Dalam pidato penerimaan penghargaan Ramon Magsaysay 1988, sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa cerita Ratu Laut Kidul itu hanya mitos belaka.
Pram menjelaskan para pujangga istana Mataram menciptakan mitos Nyi Roro Kidul sebagai kompensasi kekalahan Sultan Agung saat menyerang Batavia, sekaligus gagal menguasai jalur perdagangan di Pantai Utara Jawa.
“Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyi Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia).
Mitos ini melahirkan anak-anak mitos yang lain: bahwa setiap raja Mataram beristerikan Sang Dewi tersebut,” tulis Pram.
Pram juga mengatakan bahwa mitos tabu menggunakan pakaian berwarna hijau di wilayah Pantai Selatan karena pujangga istana Mataram ingin memutuskan asosiasi orang pada warna pakaian tentara Kompeni (VOC) yang juga berwarna hijau.
Kerajaan Ratu Kidul, Ratu Laut Selatan disebut Karaton Bale Sokodhomas, dan pusat kerajaannya berada di Palung Jawa, yang membentang sejajar dengan Laut Selatan. pantai selatan Jawa dan merupakan bagian terdalam Samudera Hindia (kedalaman tujuh kilometer). Istananya ada di sana, di bawah laut, tepat di selatan Gunung Merapi dan kota Yogyakarta di Jawa Tengah, namun pengaruhnya meliputi seluruh Bali, Jawa, dan Sumatera bagian selatan. Khususnya gunung berapi Krakatau yang terletak di dalam wilayah kekuasaannya.
Animisme Jawa, Islam, dan Hindu bukanlah satu-satunya sumber unsur mitologi Ratu Kidul. Di Tiongkok, kita masih dapat menemukan kuil atau kuil yang didedikasikan untuk Kuan-Yin, yang pernah menjadi dewa para nelayan, yang akan memanggilnya untuk melindungi mereka di laut dan memberi mereka hasil tangkapan yang bagus. Salah satu gelar kunonya adalah “Ratu Samudra Selatan”. Pertemuan penguasa Solo dan Yogyakarta dengan Ratu juga disejajarkan dengan pertemuan raja-raja Khmer di kompleks Angkor Thom, Kamboja, dengan sosok dewi ular yang bisa berwujud wanita cantik.
Ratu Kidul adalah yang paling menonjol dari empat roh penjaga arah mata angin di Jawa yang mendapat penghormatan khusus bahkan di Surakarta modern.
Keempat makhluk halus tersebut adalah Kanjeng Ratu Kidul sendiri yang menjaga di selatan, Sunan Lawu, penguasa makhluk halus di Gunung Lawu di sebelah timur, Kanjeng Ratu Sekar kedaton, roh penjaga Gunung Merapi di sebelah barat, dan Sang Hyang Pramoni, penghuni hutan bagian utara. Krendawahana.
Mitos Nyi Blorong masih eksis dalam tradisi lisan di Indonesia. Ia digambarkan mampu mengubah wujudnya dari seekor ular bersisik emas menjadi seorang wanita cantik yang mengenakan kebaya hijau dengan kain panjang berwarna emas – kain panjang berwarna emas tersebut merupakan perwujudan dari sosok aslinya yaitu sang raksasa. ular emas. Selain sebagai panglima alam gaib yang diperintah oleh Nyi Roro Kidul, Ratu Laut Selatan, ia juga mampu memberikan pesugihan (kekayaan instan) kepada siapa pun yang memanggilnya.
Kanjeng Ratu Kidul juga digambarkan mempunyai “kulit bersisik”, yang harus ditafsirkan bahwa Kanjeng Ratu Kidul pada awalnya adalah dewi ular, dan karena itu berkerabat dengan para Naga , dewa kekayaan purba.
Kanjeng Ratu Kidul juga dikenal sebagai Ratu Naga, Nagini dan Dewi Ular.
Berbagai kemiripan memang dapat kita temukan dalam diri Arya Tara dan Ratu Kidul. Bodhisattva Tara juga dikenal dalam wujud nagini yang bernama Janguli, sedangkan di kalangan masyarakat Jawa, Ratu Kidul dikenal sebagai dewi ular naga (nagini).
Para petani Jawa juga mengetahui bahwa hewan ular adalah utusan Nyai Roro Kidul. Dalam hal ini Nyai Roro Kidul bertindak sebagai Dewi Pertanian atau Dewi Sri.
Dalam Serat Darmogandul, sebuah karya sastra Jawa Baru yang menceritakan jatuhnya Majapahit akibat serbuan Kerajaan Demak, Ni Mas Ratu Anginangin adalah ratu seluruh makhluk halus di pulau Jawa dan memiliki kerajaan di laut selatan. Hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad Kadhiri :
“Saat moksanya Sang Prabu Jayabaya dan putrinya yang bernama Ni Mas Ratu Pagedhongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggul Wulung juga sama-sama moksa. Ni Mas Ratu Pagedhongan menjadi ratu makhluk halus pulau Jawa, kotanya berada di laut selatan serta dijuluki Ni Mas Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus yang ada di lautan daratan serta kanan-kirinya tanah Jawa, semua sama-sama takluk kepada Ni Mas Ratu Anginangin. ”
Serat Centhini juga menyebut nama Ratu Angin Angin sebagai pemilik istana di laut selatan.
