Belajar Meditasi


Meditasi itu sama halnya dengan bernapas.

Bila kita memaksa napas untuk menjadi dangkal, dalam atau membetulkannya — itu sangatlah sulit. Namun demikian, kalau kita berjalan-jalan, dan tidak menyadari napas masuk, napas keluar, itu sangatlah santai. Jadi saya berpikir, “Aha? Mungkin begitulah caranya.” Ketika seseorang berjalan biasa di sepanjang hari, tanpa memfokuskan perhatian pada napasnya, apakah napas tersebut membuatnya menderita? Tidak, mereka hanya merasa relax. Tetapi ketika saya duduk dan bertekad-bulat hendak membuat pikiran tenang, maka kemelekatan pun timbul. Ketika saya berusaha mengendalikan napas menjadi dangkal atau dalam, hal itu justru membuat saya lebih tertekan.

Itu semua terjadi dengan sendirinya. Begitu saya duduk, pikiran langsung jadi sungguh tenteram. Seperti batu karang tak tergoyahkan.

Tidak lagi mendengar riuh nyanyi serta tarian penduduk desa — sebenarnya saya masih bisa mendengar — tetapi saya juga bisa membungkam seluruhnya sama sekali.

Aneh. Saat saya tidak memberi perhatian pada suara itu, ia hening sempurna — tidak mendengar apapun. Tapi kalau saya mau mendengar, saya bisa, tanpa menjadi terganggu. Saat itu seperti ada dua obyek dalam pikiran saya yang saling berdampingan namun tanpa saling sentuh. Saya dapat melihat pikiran itu dan obyek kesadaran-nya terpisah dan berbeda. Kemudian saya mengerti ketika pikiran menyatu dalam ketenangan samadhi, bila kita mengarahkan perhatian keluar kita dapat mendengarkan suara — tetapi jika anda tinggal di kekosongannya maka akan hening sempurna. Saat suara ditangkap, saya dapat melihatnya bahwa “yang-mengetahui” dan suara itu adalah hal yang jelas berbeda. Saya lalu merenung, “Kalau bukan demikianlah ini adanya, ya mau bagaimana lagi?” Ya begitulah adanya. Kedua hal tersebut terpisah sama sekali. Saya melanjutkan penyelidikan demikian ini sampai pengertian yang lebih mendalam lagi: “Ah, ini penting. Ketika pencerapan fenomena telah terpotong, hasilnya adalah kedamaian.” Ilusi yang berlangsung selama ini tertransformasi menjadi kedamaian pikiran. Saya lalu terus duduk, berusaha tetap bermeditasi. Pikiran saat itu hanya terpusat pada meditasi, yang lain diabaikan. Kalaupun saya berhenti bermeditasi pada titik ini, itu hanya oleh karena praktik telah benar-benar sempurna. Saya bisa saja memandangnya enteng, tapi itu bukan karena malas, lelah ataupun kesal. Bukan semuanya. Hal tersebut tidak ada dalam bathin. Yang ada hanya keseimbangan bathin yang sempurna — pokoknya: pas.

Akhirnya saya istirahat sejenak, tapi itu hanya posisi duduk yang berubah. Bathin saya tetap tenang, tak bergeming, dan tidak lelah. Saya mengambil bantal, bermaksud untuk istirahat. Sembari hendak berbaring, pikiran tetap damai seperti sebelumnya. Kemudian sesaat sebelum kepala saya menyentuh bantal, kesadaran (the mind’s awareness) mulai mengalir ke dalam. Saya tidak tahu ini akan menuju kemana, tetapi ia terus mengalir lebih dalam dan lebih dalam lagi. Bagai arus listrik dalam kabel yang mengalir ke saklar. Begitu sampai di saklar, tubuh saya meledak dengan dentum memekakkan. Selama itu “yang-mengetahui” sangatlah luar biasa terang dan jernih. Begitu titik ini lewat, pikiran lepas menembus semakin ke dalam. Ia meluncur ke dalam lagi hingga mencapai titik dimana tidak ada sesuatu apapun. Sama sekali tidak ada hal dari dunia luar yang bisa sampai ke tempat ini. Tiada apapun yang mampu mencapainya. Berdiam di dalam untuk beberapa saat, pikiran ini lalu mundur mengalir balik keluar. Namun demikian, ketika saya mengatakan mundur tidak berarti saya yang membuatnya mengalir keluar. Saya hanya seperti seorang pengamat, hanya mengetahui dan menyaksikan saja. Pikiran keluar dan terus keluar hingga akhirnya kembali “normal”.

Begitu kesadaran kembali normal, timbul pertanyaan, “Eh, apakah itu?!” Sesegera itu muncul jawaban, “Semua ini terjadi sendiri sesuai dengan sifat-alaminya. Engkau tidak perlu mencari penjelasan lagi.” Jawaban ini sudah cukup memuaskan pikiran saya.

Kekuatan Samadhi

Sesaat kemudian, pikiran ini mulai mengalir ke dalam lagi. Saya tidak mengarahkannya dengan sengaja. Itu terjadi dengan sendirinya. Bergerak makin mendalam dan mendalam lagi hingga menabrak saklar yang sama. Kali ini tubuh saya pecah berantakan dalam fragmen dan partikel-partikel sangat kecil. — Lagi, pikiran pun lalu lepas menembus ke dalam dengan sendirinya. Sunyi… — bahkan jauh lebih sunyi dari sebelumnya. Sama sekali tiada apapun di luar yang dapat menjangkaunya. Pikiran tinggal disini beberapa saat, selama dia mau, kemudian mundur mengalir keluar. Saat itu, semuanya terjadi sesuai dengan momentumnya dan terjadi dengan sendirinya. Saya tidak mempengaruhi atau mengarahkan pikiran saya secara khusus, untuk mengalir ke dalam ataupun ke luar. Saya hanya pihak yang mengetahui dan mengamatinya saja.

Pikiran saya kembali pada kesadaran normalnya lagi, dan saya pun tidak bertanya-tanya atau berspekulasi tentang apa yang baru saja terjadi. Demikian saya bermeditasi, pikiran sekali lagi meluncur ke dalam. Kali ini seluruh jagad-raya hancur berantakan, terburai menjadi partikel-partikel kecil. Bumi, tanah, gunung-gunung, ladang-ladang dan hutan-hutan — seluruh dunia — cerai-berai menjadi elemen-elemen di udara. Orang- orang lenyap. Semuanya hilang. Pada kali ketiga ini, sama sekali tiada yang tersisa.