sebuah peradaban di pantai selatan. Ada 18 titik di pulau jawa yang menyimpan lipatan-lipatan bumi yang menyimpan peradaban-peradaban yang tersembunyi,

Cerita Nyi Roro Kidul, legenda yang juga pernah dibahas dalam konggres paranormal di Paris pada 1980an.

Dalam pertemuan di Eropa itu, para paranormal umumnya tertarik pada fakta bahwa legenda itu berkembang di kalangan masyarakat sepanjang selatan Indonesia, bukan hanya pantai selatan Jawa. Suatu kawasan yang sangat panjang.

Bung Karno juga bercerita soal Atlantis. Bung Karno melakukannya di depan rapat para panglima ALRI di Tanjung Priok, Jakarta. Awalnya, Bung Karno berbicara mengenai mitos Nyi Roro Kidul.

Lalu, Bung Karno bilang, “ada kupasan yang mengatakan bahwa di selatan Pulau Jawa ini ada satu Pulau besar, yang seperti Nusa Tembini, kepulauan pulau Nusa ini, seperti Nusa Tembini diereh oleh seorang Raja Putri.”

Raja Putri itu, kata Bung Karno, mempraktekkan hukum matriarchal. Akan tetapi, kerajaan Nusa Tembini tenggelam ke dasar laut. Nah, inilah yang kemudian dikenang dengan cerita Nyi Roro Kidul.

Cerita soal Nusa Tembini ini, menurut Bung Karno, mirip dengan kepercayaan orang eropa mengenai kerajaan lautan Atlantis.

Janji Sang Ratu

Dalam Babad Tanah Jawi memang disebutkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul pernah berjanji kepada Panembahan Senopati, penguasa pertama Kerajaan Mataram, untuk menjaga Kerajaan Mataram, para sultan, keluarga kerajaan, dan masyarakat dari malapetaka.

Gunung Selok

Di kota Cilacap terdapat Goa yang sering di kunjungi orang untuk melakukan semedi atau meminta sesuatu, yaitu Goa Ratu dan Naga Raja. 

Goa Ratu ini tak hanya dikujungi oleh orang-orang daerah Jawa, tetapi sering juga dikunjungi oleh orang luar Pulau Jawa, untuk bermeditasi dan memohon sesuatu.

Banyak para peziarah yang sering melihat sosok Kanjeng Ratu kidul di tempat ini. Karena Goa ini merupakan salah satu tempat petilasan Ratu Kidul. Menurut cerita warga sekitar, Presiden Soekarno dan Soeharto pernah berkunjung ke tempat ini untuk bermeditasi.

Salah satunya penelitian di goa Nagaraja yang terletak di pantai Selok Cilacap. Mereka tertarik dengan cerita tentang berkumpulnya ular-ular dari segala penjuru dalam waktu tertentu di goa tersebut.

Secara umum, daerah Selok Srandil memang sangat lekat dengan hal-hal berbau mistis yang menyangkut sejarah panjang kekuasaan negeri ini. Dimulai sejak jaman Majapahit dimana Gajahmada dipercaya menjalani masa pensiun sebagai pertapa di situ. Dilanjut saat Danang Sutawijaya alias Panembahan Senopati mengambil sejumput tanah sebagai syarat agar bisa membabat hutan Mentaok yang menjadi cikal bakal Mataram. Sampai masuk era modern, Soekarno dan Soeharto pun menjadikan gunung Selok sebagai tempat mengasah kemampuan spiritualnya.

Mereka mendapatkan data, bahwa di tempat-tempat yang dikatakan angker, pada waktu-waktu tertentu ada pancaran frekuensi elektromagnetik di kisaran gelombang 28 kHz. Anehnya gelombang itu hanya ditemukan terbatas di lokasi angker dan tidak terdeteksi di luar wilayah itu.

Secara pseudoscience, mereka membuat kesimpulan bahwa berkumpulnya ular di goa Nagaraja ada hubungannya dengan kemunculan frekuensi misterius itu. Sedangkan menurut mitos yang berkembang di masyarakat, ular-ular itu sedang dikumpulkan oleh pejabat kerajaan laut selatan yang bernama Nyi Blorong.

Jadi ada 3 hal yang bisa ditarik benang merahnya. Pertama ular bisa mengenali orang yang menyakiti dan mengirimkan data tersebut kepada ular lain. Kedua, ada frekuensi 28 kHz misterius saat ular-ular berkumpul di gua Nagaraja. Dan terakhir tentang mitos Nyi Blorong.

Mungkinkah ular itu tak ubahnya CCTV yang berfungsi untuk merekam dan menyimpan data kemudian mengirimkan secara wireless menggunakan sinyal 28 kHz ke server laut selatan yang dikelola Nyi Blorong?

Bila dihubungkan dengan keyakinan ala kraton Jogja yang menganggap Nyi Roro Kidul itu nyata, bisa jadi kerajaan Laut Kidul sebenarnya sekumpulan manusia ultra modern dengan kecanggihan teknologi kamuflase sehingga tidak bisa kita deteksi. Kita menganggap itu ghaib atau khayalan, karena memang teknologi kita belum sampai kesana. Ini sama dengan manusia tahun 80an mengatakan hape di film Startrex sebagai imajinasi sutradara semata.

Dari buku: “Cerita Rakyat Dari Yogyakarta 2” karangan Bakdi Soemanto

“…..Begitu bangun, Senapati melihat cahaya berbentuk bulat bagaikan buah kelapa, turun dari angkasa. Cahaya itu berkata bahwa kelak cita-citanya akan tercapai. Hanya saja, kebesaran kerajaannya terbatas hingga tahta yang diduduki cicitnya. Sesudah itu, ada makhluk-makhluk bertubuh tinggi, kulitnya putih, rambutnya pirang, suka mencampuri urusan kerajaan. Ramalan cahaya bulat sebesar kelapa itu membuat Senapati gelisah dan mendorongya untuk naik ke puncak Gunung Merapi untuk meminta keterangan kepada dua makhluk halus penunggu gunung itu. Sementara Senapati berjalan mengikuti aliran sungai Opak, ke arah timur, saat tiba di muara sungai, Senapati berjumpa dengan seekor ikan Olor Tunggulwulung yang kemudian membawanya ke tepi sungai. Di situ kemudian Senapati bersemedi. Tak lama Senapati duduk di tepian sungai itu, angin keras meniup dan air sungai mendidih. Peristiwa itu mendorong Ratu Laut Selatan muncul dari dasar laut. Kemudian Ratu Laut Selatan memohon agar Senapati turun ke dasar samudera, menikmati keindahan istananya dan berkasih-kasihan…..”

Apakah cahaya berbentuk bulat bagaikan buah kelapa yang turun dari angkasa itu adalah UFO? Apakah makhluk yang tinggi, kulitnya putih, pirang itu adalah alien nordic?

Diceritakan sebelum Ratu Laut Selatan keluar dari laut, airnya mendidih, apakah itu karena proses UFO mau keluar? Apakah Istana Ratu Laut Selatan di dasar samudera itu pangkalan UFO?

Nyai Roro Kidul


Nyai Roro Kidul, demikian ejaan sebenarnya dari tulisan di Babad Tanah Jawi. Tapi entah kenapa beredar dan terkenal dengan nama yang salah baca, Kanjeng Ratu Kidul!

Bahkan ada perbedaan persepsi yang meluas dan diyakininya, bahwa antara Nyai Roro Kidul dan Kanjeng Ratu Kidul itu berbeda. Artinya, Roro Kidul itu patih, sedangkan Kanjeng Ratu Kidul itu ratunya. Namun, Babad Tanah Jawi tak menyebutkan itu. Kedudukannya berhubungan dengan Merapi-Keraton-Laut Selatan yang berpusat di Kesultanan Solo dan Yogyakarta. 

