Petilasan Sunan Kalijaga Harjamukti Cirebon Jawa Barat


Di Jalan Pramuka berjarak sekitar 1 km kearah barat daya Terminal Bus Harjamukti pada sisi barat Kali Sipadu terdapat Petilasan Sunan Kalijaga. Lokasi ini sangat mudah dicapai dengan berbagai kendaraan, ± 5 km dari pusat kota Cirebon dengan waktu tempuh ± 20 menit. Lokasi yang berada di tengah pemukiman penduduk Kampung Kalijaga, Kelurahan Kalijaga, Kecamatan Harjamukti ini tepatnya berada pada koordinat 06º 44' 891" Lintang Selatan dan 108º 33' 083" Bujur Timur. Kawasan komplek Petilasan Sunan Kaligaga luasnya ± 20.000 m2. Kawasan ini dilalui dua aliran sungai, yang masing-masing mempunyai dua sampai tiga nama yang berbeda. Sungai dimaksud adalah Kali Simandung dan Kali Mesjid, yang alirannya kemudian bertemu di Kali Cawang. Kali ini oleh masyarakat setempat digunakan untuk mandi dam cuci pakaian, dahulu kali ini juga dapat digunakan untuk wudhu. Pada kawasan itu terdapat bangunan petilasan, sumur kuno, mesjid keramat, makam dan selebihnya berupa semacam hutan lindung yang dihuni kera. 
Bangunan Petilasan Kalijaga oleh penduduk setempat disebut Pesarean (dari kata Jawa yang berarti tempat beristirahat). Bangunan ini berdenah bentuk huruf L terdiri tiga ruangan. Ruangan pertama merupakan tempat bagi para penziarah untuk memanjatkan doa, yang dapat dimasuki melalui pintu pertama yang disebut Pintu Bacem. Ruang kedua merupakan tempat beberapa makam kuno, dan ruangan ketiga merupakan bekas tempat tidur Sunan Kalijaga yang ditutup dengan kelambu. Pada sebelah barat bangunan terdapat makam pengikut dan kerabat Sunan Kalijaga. Bagian ini dibatasi dengan dengan kuta kosod (susunan bata merah) setinggi ± 120 cm dan tebal ± 90 cm. Menurut cerita rakyat, ketika Cirebon “dikuasai” VOC, lokasi ini pernah dijadikan tempat pertemuan para panglima perang Kesultanan Kanoman, Kasepuhan, dan Mataram untuk menyusun strategi melawan mereka. 
Bangunan Mesjid Keramat di kompleks petilasan Sunan Kalijaga dahulu dindingnya terbuat dari kayu dan aber atap daun kelapa (welit, blarak). Sekarang sudah diganti dengan dinding bata diplester dan beratap genting. Di pinggir kali dekat mesjid terdapat Sumur Kuno. Konon sumur kuno ini umurnya sudah mencapai ratusan tahun. Sumur ini juga disebut Sumur Wasiat. Di dekat Kali Simandung terdapat makam keramat dengan tokoh yang dimakamkan adalah Syech Khotim. Beliau adalah kepercayaan Sunan Kalijaga. Hutan lindung di kawasan petilasan Sunan Kalijaga, ditumbuhi beberapa jenis pohon besar, seperti bebang, repilang, rengas, dan albasia. Kerimbunan pepohonan ini mendominasi pemandangan. Pada rindangnya pepohonan tersebut akan tampak kera-kera yang saling bergelantungan dan berkejaran. Pada pagi hari mereka turun, dan duduk berbaris di tepi kali, ada juga diantaranya yang tampak mencari kutu. Mereka juga akan turun, jika ada pengunjung, terutama yang terlihat membawa makanan. Pada saat ini populasi mereka sekitar 72 ekor. Hutan lindung ini disebut Taman Kera Kalijaga. Kondisi sekarang ini, keberadaan pohon besar cenderung semakin berkurang, tergusur permukiman dan tempat usaha. Akibatnya, kera-kera penghuni kekurangan pangan, sehingga kerapkali memasuki rumah penduduk, bahkan ada di antarannya dengan cara merusak atap. Kerusakan “habitat” ini pula yang menyebabkan sebagian diantara mereka bermigrasi ke kampung lain. 
Salah satu keistimewaan kawasan ini juga memiliki beberapa legenda, di antaranya legenda Si Lorong yang berhubungan dengan pembuatan kain tenun, legenda satu orang raja dengan 11 punggawa, legenda si Mandung (Syekh Khotim), legenda kera dan Legenda Jimat Layang Kalimursadat. Menurut cerita tutur, Sunan Kalijaga pernah menetap beberapa kali di Cirebon cukup lama dalam kurun waktu yang berbeda. Kedatangannya yang pertama bertujuan untuk menimba ilmu. Kedatangan yang kedua dalam rangka melaksanakan tugas sebagai wali. Kali terakhir Sunan Kalijaga menetap di Cirebon dalam rangka merintis pembangunan Kerajaan Cirebon. Konon, dahulu Sunan Kalijaga sempat mengajar membuat kain tenun pada masyarakat setempat, sehingga hampir semua penduduk dapat melakukannya. Lambat laun daerah itupun berkembang menjadi “sentra” jual beli kain tenun. Akan tetapi, sejak kedatangan Belanda dan dilanjutkan oleh pendudukan Jepang, aktifitas pembuatan kain tenun semakin menyurut, hingga tidak nampak lagi. 
Masih menurut cerita tutur, Sunan Kalijaga terkenal sebagai ahli membatik dan sempat mengajarkan kepada masyarakat setempat. Nyi Rupi’ah adalah orang terakhir yang mempertahankan pembuatan batik tulis khas Kalijaga. Sangat disayangkan sekali mulai tahun 1972 masyarakat setempat berhenti melakukan kegiatan membuat batik.

