Suluk Sunan Bonang


Suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, Asmaradana, dandang gula dan lain-lain. Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalanan kerohanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencapai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan rohani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan rohani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memeroleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). Di antara keadaan rohani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi), dan faqir.

Sunan Bonang sebagai seorang penulis Muslim awal dalam sastra Jawa, menunjukkan sikap yang sangat berbeda dengan para penulis Muslim awal di Sumatera. Yang terakhir sudah sejak awal huruf Jawi, yaitu huruf Arab yang disesuaikan dengan system fonem Melayu. Sedangkan Sunan Bonang dan para penulis Muslim Jawa yang awal tetap menggunakan huruf Jawa yang telah mapan dan dikenal masyarakat terpelajar. Sunan Bonang juga menggunakan tamsil-tamsil yang tidak asing bagi masyarakat Jawa, misalnya wayang. Selain itu bentuk tembang Jawa Kuno, yaitu aswalalita juga masih digunakan. Dengan demikian kehadiran karyanya tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing bagi pembaca sastra Jawa, malahan dipandangnya sebagai suatu kesinambungan.

Inilah ceritera si Wujil.                        Berkata pada guru yang diabdinya.        Ratu Wahdat.                                                Ratu Wahdat nama gurunya.                    Bersujud ia ditelapak kaki Syekh Agung  Yang tinggal di desa Bonang.                    Ia minta maaf.                                              Ingin tahu hakikat.                                        Dan seluk beluk ajaran agama.                  Sesampai rahsia terdalam

Sepuluh tahun Lamanya                    Sudah Wujil                                        Berguru kepada Sang Wali.                        Namun belum mendapat ajaran utama. Ia berasal dari Majapahit.                          Bekerja sebagai abdi raja.                          Sastra Arab telah ia pelajari.                      Ia menyembah di depan gurunya.            Kemudian berkata.                                      Seraya menghormat.                                    Minta maaf


“Dengan tulus saya mohon

Di telapak kaki tuan Guru

Mati hidup hamba serahkan

Sastra Arab telah tuan ajarkan

Dan saya telah menguasainya

Namun tetap saja saya bingung

Mengembara kesana-kemari

Tak berketentuan.

Dulu hamba berlakon sebagai pelawak

Bosan sudah saya

Menjadi bahan tertawaan orang


Ya Syekh al-Mukaram!

Uraian kesatuan huruf

Dulu dan sekarang

Yang saya pelajari tidak berbeda

Tidak beranjak dari tatanan lahir

Tetap saja tentang bentuk luarnya

Saya meninggalkan Majapahit

Meninggalkan semua yang dicintai

Namun tak menemukan sesuatu apa

Sebagai penawar


Diam-diam saya pergi malam-malam

Mencari rahsia Yang Satu dan jalan sempurna

Semua pendeta dan ulama hamba temui

Agar terjumpa hakikat hidup

Akhir kuasa sejati

Ujung utara selatan

Tempat matahari dan bulan terbenam

Akhir mata tertutup dan hakikat maut

Akhir ada dan tiada.


Sang Arif berkata lembut

“Hai Wujil, kemarilah!”

Dipegangnya kucir rambut Wujil

Seraya dielus-elus

Tanda kasihsayangnya

“Wujil, dengar sekarang

Jika kau harus masuk neraka

Karena kata-kataku

Aku yang akan menggantikan tempatmu”


“Ingatlah Wujil, waspadalah!

Hidup di dunia ini

Jangan ceroboh dan gegabah

Sadarilah dirimu

Bukan yang Haqq

Dan Yang Haqq bukan dirimu

Orang yang mengenal dirinya

Akan mengenal Tuhan

Asal usul semua kejadian

Inilah jalan makrifat sejati”.


Persatuan manusia dengan Tuhan diumpamakan sebagai gema dengan suara. Manusia harus mengenal suksma (ruh) yang berada di dalam tubuhnya. Ruh di dalam tubuh seperti api yang tak kelihatan. Yang nampak hanyalah bara, sinar, nyala, panas dan asapnya. Ruh dihubungkan dengan wujud tersembunyi, yang pemunculan dan kelenyapannya tidak mudah diketahui.  Kuncinya adalah bukan melebur tetapi menyatu. Roro ning atunggil, Dua tetapi satu. Untuk mengenal diri, kita harus menjadi pengamat diri. Ini artinya merasa terpisah dari diri. Disosiasi terhadap diri sendiri. Demikian juga utk mengenal Allah, kita harus menjadi hamba Allah dan khalifatullah. Atau menjadi bayanganNya. Dan bukan menjadi Allah. 