Pengamat sejarah kebanyakan beranggapan, keyakinan akan Kanjeng Ratu Kidul memang dibuat untuk melegitimasi kekuasaan dinasti Mataram. Keraton Surakarta menyebutnya sebagai Kanjeng Ratu Ayu Kencono Sari. Ia dipercaya mampu untuk berubah wujud beberapa kali dalam sehari. Sultan Hamengkubuwono IX menggambarkan pengalaman pertemuan spiritualnya dengan sang Ratu; ia dapat berubah wujud dan penampilan, sebagai seorang wanita muda biasanya pada saat bulan purnama, dan sebagai wanita tua di waktu yang lain.

Nyi Roro Kidul juga dikabarkan adalah pemberi restu para Walisongo untuk menyebarkan Islam di selatan Jawa. Dalam Serat Darmogandul, sebuah karya sastra Jawa Baru yang menceritakan jatuhnya Majapahit akibat serbuan Kerajaan Demak, Ni Mas Ratu Anginangin adalah ratu seluruh makhluk halus di pulau Jawa dan memiliki kerajaan di laut selatan. Hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad Kadhiri.

Pramoedya Ananta Toer. Dalam pidatonya saat menerima penghargaan Ramon Magsaysay 1988, Pram menyebut cerita Ratu Kidul hanya mitos. Melalui pidato tertulis berjudul Sastra, Sensor dan Negara: Seberapa Jauh Bahaya Membaca? Pram mencoba menjelaskan bagaimana penyair Istana Mataram menciptakan mitos Nyi Roro Kidul sebagai kompensasi kekalahan Sultan Agung ketika menyerang Batavia dua kali (1628 dan 1629) serta kegagalan Sultan Agung menguasai jalur perdagangan di Pantai Utara Jawa.

Untuk menutupi kehilangan itu, penyair Jawa menciptakan Dewi Laut Nyi Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). Mitos ini melahirkan anak-anak mitos lainnya: bahwa setiap Raja Mataram memiliki seorang dewi,” kata Pram.

Menurut Pram, berangkat dari mitos Nyi Roro Kidul, muncul mitos tabu lainnya, seperti larangan memakai baju hijau di pantai selatan. Padahal, itu hanyalah bentuk kebencian penyair terhadap Kompeni. Hijau, kata Pram, mewakili warna pakaian tentara Belanda.

Dalam sebuah pidato di Istana Merdeka, 17 Juli 1959 saat melantik R.E. Martadinata sebagai Kepala Staf Angkatan Laut. Dalam kesempatan itu, Soekarno menceritakan, sejak era Mataram Islam, terdapat tradisi bahwa seorang raja dapat menjadi besar jika beristrikan Nyi Roro Kidul.

Kemudian, dalam Musyawarah Nasional Maritim, 23 September 1963, nama Nyi Roro Kidul juga kembali muncul.

“Kepercayaan ini berisi satu simbolik bahwa tidak bisa seseorang raja, bahwa tidak bisa sesuatu Negara di Indonesia ini menjadi kuat jikalau tidak dia punya raja kawin beristrikan Ratu Roro Kidul,” kata Soekarno kala itu. Pantai Parangkusumo dan Parangtritis di Yogyakarta sangat berhubungan dengan legenda Kanjeng Ratu Kidul. 

Parangkusumo merupakan tempat Panembahan Senapati bertemu Kanjeng Ratu Kidul. Saat Sri Sultan Hamengkubuwono IX meninggal tanggal 3 Oktober 1988, majalah Tempo menulis bahwa para pelayan keraton melihat penampakan Kanjeng Ratu Kidul untuk menyampaikan penghormatan terakhirnya kepada Sri Sultan.

Naskah tertua yang menyebut-nyebut tentang tokoh mistik ini adalah Babad Tanah Jawi. Panembahan Senopati adalah orang pertama yang disebut sebagai Raja yang menyunting Sang Ratu Kidul. 

Catatan: baru muncul di jaman Mataram Islam Penghormatan serta pemuliaan kepada Kanjeng Ratu Kidul juga terdapat pada sebuah kelenteng yang terletak di bilangan Pekojan, Jakarta Barat, yaitu di Vihara Kalyana Mitta. Terdapat kepercayaan bahwa mitos mengenal Nyi Roro Kidul (dalam hal ini, nama Nyai Roro Kidul hanya menjadi panggilan populer Kanjeng Ratu Kidul) berasal dari kepercayaan Siwa-Buddha di Indonesia, yaitu kepercayaan kepada Dewi Tara (Bodhisatwa).

Sebelum Wakanda populer, Atlantis lebih dulu dikenal sebagai utopia klasik umat manusia. Atlantis adalah lokasi peradaban maju dari masa ribuan tahun lalu yang memiliki teknologi canggih, kendaraan terbang, kekayaan alam, dihuni manusia ras unggul, dan berlokasi di Indonesia. 

Tunggu dulu, memangnya Atlantis bukan cuma mitos?

Bagi Komunitas Turangga Seta, peradaban kuno itu ada, jejaknya tertimbun di bawah Indonesia modern, serta jauh lebih keren daripada Wakanda. Komunitas ini bahkan mengklaim sudah berhasil menemukan lokasi persis Atlantis yang hilang: 200 mil dari pantai selatan Pulau Jawa. Di Pantai Parangkusumo tertinggal jejak percakapan batin dengan huruf Kawi bahasa Jawa kuno. Sang Putri dengan dandanan yang tidak sekuno yang banyak di lukis dan di bicarakan orang. Wajah oval cantik seperti berdarah campuran dengan rambut sebahu lebih sedikit. Dan juga bukan memakai pakaian berwarna hijau. Tidak juga pakai kemben. Melihat ke tengah laut miring ke kiri tidak jauh di sana ada Gunungan Emas sebagai Wahyu dan tanda wilayah kerajaan yang tak lekang oleh zaman. Setidaknya masih ada sekarang ini.

Nyai Blorong

Sang Nagini dari Laut Selatan 

Sejak abad ke-19, H.A van Hien sudah mencatat keberadaan Nyi Blorong. Dalam bukunya, De Javaansche geestenwereld, en de betrekking, die tussen de geesten en de zinnelijk wereld, verduidelijkt door petangan′s of tellingen bij de Javanen in gebruik yang terbit tahun 1896, van Hien membagi dunia makhluk halus di Jawa menjadi 95 jenis. Mengenai Nyi Blorong, dia menulis: “Segala jenis kekayaan akan diberikan kepada si pemanggil. Dan hal itu berjangka waktu selama tujuh tahun, namun bisa diperpanjang hingga dua kali lagi. Namun selama itu harus ada yang dikorbankan, dan terakhir si pemanggil itu yang menjadi korban dan mengisi istana Nyai Blorong,” tulis HA van Hien.

Pesugihan

Seorang petani miskin dari desa Soegihsaras, distrik Sidokantoen, berbincang dengan seorang tua yang dipanggil Kyai atau Embah. Si petani sudah lelah hidup miskin, bahkan paling miskin dibanding lima saudaranya. Dia ingin kaya dengan cepat.

Si Embah mau membantu, asalkan si petani mau menerima syaratnya: menyediakan tumbal. Si petani menyanggupi. Dia pun diminta menyiapkan satu kamar khusus, lengkap dengan pembaringan yang ditutup kelambu. Pada hari Jumat legi, dia diminta menyiapkan pelita di atas kasur, lengkap dengan bunga dan dupa.