Astana Gunung Jati Cirebon Jawa Barat


>

Astana Gunung Jati ada

> Syaikh Maulana Dzatul Kahfi/Syaikh Nur Jati
> Syaikh Imam Hanafi
> Puser Bumi Goa Kahfi
> Petilasan Walisongo
> Sumur Jalatunda, Kejayaan, Tunggang pati, Kemulyaan
> Syaikh Bayanillah Penderesan
> Situs Gunung Semar
> Syaikh Tolhah bin Tholabuddin Mursyid Tarekat
> Sumur Jayasampurna

Pangeran Cakrabuana Talun Cirebon Jawa Barat

Pangeran Cakrabuana

Lokasi Cirebon Girang Kec Talun Kabupaten Cirebon Jawa Barat



Pangeran Walangsungsang: Sang Pendiri Cirebon 

Pangeran Walangsungsang, juga dikenal sebagai Pangeran Cakrabuana atau Mbah Kuwu Cirebon, adalah tokoh penting dalam sejarah Cirebon. Beliau merupakan putra Prabu Siliwangi IX dan Nyi Subang Larang, serta paman dari Sunan Gunung Jati. Setelah memeluk Islam, Walangsungsang memilih meninggalkan Kerajaan Pajajaran dan mendirikan peradaban baru di Cirebon. Bersama kedua saudaranya, Nyi Rara Santang dan Prabu Kian Santang, ia berguru kepada Syekh Nurjati, memperdalam ajaran Islam. Sebagai pendiri Cirebon, Walangsungsang berperan besar dalam membangun pendidikan, budaya, ekonomi, hingga menyebarkan Islam. Ia juga menikah dengan Nyi Endang Geulis, putri gurunya, dan memiliki seorang putri bernama Nyi Mas Pakungwati yang kemudian menikah dengan Sunan Gunung Jati. Jejak perjuangan Pangeran Walangsungsang menginspirasi hingga kini, menjadikan Cirebon pusat budaya dan spiritual yang kaya. "Pangeran Walangsungsang: Sosok yang mengawali perubahan demi kejayaan Islam dan budaya di tanah Jawa." 