Puncak ilmu yang sempurna

Seperti api berkobar

Hanya bara dan nyalanya

Hanya kilatan cahaya

Hanya asapnya kelihatan

Ketauilah wujud sebelum api menyala

Dan sesudah api padam

Karena serba diliputi rahsia

Adakah kata-kata yang bisa menyebutkan?


Jangan tinggikan diri melampaui ukuran

Berlindunglah semata kepada-Nya

Ketahui, rumah sebenarnya jasad ialah ruh

Jangan bertanya

Jangan memuja nabi dan wali-wali

Jangan mengaku Tuhan

Jangan mengira tidak ada padahal ada

Sebaiknya diam

Jangan sampai digoncang

Oleh kebingungan


Pencapaian sempurna

Bagaikan orang yang sedang tidur

Dengan seorang perempuan, kala bercinta

Mereka karam dalam asyik, terlena

Hanyut dalam berahi

Anakku, terimalah

Dan pahami dengan baik

Ilmu ini memang sukar dicerna.

Suluk Wujil Sunan Bonang

Anasapati

Awal dikenalkannya Shalat Daim ini oleh Sunan Bonang ketika dia mendidik Raden Mas Syahid yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kalijaga. Sunan Bonang menyuruh Raden Mas Syahid untuk duduk, diam, dan berusaha untuk mengalahkan hawa nafsunya sendiri. Menurut ajaran dari Sunan Bonang, shalat Daim itu hanya duduk, diam, hening, dan pasrah pada kehendak Allah.

Kitab Suluk Wujil sendiri merupakan kitab yang berisikan ajaran Sunan Bonang kepada seorang bajang, bekas budak raja Majapahit bernama si Wujil. Ajarannya tentang mistisisme (tasawuf). Dalam kitab Suluk Wujil memuat tembang yang bermacam-macam dengan jumlah 104 pupuh. Selain di dalam kitab Suluk Wujil, ajaran shalat daim juga terdapat di dalam kitab Salat Daim Mulat Salira karya Bratakesawa dan juga di dalam kitab Wirid Ma`lumat Jati karya R Ngabehi Ronggowarsito.

Lewat kitab Suluk Wujil, Sunan Bonang sudah menjelaskan perihal Shalat Daim yaitu: "Keutamaan diri ini adalah mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau Maghrib (shalat 5 waktu). Itu namanya sembahyang. Apabila disebut shalat, itu hanya hiasan dari shalat daim, hanya tata krama. Shalat sejati tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat mengerjakan shalat lima waktu. 

Shalat Sejati adalah Shalat Daim, yaitu bersatunya semua indra dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat Penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan : Hu Allah, dia Allah. 

Hu saat menarik napas dan Allah saat mengeluarkan napas.

Lebih lanjut Sunan Bonang juga menjelaskan tentang cara melakukan Shalat Daim lewat kitab Suluk Wujil, yaitu :"Berbakti yang utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah.

Wudhu, buang air besar, dan kencing pun kegiatan menyembah. Itulah Niat Sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir."

Sastra Jendra Hayuningrat

 

Pada mulanya Hardjosapoero menerima ‘wahyu’ pada tanggal 27 Desember 1952. Pada hari kamis, 26 Desember 1952 atau sehari sebelum Hardjosapoero menerima wahyu, Hardjosapoero merasa gelisah. Hingga akhirnya mengantarkannya kepada temannya. Pada pukul 24.00, ia kembali ke rumahnya. Hardjosapoero mengambil tikar dan beralaskan lantai kemudian tidur-tiduran. Pada saat ia akan terlelap tidur, dengan “sekonyong-konyong”, ia digerakan oleh kekuatan supranatural untuk terus melakukan sujud. Sujud tersebut terus ia lakukan dengan melafalkan lafal yang sama hingga pukul 05.00 pagi.