“Sekarang sekitar tengah malam, dia mendengar suara seperti angin puyuh. Lalu setelah tenang, Blorong muncul di atas peraduan. Kakinya tidak terlihat, hanya tampak ekor ular yang seluruhnya tertutup sisik emas,” tulis J Kremeer, peneliti budaya berkebangsaan Belanda, dalam artikelnya “Blorong of de geldgodin der Javanen”, dimuat Mededelingen van wege het Nederlandsche Zendelinggenootschap (1904).

Siapa Nyi Blorong? Beberapa sumber menyebutnya sebagai putri dari penguasa laut selatan, Ratu Kidul. Kisah ini antara lain tersurat dalam Babad Prambanan, yang disalin pada 1927. Babad ini punya versi lain yang lebih tua, yang disalin Wirsungun di wilayah Mangkunegaran pada 1885 atas prakarsa B.R.Ng. Keduanya menceritakan berdirinya Candi Prambanan dan juga kisah Ajisaka. Menariknya, mitos Aji Saka juga tersurat dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa, sebuah kumpulan cerita wayang dan dongeng yang digubah dalam tembang macapat sekira abad ke-16.

Menurut Robert Wessing dalam “A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul” dimuat Asian Folklore Studies Vol. 56 tahun 1997, Ular adalah mahluk favorit dalam beberapa cerita rakyat yang berkembang di Asia Tenggara, Tiongkok, dan India. Dalam banyak cerita tersebut, Ular atau Naga sering dikaitkan dengan penguasa, panen, dan kesuburan.

Dalam kisah pewayangan di Jawa, terdapat tokoh Anantaboga yang digambarkan sebagai dewa berwujud Naga. Anantaboga melambangkan kemakmuran atau kebahagiaan.

Tak heran jika bagi masyarakat Jawa pedalaman yang agraris, Nyi Blorong punya makna penting. Perwujudannya dalam bentuk ular dianggap sebagai penjaga lahan pertanian dari serangan hama, terutama tikus. Maka, untuknya dilakukanlah Sedekah Bumi.

“Sosok Blorong ini bisa diwujudkan dengan Ular, di mana dalam mitos Jawa, Ular menjadi perlambang Penjaga Bumi. Dia bisa disebut sebagai simbol keamanan dunia agraris".

Dalam perjalanan waktu, terutama karena sifat cerita rakyat yang terus berkembang, sosok Nyi Blorong lebih lekat dengan Pesugihan.

Hal ini biasa saja terjadi karena persoalan di zaman sekarang semakin sulit dan tak dapat terpecahkan, sehingga banyak orang ‘mencari’ jalan keluar ke dunia lain. Dalam alam pikir masyarakat Jawa, keberadaan dunia lain dengan penghuninya sudah menjadi satu-kesatuan yang utuh.

“Karena mereka sama-sama hidup, kemudian mereka boleh saling membantu. Seseorang yang memiliki keinginan besar meraih kekuasaan politik atau ekonomi sudah tentu akan melibatkan kalangan makhluk halus dalam meraih cita-citanya".

Tarian Langit

Bedhaya Ketawang ~ Tarian Langit 

Bedhaya ketawang disebut juga tarian langit, yang menurut Kitab Wedhapradangga, diciptakan Sultan Agung (1613-1645), seusai mendengar tetembangan dari tawang (langit). Sehingga, secara harfiah, bedhaya ketawang berasal dari ambedhaya (menari) dan tawang. Bedhaya ketawang merupakan suatu upacara yang berupa tarian dengan tujuan pemujaan dan persembahan kepada Sang Pencipta.

Asal-usul Tari Bedhaya Ketawang

Asal mulanya tari Bedhaya Ketawang hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Dalam perkembangan selanjutnya, tari ini dianggap sebuah tarian khusus dan dipercaya sebagai tari yang amat sakral kemudian diperagakan oleh sembilan orang. Berbeda dengan tarian lainnya, Bedhaya Ketawang ini semula khusus diperagakan oleh abdi dalem Bedhaya Keraton Surakarta Hadiningrat. Iramanya pun terdengar lebih luruh (halus) dibanding dengan tari lainnya semisal Srimpi, dan dalam penyajiannya tanpa disertai keplok-alok (tepuk tangan dan perkataan).

Dikatakan tari Bedhaya karena tari ini menyesuaikan dengan gendingnya, seperti Bedhaya Gending Ketawang Ageng (Karya Penembahan Senapati), Bedhaya gending Tejanata dan Sinom (karya PB IX), Bedhaya Pangkur (karya PB VIII), Miyanggong (karya PB IV), Duradasih (karya PB V), dan lainnya. Siapa sebenarnya pencipta tari Bedhaya Ketawang itu sendiri sampai sekarang memang masih simpang siur. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa tarian ini sengaja diciptakan langsung oleh Kanjeng Ratu Kidul khusus untuk raja-raja Jawa.

Bedoyo Ketawang misalnya menurut Sinuhun Paku Buwono X menggambarkan lambang cinta kasihnya Kanjeng Ratu Kidul pada Panembahan Senopati. Ini semua terlukis dalam gerak gerik tangan, langkah kaki, dan seluruh bagian tubuh para penari. Namun semuanya tergambar dengan begitu halus sehingga cukup sulit bagi orang awam untuk memahaminya. Segala gerak dalam tarian ini melambangkan melambangkan bujuk rayu dan cumbu birahi. Walaupun dapat dielakkan Sinuhun, Kanjeng Ratu Kidul tetap memohon agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di dasar samudera dan bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana (Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rama Wijaya di dasar lautan). Sinuhun tidak mau menuruti kehendak Sang Ratu, karena masih ingin mencapai “sangkan paran“, namun beliau masih mau memperistri Kanjeng Ratu Kidul, turun temurun. Kemudian terjadilah Perjanjian/Sumpah Sakral antara Kanjeng Ratu Kidul dan Raja Pertama tanah Jawa, yang tidak dapat dilanggar oleh raja-raja Jawa yang turun temurun atau raja-raja penerus. Sehingga siapa saja raja yang bertahta atas Jawa otomatis akan beristri Kanjeng Ratu Kidul. Sebaliknya bahkan Kanjeng Ratu Kidul yang diminta datang ke daratan untuk mengajarkan tarian Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan Sinuhun. Satu sumber menyebutkan bahwa tari ini diciptakan oleh Penembahan Sanapati-Raja Mataram pertama-sewaktu bersemadi di Pantai Selatan. Ceritanya, dalam semadinya Penembahan Senapati bertemu dengan Kanjeng Ratu Kencanasari (Ratu Kidul) yang sedang menari. Selanjutnya, penguasa laut Selatan ini mengajarkannya pada penguasa Mataram ini.

Sumber lainnya menyebutkan bahwa tari Bedhaya Ketawang ini diciptakan oleh Sultan Agung Anyakrakusuma (cucu Panembahan Senapati). Menurut Kitab Wedhapradangga yang dianggap pencipta tarian ini adalah Sultan Agung (1613-1645), raja terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut Selatan. Ceritanya, ketika Sultan Agung sedang bersemadi, tiba-tiba mendengar alunan sebuah gending. Kemudian Sultan Agung berinisatif menciptakan gerakan-gerakan tari yang disesuaikan dengan alunan gending yang pernah didengar dalam alam semadinya itu. Akhirnya, gerakan-gerakan tari itu bisa dihasilkan dengan sempurna dan kemudian dinamakan tari Bedhaya Ketawang. Sedang Versi yg lain Tarian ini di ciptakan oleh Bathara Guru

Mitologi dan Peraturan dalam Tari Bedhaya Ketawang

Tari bedhaya ketawang adalah sebuah tari yang amat disakralkan dan hanya dipentaskan pada waktu-waktu tertentu saja. Bedhaya ketawang ada dua jenis, yaitu bedhaya ketawang alit yang dipentaskan setiap tahun pada acara tingalan Jumenengan Dalem dan durasinya hanya 1,5 jam. Satu lagi yaitu bedhaya ketawang ageng yang dipentaskan setiap 8 tahun sekali atau sewindu sekali. Tari bedhaya ketawang ageng bisa berdurasi sekitar 5,5 jam dan berlangung hingga pukul 01.00 pagi. Orang yang menyaksikannya pun adalah orang-orang tertentu yang telah terpilih. Selama menyaksikan tari tersebut, hadirin harus dalam keadaan khusuk, semedi, dan hening. Jadi hadirin tidak boleh berbicara atau makan, dan hanya boleh diam dan menyaksikan gerakan demi gerakan sang penari.

