Syaikh Siti Jenar


Pandangan Para Wali Tentang Makrifat adalah Sama, Adapun Catatan Belanda adalah Fitnahan Terhadap Para Wali.

Ceritanya :

1. " Adapun  Sinuhun Bonamg yang pertama - tama berbicara tentang kehadiran jati dirinya.

2. Lalu Syekh Siti Jenar menjawab : " Menurut hemat saya, iman tokid  (tauhid) dan
makrifat ialah mengetahui kesempurnaan diri. Bila orang membatasi diri sampai
pada makrifat, tandanya dia belum sempurna, sebab dia masih menyadari ada
bermacam - macam benda". Memang kalau belum sampai ke makrifat Dzat,
maka itu belumlah sempurna.

3.Si Nuhun Bonang berucap : " Kesempurnaan orang bermakrifat, ialah pandangan hilang,
tidak ada satupun lagi yang disebut wajah, kecuali wajah Allah. Dan mantaplah
Pangeran Agung yang disembah dengan yang menyembah", Lihat surat
Thaha 20 :14 

4. Syekh Siti Jenar berucap : " Kesempurnaan itu meliputi Pangeran. Maka
manusia tidaklah mempunyai ruang gerak, atau tidak bergerak, dia menjadi mati
sajroning urip ( mati suri ).  Lihat surat An Nisa 4:66

5. Sinuhun Bonang : " Menurut hemat kami, di akhirat tidak ada lagi iman tauhid dan
makrifat ",

6. Ya benar, sahut Syekh Siti Jenar : Yang ada Aku, tiada Tuhan selain Aku'
Surat  Thaha 20:14
" Sesungguhnya  hubungan antara kawula  dan Gusti terungkap dalam memuji dan
menyembah. Hal seperti itu di akhirat tentu tidak ada lagi. Kalau orang tidak memahami
Gusti, tentu dia tidak akan mengerti, maka tidaklah dapat disebut sempurna"

7. Sunan Gunung Jati  menyahut : " Yang disebut makrifat ialah memandang Pangeran
di Urang. Sehingga diluar dia tidak ada lagi yang disembah.
Allah Maha Esa, tidak dua, dan tidak tiga" Surat Al ikhlas ayat 1

8. Sunan Kalijaga berucap : "Arahkan pandangan kepada Tuhan tanpa ragu. Tetapi
bagaimana cara memandangnya, sebab Tuhan tidak berupa"

Inti pembicaraan mereka ialah Surat Thaha 20 ayat 41 :
" Aku memilih engkau untuk diriku "

Dan Surat Qaf 50 ayat 16 : " Kalau ada yang bertanya kepada engkau tentang Aku,
katakan bahwa aku dekat , bahkan lebih dekat dari urat lehernya "

Sesungguhnya manusia bukan saja sempurna, sebagaimana dikatakan oleh para Wali itu.
Manusia juga Wali Ikram yaitu mulia dan suci. Sebab didalam jasad yang sempurna
dibangun Allah dari tanah, maka kedalamnya diutus RohKu. Surat Al Hijr 15 ayat 29 dan
Surat As Sajadah 32 ayat 9.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembicaraan mereka merupakan Ukhuwah Bashariyah
dalam persaudaraan. Bertukar informasi / musyawarah tentang penyaksian.
Tetapi setelah diulas sana sini, maka menjadikan Syekh Siti Jenar dihukum penggal dihadapan
para Wali. Malah sebelum dihukum, terjadilah perang tanding tentang kesaktian.

Ini merupakan suatu analisa yang mengarah kepada politik pecah belah. Dengan menjelekkan
Syekh Siti Jenar, maka yang dipahami sesungguhnya adalah para Wali.
Seolah-olah para Wali tidak memahami hakekat diri. Yang sudah memiliki Rahman dan Rahim
dari Allah SWT. Sebab dengan menghukum Syekh Siti Jenar, maka orang bertarekat,
ahli tasawuf, dan dunia akan berfikir, apa para Wali itu tidak memahami keberadaan Allah
atas dirinya, sebagaimana disampaikan didalam Al Qur'an, Surat Thaha 20 : 46.
" Janganlah engkau takut, Aku ada bersamamu dimanapun engkau berada "

Cerita yang sangat menyedihkan dan tidak masuk akal ini di tulis oleh peneliti asing yang
kemudian diakui pula oleh sebagian besar diantara kita. Yang menjadi polemik adalah
Pandangan Asmaradana yang diuraikan oleh DR D Rinkes, De Heiligen van java.
Fragmen yang dikutipnya adalah tentang sidang para Wali. Masing - masing memaparkan
pandangan tentang kemakrifatan dan tauhid.
Dalam naskah lain agak mirip terdapat tulisan Tan Khoen Swie, kediri 1933.
Dari dua peneliti inilah Prof DR PJ Zoetmulder, SJ, mengupas dan menyampaikan
didalam bukunya yang sangat terkenal untuk mendiskriditkan para Wali. Dan pandangan itu
sangat mudah diterima oleh mereka yang tidak memahami terutama ayat-ayat yang telah
menjadi rujukan bagi seluruh para Wali di Nusantara kita ini.

Wallahu alam. Semoga Allah SWT slalu menyertai kita. Amin



Serat Mertasinga

“Tentang jalan yang akan Anda ambil, jangan berlebihan. Jalani hidup dengan kesederhanaan, jangan sombong jika berbicara, dan jangan berlebihan di depan orang lain. Itu adalah jalan yang benar.

Bermeditasi di gunung atau di dalam gua hanya menciptakan kesia-siaan. Meditasi sejati ada di tengah keramaian. Bersikaplah mulia dan maafkan orang yang melakukan kesalahan. Ini adalah satu-satunya jalan yang benar. ” (Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati, Naskah Mertasinga, dalam Sejarah Wali)

Paragraf ini dikutip dari makalah kuno “Mertasinga” yang merupakan ajaran Syekh Attaulah kepada Sunan Gunung Jati. Gunung Jati adalah salah satu dari “Wali Songo”, atau “Sembilan Orang Suci” dalam sejarah dakwah Islam di Jawa pada abad ke - 15 . Makalah tersebut diterjemahkan oleh Amman N. Wahjoe yang mewarisi dokumen ini dari ayahnya, yang diwariskan secara turun-temurun dalam keluarganya.

Wahjoe menerjemahkan makalah yang dulu disebut babad — yang aslinya ditulis dalam bahasa Jawa dan Sunda, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menjadi dokumen penting dalam mengungkap sejarah para wali di Jawa.

Dokumen atau makalah semacam ini tersebar di seluruh Indonesia. Mereka disebut babad, kawuh atau kinanti , dan ditulis dalam bahasa Sunda, Jawa atau kadang-kadang, bahasa Arab. Itu adalah dokumen sakral yang biasanya dianggap sebagai warisan eksklusif dalam sebuah keluarga dan diperlakukan sebagai jimat meskipun sebagian besar anggota keluarga tidak tahu artinya atau bahkan cara membacanya.

Ajaran kebijaksanaan Wali adalah harta yang dalam dalam tasawuf Islam. Salah satu contohnya adalah ajaran Sunan Kudus, salah satu Wali yang tinggal di kota Kudus, Jawa Tengah. Ia meminta masyarakat Kudus tidak menyembelih sapi, mentolerir kepercayaan masyarakat Hindi yang juga tinggal di sana. Sebagian masyarakat Kudus mengikuti ajaran tersebut hingga saat ini.

Salah satu sunan yang terkenal dengan pendekatan kreatifnya, yang ajarannya kaya dengan muatan lokal, adalah Sunan Kalijaga. Wali ini menggunakan pendekatan budaya untuk berdakwah. Salah satu warisannya yang terkenal di kalangan masyarakat Jawa adalah kisah setengah dewa Ruci (Dewa Ruci atau Deva Ru h-Su ci , Ruh Al-Quds, Ruh Suci-red.). Kisahnya adalah tentang Bima (salah satu saudara Pandawa) yang bertemu dengan setengah dewa Ruci yang memiliki penampilan yang sama dengannya, tetapi dalam skala miniatur. Pertemuan Bima dengan Dewa Ruci, melambangkan pertemuan manusia dengan Jiwanya sendiri.

Kisah Dewa Ruci, merupakan simbol yang sangat terkenal di antara harta karun tasawuf; bahwa setiap manusia harus bertemu dengan jiwanya sendiri untuk mengetahui misi hidupnya yang sebenarnya. Sayangnya, banyak masyarakat Jawa yang mementaskan dongeng setengah dewa Ruci dengan kulit / wayang kulit untuk menyucikan kondisinya tanpa mengetahui arti sebenarnya di balik dongeng tersebut.

Fakta lain yang sedikit mengejutkan adalah fakta sejarah bahwa sebagian besar wali adalah orang asing. 

Fakta bahwa orang asing datang khusus ke Jawa dan melakukan dakwah Islam adalah fakta yang menarik untuk dilacak. Mengapa mereka datang ke Jawa? Dan lebih-lebih, bagaimana mereka sebagai orang asing mampu menerjemahkan nilai-nilai Islam ke dalam nilai-nilai lokal, atau dengan kata lain berdakwah dalam bahasa rakyat?

Ini adalah misteri yang menuntut penelitian serius, tetapi dengan harta tasawuf mereka yang unik, para wali telah mengajari untuk menyembah Tuhan dengan penyerahan diri yang sederhana; apa lagi arti Islam selain penyerahan total kepada Tuhan?

Serat Syaikh Siti Jenar

Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri.

Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat panca indera.

Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan lenyap. Gila lah orang yang terikat padanya, tidak seperti Syeh Siti Jenar. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang aku usahakan, ialah kembali kepada kehidupan.

Dalam disertasi filsafat ini Zoetmulder menekankan, bahwa dengan teks semacam ini Syekh Siti Jenar dan murid-muridnya telah ditafsirkan memberi kesan seolah-olah Tuhan itu tidak ada, padahal, “Menurut hemat kami ucapan-ucapan serupa hendaknya ditafsirkan sebagai sebuah polemik serta penolakan terhadap ide mengenai seorang Tuhan yang berpribadi; sebaliknya Siti Jenar mengetengahkan ide mengenai suatu Jiwa Semesta, ia manunggal dengan Hyang Suksma, manunggal dengan hidup yang tunggal, yakni dirinya sendiri.”