Sapta Darma dan Praktek Sujud

Dalam melakukan sujud tersebut, ia dalam kondisi sangat sadar. Namun disisi lain, ia tidak mampu mengendalikan tubuhnya. Kekuatan tersebut terus membimbingnya untuk melakukan gerakan sujud tersebut. Gerakan sujud tersebut dinamakan wahyu sujud. Dalam melakukan sujud tersebut, Hardjosapoero duduk bersila dengan tangan bersidekap dan sujud hingga dahi menyentuh lantai. Wahyu sujud tersebut terus dilakukan dengan meneriakkan lafal dalam bahasa Jawa, yang berbunyi :

“Allah Hyang Maha Agung

Allah Hyang Maha Rahim

Allah Hyang Maha Adil

Gerakan sujud yang ia lakukan tersebut hingga tiga kali namun dengan keadaan tetap duduk bersila dan tangan bersedekap. Dalam sujud keduanya, ia melafalkan lafal yang berbunyi :

Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuwasa

Lafal tersebut ia ucapkan sebanyak tiga kali dalam sujud keduanya tersebut. Dan pada sujud ketiga, dengan posisi duduk kemudian sujud hingga dahi menyentuh lantai dan mengucapkan lafal:

Kesalahane Hyang Maha Suci, Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuwasa

Lafal tersebut juga ia ucapkan sebanyak tiga kali. Dalam keadaan bergetar dan ketakutan, ia kembali duduk dan mengulang gerakan sujud tersebut dengan lafal yang berbeda disetiap sujudnya. Kejadian ini terjadi pada Jum;at Wage pukul 01.00 WIB sampai 05.00 WIB. 

Lafal tersebut pada akhirnya dijadikan acuan bagi penganut Sapta Darma ketika melakukan ibadah sujudnya.

Lingkaran ditengah–tengah berwarna putih yang tertutup oleh gambar Semar menggambarkan: lubang pada ubun–ubun manusia (merupakan lubang yang ke–10 yang tertutup = pudak sinumpet). 

Warna putih yang ada pada gambar Semar itupun menggambarkan Nur Cahaya atau Nur Putih ialah hawa suci (Hyang Maha Suci) yang dapat berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa

Artinya : Menyatupadukan rasa di ubun–ubun hingga mewujudkan Nur Putih Yang dapat menghadap Hyang Maha Kuasa.

SUJUD

Warga Sapta Darma diwajibkan sujud dalam sehari semalam (24 jam) sedikit–dikitnya sekali. Lebih dari itu lebih baik, dengan pengertian bahwa yang penting bukan banyak kalinya ia melakukan sujud tetapi kesungguhan sujudnya. Bila sujud dilakukan di sanggar, dapat dilakukan bersama–sama dengan tuntunan dan dapat sewaktu–waktu. Namun lebih baik waktu ditentukan. 

Sikap duduk 

Duduk tegak menghadap ke timur (=timur/kawitan/asal), artinya di waktu sujud manusia harus menyadari/mengetahui asalnya. Bagi pria duduk bersila jajar kaki kanan di depan kaki kiri. Bagi wanita bersimpuh. Namun diperkenankan, mengambil sikap duduk seenaknya asal tidak meninggalkan kesusilaan sikap duduk dan mengganggu jalannya getaran rasa. Tangan bersedakep, yang kanan didepannya yang kiri.

Selanjutnya menentramkan badan, mata melihat ke depan ke satu titik yang terletak + satu meter di tanah tepat didepannya. Kepala dan punggung (tulang belakang) segaris lurus. Setelah merasa tenang dan tenteram, serta adanya getaran (hawa) dalam tubuh yang berjalan merambat dari bawah ke atas. Selanjutnya getaran rasa tersebut harus merambat ke atas sampai dikepala, karenanya lalu mata terpejam dengan sendirinya. Kemudian setelah ada tanda pada ujung lidah terasa dingin seperti kena angin (jawa = pating trecep) dan keluar air liurnya terus ditelan, lalu mengucap dalam batin : Allah Hyang Maha Agung Allah Hyang Maha Rohim Allah Hyang Maha Adil Bila kepala sudah terasa berat, tanda bahwa rasa telah berkumpul di kepala. Hal ini menjadikan badan tergoyang dengan sendirinya. 

Kemudian di mulai dengan merasakan jalannya air sari yang ada di tulang ekor (Jawa : brutu atau silit kodok). 

Jalannya air sari merambat halus sekali, naik seolah–olah mendorong tubuh membungkuk ke muka. Membungkuknya badan diikuti terus, (bukan karena kemauan tapi karena rasa) sampai dahi menyentuh tanah. 

Setelah dahi menyentuh tanah, dalam batin mengucap: “Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa” (sampai 3 kali).

Selesai mengucapkan, kepala diangkat perlahan–lahan, hingga badan dalam sikap duduk tegak lagi seperti semula. 

