Raden Mas Said/Eyang Gusti Aji/Pangeran Sambernyawa
Astana Bukit Mangadeg (kaki G Lawu) Karanganyar Jawa Tengah
Untuk kisah Samber Nyawa, Ricklefs merujuk kepada naskah yang ditulis oleh Pangeran Samber Nyawa sendiri, Serat Babad Pakunagaran, otobiografi sang pangeran berbahasa Jawa yang paling kuno yang pernah diketahui sampai sekarang.
Dalam serat tersebut Ricklefs menemukan fakta bahwa julukan Samber Nyawa berasal dari nama panji perang yang pernah digunakan dalam pertempuran di Gondang, dekat Surakarta pada 1750.
“Jadi, jelaslah nama Samber Nyawa itu berasal dari panji perang Sang Pangeran.
Dulu saya membayang-bayangkan bahwa sebutan Samber Nyawa itu mungkin berasal dari salah satu peristiwa yang penuh dengan kekuatan gaib, tapi jelas tidak. Namanya tidak berasal dari peristiwa melainkan dari sebuah obyek: panji perang Sang Pangeran,” tulis Ricklefs.
Tak berhenti pada sumber karya sang pangeran, dia pun menggunakan sumber lain seperti Babad Tutur, Babad Nitik Mangkunagaran dan Babad Nitik Samber Nyawa.
Naskah-naskah yang tersimpan di berbagai perpustakaan di banyak negeri, mulai Inggris, Belanda sampai Indonesia itu pun tak luput dari buruan Ricklefs.
Menurut Ricklefs, karakter keagamaan Raden Mas Said Mangkunagara adalah contoh terbaik dari “Sintesis Mistik”.
Ia adalah muslim yang sangat taat menjalankan rukun Islam.
Bahkan ia juga menggalakkan khataman al-Quran dan zikir-zikir berjamaah.
Tapi pada saat yang sama ia sangat menyukai minum Jenever (gin Belanda) atau minum minuman keras yang lain dan main sabung ayam atau adu hewan yang lain.
Ia juga percaya kepada kekuatan roh-roh lokal di Jawa, semacam seorang Animis.
Satu praktik mistik sintesis seperti juga Pangeran Diponegoro, raja-raja Jawa, dan ningrat-ningrat keraton lainnya.
Berdirinya Pura Mangkunegaran dapat dimaknai sebuah eksitensi baru yang terlahir dari turbulensi atau kekacauan besar ranah politik, ekonomi dan militer.
Mangkunegoro I mengisi kekosongan keaktoran politik berprestasi sekurang-kurangnya sepanjang sejarah dinasti Mataram Islam.
Penguasa kecil di ruang kekuasaan relatif terbatas namun justru memegang peran kunci di percaturan politik Jawa di masanya.
VOC, Pakubuwono, Hamengkubuwono semua segan, jika agak berlebihan dikata takut, terhadap Mangkunegoro “Pangeran Sambernyawa”.
Pangeran Mangkunagara I merupakan sosok yang tangkas, berperawakan kecil, flamboyan, saleh, dengan sorot mata yang tajam, tetapi suka perempuan cantik dan gin (minuman keras) Belanda.
Di saat yang sama, ia juga pengagum dan penjunjung tinggi budaya Jawa.
Dalam figur pangeran yang berjuluk ”samber nyawa” ini, Ricklefs kembali menemukan contoh terbaik dari apa yang sejak awal ia teorikan: sintesis mistik –suatu perpaduan ganjil antara kesalehan Islam dan mistisisme Jawa.
Gus Dur Ziarah Ke Makam Wali Kutub Di Gunung Lawu
Suatu ketika, ia diajak Gus Dur berziarah ke makam Eyang Gusti Aji di Kaki Gunung Lawu. Makam tokoh ini dikenal sebagai tempat untuk bersemadi kelompok abangan.
Hampir semua tokoh abangan berziarah ke tempat ini.
Jam 02.00 dini hari, mereka mulai naik menuju pemakaman.
Sastro lalu bertanya, “Kita ngapain Gus di sana nanti?”
“Ya, tahlil, wong biasanya kita tahlil”, jawab Gus Dur.
“Katanya tokoh ini pentolannya abangan”, ujar Sastro.
“Yang ngerti Islam atau bukan itu hanya Gusti Allah”, jawab Gus Dur pendek.
Raden Mas Said merupakan nama kecil Eyang Gusti Aji yang juga dijuluki Pangeran Sambernyawa.
Beliau merupakan Raja Mangkunegaran I