Syekh Siti Jenar begitu sering dihubung-hubungkan dengan al-Husain ibnu Mansur al-Hallaj atau singkatnya Al-Hallaj sahaja, sufi Persia abad ke-10, yang sepintas lalu ajarannya mirip dengan Siti Jenar, karena ia memohon dibunuh agar tubuhnya tidak menjadi penghalang penyatuannya kembali dengan Tuhan. Adalah Al-Hallaj yang karena konsep satunya Tuhan dan dunia mengucapkan kalimat, “Akulah Kenyataan Tertinggi,” yang menjadi alasan bagi hukuman matinya pada 922 Masehi di Baghdad. Seperti Syekh Siti Jenar pula, nama Al-Hallaj menjadi monumen keberbedaan dalam penghayatan agama, sehingga bahkan diandaikan bahwa jika secara historis Syekh Siti Jenar tak ada, maka dongengnya adalah personifikasi saja dari ajaran Al-Hallaj, bagi yang mendukung maupun yang menindas ajaran tersebut. Tepatnya persona Syekh Siti Jenar memang dihidupkan untuk dimatikan.

Namun karena penelitiannya tentang segenap pengaruh terhadap sastra suluk Jawa, Zoetmulder berpendapat lain tentang ajaran Syekh Siti Jenar. “Jelaslah betapa besar pengaruh dari ide-ide India. Pengaruh itu tampak juga dari sikap terhadap nilai dan kenyataan dunia, yang dianggap hanya suatu permainan pancaindera, sebuah impian, segalanya hanya bersifat semu dan tak ada sesuatu yang nyata, suatu godaan, sebuah sulapan yang menimbulkan keinginan manusia dan dengan demikian mengurungnya. Singkatnya, di mana-mana kita mengenal kembali pandangan dari India.

“Akhirnya, juga kematian Siti Jenar – menurut logatnya sendiri, masuknya ke dalam kehidupan -seperti dilukiskan dalam versi yang kami bahas di sini, bernafaskan suasana India. Dengan menutup sendiri semua pintu dengan dunia luar ia membiarkan nafas kehidupan keluar dari badannya yang lalu mempersatukan diri dengan Sukma semesta. Dalam segala uraian ini hanya sedikit sekali pengaruh dari dunia Islam, sekalipun kadang-kadang disebut sebuah kutipan dalam bahasa Arab sekadar bahan pendukung. Sebaliknya menonjol sekali, betapa ajaran ini serasi dengan suatu bagian dari Arjunawiwaha yang melukiskan bagaimana Bhatara Indra dalam wujud seorang resi tua menyampaikan ajaran kesempurnaan kepada Arjuna yang sedang bertapa.

“Bila akhirnya tokoh Siti Jenar kita bandingkan dengan apa yang kita ketahui mengenai Al-Hallaj, maka tampak, bahwa keserasian hanya berkaitan dengan beberapa sifat dari kisah itu, tetapi kesamaan dalam hal ajaran jarang kita jumpai.”

Setelah menguraikan konsep ajaran Al-Hallaj yang dirujuknya dari peneliti sufisme terkenal Louis Massignon, hanya satu hal dianggap Zoetmulder agak mirip, yakni tentang permintaan maaf telah mengungkap rahasia ilahi (ifsa-al-asrar) – itu pun menurutnya Siti Jenar tidak minta maaf. Dijelaskannya, “Tidak mengherankan, bahwa dalam ajaran Siti Jenar tak terdapat bekas-bekas ajaran otentik Al-Hallaj.”

Ia pun merumuskan, “Perbedaan pokok antara kedua tokoh itu ialah Al-Hallaj selalu ditampilkan sebagai seorang sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, sedangkan dalam diri Siti Jenar sifat tadi hampir tidak tampak. Siti Jenar terutama dikisahkan sebagai seorang yang mandiri, akal bebas yang tidak menghiraukan raja maupun hukum agama; tak ada sesuatu pun yang menghalanginya menarik kesimpulan dari ajarannya. Dengan demikian ia menjadi wali yang paling digemari rakyat dan yang riwayatnya masih hidup di tengah-tengah orang Jawa.”

Serat Syaikh Siti Jenar Lanjutan

 

Sesungguhnya Ingsun (saya) inilah Allah. Nyata Ingsun yang sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak ada lain kesejatiannya yang disebut Allah.

Jika ada seseorang manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain Allah, maka ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.

Allah itu adalah keadaanku, lalu mengapa kawan-kawanku sama memakai penghalang? Dan sesungguhnya aku ini adalah haq Allah pun tiada wujud dua; saya sekarang adalah Allah, nanti Allah, dzahir bathin tetap Allah, kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung?.

Sebenarnya keberadaan dzat yang nyata itu hanya berada pada mantapnya tekad kita, tandanya tidak ada apa-apa, tetapi harus menjadi segala niat kita yang sungguh-sungguh.

Saya ini adalah Tuhan. Ya, betul betul saya ini adalah Tuhan yang sebenarnya, bergelar Prabu Satmata, ketahuilah bahwa tidak ada tuhan yang lain selain saya.

Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan. Sedangkan bangkai itu selamanya tidak ada. Adapun yang dibicarakan sekarang adalah ilmu yang sejati yang dapat membuka tabir kehidupan. Dan lagi semuanya sama. Tidak ada tanda secara samar-samar, bahwa benar-benar tidak ada perbedaan yang bagaimanapun, saya akan tetap mempertahankan tegaknya ilmu tersebut.

Bahwa sesungguhnya, lafadz Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak akan membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji. Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan Muhammad Rasulullah.

Padahal sifat kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah. Lain jika kita sejiwa dengan Dzat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, Maha Sakti dalam syarak, menjelajahi alam semesta. Dia itu pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat wahdahniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia  abadi mengembara melebihi peluru atau anak sumpit, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun, bukan pula kehendak tanpa tujuan. Dia itu yang bersatu padu dengan wujud saya. Tiada susah payah, kudrat dan kehendak-Nya, tiada kenal rintangan, sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya kearif-bijaksanaan saya menjumpai ia sudah ada di sana.

Syeikh Lemah Abang namaku, Rasulullah ya aku sendiri, Muhammad ya aku sendiri, Asma Allah itu sesungguhya diri ku, ya akulah yang menjadi Allah ta’ala.

Jika Anda menanyakan di mana rumah Tuhan, maka jawabnya tidaklah sukar. Allah berada pada Dzat yang tempatnya tidak jauh, yaitu berada dalam tubuh manusia. Tapi hanya orang yang terpilih saja yang bisa melihatnya.

Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya Ingsun ini kesejahteraan kehidupan, engkau sejatinya Allah, ya Ingsun sejatinya Allah; yakni wujud yang berbentuk itu sejati itu sejatinya Allah, sirr (rahasia) itu Rasulullah, lisan (pengucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sirr Allah, rasa Allah, rahasia rasa kesejatian Allah, ya Ingsun (aku) ini sejatinya Allah.

Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri, tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka duka pun musnah karena tidak diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan itu berdiri sendiri.

Dzat wajibul maulana adalah yang menjadi pemimpin budi yang menuju ke semua kebaikan. Citra manusia hanya ada dalam keinginan yang tunggal. Satu keinginan saja belum tentu dapat dilaksanankan dengan tepat, apalagi dua, cobalah untuk memisahkan Dzat wajibul maulana dengan budi, agar supaya manusia dapat menerima keinginan yang lain.

Hyang Widi, kalau dikatakan dalam bahasa di dunia ini adalah baka bersifat abadi, tanpa antara tiada erat dengan sakit apapun rasa tidak enak, ia berada baik disana, maupun di sini, bukan ini bukan itu. Oleh tingkah yang banyak dilakukan dan yang tidak wajar, menuruti raga, adalah sesuatu yang baru.

Gagasan adanya badan halus itu mematikan kehendak manusia. Di manakah adanya Hyang Sukma, kecuali hanya diri pribadi. Kelilingi lah cakrawala dunia, membubung lah ke langit yang tinggi, selamilah dalam bumi sampai lapisan ke tujuh, tiada ditemukan wujud yang mulia.

Kemana saja sunyi senyap adanya; ke Utara, Selatan, Barat, Timur dan Tengah, yang ada di sana hanya adanya di sini. Yang ada di sini bukan wujud saya. Yang ada dalam diriku adalah hampa dan sunyi. Isi dalam daging tubuh adalah isi perut yang kotor. Maka bukan jantung bukan otak yang pisah dari tubuh, laju pesat bagaikan anak panah lepas dari busur, menjelajah Mekkah dan Madinah.

Saya ini bukan budi, bukan angan-angan hati, bukan pikiran yang sadar, bukan niat, bukan udara, bukan angin, bukan panas, dan bukan kekosongan atau kealpaan. Wujud saya ini jasad, yang akhirnya menjadi jenazah, busuk bercampur tanah dan debu. Napas saya mengelilingi dunia, tanah, api, air, dan udara kembali ke tempat asalnya, sebab semuanya barang baru bukan asli.

Maka saya ini Dzat sejiwa yang menyatu, menyukma dalam Hyang Widi. Pangeran saya bersifat Jalal dan Jamal, artinya Maha Mulia dan Maha Indah. Ia tidak mau sholat atas kehendak sendiri, tidak pula mau memerintah untuk shalat kepada siapapun. Adapun shalat itu budi yang menyuruh, budi yang laknat dan mencelakakan, tidak dapat dipercaya dan dituruti, karena perintahnya berubah-ubah. Perkataannya tidak dapat dipegang, tidak jujur, jika dituruti tidak jadi dan selalu mengajak mencuri.

Syukur kalau saya sampai tiba di dalam kehidupan yang sejati. Dalam alam kematian ini saya kaya akan dosa. Siang malam saya berdekatan dengan api neraka. Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas dari alam kematian. Saya akan hidup sempurna, langgeng tiada ini dan itu.

