KERIS NAGA RUNTING PRABU SILIWANGI.
Keris Nogo Runting mirip dengan Keris Sajen: gagang atau peksinya memilik motif. Bila peksi Keris Sajen bermotif putut atau pendeta, peksi Keris Nogo Runting bermotif raja yang mengenakan mahkota dan berjanggut panjang sebagai simbol kewibawaan dan kekuasaan seorang raja.
Filosofi keris Naga Runting adalah Pusaka yang menjadi simbul kekuasaan dan kemulyaan. Sebagai ageman kesaktian, kewibawaan, pagar gaib dan menolak bencana atau malapetaka.
Sebagai pusaka raja, apalagi Prabu Siliwangi yang dikenal sakti mandraguna, keris ini tentu tidak dibuat dan oleh empu sembarangan. Dari sisi material menggunakan paku bumi yang diperoleh Prabu Siliwangi saat tapa brata di kaki bukit Gunung Salak.
Adapun yang membabar adalah empu kondang Pajajaran, yakni Mpu Welang dan Mpu Anjani.
Demi memenuhi harapan sang Prabu, mereka melakukan puasa selama 40 hari 40 malam untuk memohon kepada Sang Pencipta agar yang dibuat menjadi sebilah keris yang ampuh dan memiliki karomah yang luar biasa.
Keris Nogo Runting disebut Naga Runting Ngemut Emas karena di dalamnya terdapat mata logam emas pada Lidah Naga -maskot pada keris tersebut.
Keris Pusaka Naga Runting konon dulu menjadi senjata pamungkas Prabu Siliwangi ketika akan menghadapi musuh-musuhnya.
Bentuk keris Naga Runting sangat terlihat indah dan menawan, namun dibalik itu semua menyimpan kekuatan yang sangat dahsyat.
Kemampuan dan kekuatan keris Naga Runting Prabu Siliwangi ini mampu menyamarkan petir, angin, bahkan api, ketika dikehendaki.
Selain itu pula keris Naga Runting ini mampu berubah wujud menjadi seekor naga yang bentuknya bisa menyesuaikan dengan objek yang dituju.
Ketika Sang Naga melilit di tubuh satu orang bahkan ratusan orang ia akan mampu melakukannya bahkan untuk melilit sebuah gunung pun mampu dilakukan oleh keris Naga Runting.
Prabu Siliwangi Namun demikian tak banyak orang tahu tentang asal-usul keris Naga Runting yang diyakini sebagai salah satu pusaka Prabu Siliwangi ini.
Siliwangi ternyata bukan nama individu raja, tapi istilah sama halnya penyebutan nama Raja Brawijaya.
Ia merupakan gabungan dari kata Silih dan Wawangi, yang diartikan pengganti Prabu Wangi atau Linggabuana yang gugur di Bubat kala mengantar pernikahan putrinya, Dyah Pitaloka Citraresmi dengan Raja Majapahit, Hayam Wuruk.
Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 menuturkan: "Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain," paparnya.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung.
Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Tatar Sunda. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain.
Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Tatar Sunda.
Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi.
"Kebanyakan meyakini sebutan Siliwangi tersebut menisbat pada Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja atau Jawadewata (1401-1521). Cucu Lingga Buana sekaligus Bunisora yang terlahir di Kawali, Ciamis pada 1401 M ini disebut Prasasti Batu Tulis dinobatkan dua kali," jelasnya.
Selain itu, Ayat juga menepis anggapan bahwa Sri Baduga Maharaja adalah raja Sunda terakhir.
Mengacu pada Naskah Wangsakerta dan Carita Parahiyangan yang menyebut Siliwangi ada delapan orang, dengan raja terakhir Surya Kencana.
Secara tidak langsung Ayat meyakini bahwa Mahaprabu Niskala Wastu Kancana itulah Prabu Siliwangi sejati nan agung.
Kembali ke munculnya Keris Runting, baik versi umum maupun versi Ayatrohaedi tidak akan singkron bila periodesasi pembabaran benar dilakukan Mpu Welang dan Mpu Anjani seperti diceritakan.
Karena kedua empu tersebut hidup di periode tangguh Madya Kuno, antara tahun 1126-1250 M. "Di Tanah Jawa, tahun tersebut merupakan era kerajaan Kediri dan Singosari. Sedangkan penasbihan nama Siliwangi sebagai pengganti Prabu Wangi atau Linggabuana adalah di era pasca-Hayam Wuruk di Majapahit," jelasnya.
Sebaliknya bila benar yang membabar Keris Nogo Runting adalah Mpu Welang dan Mpu Anjani, maka raja Sunda-Galuh yang saat itu berkuasa adalah Rakryan Jayagiri (1154-1156 M), diteruskan cucunya Prabhu Dharmakusuma (1156-1175 M) dan kemudian diwariskan kepada putranya, Prabu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun (1175-1297 M).
Kemungkinan terakhir ini bisa dipahami karena di periode itulah masa kejayaan tosan aji di Tatar Sunda dengan lahirnya empu-empu terkemuka yang kemudian pengaruhnya menyebar hingga ke Jawa dan Sumatera. Selain Mpu Welang dan Anjani, empu lain yang muncul di era tersebut adalah Mpu Srikanekaputra, Cindeamoh, Handayasangkala, Dewayani Marcukunda, Gobang, Kuwung, Bayu Aji, Darmajati, dan Sombro.
"Kesalahaan persepsi bahwa Keris Naga Runting adalah dibuat atas pesananan Siliwangi karena penyebutan nama-nama raja-raja di Sunda maupun Galuh sudah sangat umum disebut Siliwangi," lanjutnya.
"Bila kemudian Keris Naga Runting menjadi ageman raja-raja Sunda maupun Galuh, termasuk di era Silwangi, secara turun-temurun, merupakan penjelasan masuk akal," pungkasnya.