Pada awalnya di keraton Surakarta Hadiningrat, tarian ini hanya diperagakan oleh tujuh wanita saja. Namun karena tarian ini dianggap tarian khusus yang dianggap sakral, jumlah penari kemudian ditambah menjadi sembilan orang. Sembilan penari terdiri dari delapan puteri yang masih ada hubungan darah dan kekerabatan dari keraton dan seorang penari gaib yang dipercaya sebagai sosok Nyai Roro Kidul. Konon, setiap kali bedhaya ketawang ditarikan, Nyai Roro Kidul selalu hadir, ikut menari. Namun tidak setiap orang dapat melihatnya, hanya bagi mereka yang peka saja Sang Ratu menampakkan diri. Tak heran jika kemudian muncul aturan ketat bagi seluruh orang yang terlibat dalam tarian ini baik pada masa latihan maupun waktu pementasan. Hal ini dikarenakan mereka akan bersentuhan langsung dengan Nyi Roro Kidul yang dipercaya sebagai pencipta tarian tersebut. Bahkan, menurut orang yang percaya, Kanjeng Ratu Kidul sendiri yang datang akan turun membetulkan apabila ada gerakan tari yang salah. Ada juga yang percaya Dalam tari Bedaya Ketawang, Nyai Ratu Kidul menggandakan dirinya menjadi namawatrika (sembilan dewi ibu alam semesta). 

Sebelum dilaksanakan tarian ini ada beberapa laku atau aturan yang juga disebut juga upacara ritus yang harus dipenuhi oleh keraton dan para penarinya. Adapun yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

Untuk Keraton harus melakukan upacara atau ritus Labuhan atau Larungan (persembahan korban) yang berupa sesaji di 4 titik ujung/titik mata angin disekitar keraton. Disini keraton diibaratkan sebagai pusat Kosmis dari dunia dan keempat titik penjuru melambangkan alam semesta, letak geografis dan mitologis keempat titik tersebut adalah:

1. Di Bagian Utara terdapat Gunung Merapi dengan penguasa Kanjeng ratu Sekar,

2. Di Daerah Selatan terdapat Segoro Kidul atau laut kidul dengan penguasa Nyi Rara Kidul,

3. Bagian Barat terdapat Tawang Sari kahyangan ndlpih dengan penguasa Sang Hyang Pramori (Durga di hutan Krendowahono),

4. Dibagian Timur terdapat Tawang Mangu dengan Argodalem Tirtomoyo sebagai penguasa dan Gunung Lawu dengan Kyai Sunan lawu sebagai penguasanya.

Selain itu putri-putri yang ikut menari diwajibkan masih Perawan (belum menikah), tidak dalam keadaan haid dan menjalankan puasa tertentu sebelum melakukan tarian. Ada sumber yang menyebutkan bahwa khusus bagi anak raja boleh sudah menikah tetapi harus memasang sesaji tertentu (caos dhahar), begitu juga bagi penari yang sedang haid boleh ikut menari setelah memasang sesaji untuk Kanjeng Ratu Kidul.

Pada malam hari anggara kasih yaitu ke 9 penari termasuk nyai rara kidul yang diyakini memasuki sitihinggil dengan arah Pradaksina disekitar sultan/raja, mereka itu perlambang cakrawala dan membuat formasi nawagraha, perbintangan kartika : 2 + 5 + 2. Atas irama gamelan para penari melambangkan peredaran tata tertip kosmis azali yang teratur : kemudian bagaimana tata tertip tersebut menjadi kacau dan kemudian dipulihkan lagi. Tembang yang dinyanyikan melambangkan Re-integrasi tata dunia dalam tata asli transendia dan lama tarian yang dimainkan sekitar 5,5 jam kadang sampai jam 01:00 malam (pada bedhaya ketawang ageng).

Pola bedhaya Ketawang berhubungan dengan astronomi, yaitu mengikuti pola perbintangan (rasi bintang) yang dikenal dan dianut masyarakat Jawa untuk keperluan sehari-hari (menentukan musim, bertani, dan sebagainya). Beberapa pola rasi bintang yang digunakan adalah gubug penceng dan waluku.

Busana dalam tari bedhaya ketawang menggunakan dhodhot ageng pengantin Jawa yang disebut basahan. Menggunakan gelung bokor mengkurep yang berukuran lebih besar daripada gaya Yogyakarta. Penyajian tari tersebut diawali dari pembukaan (15 menit), bagian inti (60 menit), dan penutup (15 menit). Pertama bagian pembukaan, menceritakan kala Kanjeng Ratu Kidul keluar dari istana dan bertemu Panembahan Senopati, yang memintanya membantu kerajaan yang kalut. Ia mau membantu dengan syarat Senopati harus menjadi suaminya. Kedua bagian inti, menceritakan adegan percintaan Penembahan Senopati dan Ratu Kidul, yang sempat mengabaikan negeri walau akhirnya diingatkan Ki Juru Martani (penasihat kerajaan) untuk kembali ke Mataram. Ketiga bagian penutup, menceritakan tangisan atas kerinduan mendalam dan ungkapan cinta Kanjeng Ratu Kidul, yang bersumpah tidak akan mencari laki-laki lain, kecuali Raja Mataram. Dia juga berjanji mengabdi dan menjadi istri Raja Mataram hingga turun-temurun, hingga kini.

Bedoyo Ketawang

Saya Adikmu telah membunyikan sinyal Anda tertinggal. Ya Bapa, berikan tanda itu. Lalu sinyal itu berbunyi. Dalam bentrokan pernah bentrok. Sepanjang jalan gila dengan cinta. Dibalut celana putih halus, dalam rok warna merah tua. Dengan sabuk silken hijau gelap. Dengan emas bertatahkan kens. Anting-anting berlian yang brilian. Ditetapkan dalam filafree emas halus. Bunga kamboja. Aroma harum manis Dengan selempang selempang sutra cindhe, dihiasi dengan gelang emas. Ya, diurapi dengan balsem harum. Mahkota emas [nya] bertabur. Dengan permata berharga yang langka. Dan menyapa telinganya, sayap emasnya yang tipis. Bunga kamboja bermekaran. Begitu harumnya aroma harum

Π. Hati terselubung dengan hati-hati, ketika [kita bersama] berbaring dengan bantal. Dewa-dewa yang turun ke bumi akan memiliki gerbang yang kuat. Semua hilang — bantal itu tergeletak di lantai. 

O perkasa Susuhunan 

Siapa yang akan mengasihani pengangkutan cinta [saya]? 

Terang dunia, bunga pencerahan: 

Manifestasi yang cerah hanyalah di tempat tidur 

O perkasa Susuhunan 

Panah yang memikat membumbung terlupakan dalam cinta penuh perasaan 

Tersembunyi jauh di dalam hati; pernah [aku] jatuh di depan kaki Sunan 

Daya pikat dari pendekatannya membangkitkan hati saya 

Kodok kecil, daunmu tilarsa 

Jadilah [Anda] tenang; kepada siapa kemudian milik [diriku]? 