Nyai Roro Kidul diberi sebutan Ratu Kidul karena ia adalah pemimpin para dewa-dewi, peri-peri dan setan-setan. Istananya berada di dasar Samudra tepat di pantai selatan Jawa Tengah. Ia adalah penguasa arah mata angin bagian selatan, sedangkan penguasa bagian utara yang bertahta di hutan Krendawahana adalah dewi Sanghyang Pramoni (Durga). Bodhisattva Tara sendiri dikenal sebagai Bodhisattva yang dapat menaklukkan semua ghana (kurcaci, pengikut Siva), vetala (vampir/mayat hidup) dan yaksha, bahkan iblis Mara (kematian); pun juga dipuja oleh para gandharva dan makhluk-makhluk di atas.
Nyai Roro Kidul dapat menjadi tua ataupun muda, demikian juga Tara dapat bermanifestasi menjadi perempuan tua ataupun muda. Lara atau Rara berarti seorang gadis, sehingga dapat disimpulkan bahwa ikonografi Ratu Kidul seharusnya berperawakan perempuan muda, mengingatkan pada wujud fisik Tara sebagai gadis berumur 16 tahun.
*Catatan : Penampakan Dewi Tara dan Ratu Kidul kebanyakan sebagai Perempuan muda berumur + 27 tahun.
Masyarakat Sunda mengenal legenda mengenai penguasa spiritual kawasan Laut Selatan Jawa Barat yang berwujud perempuan cantik yang disebut Nyi Rara Kidul. Legenda yang berasal dari Kerajaan Sunda Pajajaran berumur lebih tua daripada legenda Kerajaan Mataram Islam dari abad ke-16. Meskipun demikian, penelitian atropologi dan kultur masyarakat Jawa dan Sunda mengarahkan bahwa legenda Ratu Laut Selatan Jawa kemungkinan berasal dari kepercayaan animistik prasejarah yang jauh lebih tua lagi, dewi pra-Hindu-Buddha dari samudra selatan.
Dewi Tara yang juga dianggap sebagai seorang Ibu bagi bangsa Tibet. Bertahta di candi yang terletak di Jawadvipa, Beliau melindungi seluruh Nusantara. Bersemayam di dalam pencerahan agung, Ibu Tara melindungi semua makhluk di manapun mereka berada, bagaikan “bintang” yang memberikan cahaya.
Dewi Tara dan Air
Bodhisattva Tara pertama-tama dikenali sebagai pelindung navigasi dan salah satu aspek dari Aryasthamahabhaya Tara adalah pelindung dari bahaya air. Warna hijau juga sering dikaitkan dengan Tara, yang bermakna “kesegaran atau aktivitas”. Dari ciri-ciri di atas, kita tahu bahwa Kanjeng Ratu Kidul juga memiliki kedua aspek tersebut yaitu samudra (navigasi/air) dan warna hijau.
Secara mengejutkan pula, Ratu Kidul tampak memiliki teratai biru wijayakusuma, mirip seperti Bodhisattva Tara yang memegang teratai biru (utpala) juga.
Bila kemudian dihubungkan dengan Dewi Tara yang di arcakan di negeri Tibet, Tiga abad setelah berdirinya Candi Kalasan, di awal abad 11 Yang Mulia Atisha datang dari India Timur laut dan selama dua belas tahun (1013-1025) tinggal di istana Sriwijaya belajar pada Guru Besar Yang Mulia Dharmakirti.
Konon Atisa dan Dharmakirti menjadikan Dewi Tara sebagai obyek meditasi dan konon mereka dapat melihat wajah suci Dewi Tara. Kemudian Atisha pergi ke Tibet untuk “memberi spirit baru” Buddhisme di sana dan memberikan dorongan untuk penghormatan kepada Dewi Tara, sehingga saat ini dewi Tara menjadi Dewi Nasional Tibet.
Jika seseorang melafalkan pujian 21 Tara, yang dilafalkan dua kali, tiga kali, lalu tujuh kali doa itu, sehingga seluruhnya dua belas kali pujian kepada 21 Tara, segala bentuk keinginannya akan terpenuhi. Inilah yang terdapat didalam Puja Tara Suci Empat Mandala yang disebut “Pelita Yang Menerangi”. Dalam puja ini seseorang melafalkannya dua kali, lalu tiga kali dan tujuh kali.
Bila engkau mempunyai keinginan keuangan, akan kau dapatkan. Apa pun yang menjadi keinginanmu, seluruhnya akan terpenuhi melalui pujian kepada Dewi Tara.
Lafalkanlah pujian kepada Dewi Tara sebanyak yang kau bisa, tentu dalam kehidupanmu sehari-hari.
Cobalah untuk melafalkan mantra Tara, OM TARE TUTTARE TURE SVAHA.