Menduakan kerja bukan watak saya. Siapa yang mau mati dalam alam kematian orang kaya akan dosa. Balik jika saya hidup yang tak kekal ajal, akan langgeng hidup saya, tidak perlu ini dan itu. Akan tetapi saya disuruh untuk memilih hidup atau mati saya tidak sudi. Sekalipun saya hidup, biar saya sendiri yang menentukan.

Betapa banyak nikmat hidup manfaatnya mati. Kenikmatan ini dijumpai dalam mati, mati yang sempurna teramat indah, manusia sejati adalah yang sudah meraih ilmu. Tiada dia mati, hidup selamanya, menyebutnya mati berarti syirik, lantaran tak tersentuh lahat, hanya beralih tempatlah dia memboyong kratonnya.

Aku angkat saksi dihadapan Dzat-KU sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku. Dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-KU, sesungguhnya yang disebut Allah adalah Ingsun (aku) diri sendiri. Rasul itu rasul-KU, Muhammad itu cahaya-KU, aku Dzat yang hidup yang tak kena mati, Akulah Dzat yang kekal yang tidak pernah berubah dalam segala keadaan. Akulah Dzat yang bijaksana tidak ada yang samar sesuatupun, Akulah Dzat Yang Maha Menguasai, Yang Kuasa dan Yang Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang benderang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanyalah aku yang meliputi sekalian alam dengan kudrat-Ku.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah keberadaan Allah. Disebut Imannya Iman.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah tempat manunggalnya Allah. Disebut Imannya Tauhid.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah sifatnya Allah. Disebut Imannya Syahadat.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kewaspadaan Allah. Disebut Imannya Makrifat.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah menghadap Allah. Disebut Imannya Shalat.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kehidupannya Allah. Disebut Imannya Kehidupan.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kepunyaan dan keagungan Allah. Disebut Imannya Takbir.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, sebab engkau adalah pertemuan Allah. Disebut Imannya Sadekah.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah kesucian Allah. Disebut Imannya Kematian.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, sebab engkau adalah wadahnya Allah. Disebut Imannya Junub.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah bertambahnya nikmat dan anugrah Allah. Disebut Imannya Jinabat.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah asma Nama Allah. Disebut Imannya Wudlu.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah ucapan Allah. Disebut Imannya Kalam.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah juru bicara Allah. Disebut Imannya Akal.

Janganlah ragu dan janganlah menyekutukan, karena engkau adalah wujud Allah, yaitu tempat berkumpulnya seluruh jagad alam mayapada, dunia akhirat, surga neraka, arsy kursi, loh kalam, bumi langit, manusia, jin, iblis laknat, malaikat, nabi, wali, orang mukmin, nyawa semua, itu berkumpul di pucuknya jantung, yang disebut alam khayal (ala al-khayal). Disebut Imannya Nur Cahaya.

Yang disebut kodrat itu yang berkuasa, tiada yang mirip atau yang menyamai. Kekuasaannya tanpa piranti, keadaan wujudnya tidak ada baik luar maupun dalam merupakan kesatuan, yang beraneka ragam.

Iradat artinya kehendak yang tiada membicarakan, ilmu untuk mengetahui keadaan, yang lepas jauh dari panca indra bagaikan anak panah lepas dari busur .

Inilah maksudnya syahadat: Asyhadu berarti jatuhnya rasa, Ilaha berarti kesetian rasa, Ilallah berarti bertemunya rasa, Muhammad berarti hasil karya yang maujud dan Pangeran berarti kesejatian hidup.

Mengertilah bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tahu maka sakaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan.

Syahadat Allah, Allah badan lebur menjadi nyawa, nyawa lebur menjadi cahaya, cahaya lebur menjadi roh, roh lebur menjadi rasa, rasa lebur sirna kembali kepada yang sejati, tinggalah hanya Allah semata yang abadi

Syahadat Aning Ingsun, Asyhadu keberadaan-KU, La Ilaha bentuk wajahku, Ilallah Tuhanku, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Aku, yaitu badan dan nyawa seluruhnya.

Syahadat Panetap Panatagana yaitu, yang menjadi bertempatnya Allah, menghadap kepada Allah, bayanganku adalah roh Muhammad, yaitu sejatinya manusia, yaitu wujudnya yang sempurna.

Kenikmatan mati tak dapat dihitung, tersasar, tersesat, lagi terjerumus, menjadikan kecemasan, menyusahkan dalam patihnya, justru bagi ilmu orang remeh…..

Segala sesuatu yang wujud, yang tersebar di dunia ini, bertentangan dengan sifat seluruh yang diciptakan, sebab isi bumi itu angkasa yang hampa.

Shalat lima kali sehari adalah pujian dan dzikir yang merupakan kebijaksanaan dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang dimiliki.

Pada permulaan saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang, kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak, lain dengan Dzat Maha yang bersama diriku, jadi.., saya inilah Yang Maha Suci, Dzat Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat dibayangkan.

Syahadat, shalat, dan puasa itu adalah amalan yang tidak diinginkan, oleh karena itu tidak perlu dilakukan. Adapun zakat dan naik haji ke Makkah, keduanya adalah omong kosong. Itu semua adalah palsu dan penipuan terhadap sesama manusia. Menurut para ulama bila manusia melakukannya maka dia akan dapat pahala itu adalah omong kosong, mereka adalah orang yang tidak tahu.

Tiada pernah saya menuruti perintah budi, bersujud-sujud di masjid mengenakan jubah, pahalanya besok saja, bila dahi sudah menjadi hitam, rambut memutih. Sesungguhnya hal itu tidak masuk akal. Di dunia ini semua manusia adalah sama. Mereka semua mengalami suka duka, menderita sakit dan duka nestapa, tiada bedanya satu dengan yang lain. Oleh karena itu saya, Siti Jenar, hanya setia pada satu hal, saja, yaitu Gusti Dzat Maulana.

Gusti Dzat Maulana. Dialah yang luhur dan sangat sakti, yang berkuasa Maha Besar, lagi pula memiliki dua puluh sifat, kuasa atas segala kehendak-Nya. Dialah Maha Kuasa pangkal mula segala ilmu, Maha Mulia, Maha Indah, Maha Sempurna, Maha Kuasa, Rupa warna-nya tanpa cacat, seperti hamba-Nya. Di dalam raga manusia ia tiada tanpak. Ia sangat sakti menguasai segala yang terjadi, dan menjelajahi seluruh alam semesta, Ngindraloka.

Hyang Widi, wujud yang tak tampak oleh mata, mirip dengan ia sendiri, sifat-sifatnya mempunyai wujud, sperti penampakan raga yang tiada tanpak. Warnanya melambangkan keselamatan, tetapi tanpa cahaya atau teja, halus, lurus terus menerus, menggambarkan kenyataan tiada dusta, ibaratnya kekal tiada bermula, sifat dahulu yang meniadakan permulaan, karena asal diri pribadi.

Mergertilah bahwa sesungguhnya ini syahadat sakarat, jika tidak tahu maka sekaratnya masih mendapatkan halangan, hidupnya dan matinya hanya seperti hewan.

Syekh Siti Jenar mengetahui benar di mana kemusnahan anta ya mulya, yaitu Dzat yang melanggengkan budi, berdasarkan dalil rama itu, ialah dalil yang dapat memusnahkan beraneka ragam selubung, yaitu dapat lepas bagaikan anak panah, tiada dapat diketahui di mana busurnya. Syari’at, tarekat, hakekat, dan ma’rifat musnah tiada terpikirkan. Maka sampailah Syekh Siti Jenar di istana sifat yang sejati.

Kematian ada dalam hidup, hidup ada dalam mati. Kematian adalah hidup selamanya yang tidak mati, kembali ke tujuan dan hidup langgeng selamanya, dalam hidup ini ada surga dan neraka yang tidak dapat ditolak oleh manusia. Jika manusia masuk surga berarti ia senang, bila manusia bingung, kalut, risih, muak, dan menderita berarti ia masuk neraka. Maka kenikmatan mati tak dapat dihitung.

Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan panca indera. Panca indera ini merupakan barang pinjaman, yang jika sudah diminta oleh yang mempunyai, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis. Oleh karena itu panca indera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup. Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari panca indera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat menjadi gila, sedih, bingung, lupa, tidur dan sering kali tidak jujur. Akal itu pula yang siang malam mengajak kita berbuat dengki, bahkan merusak kebahagiaan orang lain. Dengki juga akan menimbulkan kejahatan, kesombongan yang pada akhirnya membawa manusia ke dalam kenistaan dan menodai citranya. Kalau sudah sampai sedemikian parahnya, biasanya manusia baru menyesali perbuatannya.

Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, dan sumsum bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya. Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga. Meskipun badan Anda, ditutupi akhirnya kena debu juga. Tetapi jika penampilan bentuknya seperti Tuhan, apakah para wali dapat membawa pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini adalah baru. Tuhan tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat tatanan baru.

Segala sesuatu yang terjadi di alam ini pada hakekatnya adalah perbuatan Allah. Berbagai hal yang dinilai baik maupun buruk pada hakekatnya adalah dari Allah juga. Jadi sangat salah besar bila ada yang menganggap bahwa yang baik itu dari Allah dan yang buruk adalah dari selain Allah. Oleh karena itu Af’al Allah harus dipahami dari dalam dan dari luar diri manusia. Misalnya saat manusia menggoreskan pensil, di situlah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yang dipancarkan oleh Allah kepada makhluk-Nya, yaitu kemampuan gerak pensil. Tanah yang terlempar dari tangan seseorang itu adalah berdasar kemampuan kodrati gerak tangan seseorang, ”maksudnya bukanlah engkau yang melempar, melainkan Allah yang melempar ketika engkau melempar.

Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yang cepat juga akan menjadi rusak dan bercampur tanah. Ketahuilah juga bahwa apa yang dinamakan kawulo-gusti tidak berkaitan dengan seorang manusia biasa seperti yang lain-lain. Kawulo dan Gusti itu sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-gusti itu belaku, yakni selama saya mati. Nanti kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawulo lenyap, yang tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam Anda sendiri. Bial kamu belum menyadari kata-kataku, maka dengan tepat dapat dikatakan bahwa kamu masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang terdapat banyak hiburan yang bermacam warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat panca indera. Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan cepat lenyap. Gila saja orang yang terikat padanya. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian, satu-satunya yang ku usahakan ialah kembali kepada kehidupan

Bukan kehendak, angan-angan, bukan ingatan, pikir atau niat, hawa nafsupun bukan, bukan juga kekosongan atau kehampaan, penampilanku bagai mayat baru, andai menjadi gusti jasadku dapat busuk bercampur debu, nafsu terhembus ke segala penjuru dunia, tanah, api, air kembali sebagai asalnya, yaitu kembali menjadi baru.

Bumi, langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia. Manusialah yang memberi nama. Buktinya sebelum saya lahir tidak ada.

Kehilangan adalah kepedihan. Berbahagialah engkau, wahai musafir........ yang tidak memiliki apa-apa maka tidak akan pernah kehilangan apa-apa.

Gus Dur Tentang Syaikh Siti Jenar


Gus Dur, ketika memberikan kata pengantar buku yang ditulis Alwi Shihab. Khususnya tentang ajaran wahdatul wujud yang dianut oleh Syekh Siti Jenar. Alwi Shihab yang mengatakan bahwa penyebaran Islam di Nusantara, yang dilakukan oleh para ulama pesantren dengan menggunakan pendekatan Tasawuf Sunni, sebagai pegangan penyebaran agama Islam, beberapa abad lalu. Adalah bentuk dakwah mereka dalam melawan kaum kebatinan, yang dalam budaya Jawa dikenal dengan nama Kejawen.

Sebagai bukti sejarah atas penentangan tersebut, disebutkan oleh Alwi Sihab bahwa Syekh Siti Jenar sebagai seorang yang menyimpang dari tasawuf sunni, karena mengamalkan paham wahdatul wujud. Sehingga karena hal tersebut, Syekh Siti Jenar dihukum mati oleh para Wali Songo. Dan mereka yang mengikuti pandangan Syekh Siti Jenar, pada akhirnya mengembangkan paham kebatinan atau kejawen.

Tetapi Gus Dur menolak anggapan tersebut, hal itu didasari karena memang sejarah hukuman mati Syekh Siti Jenar mempunyai banyak tafsir yang berbeda-beda. Jika Alwi Shihab menganggap bahwa para ulama Nusantara menentang paham kebatinan atau kejawen. Maka para ulama tersebut telah menentang salah satu bentuk dari wahdatul wujud (pantheisme/manunggaling kawulo gusti).

Dalam hal tersebut, Gus Dur mempunyai pandangan bahwa hukuman mati yang dijatuhkan oleh Wali Songo kepada Syekh Siti Jenar, bukan karena beliau berpaham Wahdatul Wujud. Tetapi karena beliau mengajarkan Wahdatul Wujud kepada banyak orang, termasuk orang awam. Gus Dur beranggapan bahwa dosa Syekh Siti Jenar bukan pada penerimaannya tentang Wahdatul Wujud, tetapi Karena terlalu gegabah dalam mengajarkan paham tersebut dikalangan orang banyak.

Gus Dur yang lahir dari akar tradisi pesantren, dan mengetahui seluk beluk kultural ulama Nusantara. Dan beranggapan bahwa ulama tradisionalis Indonesia, banyak yang mengambil ajaran Wahdatul Wujud, tetapi untuk dirinya sendiri. Hal itu dikarenakan mereka telah menguasai syariat atau fikih. Para ulama tradisional Indonesia menolak penyebaran Wahdatul Wujud dikalangan awam, tetapi bagi kepentingan diri sendiri banyak para ulama yang sudah pada Maqomnya mengamalkan itu, dan mereka menjalankan amalan itu secara tertutup.

Salah satu ajaran Wahdatul Wujud yang digunakan adalah Wahdatul Syuhud. Sebuah ajaran untuk mengetahui sesuatu yang belum terjadi, atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan Weruh Sedurunge Winarah.

Syaikh Siti Jenar

Sosoknya akan selalu diliputi misteri. Abadi. Tapi ajarannya –yang lebih menekankan pada suara hati dibanding praktek-praktek fikih – diam-diam banyak dihayati. 

Syaikh Lemahabang bisa mati. Terbunuh. Tapi tidak untuk ajaran rahasia, Manunggaling Kawula Gusti, Tuhan telah menyatu dalam diri kita, yang diwariskannya itu. 

Meski dipanggil seratus orang wali, aku tak mau datang, aku bukan abdi mereka, aku tak diperintah mereka. Wali dengan aku sama –daging berujud bangkai. Sebentar busuk jadi tanah. Aku tak bisa didesak oleh santri yang bodoh dan senang menipu orang, oleh mereka yang mengaku dekat dengan Tuhan, dan tak tahu citra diri sendiri adalah bangkai. Mereka yang berkeliaran mengumbar ilmu kepada setiap orang yang suka ditipu. Mereka yang menyuruh orang untuk sembahyang di Masjid Demak, yang mereka sebut rumah Allah. Itu bohong belaka. Aku dulu ikut salat di sana, aku amat menyesal. Tapi itu kulakukan karena belum menyadari hakikat diri. Sekarang dapat kukatakan…

Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tak bisa memisahkan ku dari mereka. Tapi hanya saat ini nama kawula-gusti berlaku, selagi aku mati. Nanti, bila aku hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri. Di sana tak dikenal kematian dan perasaan sedih. Yang ada hanya kenikmatan kekal abadi. Itulah mengapa aku sekarang merasa menderita, sebab berada di alam kematian (dunia ini) dekat surga-neraka.

Hai Pangeran Bayat, bila kau belum mengerti kebenaran dari kata-kataku, bisa dikatakan kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini (dunia) memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Kau tak lihat itu hanya akibat panca indera?

Itu hanya impian, dan sama sekali tak mengandung kebenaran, sebentar lenyap. Gila saja orang yang terikat padanya, tak seperti Syaikh Siti Jenar. Aku tak tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang ku usahakan ialah kembali kepada kehidupan.

Tuhan dalam diri

Hidup bermula dari sepi

Kematian datang di tengah suara ramai.

Yang Ilahi telah bermukim dalam diri. Bukannya di langit tinggi.”Di mana Tuhan jika tidak di dalam diri,” kata Lemahabang. “Kelilingi lah dunia, terbang lah hingga langit lapis ketujuh, kamu tetap tidak akan menemukan Tuhan.”

Belum cukup. Kita dapati ucap Lemahabang lainnya yang disebut wejangan sasahidan.

Saya inilah sebenar-benarnya Allah

Allah adalah badan saya

Rasul itu rahasia saya

Muhammad itu cahaya saya

Saya tak kenal maut

Saya tak mengenal lupa, dan kekal selamanya

Saya mengetahui segala gerak-gerik dan tingkah laku makhluk-Nya

Saya tak pernah salah, Maha Melihat dan Maha Memutuskan

Saya yang meliputi seluruh alam semesta

Syaikh Lemahabang inilah Allah sesungguhnya.

Dalam kisahnya yang paling tersebar luas, Syaikh Lemahabang diceritakan, ia tidak menganggap penting segala tertib, ia mencibir syariat. Baginya: syahadat, salat, zakat, puasa dan haji itu hal-hal yang tak perlu. Omong kosong itu. 

Hanya orang bodoh yang percaya, karena terus berharap surga dari sana. Tak ada guna lagi salat kita. Itu hanya basa-basi belaka. Suatu kesia-siaan. Hidup kita tak dihabiskan demi itu.

Banyak orang tampak khusyuk salatnya, bibirnya terus berucap doa. Tapi hatinya tetap saja memikirkan dunia. Ia membuat tamsil untuk iman yang lembek seperti itu “Islamnya ibarat kelapa, dan hanya makan serabutnya. Padahal yang nikmat adalah buah dan airnya.”

Syaikh Lemahabang seperti ingin menegaskan kepada orang yang merasa dirinya suci bahwa inti kebahagiaan ditemukan dalam sikap menyerah secara mutlak. Bukan sekian ibadah yang membikin muak. 

Dan yang lebih merisaukan ialah kecamannya kepada konsep Tuhan yang berjarak. Bagi Syaikh Lemahabang, Tuhan tak lagi dipandang sebagai Dia yang terlampau jauh, tak terhampiri, melainkan Dia yang tak berjarak.

“Aku ingin tahu kebenaran,” katanya. “Syahadat, salat, puasa, dan zakatku belum cukup sebagai Muslim.”

Ajaran Syaikh Siti Jenar tentang 'ADA'

Lantas, ajaran macam apa sebetulnya, yang dianggap “benar tapi berbahaya”, sehingga penyebarnya begitu patut menerima hukuman mati dalam pandangan Walisanga?

Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari mereka. Tetapi hanya saat ini nama kawula-gusti itu berlaku, yakni selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri.

Hai Pangeran Bayat, bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dengan tepat dapat dikatakan, bahwa kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Tetapi kau tidak melihat, bahwa itu hanya akibat pancaindera.

Itu hanya impian yang sama sekali tidak mengandung kebenaran dan sebentar lagi akan lenyap. Gilalah orang yang terikat padanya, tidak seperti Syeh Siti Jenar. Saya tidak merasa tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan, ialah kembali kepada kehidupan.

Pada akhirnya.. kembali pada kehidupan

Perbedaan pokok antara kedua tokoh itu ialah Al-Hallaj selalu ditampilkan sebagai seorang sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, sedangkan dalam diri Siti Jenar sifat tadi hampir tidak tampak. Siti Jenar terutama dikisahkan sebagai seorang yang mandiri, akal bebas yang tidak menghiraukan raja maupun hukum agama; tak ada sesuatu pun yang menghalanginya menarik kesimpulan dari ajarannya.

Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti, akan tetapi sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah intelektual yang sudah mendapatkan esensi Islam itu sendiri.

Wirid Syeh Siti Jenar,

Kehidupan adalah perpanjangan tangan Tuhan

Ngurub-urip utusan gusti

Keadaan segala kehidupan wajah Tuhan

Métu urub dating gusti

Tuhan berkehendak dalam hati

Gusti obah sakjeruning ati

Tuhan berkehendak dalam kehidupan

Gusti obah sakjeruning urip

Kehendak rasa adalah rasa kebenaran

Nyipto roso, roso sejati

Kebenaran rasa semoga menyatu dalam sanubari

Sejatining roso manunggalo marang siro.