0 perkataan Susuhunan 

Hai! Jangan sekali pun dibiarkan biarkan [itu] diatur lagi 

Tunjukkan saya bagaimana melayani [kamu] 

Aku akan memohon untuk berbaring di bawah kaki [Mu] mungkin 

Apakah itu terwujud dalam kebenaran saya akan jatuh sakit

Mungkin [saya akan] menjadi gila 

Susuhunan 

Kapan, O, Tuan Yang Maha Kuasa, haruskah aku bertemu [] 

Di tempat tidur, O, Tuan Yang Perkasa? 

Jok jiwa, sedikit teratai danau bermekaran 

Ketika hilang dalam kerinduan, ke mana harus [saya] menelepon? 

Semua keturunanmu, O Lord Yang Perkasa — Ah! di tempat tidur 

Dibutakan oleh air mata adalah dia Dhangur 

Tubuh-Nya sepenuhnya menghasilkan, tetapi itu adalah kesedihan pada akhirnya 

[Dan] berdiri dengan kepala memegang sarana tinggi tetapi kesedihan pada akhirnya 

Tidak ada pertemuan yang menyelamatkan penyerahan tubuh dan jiwa.

IΠ. Hai! Kecantikannya, semoga seribu menjadi istrinya 

Seolah-olah 

Selempang merahnya di masing-masing sisi 

Susuhunan 

Mengembara, banyak istrinya 

Susuhunan 

Seolah-olah 

Berkeliaran, banyak ratu 

Susuhunan 

Seolah-olah 

Perhiasan berserakan di antara awan 

Susuhunan 

Kekuatannya seperti bintang-bintang 

Menangis [I] menatap langit 

Seolah-olah 

Seperti bintang-bintang, karya-Mu, Panembahan 

Poros panah, seperti api nyalanya 

Kemarahan api, Tuanku 

Haruskah kematian datang, ke mana harus mencuri, Tuanku? 


Sumber: Nancy K Florida, The Badhaya Katawang: Terjemahan lagu Kangjeng Ratu Kidul

Versi Keraton Solo tentang Kanjeng Ratu Kidul

Versi Keraton Solo tentang Kanjeng Ratu Kidul (berdasarkan cerita pujangga Yosodipuro) 

Seorang Pangeran yang bernama Raden Panji Sekar Taji pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari daerah kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di hutan Sigaluh yang didalamnya terdapat pohon beringin berdaun putih dan bersulur panjang yang bernama waringin putih. Pohon itu ternyata merupakan pusat kerajaan para lelembut (mahluk halus) dengan Sang Prabu Banjaran Seta sebagai rajanya. Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu, Raden Panji Sekar Taji melakukan pembabatan hutan sehingga pohon waringin putih tersebut ikut terbabat. Dengan terbabatnya pohon itu si Raja lelembut yaitu Prabu Banjaran Seta merasa senang dan dapat menyempurnakan hidupnya dengan langsung musnah ke alam sebenarnya. Kemusnahannya berwujud suatu cahaya yang kemudian langsung masuk ke tubuh Raden Panji Sekar Taji sehingga menjadikan dirinya bertambah sakti.

Alkisah, Retnaning Dyah Angin-Angin adalah saudara perempuan Prabu Banjaran Seta yang kemudian menikah dengan Raden Panji Sekar Taji yang selanjutnya dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil perkawinannya, pada hari Selasa Kliwon lahirlah putri yang bernama Ratu Hayu. Pada saat kelahirannya putri ini menurut cerita, dihadiri oleh para bidadari dan semua mahluk halus. Putri tersebut diberi nama oleh eyangnya (Eyang Sindhula), Ratu Pegedong dengan harapan nantinya akan menjadi wanita tercantik dijagat raya. Setelah dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa cacat atau sempurna dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya bagaikan pinang dibelah dua. 

Pada suatu hari Ratu Hayu atau Ratu Pagedongan dengan menangis memohon kepada eyangnya agar kecantikan yang dimilikinya tetap abadi. Dengan kesaktian eyang Sindhula, akhirnya permohonan Ratu Pagedongan wanita yang cantik, tidak pernah tua atau keriput dan tidak pernah mati sampai hari kiamat dikabulkan, dengan syarat ia akan berubah sifatnya menjadi mahluk halus yang sakti mandra guna (tidak ada yang dapat mengalahkannya).

Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk halus, oleh sang ayah Putri Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memerintah seluruh wilayah Laut Selatan serta menguasai seluruh mahluk halus di seluruh pulau Jawa. Selama hidupnya Ratu Pagedongan tidak mempunyai pendamping tetapi ia diramalkan bahwa suatu saat ia akan bertemu dengan raja agung (hebat) yang memerintah di tanah Jawa. Sejak saat itu ia menjadi Ratu dari rakyat yang mahluk halus dan mempunyai berkuasa penuh di Laut Selatan.

Terowongan Taman Sari Jogjakarta

Atlantis

Bagian lain yang tersisa dari Taman Sari adalah masjid bawah laut di danau Segaran buatan manusia. Ada bangunan di pulau buatan di tengah danau. Bangunan-bangunan ini dihubungkan oleh terowongan rahasia bawah laut.

Meskipun danau telah dikeringkan, terowongan bawah laut masih dapat diakses, menuju ke masjid. Ini adalah masjid unik dengan cahaya alami - juga sangat fotogenik!

Di lantai dasar platform, ada kolam kecil yang digunakan untuk wudhu.

Ada sebuah kecurigaan tentang adanya sebuah peradaban yang tersimpan dan bersembunyi di Indonesia bahkan hingga saat ini. Kecurigaan itu menyangkut tentang bangunan Taman Sari di Yogyakarta. 

Salah satu kepercayaan Raja-Raja Jawa zaman dahulu adalah persinggungan dengan Ratu Kidul, atau yang biasa disebut dengan Nyai Roro Kidul. 

Keberadaan terowongan di Taman Sari menguatkan sebuah fakta bahwa para Raja-Raja melakukan komunikasi dengan Ratu Kidul ini dengan menggunakan terowongan di Taman Sari ini.

Ratu Pantai Selatan


Dalam pidato penerimaan penghargaan Ramon Magsaysay 1988, sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa cerita Ratu Laut Kidul itu hanya mitos belaka.

Pram menjelaskan para pujangga istana Mataram menciptakan mitos Nyi Roro Kidul sebagai kompensasi kekalahan Sultan Agung saat menyerang Batavia, sekaligus gagal menguasai jalur perdagangan di Pantai Utara Jawa.

“Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyi Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). 

Mitos ini melahirkan anak-anak mitos yang lain: bahwa setiap raja Mataram beristerikan Sang Dewi tersebut,” tulis Pram.

Pram juga mengatakan bahwa mitos tabu menggunakan pakaian berwarna hijau di wilayah Pantai Selatan karena pujangga istana Mataram ingin memutuskan asosiasi orang pada warna pakaian tentara Kompeni (VOC) yang juga berwarna hijau.

Kerajaan Ratu Kidul, Ratu Laut Selatan disebut Karaton Bale Sokodhomas, dan pusat kerajaannya berada di Palung Jawa, yang membentang sejajar dengan Laut Selatan. pantai selatan Jawa dan merupakan bagian terdalam Samudera Hindia (kedalaman tujuh kilometer). Istananya ada di sana, di bawah laut, tepat di selatan Gunung Merapi dan kota Yogyakarta di Jawa Tengah, namun pengaruhnya meliputi seluruh Bali, Jawa, dan Sumatera bagian selatan. Khususnya gunung berapi Krakatau yang terletak di dalam wilayah kekuasaannya.