Mengulang lagi merasakan di tulang ekor seperti tersebut di atas, sehingga dahi menyentuh tanah lagi. 

Setelah dahi menyentuh tanah diucapkan di dalam batin: “Kesalahannya Hyang Maha Suci Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa” (sampai 3 kali). 

Dengan perlahan–lahan tegak kembali, lalu mengulang, merasakan lagi di tulang ekor seperti tersebut di atas sampai dahi menyentuh tanah yang ke–3 kalinya. 

Kemudian dalam batin diucapkan: “Hyang Maha Suci Bertobat Hyang Maha Kuasa” (sampai 3 kali). 

Akhirnya duduk tegak kembali, masih tetap dalam sikap tersebut hingga beberapa menit lagi : baru kemudian sujud selesai.

Apakah sebenarnya getaran–getaran serta air sari itu, dari mana asalnya dan dimana tempatnya? Getaran atau Sinar Cahaya Allah adalah cahaya yang digambarkan berwarna Hijau muda (=maya) yang ada di dalam seluruh pribadi manusia. 

Adapun air sari atau air putih/suci berasal dari sari bumi yang akhirnya menjadi bahan makanan yang di makan manusia. 

Sari–sari makanan tersebut mewujudkan air sari yang tempatnya di ekor (Jawa=Cetik/silit kodok/brutu). 

Bersatu padunya getaran sinar cahaya dengan getaran air sari yang merambat berjalan halus sekali di seluruh tubuh,menimbulkan daya kekuatan yang besar sekali. 

Daya kekuatan ini disebut: Atom Berjiwa yang ada pada pribadi manusia. 

Jadi kekuatan ini mempunyai arti dan guna yang besar sekali seperti antaranya: - Dapat memberantas kuman–kuman penyakit dalam tubuh. - Dapat menentramkan/menindas nafsu angkara. - Dapat mencerdaskan pikiran. - Dapat memiliki kawaskitan, seperti kawaskitan akan penglihatan, pendengaran, penciuman, tutur kata atau percakapan serta kewaskitaan rasa.

Bila telah memusat di ubun–ubun akan mewujudkan Nur Putih. Akhirnya naik menghadap Hyang Maha Kuasa untuk menerima perintah–perintah/petunjuk yang berupa isyarat/kias seperti berupa gegambaran, tulisan–tulisan (tulis tanpa papan = sastra jendra hayuningrat). 

Sekali lagi dikatakan, bahwa syarat untuk memiliki kemampuan itu semua, tiada lain adalah pengolahan/penyempurnaan budi pekerti yang menuju keluhuran pada sikap dan tindakan sehari–hari. 

Pengolahan/penyempurnaan pribadi itu, bagi para pemeluk yang sudah dapat/mampu, adalah berarti selalu mencetak atom berjiwa pada pribadinya. 

Atom tersebut digunakan untuk peri–kemanusiaan ialah menolong orang yang menderita sakit.

Cara mengobati (penyembuhan) di jalan Tuhan dilakukan dengan : 

Ening sambil memandang bagian badan si pasien (si penderita) yang sakit, setelah merasa bahwa seluruh rasa terkumpul di dalam mulut, dengan tanda lidah seperti terbelai angin (Jawa: pating trecep) dan ujung lidah terasa berat, maka dalam batin menyabut Nama Allah (Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil), kemudian menyabda : Sembuh (Waras). 

Selanjutnya si pasien/si sakit disuruh merasakan keadaan badannya. 

Bagi mereka yang sakitnya telah menahun (bertahun–tahun), atau sakit bagian dalamnya seperti antara lain: paru–paru, asma, ayan, lepra, nier (ginjal), tekanan darah tinggi, seyogyanya mereka itu dituntuni sujud yang sungguh–sungguh (emat).

Setelah melakukan sujud, lalu didalam batin supaya mengucapkan: “Minta geraknya Nur Rasa”, kemudian disuruh ening, rasa ditujukan pada tangan. Bila tangannya telah bergerak (bergetar) : lalu diminta mengucapkan “Mohon diobati hingga sembuh” gerak tangan itu diikuti kemana arahnya guna mengobati sakitnya, hingga badan menjadi ringan/enak. 

Manakala penyakit telah sembuh, bagi yang habis sakit boleh meneruskan sujudnya, boleh tidak.