Dalam Serat Dharmagandul dikisahkan bahwa konon Sabdapalon akan datang kembali bersama agama budi-nya yang 500 tahun sempat tersisih oleh agama Islam. Hal ini senada pula dengan Serat Jangka Seh Bakir yang pernah menyatakan bahwa umur tanah Jawa adalah selama 2100 tahun. Serat Jangka Seh Bakir sendiri mengisahkah pertemuan antara Syekh Subakir dengan Dahyang pulau Jawa: Semar dan Togog.

Lebih lanjut Sunan Bonang berkata, “Kesempurnaan orang yang telah sempurna makrifatnya, pandangannya akan hilang lenyap, tidak ada yang dilihat, ia menjadi penglihatan Tuhan yang Mahaagung, yang menyembah menjadi Yang Disembah. Semua kehendaknya hilang karena ia sudah diliputi Yang Maha Berkehendak. Tidak ada gerak yang disengaja sebagai pribadi karena diri telah menjadi buta, tuli, dan bisu, semua lenyap. Semua gerak berasal dari Allah.”

Sinuhun Majagung memaparkan ilmunya, “Menurut pendapat kami, di akhirat tidak ada lagi yang disebut iman, tauhid, dan makrifat. Semua itu hanya ada di sini (dunia); di akhirat sudah tidak ada lagi. Hubungan yang sejati antara kawula dengan Gusti terungkap dalam memuji dan menyembah. Perbuatan serupa itu di akhirat tidak ada lagi. Bila orang tidak beriman dan tidak mengenal ilmu sejati, dia tidak berkembang menjadi manusia sempurna.

Sunan Gunung Jati membabar ilmu sebagai berikut, “Yang disebut makrifat ialah memandang Tuhan sedemikian rupa, sehingga di luar Dia tidak ada lagi sesuatu. Tidak ada dua atau tiga. Allah hanya Tunggal.”

Sunan Kalijaga berkata, “Arahkan perhatianmu kepada yang berikut tanpa ragu-ragu. Manusia harus memandang Tuhan, tetapi bagaimana cara memandang-Nya, karena Tuhan tidak memiliki rupa, tidak bertempat dan tidak berwarna, tidak berwujud dan tidak terikat tempat (maqam) dan waktu (zaman). Sebenarnya, ada-Nya ialah tiada, tetapi andaikata Dia memang tidak ada, maka alam raya tentu jadi kosong dan tidak ada.”

Syekh Bentong membabar ilmunya pula, “Yang disebut Allah sebetulnya tidak berbeda dengan kawula yang merupakan manifestasi-Nya; Nyawa di dalam kawula itu melaksanakan kemanunggalan tersebut.”

Syekh Maulana Maghribi membabar ilmunya sebagai berikut, “Yang disebut Allah sesungguhnya Ada yang mutlak ada…”.

Syekh Lemah Abang berujar, “Marilah kita berbicara dengan terus terang bahwa Aku ini adalah Allah. Akulah yang sejatinya disebut Prabu Satmata (salah satu nama Syiwa), tidak ada yang lain yang disebut Ilahi.”

Maulana Maghribi menyela, “Tapi itu jisim (tubuh) namanya.”

Syekh Lemah Abang menyahut, “Saya menyampaikan ilmu yang membincang Ketunggalan. Ini bukan jisim (tubuh), dan selamanya bukan tubuh, karena tubuh hakikatnya tidak ada. Yang kita bincang adalah ilmu sejati. Kepada semuanya saja, kita buka tabir rahasia ilmu sejati.

Siti Jenar memandang dalam kematian terdapat sorga neraka, bahagia celaka ditemui, yakni di dunia ini. Sorga neraka sama, tidak langgeng bisa lebur, yang kesemuanya hanya dalam hati saja, kesenangan itu yang dinamakan sorga sedangkan neraka, yaitu sakit di hati.

Syeh Siti Jenar menjelaskan wacana kesatuan makhluk yaitu dalam pengertian akhir hanya ALLAH yang ada dan tidak ada perbedaan ontologis yang nyata yang bisa dibedakan antara ALLAH, manusia dan segala ciptaan lainnya. Sunan Giri menyatakan bahwa wacana itu benar,tetapi meminta jangan diajarkan karena bisa membuat masjid kosong dan mengabaikan syariah. Siti Jenar menjawab bahwa ketundukan buta dan ibadah ritual tanpa isi hanyalah perilaku keagamaan orang bodoh dan kafir.

“Siapa sosok Herucokro itu, Gus?” “Herucokro itu Guru Kejawen-nya Syaikh Siti Jenar,” sahut Gus Dur. Lokasi makam Herucokro berada di salah satu Alas(hutan) di Ngawi, Jawa Timur.

Serat Gatholoco


Ki Ageng Kasan Besari Ponorogo bertanya, Kamu menjalankan shalat? 

Gatholoco pelan menjawab, Shalatku langgeng tiada terputus

Sujud-ku Sujud Ingat (Maksudnya Kesadaran yang terus menerus), Kiblat-ku Pusat Semesta (Maksudnya focus penyembahan adalah Inti Dunia dan Inti Makhluk, tak lain adalah Brahman/Tuhan), Sujud-ku diiringi dengan Nafas (Maksudnya Kesadaran ini saat Ruh terikat badan materi, sangat terkait dengan nafas. Pengendalian nafas mampu mengendalikan Kesadaran juga. Nafas dan Kesadaran, saat badan materi masih membelenggu Ruh, tidak bisa dipisahkan), 

Nafas-ku keluar dari ubun-ubun (Nafas yang dikendalikan seolah bukan keluar masuk dari hidung lagi, tapi seolah-olah keluar masuk dari ubun-ubun, menyatu dengan Kesadaran), Shalatku menghadap kepada Tuhan, keluar dari otakku.

Catatan: Ini sebetulnya adalah pembabaran ajaran rahasia dari teknik semedining Kebatinan Jawa.

(Menurut profesor Agus Sanyoto naskah ini adalah bikinan Belanda untuk memecahkan belah)

Serat Gatholoco

 

Gatholoco bukannya anti Islam, melainkan menggugat ketaktuntasan pemahaman terhadap Islam. Salah satu karya sastra jawa yang mengundang kontroversi yang seakan tak berujung adalah Serat Gatholoco, Saking kontroversialnya sehingga pernah dilarang peredarannya.

Tidak mengetahui syari’at dan larangannya, najis makruh batal apalagi haram, hanya menuruti kesenangan sendiri, walaupun daging anjing, daging celeng maupun babi, kalau suka pasti dimakannya, tak memiliki rasa jijik, tak takut akan durhaka.

Sudah disebutkan didalam kitab, apabila menghindari hal-hal yang haram jika meninggal kelak pasti akan naik ke surga, yang tidak menghindari hal-hal yang haram pasti kelak masuk neraka.

Gatholoco mencibir memperolok-olok, lantas tertawa memperhatikan ketiga Guru, sembari berkata demikian, Pemahamanmu atas syari’at salah! Siapa saja yang mampu mengerti rahasia (proses penciptaan melalui sexualitas), dialah manusia utama, hal inilah kelemahan, seluruh manusia walaupun berpangkat Dêmang, berpangkat Panêwu berpangkat Wadana berpangkat Kliwon maupun Bupati sekalipun, semuanya tidak ada yang memahami.

Manusia Gatholoco akan membuat logika spiritual orang awam terjungkir-balikkan, bahkan mereka yang mengaku agamawan sekalipun akan dibuat kalang-kabut olehnya.

Jikalau aku harus mandi menggunakan air, tubuhku sudah penuh dengan unsur air, jikalau harus mandi menggunakan api, didalam badan penuh unsur api, jikalau harus membersihkan diri dengan menggunakan tanah, sudah jelas daging ini berasal dari tanah, aku mandi menggunakan angin leysus, badanku sumber dari angin, beritahu kepadaku apa yang harus aku pakai untuk mandi? 

Ketiga Guru menjawab, tubuhmu berasal dari cairan (sperma) sudah layak jika mandi menggunakan air, agar suci dirimu itu, Gatholoco lantang menjawab, Kalian santri bodoh! Jikalau bisa suci karena mandi dengan air, aku akan berendam selama sembilan bulan saja, tidak perlu mencari ilmu (Ke-Tuhan-an). Kasan Besari (Hassan Bashori) bertanya, Kamu menjalankan shalat? Gatholoco pelan menjawab, Shalatku langgeng tiada terputus. Sujud-ku Sujud Ingat (Maksudnya Kesadaran terus menerus), Kiblat-ku Pusat Semesta. Sujud-ku diiringi dengan Nafas. 

Nafas-ku keluar dari ubun-ubun (Nafas yang dikendalikan seolah bukan keluar masuk dari hidung lagi, tapi seolah-olah keluar masuk dari ubun-ubun, menyatu dengan Kesadaran). Shalatku menghadap kepada Tuhan, keluar dari otakku, shalatku menghadap kepada Hyang Suksma. Jangan ragu jangan bimbang, bahkan pujianmu itu Dzatullah, rasakan benar-benar saat kamu tengah kelaparan (tak makan ~ ditengah penderitaan), juga rasakan benar-benar saat kamu meminum air (saat gembira), ditengah Sholatnya-pun rasakanlah, rasakanlah bahwa semua ini Perwujudan Dzatullah!

Yang sudah mampu melihat semua ini adalah Allah, itu yang dinamakan Sholat Da’im (Da’iman ~ Abadi/Tak terputus/Tak terbatas oleh waktu).

Bila tesbeh (billa tasbih : tak ada yang dipuji lagi), sesunguhnya tak ada dua, hanya Allah saja, yang diam dan bergerak ini.