Animisme Jawa, Islam, dan Hindu bukanlah satu-satunya sumber unsur mitologi Ratu Kidul. Di Tiongkok, kita masih dapat menemukan kuil atau kuil yang didedikasikan untuk Kuan-Yin, yang pernah menjadi dewa para nelayan, yang akan memanggilnya untuk melindungi mereka di laut dan memberi mereka hasil tangkapan yang bagus. Salah satu gelar kunonya adalah “Ratu Samudra Selatan”. Pertemuan penguasa Solo dan Yogyakarta dengan Ratu juga disejajarkan dengan pertemuan raja-raja Khmer di kompleks Angkor Thom, Kamboja, dengan sosok dewi ular yang bisa berwujud wanita cantik.

Ratu Kidul adalah yang paling menonjol dari empat roh penjaga arah mata angin di Jawa yang mendapat penghormatan khusus bahkan di Surakarta modern. 

Keempat makhluk halus tersebut adalah Kanjeng Ratu Kidul sendiri yang menjaga di selatan, Sunan Lawu, penguasa makhluk halus di Gunung Lawu di sebelah timur, Kanjeng Ratu Sekar kedaton, roh penjaga Gunung Merapi di sebelah barat, dan Sang Hyang Pramoni, penghuni hutan bagian utara. Krendawahana.

Mitos Nyi Blorong masih eksis dalam tradisi lisan di Indonesia. Ia digambarkan mampu mengubah wujudnya dari seekor ular bersisik emas menjadi seorang wanita cantik yang mengenakan  kebaya  hijau dengan kain panjang berwarna emas – kain panjang berwarna emas tersebut merupakan perwujudan dari sosok aslinya yaitu sang raksasa. ular emas. Selain sebagai panglima alam gaib yang diperintah oleh Nyi Roro Kidul, Ratu Laut Selatan, ia juga mampu memberikan  pesugihan  (kekayaan instan) kepada siapa pun yang memanggilnya.

Kanjeng Ratu Kidul juga digambarkan mempunyai “kulit bersisik”, yang harus ditafsirkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul pada awalnya adalah dewi ular, dan karena itu berkerabat dengan para Naga , dewa kekayaan purba.

Kanjeng Ratu Kidul juga dikenal sebagai Ratu Naga, Nagini dan Dewi Ular.

Berbagai kemiripan memang dapat kita temukan dalam diri Arya Tara dan Ratu Kidul. Bodhisattva Tara juga dikenal dalam wujud nagini yang bernama Janguli, sedangkan di kalangan masyarakat Jawa, Ratu Kidul dikenal sebagai dewi ular naga (nagini).

Para petani Jawa juga mengetahui bahwa hewan ular adalah utusan Nyai Roro Kidul. Dalam hal ini Nyai Roro Kidul bertindak sebagai Dewi Pertanian atau Dewi Sri.

Dalam Serat Darmogandul, sebuah karya sastra Jawa Baru yang menceritakan jatuhnya Majapahit akibat serbuan Kerajaan Demak, Ni Mas Ratu Anginangin adalah ratu seluruh makhluk halus di pulau Jawa dan memiliki kerajaan di laut selatan. Hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad Kadhiri :

“Saat moksanya Sang Prabu Jayabaya dan putrinya yang bernama Ni Mas Ratu Pagedhongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggul Wulung juga sama-sama moksa. Ni Mas Ratu Pagedhongan menjadi ratu makhluk halus pulau Jawa, kotanya berada di laut selatan serta dijuluki Ni Mas Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus yang ada di lautan daratan serta kanan-kirinya tanah Jawa, semua sama-sama takluk kepada Ni Mas Ratu Anginangin. ”

Serat Centhini juga menyebut nama Ratu Angin Angin sebagai pemilik istana di laut selatan.

Nyai Roro Kidul diberi sebutan Ratu Kidul karena ia adalah pemimpin para dewa-dewi, peri-peri dan setan-setan. Istananya berada di dasar Samudra tepat di pantai selatan Jawa Tengah. Ia adalah penguasa arah mata angin bagian selatan, sedangkan penguasa bagian utara yang bertahta di hutan Krendawahana adalah dewi Sanghyang Pramoni (Durga). Bodhisattva Tara sendiri dikenal sebagai Bodhisattva yang dapat menaklukkan semua ghana (kurcaci, pengikut Siva), vetala (vampir/mayat hidup) dan yaksha, bahkan iblis Mara (kematian); pun juga dipuja oleh para gandharva dan makhluk-makhluk di atas.

Nyai Roro Kidul dapat menjadi tua ataupun muda, demikian juga Tara dapat bermanifestasi menjadi perempuan tua ataupun muda. Lara atau Rara berarti seorang gadis, sehingga dapat disimpulkan bahwa ikonografi Ratu Kidul seharusnya berperawakan perempuan muda, mengingatkan pada wujud fisik Tara sebagai gadis berumur 16 tahun.

*Catatan : Penampakan Dewi Tara dan Ratu Kidul kebanyakan sebagai Perempuan muda berumur + 27 tahun.

Masyarakat Sunda mengenal legenda mengenai penguasa spiritual kawasan Laut Selatan Jawa Barat yang berwujud perempuan cantik yang disebut Nyi Rara Kidul. Legenda yang berasal dari Kerajaan Sunda Pajajaran berumur lebih tua daripada legenda Kerajaan Mataram Islam dari abad ke-16. Meskipun demikian, penelitian atropologi dan kultur masyarakat Jawa dan Sunda mengarahkan bahwa legenda Ratu Laut Selatan Jawa kemungkinan berasal dari kepercayaan animistik prasejarah yang jauh lebih tua lagi, dewi pra-Hindu-Buddha dari samudra selatan.

Dewi Tara yang juga dianggap sebagai seorang Ibu bagi bangsa Tibet. Bertahta di candi yang terletak di Jawadvipa, Beliau melindungi seluruh Nusantara. Bersemayam di dalam pencerahan agung, Ibu Tara melindungi semua makhluk di manapun mereka berada, bagaikan “bintang” yang memberikan cahaya.

Dewi Tara dan Air

Bodhisattva Tara pertama-tama dikenali sebagai pelindung navigasi dan salah satu aspek dari Aryasthamahabhaya Tara adalah pelindung dari bahaya air. Warna hijau juga sering dikaitkan dengan Tara, yang bermakna “kesegaran atau aktivitas”. Dari ciri-ciri di atas, kita tahu bahwa Kanjeng Ratu Kidul juga memiliki kedua aspek tersebut yaitu samudra (navigasi/air) dan warna hijau. 

Secara mengejutkan pula, Ratu Kidul tampak memiliki teratai biru wijayakusuma, mirip seperti Bodhisattva Tara yang memegang teratai biru (utpala) juga.

Bila kemudian dihubungkan dengan Dewi Tara yang di arcakan di negeri Tibet, Tiga abad setelah berdirinya Candi Kalasan, di awal abad 11 Yang Mulia Atisha datang dari India Timur laut dan selama dua belas tahun (1013-1025) tinggal di istana Sriwijaya belajar pada Guru Besar Yang Mulia Dharmakirti. 

Konon Atisa dan Dharmakirti menjadikan Dewi Tara sebagai obyek meditasi dan konon mereka dapat melihat wajah suci Dewi Tara. Kemudian Atisha pergi ke Tibet untuk  “memberi spirit baru” Buddhisme di sana dan memberikan dorongan untuk penghormatan kepada Dewi Tara, sehingga saat ini dewi Tara menjadi Dewi Nasional Tibet.

Jika seseorang melafalkan pujian 21 Tara, yang dilafalkan dua kali, tiga kali, lalu tujuh kali doa itu, sehingga seluruhnya dua belas kali pujian kepada 21 Tara, segala bentuk keinginannya akan terpenuhi. Inilah yang terdapat didalam Puja Tara Suci Empat Mandala yang disebut “Pelita Yang Menerangi”. Dalam puja ini seseorang melafalkannya dua kali, lalu tiga kali dan tujuh kali.