Warga Sapta Darma harus dapat menggunakan kewaskitaan. Yaitu supaya dieningkan dengan mata terpejam, bagimana kias (isyarat) atau tanda–tanda si sakit. Artinya bila ada gegambaran atau tanda–tanda seperti : burung yang kekablak (menggerak–gerakan sayapnya) atau burung terbang, pohon kering/menjadi kering, orang yang duduk membelakangi, atau tercium bau jenazah berarti bahwa telah sampai waktunya bagi si sakit, atau sudah sampai pada garis yang ditentukan oleh Hyang Maha Kuasa. Dalam hal ini meskipun di sabda sembuh (waras), penyakit menjadi sembuh namun umur telah sampai pada janji untuk diambil kembali oleh Hyang Maha Kuasa. Jadi ajal tak dapat dielakkan lagi. 

Apabila pada waktu ening kita lihat tanda–tanda/gegambaran seperti : pohon beringin, bunga mawar yang kembang (mekar) ini adalah petunjuk bahwa : si sakit akan sembuh.

Bagi mereka yang sakit lumpuh, atau badannya mati sebelah cara mengobatinya seperti yang diterangkan diatas, dan simpul–simpul tali rasa pada bagian tubuh yang sakit di uyeg (di guyar–guyar) dengan jari tengah tangan kanan. Kemudian disuruh menggerakkan tangan dan kakinya, dan akhirnya, di sabda “sembuh” (waras)!

TALI RASA

Manusia memiliki saluran rasa yang jalannya tali temali merupakan saluran–saluran yang disebut TALI RASA. Di beberapa tempat tali rasa/saluran –saluran rasa tersebut mewujudkan simpul, yaitu merupakan sentral setempat. 

Di seluruh tubuh ada 20 sentral/simpul tali rasa, dan ditandai dengn abjad atau aksara jawa sebagai berikut : 

Ha – di dagu (di tengah–tengah) Na – di tenggok (pangkal leher bawah muka, tempat di atas pertemuan tulang selangka). Ca – di atas tonjolan pertemuan kedua tulang rusuk yang nomor 2 (di dada). Ra – di cekungan di bawah tulang stenum (tulang dada tempat pertemuan lubang rusuk kecer hati). Ka – di pusat perut (Jawa : puser). Da – di tengah–tengah tulang kemaluan. Ta – di ujung tulang ekor. Sa – di tulang belakang tepat di belakang pusat perut. Wa – di bawah ujung tulang belikat (Jawa: entong–entong). La – di pundak (tonjolan ujung tulang belakang yang di atas) Pa – di tengah ketiak. Dha – di siku. Ja – di tengah–tengah pergelangan tangan bagian depan. Ya – di tengah–tengah telapak tangan (pangkal jari tengah) Nya – di susu kanan kiri. (bagi wanita di pangkal lipatan buah dada). Ma – di tengah–tengah pangkal paha. Ga – di tengah–tengah belakang lutut (lipatan lutut). Ba – di atas tumit aschiles bagian dalam. Tha – di tengah–tengah telapak kaki. Nga – di pangkal hidung (di tengah–tengah antara kedua kening)

Bila Warga Sapta Darma menolong mengobati/ menyembuhkan orang yang mati urat syarafnya seperti lumpuh, mati separo, setelah ening maka simpul–simpul tali rasa bagian tubuh yang lumpuh, tadi di uyeg–uyeg (di guyar–guyar) sambil ening, kemudian di sabda sembuh (waras).

RACUT

CARANYA : Setelah melakukan sujud wajib (sujud dasar), maka sujudnya ditambah lagi dengan satu bungkukan, yang diakhiri dengan ucapan di dalam batin : “HYANG MAHA SUCI MENGHADAP HYANG MAHA KUWASA.” Kemudian lalu berbaring dalam SIKAP ULAH RASA,hanya saja kedua tangan dilipat (bersedakep), tapak tangan kanan ditumpangakan (diletakan) di atas telapak tangan kiri menghadap ke bawah, dan diletakan di atas “CO” (=tonjolan pertemuan kedua tulang rusuk nomor dua di dada di bawah pertemuan kedua tulang selangka). Segala kegiatan pikiran da angan–angan dan sebagainya dihentikan, Satria Utama (mata satu yang tak dapat rusak) digunakan untuk menyaksikan berangkatnya Hyang Maha Suci (Nur Putih), keluar dari ubun–ubun menghadap Hyang Maha Kuasa.

