Salah satu bentuk pemujaan yang paling menarik adalah kultus Ratu Kidul. Babad Tanah Jawi menceritakan bagaimana Sutawijaya, pendiri dinasti, bertemu dengan Ratu Kidul di Parang Tritis, pantai selatan Yogyakarta, dan bersetubuh dengannya di istananya yang terletak di bawah laut.
Ratu Kidul konon tidak hanya menguasai ombak-ombak Samudera Selatan yang mengamuk, tetapi juga semua dedemit yang melanda dan mengancam kerajaan. Dengan bersanggama dengannya, Senapati telah mengadakan semacam perjanjian dengan alam gaib yang memperkukuh keseimbangan alam dan dengan demikian menjamin keamanan bagi kawulanya.
Ratu Kidul itu menjadi obyek pemujaan rakyat sepanjang pantai selatan, Setiap tahun, pada waktu perayaan hari ulang tahun Sultan yang sedang berkuasa, diadakan suatu upacara di Parang Tritis, tepat di tempat yang menurut tradisi terjadi hierogami (perkawinan suci dengan tujuan mendapat kesaktian) antara Senapati dan Ratu Kidul. Iringan para abdi kraton Yogya membawa berbagai sesajian yang kebanyakan berupa pakaian, untuk dihanyutkan ke laut di atas sebuah rakit bambu (getek ). Pada tahun Dai, sekali dalam delapan tahun sesuai dengan siklus windu, sesajian itu luar biasa mewahnya. Sebuah pelana ditambahkan, dan biayanya dapat mencapai beberapa juta rupiah.
Pada waktu yang sama juga diadakan perayaan serupa di lereng Gunung Lawu, sehingga Ratu Kidul — walaupun pada hakikatnya berhubungan dengan Laut — dapat juga dikaitkan dengan Gunung.
Di kota Yogyakarta,
konon Ratu Kidul kadang-kadang muncul dengan iringan panjang roh bercahaya(lampor), suatu hal yang selalu menandai bakal terjadinya peristiwa naas.
Pada setiap penobatan raja baru di Surakarta, sekuntum bunga langka yang dianggap milik Ratu Kidul — wijayakusuma ( pisonia silvestris) — harus dipetik dengan khidmat di pantai selatan. Sampai sekarang, hari ulang tahun Sunan diperingati dengan sebuah tarian keramat, bedoyo ketawang. Tarian itu dahulu hanya boleh ditonton oleh warga kraton. Baru pada tahun-tahun akhir-akhir ini tamu dari luar kraton diperbolehkan menikmatinya . Para penarinya selalu terdiri atas sembilan gadis pilihan yang sudah lama terlatih.
Ratu Kidul konon ikut menari, tetapi hanya Sunan yang dapat melihatnya. Dalam tarian itu kesembilan penarinya bergerak lamban di sekeliling raja yang duduk dengan agungnya. Hendaknya dicatat bahwa tarian ini dianggap mempunyai arti kosmis yang mendalam. Konon yang digambarkan adalah gerak bintang-bintang di angkasa.
Ciri kuno yang lain ialah perawatan pusaka, yaitu alat-alat kebesaran. Pemilikan alat kebesaran ini, sebagaimana pemilikan wahyu , merupakan tanda keabsahan. Pusaka itu ada yang dikatakan berasal dari zaman Mojopahit dan Demak. Pusaka-pusaka kraton Yogyakarta yang paling terkenal adalah
gong Kiyayi Bicak (yang dihubungkan dengan Sunan Kali Jaga), tombak Kiyayi Plered dan Kiyayi Baruklinting (berbentuk lidah ular, dirampas dari Kiyayi Ageng Mangir yang telah berani memberontak), gamelan Nyayi Sekati, yang dimainkan pada waktu perayaan garebeg , dan keris Kiyayi Jaka.
Yang paling istimewa di antara pusaka itu barangkali adalah Kotang Antakusuma. Rompi itu disimpan dengan khidmat di keraton Yogyakarta dan hanya dipakai oleh para sultan pada saat berperang. Pakaian yang beraneka warna itu secara cermat dapat dibandingkan dengan bianglala yang dalam mitos-mitos Nusantara dianggap sebagai jalan alami antara alam manusia dan alam Dewata.
Namun hendaknya dicatat bahwa unsur Islam juga hadir. Rompi Antakusuma itu dianggap dibuat oleh Sunan Kali Jaga sendiri dari sehelai kulit kambing yang secara ajaib dikirim oleh Nabi Muhammad kepada majelis Wali yang sedang berkumpul di Demak...