Bila engkau mempunyai keinginan keuangan, akan kau dapatkan. Apa pun yang menjadi keinginanmu, seluruhnya akan terpenuhi melalui pujian kepada Dewi Tara.

Lafalkanlah pujian kepada Dewi Tara sebanyak yang kau bisa, tentu dalam kehidupanmu sehari-hari.

Cobalah untuk melafalkan mantra Tara, OM TARE TUTTARE TURE SVAHA.


Soekarno dan Ratu Pantai Selatan

Konon : ayahanda Soekarno sebenarnya adalah Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X. Nama kecil Soekarno adalah Raden Mas Malikul Koesno. Beliau termasuk “anak ciritan” dalam lingkaran kraton Solo. Sebagai seorang pemikir handal yang mempercayai suatu kehidupan alam lain, beliau kerap mengasingkan diri dalam fenomena yang tak layak pada umumnya, yaitu selalu bertirakat dari satu gua kumuh, bebukitan terjal, hutan belantara hingga tempat wingit lainnya.

Kisah ini terjadi pada Jum’at legi, bulan Maulud 1937 H. Berawal dari sebuah mimpi yang dialaminya. Di suatu malam, beliau didatangi seekor naga besar yang ingin ikut serta mendampingi hidupnya. Naga itu mengenalkan dirinya bernama, Sanca Manik Kali Penyu, yang tinggal didalam bukit Gorong, kepunyaan dari Ibu Ratu Nyi Blorong, yang melegendaris. Dengan kejelasan mimpinya, langsung menemui KH. Rifai, yang kala itu sangat masyhur namanya. Lalu sang kyai memberinya berupa amalan atau sejenis doa Basmalah, yang konon bisa mewujudkan benda gaib menjadi nyata. Lewat suatu komtemplasi dan prosesi ritual panjang, akhirnya Bung Karno, ditemui sosok wanita cantik yang tak lain adalah Nyi Blorong sendiri. 

“Andika..!!! Derajatmu wes tibo neng arep, siap nampi mahkota loro, lan iki mung ibu iso ngai bibit kejembaran soko nagara derajat, kang manfaati soko derajatmu ugo wibowo lan rejekimu serto asih penanggihan” terang Nyi Blorong. Yang arti dari ucapan tadi kurang lebihnya : “Anakku !! Sebentar lagi kamu akan menjadi manusia yang mempunyai dua derajat sekaligus (Pemimpin umat manusia dan Bangsa gaib yang disebut sebagai istilah / Rijallul gaib). Saya hanya bisa memberikan sebuah mustika yang manfaatnya sebagai, ketenangan hatimu, keluhuran derajat, wibawa, kerejekian serta pengasihan yang akan membawamu dipermudah dalam segala tujuan” Mustika yang dimaksud tak lain berupa Paku bumi, jelmaan dari seekor naga sakti, Sanca Manik, yang di dalam mulutnya terdapat satu buah batu merah delima bulat berwarna merah putih crystal, symbol dari bendera merah putih / negara Indonesia. Sebagai sosok mumpuni sekaligus hobi dalam dunia supranatural, 7 bulan dari kedapatan mustika Sanca Manik, beliau pun bermimpi kembali. Yang mana di dalam mimpinya sosok Kanjeng Sunan KaliJaga beserta ibu Ratu Kidul menyuruh Bung Karno, datang ke bukit Tinggi Pelabuhan Ratu, Sukabumi – Jawa Barat. “Datanglah Nak ketempatku..!!! Kusiapkan jodoh dari pemberian Putranda (Nyi Blorong) yang kini telah kau terima, tak pantas melati tanpa kembang kenanga, lelaki tanpa adanya wanita” Tentunya sebagai seorang yang berpengalaman dalam pengolahan batiniah, Bung Karno, adalah salah satu orang yang sangat paham akan makna sebuah mimpi. Dalam hal ini beliau menyakini bahwa yang barusan dialaminya adalah bagian dari keneran. Dengan meminta bantuan kepada, Kartolo Harjo, asal dari kota Pekalongan, yang kala itu dianggap orang paling kaya, merekapun hari itu juga langsung menuju lokasi yang dimaksud, dengan membawa sedan cw keluaran tahun 1889. Kisah perjalanan menuju Pelabuhan Ratu, ini cukup memakan waktu panjang, pasalnya disetiap daerah yang dilaluinya Bung Karni, selalu diberhentikan oleh seseorang yang tidak dikenal. Mereka berebut memberikan sesuatu pada sosok kharismatik berupa pusaka maupun bentuk mustika. Hal semacam ini sudah sewajarnya dalam dunia keparanormalan sejak zaman dahulu kala, dimana ada sosok yang bakal menjadi cikal seorang pemimpin. maka seluruh bangsa gaib akan dengan antusiasnya berebut memamerkan dirinya untuk bisa sedekat mungkin dengannya. Untuk mengungkapkan lebih lanjut perjalanan Bung Karno menuju Pelabuhan Ratu, yang dimulai pada hari Kamis pon, Ba’da Subuh, Syawal 1938H, pertama kalinya perjalanan ini dimulai dari kota Klaten Jawa Tengah. Di tengah hutan Roban, Semarang, beliau diminta turun oleh sosok hitam berambut jambul, yang mengaku bernama, Setopati asal dari bangsa jin, dan memberikan pusaka berupa cundrik kecil, berpamor Madura dengan besi warna hitam legam. Manfaatnya, sebagai wasilah bisa menghilang. Juga saat melintas kota Brebes dan Cirebon, beliau disuruh turun oleh (empat) orang yang tidak di kenal 1. Bernama Kyai Paksa Jagat, dari bangsa Sanghiyang, memberikan sebuah keris berluk-5, manfaatnya sebagai wasilah, tidak bisa dikalahkan dalam beragumen. 2. Bernama Nyai Semporo, asal dari Selat Malaka, yang ngahyang sewaktu kejadian Majapahit dikalahkan oleh Demak Bintoro, beliau memberikan sebuah tusuk konde yang dinamai, Paku Raksa Bumi, manfaatnya, mempengaruhi pikiran manusia. 3. Bernama Kyai Aji, asal dari siluman Sleman, beliau memberikan sebuah pusaka berupa taring macan, manfaatnya, sebagai kharisma dan kedudukan derajat. 4. Bernama Ki Jaga Rana, memberikan sebuah batu mustika koplak, berwarna merah cabe, manfaatnya sebagai daya tahan tubuh dari segala cuaca. Lalu saat melintas hutan Tomo Sumedang, beliaupun dihadang oleh seorang nenek renta yang mengharuskannya turun dari mobil, mulanya Bung Karno, enggan turun, namun saat melaluinya untuk terus melajukan mobil yang dikendarainya, ternyata mobil tersebut tidak bisa jalan sama sekali, disitu beliau diberikan satu buah mustika Yaman Ampal, sebagai wasilah kebal segala senjata tajam. Juga saat melintas digerbang perbatasan Sukabumi, beliau dihadang oleh segerombolan babi hutan, yang ternyata secara terpisah, salah satu dari binatang tadi meninggalkan satu buah mustika yang memancarkan sinar kemerahan berupa cungkup kecil yang didalamnya terdapat satu buah batu merah delima mungil. Sesampainya ditempat yang dituju, Bung Karno dan temannya mulai mempersiapkan rambe rompe berupa sesajen sepati, sebagai satu penghormatan kepada seluruh bangsa gaib yang ada di tempat itu, tepatnya malam rabo kliwon, Bung Karno, mulai mengadakan ritual khususiah secara terpisah dengan temannya, semua ini beliau lakukan agar jangan sampai mengganggu satu sama lainnya dalam aktifitas menuju penghormatan kepada bangsa gaib yang mengundangnya. Dua malam beliau melakukan ritual tapa brata, dengan cara sikep kejawen yang biasa dilakukannya saat menghadapi penghormatan kepada bangsa gaib, lepas pukul 24.00, Seorang bersorban dan wanita cantik yang tiada tara datang menghampirinya, mereka berdua tak lain adalah Sunan KaliJaga dan Nyimas Nawang Wulan Sari Pajajaran, yang sengaja mengundangnya. “Anakku..!! Dalam menghadapi peranmu yang sebentar lagi dimulai, ibu hanya bisa memberikan sementara sejodoh mustika yang diambil dari dasar laut Nirsarimayu (dasar laut pantai selatan sebelah timur kaputrennya) ini mustika jodohnya dari yang sudah kamu pegang saat ini, gunakanlah mustika ini sebagai wasilah kerejekian guna membantu orang yang tidak mampu, sebab inti dari kekuatan yang terkandung didalamnya, bisa memudahkan segala urusan duniawiah sesulit apapun” Lalu setelah berucap demikian, kedua sang tokoh pun langsung menghilang dari pandangannya.