Racut dapat memungkinkan seseorang dapat memiliki kewaskitaan yang tinggi. 

Racut ini tidak membahayakan, karena hanya Hyang Maha Suci saja yang meninggalkan jasmani sementara. 

Sedang 11 saudara yang lain masih tetap menjaga dalam tubuh (badan).

Rahasia Tehnik Sujud

 

Sujud dalam teknik ini bila didalami serta diteliti sungguh-sungguh adalah membimbing/menuntun jalannya air sari

Air sari atau air putih/suci berasal dari sari-sari bumi yang akhirnya menjadi bahan makanan yang dimakan manusia. Sari-sari makanan tersebut mewujudkan air sari yang tempatnya di tulang ekor (Jawa = Cetik/silit kodok/brutu). 

Bila bersatu padunya getaran sinar cahaya dengan getaran air sari yang merambat berjalan halus sekali di seluruh tubuh, menimbulkan daya kekuatan yang besar sekali, kekuatan ini disebut Atom Berjiwa yang ada pada pribadi manusia.

Daya/kekuatan ini berguna untuk :

Dapat memberantas kuman-kuman penyakit dalam tubuh.

Dapat menentramkan/menindas nafsu angkara murka.

Dapat mencerdaskan pikiran.

Meningkatkan Rejeki.

Dapat memiliki kewaskitaan, seperti kewaskitaan akan penglihatan, pendengaran, penciuman, tutur kata atau percakapan serta kewaskitaan rasa. 

Bila telah memusat di ubun-ubun akan mewujudkan Nur Putih. Akhirnya naik menghadap Hyang Maha Kuasa untuk menerima perintah-perintah/petunjuk yang berupa isyarat/kias seperti berupa gambaran, tulisan-tulisan (tulisan tanpa papan = sastra jendra hayuningrat).

Cara Melatihnya :

Duduk tegak menghadap ke timur (timur/kawitan/asal), artinya diwaktu sujud manusia harus menyadari/mengetahui asalnya. 

Bagi pria duduk bersila kaki kanan didepan kaki kiri. 

Bagi wanita bersimpuh. Namun diperkenankan mengambil sikap duduk seenaknya asal tidak meninggalkan kesusilaan dan tidak mengganggu jalannya getaran rasa.

Tangan bersidakep, yang kanan diluar dan yang kiri didalam.

Selanjutnya menentramkan badan dan pikiran, mata melihat ke depan ke satu titik yang terletak + satu meter dari posisi duduk. Kepala dan punggung (tulang belakang) segaris lurus.

Setelah merasa tenang dan tentram, serta adanya getaran (hawa) dalam tubuh yang berjalan merambat dari bawah ke atas, selanjutnya getaran rasa tersebut merambat ke atas sampai di kepala, karenanya lalu mata terpejam dengan sendirinya. 

Kemudian setelah ada tanda pada ujung lidah terasa dingin seperti kena angin (jawa = pating trecep) dan keluar air liurnya terus ditelan, lalu mengucap dalam batin :

ALLAH HYANG MAHA AGUNG

Bila Kepala sudah terasa berat, tanda bahwa rasa telah terkumpul di kepala. Hal ini menjadikan badan tergoyang dengan sendirinya. 

Kemudian di mulai dengan merasakan jalannya air suci (sari) yang ada di tulang ekor (jawa = brutu atau silit kodok). 

Jalannya air sari merambat halus sekali, naik seolah-olah mendorong tubuh membungkuk ke muka. 

Membungkuknya badan diikuti terus (bukan karena kemauan tapi karena rasa), sampai dahi menyentuh/menempel Bumi. Bawa energi bumi masuk tulang ekor mengalir melalui tulang belakang ke dahi. Setelah dahi menyentuh lantai dalam batin mengucap :

HYANG MAHA SUCI SUJUD HYANG MAHA KUASA (3 kali)

Ajaran Serat Sastra Jendra

 

Perguruan Orang Bercambuk Di Tepi Sungai Bengawan Solo. Puncak dari ilmu nusantara bersemayam dalam Sastra Jendra

Dikisahkan dalam pewayangan, bahwa piwulang / ajaran ini ( ajaran Sastrajendra ) sangat rahasia dalam pengajarannya, hingga hanya manusia yang diberi piwulang dan yang mengajar saja yang boleh mengetahui.