Serat Ki Ageng Suryomentaram


Kawruh Jiwa

Adalah sebuah kesalahan ketika ajaran Kawruh Jiwa dianggap sebagai pendekatan yang bersifat doktriner atau sebuah “Mantra Suci”. Yang lebih penting di sini adalah ketulusan maksud dari para pembelajar, begitu juga bagi pengajarnya. Ki Ageng Suryomentaram tidak ingin ajarannya mengebiri semangat atau menimbulkan fanatisme pada para pengikutnya; dia ingin nasihat-nasihatnya tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan mental mereka. Sementara pengetahuan tentang sistem filosofi atau keyakinan dalam ajaran kebatinan justru menghambatnya.

Meski Ki Ageng sering kali membuat (pernyataan) serangan-serangan terhadap irasionalitas yang diajarkan dalam kebatinan, dan secara terang-terangan memisahkan dirinya dari kecenderungan tersebut, namun dia (ternyata) tidak bisa sepenuhnya menghindari penilaian yang menganggap bahwa gerakan Kawruh Jiwa juga sebuah aliran di mana dia sendiri bertindak sebagai seorang guru.

Ajarannya disampaikan melalui ceramah-ceramah di hadapan para peserta yang duduk “lesehan” (Jawa: duduk di atas lantai/tanah)….’

Bener luput ala becik lawan begja

Cilaka apan saking

Ing badan priyangga

Dudu saka wong liya

Pramila den ngati-ati

(pupuh VII, durma 3)

Benar atau salah, keburukan atau kebenaran, juga kebahagiaan Atau kemalangan, penyebabnya ditemukan Dalam tiap-tiap diri kita Dan bukan dalam diri orang lain Maka dari itu kita mesti berhati-hati

Ki Ageng Suryomentaram tidak ingin menganggap dirinya sebagai seorang guru dengan ajaran yang sarat akan misteri dan magis, yang membuat para muridnya terjebak dalam penipuan diri dan diliputi harapan-harapan palsu.

Apakah mungkin memberikan definisi kebatinan untuk ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram jika dalam ajarannya sendiri Tuhan dianggap sekadar kebetulan/kurang penting?

Dalam cara berpikir Jawa, apakah Tuhan atau Manusia yang menempati posisi terpenting? Tentu saja Manusia.    Meskipun para spiritualis telah meminjam (gagasan) dari agama Hindu atau Buddha, dari mistisisme Islam atau beberapa ajaran teosofi (bahkan kadang-kadang dari ilmu kedokteran), teori-teori tersebut pada akhirnya bersumber dari sebuah dorongan psikologis tunggal: Jiwa adalah korban dari sebuah kebingungan yang hebat, sasaran dari sebuah kecemasan dasar (fundamental anxiety), yang mesti diatasi sebelum keselarasan batin dan pemenuhan psikologis dapat ditemukan (atau sebuah kondisi kekosongan: Sunya). 

Ini adalah pendekatan yang sepenuhnya bersifat individual, yang terbagi ke dalam tahapan-tahapan yang berbeda (yang sama banyaknya dalam pemikiran Ki Ageng Suryomentaram), masing-masing di antara tahapan-tahapan itu mewakili beberapa jenis kemajuan dalam mencapai Kebenaran, yaitu suatu langkah yang lebih maju dalam upaya seseorang untuk menemukan kebebasan. 

Pada saat yang bersamaan tahapan-tahapan tersebut merupakan semacam “pemusatan psikologis” di mana tujuan utamanya adalah kedamaian spiritual. 

Selubung harus disibakkan, penutup harus disingkirkan, sebelum kebenaran itu muncul. Dan kebenaran itu adalah, sebagaimana yang disebut Suryomentaram sebagai Aku, pengalaman mistik tentang kehadiran yang ilahiah.

Ajaran penting Ki Ageng Suryomentaram lainnya adalah sebagai berikut: “Tidak ada sesuatu pun di atas bumi dan di kolong langit ini yang pantas untuk dikehendaki dan dicari, atau sebaliknya, ditolak secara berlebihan.”

Oleh karena itu, mencari dan mencapai kesempurnaan (kasempurnan) merupakan tindakan yang absurd/sia-sia dalam hidup ini, jika hanya berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah kematian. 

Hidup yang sempurna tidak akan pernah ada; hidup semacam itu hanya terjadi dalam imajinasi kita, imajinasi yang berupaya menutupi hasrat yang tak terpuaskan atas kebahagiaan yang abadi. Oleh karena itu, Ki Ageng Suryomentaram melawan takhayul dan kepercayaan religius yang berupaya menghidupkan harapan-harapan tersebut (“takhayul adalah menghubung-hubungkan antara sebab-sebab dan akibat-akibat yang sebetulnya tidak memiliki hubungan”).

Ki Ageng Suryomentaram berpendapat ajaran guru kebatinan itu aneh, ia juga mencela kepercayaan yang ditujukan sebagian orang terhadap dukun, dan menolak praktik-praktik puasa, pantang terhadap seks, dan seterusnya sebagai hal yang tidak alamiah.

Wejangan Bahagia Ki Ageng Suryomentaram

WEJANGAN ILMU BAHAGIA  Ki Ageng Suryomentaram

Di atas bumi dan di kolong langit ini tidak ada barang yang pantas dicari, dihindari atau ditolak secara mati-matian. Meskipun demikian manusia itu tentu berusaha mati-matian untuk mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun itu tidak sepantasnya dicari, ditolak atau dihindarinya. Bukankah apa yang dicari atau ditolaknya itu tidak menyebabkan orang bahagia dan senang selamanya, atau celaka dan susah selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu, pasti ia mengira atau berpendapat bahwa "jika keinginanku tercapai, tentulah aku bahagia dan senang selamanya; dan jika tidak tercapai tentulah aku celaka dan susah selamanya".

Pendapat di atas itu teranglah keliru. Bukankah sudah beribu-ribu keinginannya yang tercapai, namun ia tetap saja tidak bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian susah lagi? Juga sudah beribu-ribu keinginannya yang tidak tercapai, namun ia tetap saja tidak celaka, melainkan bersusah hati sebentar kemudian senang kembali. Jadi pendapat bahwa tercapainya keinginan menyebabkan rasa bahagia atau tidak tercapainya keinginan menyebabkan rasa celaka, jelaslah keliru. Tetapi setiap keinginan pasti disertai pendapat demikian.

Sebagai contoh, ketika orang berkeinginan sesuatu, misalnya berhajat mengawinkan anaknya, dan karena ia tidak punya cukup uang, ia akan mencari pinjaman.Di dalam mencari pinjaman itu ia merasa: "Jika usahaku untuk mencari pinjaman ini tidak berhasil, pastilah aku celaka dan merasa malu selamanya". Andaikata ia gagal memperoleh pinjaman, ia tidak akan merasa celaka, melainkan hanya merasa malu sebentar. Kemudian setelah merasa susah karena ia tidak dapat mengundang siapa pun, tidak dapat menanggap (mempertunjukan) wayang dan tidak dapat mengadakan janggrungan (tarian bersama antara penari-penari dan tetamu-tetamu dalam pesta perjamuan orang Jawa), ia pun akan merasa senang lagi, bahkan lega hatinya."Wah, untunglah usahaku mencari hutang tempo hari tidak berhasil. Andaikata aku berhasil, pasti sekarang ini aku akan kelabakan (gelisah) mencari uang untuk membayar hutang itu kembali." Demikianlah, maka jelaslah bahwa tidak tercapainya keinginan tidak menyebabkan orang merasa celaka.

Demikian juga keinginan yang tercapai tidak menyebabkan orang merasa bahagia. Misalnya orang berhasrat keras untuk kawin. Ia merasa: "Jika si Anu itu menjadi suami/isteriku, berbahagialah aku." Dibayangkannya: "Jodohku itu akan kugandeng selama tiga tahun tanpa kulupakan." Tetapi bila hasrat kawinnya itu benar-benar terlaksana, ia pun tidak akan sungguh-sungguh bahagia, melainkan hanya senang sebentar dan kemudian susah lagi. Bahkan sering terjadi dalam perkawinan bahwa sesudah seminggu saja sudah terjadi pertikaian.

Jadi teranglah bahwa jika keinginan itu tercapai maka hal itu tidak menyebabkan bahagia dan jika tidak tercapai, tidak pula menyebabkan celaka. Kenyataannya ialah bahwa senang dan susah itu tidak berlangsung terus menerus. Sepanjang hidup manusia sejak masa kanak-kanak sampai tua, ia belum pernah mengalami senang selama tiga hari tanpa susah, atau mengalami susah selama tiga hari tanpa senang.

Suluk Sunan Panggung

Suluk Pangeran Panggung 

Apa yang menarik dari Suluk Malang Sumirang? Mari kita lihat analisa George Quinn, Wali Berandal Tanah Jawa (2018 : 189-190). Ia menyebut bahwa Suluk Malang Sumirang merupakan teks yang melawan ragam baku Islam. Ragam baku menurutnya adalah arus utama tauhid Islam yang berpandangan bahwa Allah dan manusia berlainan dalam segala hal,. Bahkan kesempurnaan Islami terdapat dalam keyakinan dan praktik kaum kafir :

Ananging aran tokidan 

Lawan ujar kupur kapir iku kaki

Aja masih rerasan

Yen tan wruha ujar kupur kapir

Pasthi wong iku during sampurna

Maksi bakal pangrawuhe

Pan kupur kapir iku

Yaiku sampurna jati

Pan weka ing kasidan 

Kupur kapir iku 

Iya sadat iya salat 

Iya idhep, iya urip,. Iya jati

Iku jatining salat

Inilah radikalisme Pangeran Panggung yang sejajar dengan Syekh Siti Jenar dalam berpandangan soal bergama dan berkeyakinan. Memang sepintas teks Malang Sumirang menyerang mereka yang menjalankan syariah. Ini merupakan paradoks. Keyakinan pada umumnya hukum syariah dan mekanisme beribadah secara umum sebagai landasan masuk untuk pencapaian tahap berikutnya. Malang Sumirang mengajarkan bahwa pengetahuan rohani/spiritual tidak sempit dan bersifat menolak eksklusif.

"Walaupun dituturkan sampai capai, ditunjukkan jalannya, sesungguhnya dia tidak memahami karena hanya sibuk menghitung dosa-dosa kecil yang diketahui. 

Tentang hal kufur-kafir yang ditolaknya itu, bukti bahwa ia adalah orang yang masih mentah pengetahuannya. 