Dewi Kwan Im Dewi Laut Selatan dan Sriwijaya

 

Jalur perdagangan maritim mencipta sejuta peradaban yang menarik untuk dikaji, salah satunya adalah pemujaan sesosok dewi penyelamat, yang dipercaya Tiongkok hingga Nusantara.

Uniknya adalah, hampir semuanya berkaitan dengan Avalokiteshvara (Guanyin), sesosok dewi yang amat dicintai oleh orang Tionghoa. 

Guanyin di Sanfoqi

Paralel dengan putri Jnanacandra sebagai Tārā (Lady of the Star), di Tiongkok Guanyin dikisahkan sebagai putri Miaoshan (妙善南海觀音/Guanyin Laut Selatan). Di dalam dua naskah periode Dinasti Ming yaitu Nanhai Guanyin Quanzhuan dan Guanyin Jidu Benyuan Zhenjing (Xiangshan Baojuan), dikisahkan bahwa Guanyin terlahir sebagai putri Raja Miaozhuang yang di tanah Xinglin yang daerahnya mencakup sampai di sebelah barat India. Menariknya di kedua teks itu pula, dikatakan batas timur Xinglin adalah negara Foqi 佛齊, yaitu Sanfoqi atau dengan kata lain: Sriwijaya.

Zhao Rugua (1170–1228 M)) mencatat bahwa setiap tanggal 15 bulan ke-6 Imlek, para pangeran Sanfoqi (Sriwijaya) akan pergi ke daerah kekuasaannya, Folo’an, untuk menghormati dua rupang Buddha bertangan empat dan bertangan enam. Kapal yang mengangkutnya dikatakan secara gaib langsung ditiup ke samudera. Menurut naskah Sancai Tuhui (1607) kedua rupang ini adalah dua rupang dewi yang terbuat dari tembaga. Tanggal 15 bulan ke-6 Imlek juga dekat dengan perayaan Guanyin versi Tiongkok yaitu tanggal 19 bulan ke-6 Imlek. Apakah ini semua ada kaitannya?

Guanyin - Dewi Samudera

Beberapa peneliti berusaha membandingkan Tara, Guanyin, dan Nyai Loro Kidul. Jika kita tarik semuanya kembali pada Guanyin, barangkali bisa saja ada hubungannya, apalagi jika kita familiar dengan sebutan Nanhai Guanyin (Guanyin Laut Selatan) dan Ratu Kidul Laut Selatan. Beberapa peneliti mengaitkan Kidul dengan Tara yang dipuja di Candi Kalasan, yang lain sebagai gabungan antara Dewi Sri (Laksmi) dan Durga (yang ketiganya membentuk kosmologi unik Jawa). Dalam sutra-sutra Buddhis, ketiga Dewi ini lahir dari Avalokiteshvara itu sendiri.

Menurut Sutra Karandavyuha, Bhudevi (Sri Laksmi) juga lahir dari Avalokiteshvara dan Umadevi (Durga) mendapat peneguhan dari Avalokiteshvara. 

Fakta unik lainnya, Guanyin berjubah ayu putih yang kita lihat di film Sun Wukong itu adalah Tara. Orang Tiongkok secara kreatif menyatukan wujud Avalokiteshvara dan Tara.

Dikatakan dalam Sutra Mahavairocana bahwa Tara berjubah putih adalah perwujudan dari Avalokiteshvara. Dalam Sutra Pancamudra Pandaravasini Dharani atau Sutra Guanyin Berjubah Putih juga disebutkan mantra Tara. Dari 33 perwujudan Guanyin, juga ada Duoluo Guanyin (Tara Avalokiteshvara) yang berjubah putih.

Guanyin dan Tara keduanya dikenal sebagai penyelamat pelayaran. Orang-orang Tionghoa selalu memuja Guanyin ketika berlayar ke Nusantara, khususnya Nanhai Guanyin. Mereka juga memuja satu dewi lagi yaitu Mazu atau Tianshang Shengmu yang merupakan titisan dari Avalokiteshvara Laut Selatan. Maka dari itu kita lihat dalam setiap hunian perantau Tionghoa di tanah air kita ini hampir selalu berdiri kelenteng Mazu. Paling awal sejak masa Song, yaitu pada tahun 1138 M, Xiangying Miaoji mencatat para pelaut dari Fujian ke Sriwijaya sudah memuja sesosok dewi pelayaran yang kemungkinan adalah Mazu.

Kunlun = Jawa/Sumatera?

Jawa dan Sumatera zaman dulu juga disebut sebagai Kunlun dan masyarakatnya sebagai orang-orang Kunlun. Catatan-catatan Tiongkok menyebut orang-orang Kunlun ini berkeyakinan Buddhis.

Menarik untuk diketahui bahwa sejak zaman dahulu Tiongkok memuja seorang dewi Xi Wangmu yang tinggal di pegunungan Kunlun.

Maharaja Nanzhao (877-897) juga dikisahkan mempersunting pengantin dari negara Kunlun dan diduga merupakan asal usul rupang Acuoye Guanyin yang berlanggam Sriwijaya. Acuoye sendiri berasal dari kata “Ajaya” yang diduga berasal dari kata Sriwijaya.

Guanyin di Nusantara

Jika kita berjalan-jalan di Pulau Bali atau Gunung Kawi, kita akan banyak menyaksikan kelenteng Avalokiteshvara atau Guanyin di kompleks Pura seperti Pura Ulundanu, Pura Klentingsari, Pura Goa Giri Putra Nusa Penida, dan banyak pura lainnya.

Klenteng/pelinggih Guanyin di sana teruwujud dalam suatu bangunan dan rupang yang khas Tionghoa. Klenteng tertua di Nusantara juga adalah Klenteng Guanyin (Jinde Yuan di Batavia).

Zheng He atau Sam Poo Kong juga turut membawa pemujaan Mazu ke Nusantara. Zheng He berkali-kali memohon Mazu untuk keselamatan pelayarannya.

Atas saran Biksu Shenghui, krunya dan Biksu Daoyan, gurunya, Zheng He mencetak kitab Taishang shuo tianfei jiuku lingyan jing. Pada masa Ming ini, Mazu memang dipandang sebagai manifestasi dari Avalokiteshvara termasuk di Jepang.

Nusantara memang tampaknya berjodoh erat dengan Avalokiteshvara dan Tara. Rupang-rupangnya juga banyak sekali ditemukan di Jawa dan Sumatera. Atlantis?