Ngelmu Sastra Jendra disebut pula sebagai ilmu sejati atau pengetahuan tentang rahasia seluruh semesta alam (fisik dan metafisik) beserta dinamikanya. Ngelmu Sastra Jendra adalah ilmu pengetahuan batin sebagai jalan untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Salah satu ilmu rahasia para dewata mengenai kehidupan di dunia adalah Serat Sastrajendra. 

Menurut para ahli sejarah, kalimat “Sastra Jendra” tidak pernah terdapat dalam kepustakaan Jawa Kuno. Tetapi baru terdapat pada abad ke-19 atau tepatnya tahun 1820. Naskah itu dapat ditemukan dalam tulisan karya Kyai Yasadipura dan Kyai Sindusastra dalam lakon Arjuna Sastra atau Lokapala. Kutipan dalam kitab itu diambil dari kitab Arjuna Wijaya pupuh Sinom pada halaman 26 yang berbunyi:

“Selain daripada itu, sungguh heran bahwa tidak seperti permintaan anak saya wanita ini, yakni barang siapa dapat memenuhi permintaan menjabarkan “Sastra Jendra hayuningrat” sebagai ilmu rahasia dunia (esoterism) yang dirahasiakan oleh Sang Hyang Jagad Pratingkah. Dimana tidak boleh seorangpun mengucapkannya, karena mendapat laknat dari Dewa Agung walaupun para pandita yang sudah bertapa dan menyepi di gunung sekalipun, kecuali kalau pandita mumpuni. Saya akan berterus terang kepada dinda Prabu, apa yang menjadi permintaan putri paduka. Adapun yang disebut Sastra Jendra Hayuningrat itu adalah pangruwat segala sesuatu, yang dahulu kala disebut sebagai ilmu pengetahuan yang tiada duanya, dan sudah tercakup ke dalam kitab suci (ilmu luhung = Sastra). Sastra Jendra itu juga sebagai muara atau akhir dari segala pengetahuan. Raksasa dan Diyu, bahkan juga binatang yang berada di hutan belantara sekalipun kalau mengetahui arti Sastra Jendra akan diruwat oleh Bhatara, matinya nanti akan sempurna, nyawanya akan berkumpul kembali dengan manusia yang “linuwih” (mumpuni), sedang kalau manusia yang mengetahui arti dari Sastra Jendra, maka nyawanya akan berkumpul dengan para Dewa yang mulia”

Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu berarti wejangan berupa mantra sakti untuk keselamatan dari unsur-unsur kejahatan di dunia. Wejangan atau mantra tersebut dapat digunakan untuk membangkitkan gaib “Sedulur Papat” yang kemudian diikuti bangkitnya saudara “Pancer” atau Sukma Sejati. Sehingga orang yang mendapatkan wejangan itu akan mendapat kesempurnaan, karena bisa menuntaskan ilmu Sedulur Papat Kalimo Pancer tingkat akhir.

Tataran tinggi pencapaian “ilmu batin/spiritual” dapat ditandai apabila kita dapat menjumpai wujud “Diri” kita sendiri, yang di sebut sebagai Diri Sejati, yang tidak lain adalah Guru Sejati kita. 

Lebih dari itu, kita dapat berdialog dengan Guru Sejati untuk mendengarkan nasehat-nasehatnya, petuah dan petunjuknya. Guru sejati berperan sebagai “Mursyid” Guru non fisik yang tidak akan pernah bicara omong kosong dan sesat, sebab Guru Sejati sejatinya adalah pancaran dari gelombang Yang Maha Suci. Di sana lah, kita sudah dekat dengan relung ’Sastra Jendra hayuning rat’ 

yakni ilmu linuwih, “ibu” dari dari segala macam ilmu, karena mata (batin) kita akan melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta

Ritual diadakan pada malam hari, sebaiknya pada hari Selasa atau Jumat kliwon, yang merupakan malam "suci" (keramat)  

Diperbarui setiap tiga puluh lima hari dan dianggap kondusif untuk kegiatan seremonial apapun.

Tingkat menengah terdiri dari dua aji . 

Bentuk Sri Candra Bhaerawa bertujuan - melalui puasa lengkap selama dua puluh empat jam dan berjalan jam dua belas malam disertai dengan meditasi dari guru - untuk menguduskan pernikahan, dalam dimensi supersensitif, dari praktisi dan seorang wanita muda yang dia impikan dengan cara sedemikian rupa sehingga dia mengalami ejakulasi. Dari pemupukan yang dimediasi ini lahirlah "anak cebol [immaterial]" (Bajang) yang melindungi rumah praktisi.