Walaupun tidak pernah lupa sembahyang, puasanya dapat dibangga-banggakan tanpa sela, tapi ia terjebak menaati yang sudah ditentukan Tuhan

Sembah puji puasa yang ditekuni, membuat orang justru lupa akan sangkan paran. 

Karena itu, ia lebih konsentrasi melihat dosa-dosa besar-kecil yang dikhawatirkan, dan ajaran kufur-kafir yang dijauhi justru membuatnya bingung. 

Tidak ada dulu dinulu. Tidak merasa, tidak menyentuh. Tidak saling mendekati sehingga buta orang itu. Takdir dianggap tidak terjadi, salah-salah menganggap ada dualisme antara Maha Mencipta dan Maha Memelihara".

Suluk Seh Malang Sumirang tercipta dari amukan api yang tiada mampu menyentuh jasad Malang Sumirang. 

Suluk sang sufi gila, sosok antitatanan yang tidak terjangkau poros kekuasaan. Malang Sumirang mewariskan suluk liar mengingkari semua tatanan. Menyingkap tabir rahasia, menyurat yang tersembunyi. Suluknya lebih tajam dari pedang Sultan Demak...

"...Manusia, sebelum tahu maknanya Alif, akan menjadi berantakan... Alif menjadi panutan sebab huruf, Alif adalah yang pertama. Alif itu badan idlafi sebagai anugerah. Dua-duanya bukan Allah. Alif merupakan takdir, sedangkan yang tidak bersatu namanya alif lapat. Sebelum itu jagad ciptaan-Nya sudah ada. Lalu Alif menjadi gantinya, yang memiliki wujud tunggal. Ya, tunggal rasa, tunggal wujud. Ketunggalan ini harus dijaga betul sebab tidak ada yang mengaku tingkahnya. Alif wujud adalah Yang Agung. Ia menjadi wujud mutlak yang merupakan kesejatian rasa. Jenis ada lima, yaitu alif mata, wajah, niat jati, iman, syariat. Allah itu penjabarannya adalah Zat yang Maha Mulia dan Maha Suci.  Allah itu sebenarnya tidak ada lain, karena kamu itu Allah. Dan Allah semua yang ada ini, lahir batin kamu ini semua tulisan merupakan ganti Alif. Allah itulah adanya. Alif penjabarannya adalah permukaan pada penglihatan, melihat yang benar-benar melihat. Adapun melihat Zat itu, merupakan cermin ketunggalan sejati menurun kepada kesejatianmu. Cahaya yang keluar, kepada otak keberadaan kita di dunia ini merupakan cahaya yang terang-benderang, itu memiliki seratus dua puluh tujuh kejadian. Menjadi penglihatan dan pendengaran, napas yang tunggal, napas kehidupan yang dinamakan Panji. Panji bayangan zat yang mewujud pada kebanyakkan imam. Semua menyebut zikir sejati, laa ilaaha illallah."

Ilmu adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh perbuatan. 

Dan perbuatan adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh keikhlasan. 

Dan keikhlasan adalah huruf yang tak terungkap kecuali oleh kesabaran. 

Dan kesabaran adalah huruf yang tak terungkap oleh penyerahan

Sifat pasrah berhasil diungkapkan dalam bahasa yang indah. 

Puisi ini menggambarkan bagaimana sebaiknya mengartikan kepasrahan secara mendasar. Totalitas penyerahan kepada Tuhan akan menghasilkan pemaknaan yang benar tentang Islam.  Dan itulah pula makna sujud yang dilakukan oleh umat Islam dalam sholat

Tidak hanya kening yang melekat di hamparan sajadah. 

Tetapi jauh lagi adalah menyerahkan jiwa raganya kepada Allah.

Pada akhirnya, “dalam hampa terdapat Ada, dalam Ada terdapat hakikat sejati”.

Serat Centhini

Serat Centhini - Kekasih Yang Tersembunyi

Menjelang abad XXI, seorang terpelajar, yang saat itu menjadi Duta Besar Prancis di Indonesia, berupaya mencari satu kembang sakti asli Jawa. Suatu hari, ketika makan siang di kediamannya, salah seorang tamunya, Elizabeth D. Inandiak, bercerita tentang Wijayakusuma, bunga yang hanya mekar di tengah malam, menebarkan wangi ilahi, lalu layu sebelum subuh. Kembang ini, demikian kata sang tamu, tampil dalam tembang terakhir Serat Centhini, tembang ke 722, ketika Amongraga dan istrinya yang sudah berubah menjadi cacing, dibakar oleh Sultan Agung, diletakkan dalam kelopak Wijayakusuma sebelum ia makan. Terpesona oleh kisah Serat Centhini, orang terpelajar tadi segera menugasi tamunya menerjemahkan serta menyusun kembali Suluk Adiluhung Jawa itu ke dalam bahasa Prancis.

Mulailah Inandiak bekerja. Tidak sebagai pakar bahasa Jawa -ia memang tidak punya keahlian itu- tetapi sebagai seorang petualang dan pecinta Jawa. Ia tidak langsung tenggelam dalam 4000 halaman Serat Centhini yang asli. Ia pergi keliling Pulau Jawa selama beberapa minggu untuk bertemu dengan para sastrawan, dalang, kyai, juru kunci, seniman dan petani untuk mengumpulkan pandangan mereka terhadap Serat Centhini di awal abad dua puluh satu.

Inandiak bertemu dengan Onghokham, sejarawan yang menunjukkan tali persaudaraan yang tak terduga dengan menyatakan dalam bahasa Perancis: “Centhini, c’est Rabelais ! ” (Centhini adalah Rabelais !). Lahir tahun 1494, rahib ordo Fransiskan yang kemudian pindah menjadi Benediktian dan lalu menanggalkan ikrar kerahibannya untuk menjadi penyair gelandangan dan dokter, Rabelais adalah penulis yang paling memperkaya bahasa Perancis dengan penemuan tata bahasa dan kosakata yang menggugah. Demikian pula Serat Centhini adalah karya sastra Jawa yang memperlihatkan kosakata yang paling kaya. Buku-buku Rabelais tidak mengenal batasan antara dunia awam dan dunia keramat, antara yang ilmiah dan rakyat, yang halus dan kasar. Kentut pun dijadikan sesuatu yang bersifat pembebasan, sama dengan Semar, dan memang, pada suatu kesempatan Inandiak meminjam kentut itu dari keduanya demi mengabdi pada Centhini.

Penyair Suryanto Sastro Atmodjo bercerita bagaimana kakeknya, Kanjeng Panembahan Adipati Puger IV, bekas bupati Lumajang, mempunyai buku besar Centhini, dan bagi beliau setiap makan malam adalah satu malam pergelaran, karena "Allah memberi manusia irama dan keindahan ”. Eyangnya mengundang tiga pemain musik untuk memainkan celempung, gambang dan semacam gambus yang dawainya dibuat dari kawat lokomotif uap kuno dari tahun 1870, dan beliau menyuruh mereka menembangkan beberapa pupuh dari Centhini.

Inandiak juga bertemu Gus Dur yang menyatakan bahwa Serat Centhini bukan milik khusus orang Jawa, tetapi juga dikenal di Madura, di pesantren-pesantren, terutama di Sumenep. Di sana ada satu variasi Centhini yang ditulis dalam bahasa Jawa tetapi dengan huruf Arab dan berjudul : “Pamongrogo dan Pamongroso”. Kata Gus Dur, setahun sekali, radio setempat menyiarkan pembacaan « Pamongrogo dan Pamongroso » semalam suntuk.

Pengembaraan Centhini membawa Inandiak sampai ke Paris, ke sebuah disertasi filsafat, yang dipertahankan pada tahun 1956 di Universitas Sorbonne, oleh Dr. Mohammed Rasjidi. Beliau pernah menjadi menteri agama di bawah pemerintah Sukarno dan juga pernah kuliah di Kairo, di Universitas Al-Azar, di fakultas theologi. Disertasinya dalam bahasa Perancis berjudul : “Considérations critiques du Livre de Centhini” (Pertimbangan kritis tentang Centhini) dan awali dengan kata-kata berikut : "Ilmu yang kita lihat berkembang di Jawa adalah ilmu kesempurnaan yang juga dikenal sebagai ilmu kebahagiaan dan yang dicari para ilmuwan dan sastrawan, baik yang tekun beribadah maupun yang menjauhinya. Orang yang saleh lebih suka tidak berbicara sama sekali tentang ilmu itu dan hanya menyebutnya dengan waspada, karena sering yang berhubungan dengan ilmu itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Adapun saya, saya ingin mengetahui...

Rencana semula adalah untuk mulai dengan terjemahan Serat Centhini secara harafiah dari bahasa Jawa ke Indonesia, lalu dari bahasa Indonesia ke Perancis. Tetapi Inandiak terbentur kesulitan yang cukup aneh: bagi beberapa ahli Jawa, Serat Centhini adalah suatu karya yang terlalu suci untuk diterjemahkan, sedang bagi ahli-ahli yang lain, Serat Centhini terlalu kotor. Demikianlah, rupanya kerokhanian yang terlalu tinggi dan seks yang terlalu kasar telah menghalangi penerjemahan sesuatu karya yang patut dihormati.

Serat Centhini ditulis terutama untuk ditembangkan. Dalam sastra Jawa kuno, suara turun pada penyair bagai suatu wahyu yang datang lebih dulu, baru kemudian datanglah irama dan nada menemani si pujangga memasuki kata-kata satu per satu. Penyesuaian antara irama, macapat dan gema kata-kata itulah yang melahirkan makna tembang dan keindahannya. Kalau wahana musiknya dihilangkan, tulisan hanya merupakan kata-kata yang kacau maknanya, meragukan dan keindahannya terkhianati. Di samping itu, di dalam syair-syai kasar, kekotoran kata dihalau terbang oleh keanggunan tembangnya. Justru persekutuan antara lumpur dan emas itulah yang menciptakan watak dan sosok yang luar biasa serta khas Serat Centhini. Kalau tembang dihilangkan, para pembaca akan tercebur di dalam lubang comberan kata-kata dan amblas ke dalam lumpur untuk selamanya.