Pada malam-malam yang diterangi cahaya bulan, anggota badan melatih untuk "menggambar tubuh vital" (Ngraga Sukma) , sebuah praktik yang juga disebutkan dalam sastra klasik. 

Rumus  Patrap dan posisi khusus digunakan sehingga "tubuh vital" (sukma) terpisah dari "tubuh substansial" (raga) .

Pada tingkat tertinggi, wali sejati tingkat senior , yang seharusnya membuat praktisi kebal terhadap api, ditransmisikan kembali; bentuk Sari Sri Gamana , yang berkaitan dengan pengetahuan sebelumnya tentang panyuwunan Gineng dan terkait dengan "pengajaran kesempurnaan" (ngèlmu kasampurnan) , bertujuan untuk menarik Wahyu Illahi, sumber otoritas spiritual yang kehadirannya ditandai dengan Cahaya Kuning Emas di bagian atas tengkorak.

SastraJendra # SaJen

Serat Sastra Jendra Gondoyoni

Waktu-waktu terbentuknya mimpi ada tiga, yaitu titiyoni, gondoyoni dan puspatajem. Tetapi dalam kondisi sadar dan tidak tidur, kondisi-kondisi memasuki waktu-waktu tersebut bisa sangat berguna, sebagai contoh apabila telah memasuki jam Gondoyoni.

Di jam-jam itu, bagi yang terbiasa melekan akan mulai KLEBON SETAN (kemasukan setan), kumat edane dan mulai NGLAYUNG. Sebenarnya kondisi ngomong nglantur, pikiran seperti kosong di jam GONDOYONI itu justru jadi SEMA’AN di sesi NGRASUK.

Kenapa? Karena yang berbicara bukan lagi SADARNYA, melainkan BAWAH SADARNYA. Bawah Sadar Sang Kiai akan BERBICARA dengan Bawah Sadar para Cantrik. Apakah interupsi dilakukan pada saat target tidur?

Jam biologis adalah waktu tubuh yang otomatis mengeluarkan hormon-hormon tertentu, sehingga otak berada pada kondisi tertentu (theta). Jadi, kondisi tidur atau kondisi bangun sama saja.

Jam EMAS GONDOYONI ini terjadi antara pukul 01.30-02.00. Kenapa? Karena disaat itu aktifnya Sushumna.

Ilmu Gendam Gondoyoni. Bagi Anda yang mau menggendam pasangan untuk tunduk, lakukan di jam emas Gondoyoni ini.

Dan… bagi Anda yang mau menyedot jiwa pasangan Anda, Anda HARUS ADA di jam emas Gondoyoni ini.

Kalau untuk MEMBANGUN JIWA ANAK-ANAK kita, ini tekniknya…Pegang pipinya, atau elus kepalanya, dan katakan : “Adek/kakak, kalau sudah besar jadi Komisaris yang adil, bijaksana, kaya raya yang bermanfaat buat orang banyak dan sehat selalu ya…? Kakak/Adek, mau ya…? Lalu cium antara 2 alis…

Teknik kunci memasukkan Ilmu Gendam Gondoyoni sebagai berikut :

Gunakan Kalimat Tanya. Elus pipinya dan tanya sampai dia mengangguk. Ini kunci utamanya, ditanya sampai dia mengangguk.

Tetapi tekniknya akan sedikit berbeda jika Anda sudah menguasai pengetahuan AJI RAJAH KALACAKRA.

Anda cukup menyentuh kakinya, atau bahkan cukup memandangi wajahnya melalui foto atau sambil memegang benda-benda yang masih memiliki BAU TARGET.

Inilah mengapa disebut sebagai GONDOYONI yang artinya kekuatan GAIB yang menggunakan media BAU.

Anda secara langsung dapat melakukan INTERUPSI JARAK JAUH.

Inilah namanya Santet Cinta.

Jadi, bagaimana membentuk Jiwa seseorang yang tempatnya jauh dan mensugesti diri sendiri?

Berdoalah dengan doa-doa positif di antara jam 03.00 sampai dengan menjelang subuh.

Jika Anda bangun pukul 3 hingga 5 pagi, tandanya Tuhan sedang berusaha berbicara padamu. Jika Anda bangun di jam ini, maka dipercaya Tuhan sedang membimbingmu untuk jadi lebih baik.

SastraJendra # SaJen