Setelah empat tahun kerja, seribu halaman yang telah diterjemahkan dengan susah payah ke dalam bahasa Perancis barulah merupakan rawa luas, yang dari dalamnya sekarang harta-karun harus diambil untuk diuntai kembali dalam kisah yang mempesona. Untuk itu, Inandiak mendengarkan selama berjam-jam syair-syair Centhini yang ditembangkan oleh teman, agar raga dan bahasa saya digurat-gurat dan ditandai olehnya. Lalu, pada suatu hari, muncul kenyataan yang jelas sekali dan sangat sederhana : Serat Centhini, kehidupan Inandiak, dan kehidupan semua penyair Jawa sejak berabad-abad, menyatu. Semua yang pernah Inandiak alami di Jawa dan di tempat lain di bumi, ada dalam karya yang janggal, ajaib, dan raksasa itu, yang kelihatannya begitu cerai-berai, namun intinya begitu sempurna. Ia seakan ingin mencebur ke sungai yang luas, membiarkan diri ditelan oleh tembang-tembang dan lenyap dalam banjir cahaya roh para penyair yang telah wafat, terikat dengan silsilah mereka secara penuh rahasia.

Dari 722 pupuh asli Serat Centhini, hanya 16 pupuh pertama yang berupa tembang perang. Perang itu dipimpin oleh Endrasena, seorang pemuda Cina yang masuk Islam, anak angkat Sunan Giri. Ia ditembak mati di medan pertempuran, dan inilah yang menandai awal pengembaraan batin Amongraga, kakak tiri Endrasena, asli Jawa, putera mahkota Giri, yang menentang perang. Amongraga pergi mencari damai yang luas menghijau, yaitu lenyap dalam Allah atau moksa.

Amongraga dijatuhi hukuman mati oleh para ulama Sultan Agung, karena bid’ah, seperti seorang sufi yang terkenal dari Baghdad, Hallaj, atau Siti Jenar di Jawa. Tetapi Amongraga akan lahir kembali di dalam “ dunia terbalik ” dan meneruskan pengembaraan yang tidak dapat dilawan.

Dalam diri dua kakak-adik yang berlawanan, bisa kita melihat terlaksananya takdir yang tunggal dan sama, yang mencerminkan hadis Nabi Muhammad SAW sepulang dari suatu pertempuran : “ Kita baru pulang dari jihad kecil, sekarang mulailah jihad besar kita. ” Jihad besar adalah perang melawan semua nafsu dan ego, begitu banyak roh jahat di dalam batin kita sendiri yang menyerbu kita tak henti-hentinya. Jika demikian, barangkali pengembaraan luar biasa Serat Centhini adalah untuk menyingkap dengan perlahan-lahan cadar jihad besar itu, yang pertempurannya yang paling berbahaya adalah menempuh asmara antara kekasih dan terkasih dalam senggama.

Selama menyusun kembali tembang-tembang itu ke dalam bahasa Perancis, satu pertanyaan menghantui Inandiak : kenapa karya sastra Jawa yang terbesar ini diberi julukan nama seorang pembantu, Centhini ? Seolah-olah kalbu syair Jawa agung itu adalah aku, si pelayan yang penuh pengabdian, karena aku ternyata merupakan satu-satunya yang cukup rendah hati sehingga berhasil dalam pencarian tertinggi yang dikejar Amongraga. Aku, Centhini, begitu melupakan diriku sendiri dan begitu mengabdi kepada para majikanku sehingga aku akhirnya memudar, padu lebur dan larut, lenyap dari syair, pulang ke zatku yang sejati, Ilahi.

Bloodline Lemuria Atlantis

Di daerah Cirebon — yang tarekat-tarekatnya dari dulu sangat giat — pada  kira-kira tahun 1920 lahirlah Ngilmu Sejati (atau Ngelmu Hakikat), yang dipimpin oleh Haji Burhan, seorang santri asal Banten, dan disebarluaskan sampai Indramayu. Tidak lama kemudian, giliran seorang bernama Madrais, anak pangeran Cirebon dengan seorang selir, untuk menyebarkan apa yang dinamakannya Ngelmu Cirebon ("Pengetahuan Cirebon"), dan ditariknya sejumlah pengikut lama Burhan ke pihaknya. Madrais menetap di desa kecil Cigugur (dekat Kuningan, di sebelah timur Cirebon) dan menerima penghormatan — dan pemberian-pemberian — dari penganut yang datang dari seluruh Tanah Pasundan. Waktu ia meninggal menjelang Perang Pasifik, salah seorang anaknya, Tejabuwana ("Cahaya Dunia"), mencoba menggantikan nya, akan tetapi ia kemudian memperisteri wanita Katolik dan memeluk agama Katolik sampai akhirnya menjadikan Cigugur sebagai tempat misi Katolik... Kira-kira pada waktu yang sama di Cirebon, Batavia dan Semarang berkembang Perkumpulan Kemanusiaan yang didirikan pada tahun 1934 oleh pegawai rendahan yang bernama Yudhoprayitno, yang juga dinamakan Ki Yudho, atau Ki Dalang, ataupun Ki Guru. Berlainan dari Ngelmu Cirebon yang  terutama mencari penganut di antara rakyat kecil di kampung, pergerakan yang dipimpin Ki Yudho, yang konon selalu berdasi itu, lebih suka mengajak  "kaum intelektual", para pegawai, bahkan orang Cina. Di Jawa Tengah, tepatnya di Yogyakarta, muncul juga dua perkumpulan kebatinan: Paguyuban Sumarah atau "Perkumpulan Pasrah (kepada Allah)" yang dilancarkan kira-kira tahun 1935 oleh seorang dokter muslim, Dr. Surono Projohusodo, dan terutama pergerakan Ngelmu Begja atau "Pengetahuan Kebahagiaan" yang muncul kira-kira pada waktu bersamaan dari seorang keturunan keluarga raja, Pangeran Suryomentaram (1892 - 1962) yang sampai sekarang masih memiliki banyak penganut di seluruh Jawa. 

Di Jawa Timur terdapat tiga perkumpulan: Buda Wisnu, yang didirikan tahun 1925 di Malang oleh seorang Resi Kusumadewa yg pandai mendalang dan  menganjurkan supaya orang kembali ke agama pra-Islam. Ilmu Sejati didirikan pada tahun 1926 di Madiun oleh seorang pegawai dinas candu, Raden Sujono; dan akhirnya Agama Suci atau Agama Akhir Zaman didirikan tahun 1935 di Jember oleh seorang pemilik toko kecil, Mohammad Sakri, yang kemudian dipanggil Ki Amat. 

Dalam kaitannya dengan perkumpulan itu perlu diingat perhatian yang diberikan di kalangan Jawa oleh teosofi yang dimasukkan oleh Ny Blavatsky. Tiga kali ia datang ke Jawa (tahun 1853, tahun 1858, tahun 1883) dan pada persinggahan pertamanya ia mendirikan sebuah loji di Pekalongan. Kira-kira tahun 1930, Theosofische Vereeniging bentukannya beranggotakan tidak kurang 

dari 2.100 orang, 40 persen orang "pribumi" dan 10 persen orang Cina. Lima majalah diterbitkannya: tiga dalam bahasa Melayu atau Jawa. 333 Menjamurnya gerakan kebatinan berlanjut setelah Kemerdekaan, dan masih banyak yang bermunculan sesudah itu. Beberapa di antaranya agaknya di- warnai politik seperti Agama Djazoa Asli Republik Indonesia (ADARI), yang di- dirikan di Yogya pada tahun 1946, dan menganggap Soekarno sebagai nabi baru. Agama Yakin Pancasila didirikan di Bandung tahun 1948 dan menjadikan "Pancasila" kredo baru. Di samping itu ada perkumpulan yang memajukan cara pengobatan dengan magnetisme gerak tangan atau dengan latihan ter- tentu yang mirip yoga, misalnya "Perkumpulan untuk membuka sembilan lubang (tubuh)" yang didirikan di Ponorogo tahun 1952 oleh Ny. Harjosentono. 

Selebihnya masih ada pergerakan Sapta Dharma ("Tujuh Kewajiban") yang di- dirikan di Yogya pada tahun 1956. Beberapa anggotanya mengaku tabib dan diadili ketika salah seorang dari mereka dituduh membuka perut saudara pe- rempuannya yang sakit untuk membersihkan isi perutnya...Akhirnya harus diberikan tempat khusus kepada dua perkumpulan yang paling terkenal, kalau bukan yang paling penting: pertama Pangestu ( Paguyuban Ngesti Hinggai) atau "Kelompok Pemikiran Tunggal", yang didirikan di Surakarta pada tahun 1949 oleh seorang kapten intendan pensiunan, R. Sunarto (lahir tahun 1899 di Boyolali); kedua, Subud (Susila Budhi Dharma) atau "Ke- wajiban Keakhlakan dan Kebijaksanaan" yang didirikan di Yogya pada tahun 1947 oleh seorang akuntan, Muhammad Subuh (lahir di dekat Semarang tahun 1901 dari keluarga petani kecil). Ajaran sinkretis Pangestu sungguh- sungguh tergarap, dan aliran itu menyebar ke seluruh Jawa bahkan ke seluruh Indonesia dan dewasa ini mempunyai puluhan ribu anggota. Adapun Subud, sekalipun kurang berkembang di Pulau Jawa sendiri, berhasil menarik perhatian dunia "internasional" dan dikenal sampai ke Eropa dan Amerika Serikat. Muhammad Subuh ternyata mendapat gagasan untuk pergi ke Inggris pada tahun 1957. Di sana dia memperoleh sukses besar di kalangan pengikut Gurdjieff, bahkan berkat "latihan-latihan"-nya ia mampu menyembuhkan Eva Bartok. Berita itu segera disebarluaskan oleh pers dunia dan dengan demikian  sukses Subud terkukuhkan.

Bapak Subuh sendiri mengajarkan "Latihan" kepada Osho dan terkait dengan pergerakan Soeharto dan Internasional. Sedangkan Ki Yudhoprayitno mempersiapkan Soekarno dan sekaligus terkait dengan Soeharto.