Keraton Kasepuhan Cirebon Jawa Barat

Kasepuhan No.43, Kesepuhan  Kec. Lemahwungkuk  Kota Cirebon  Jawa Barat










Situs Walahir Leluhur Kerajaan Galunggung Jawa Barat

~ Situs Walahir leluhur kerajaan Galunggung

> Eyang Kuncung Putih

> Prabu Lang Lang Buana

> Eyang Semplak Waja

Lokasi Perbukitan Ds Sukamulih Kec Sariwangi Singaparna Kab Tasikmalaya Jawa Barat

Syaikh Qurotul Ain Karawang Jawa Barat

Lokasi Kp Pulobata Pulokelapa Kec. Lemahabang Karawang Jawa Barat

~ Syaikh Qurotul Ain/Syaikh Hasanudin
~ Syaikh Bentong atau Kyai BahTong



                                               
                                          


                                          
                                             

                                          
                                                                             

                                   
                            

Situs Gunung Sanggabuana Karawang Jawa Barat

~ Situs Gunung Sanggabuana

> Makam Eyang Haji Ganda Mandir, Taji Malela, Kyai Bagasworo, Ibu Ratu Galuh, Eyang Abdul Kasep, Eyang Sapujagat, Eyang Langlang Buana, Eyang Jagapati, Eyang Haji Ganda Mandiri, dan Eyang Cakrabuana


> Pancuran Mas, Kejayaan, Kahuripan, dan Pancuran Sumur Tujuh


> Curug Air Terjun Nyi Geuntis Sari
Lokasi Perbatasan Tanjungsari, Jonggol, Mekarbuana, Kec.Tegalwaru, Karawang, Jawa Barat.





Situs Gunung Padang Cianjur Jawa Barat

~ Situs Gunung Padang

Lokasi Kp. Gunung Padang Karyamukti Kec. Campaka Kabupaten Cianjur Jawa Barat






Eyang Aria Wiratanudatar Cianjur Jawa Barat

Lokasi Jl Maqom Dalem Cikundul Cijagang Kec. Cikalongkulon Kabupaten Cianjur Jawa Barat





Pahrayangan Jagatkarta Gunung Salak Bogor Jawa Barat

Pertemuan dan Meditasi bersama Mas Bonang ~ Pahrayangan Jagatkarta Gunung Salak

Lokasi Tamansari Kec Tamansari Kab Bogor Jawa Barat






Eyang Santri Girijaya Sukabumi Jawa Barat

~  Eyang Santri Girijaya/Gusti Pangeran Djojokusumo Gunung Salak

> Pemandian Kahuripan
Lokasi Girijaya, Kec.Cidahu Kab Sukabumi, Jawa Barat






Syaikh Qudratullah Eyang Haji Gentar Bumi Gunung Halimun Jawa Barat

~ Syaikh Qudratullah Eyang Haji Gentar Bumi Gunung Halimun

> Sang Kunci Pantai Selatan Jawa Barat
Lokasi Buniwangi Kec. Pelabuhan Ratu Kab Sukabumi Jawa Barat



 

Syaikh Sultan Maulana Hasanudin Serang Banten

~ Kanjeng Syaikh Sulthan Maulana Hasanuddin Bin Sunan Gunung Jati Cirebon
> Syaikh Sulthan Abdul Mufakir Muhammad Aliyyuddin
> Sulthan Zainal Abidin
> Sulthan Zainal Asyiqin
> Ratu Pembayun Fatimah (Putri Pertama Sulthan Maulana Hasanuddin)
> Pangeran Arya Dilah
> Kyai Patih Geseng (Penasihat Kanjeng Sulthan )


Lokasi Komplek Masjid Banten Lama Kec Kesemen Kab Serang  Banten






                           







Situs Kerajaan Salakanagara Pandeglang Banten

Lokasi Cikoneng Kec Mandalawangi Kab Pandeglang Banten

~ Situs Kerajaan Salakanagara Cihujuran Aki Tirem Luhur Mulia/Prabu Angling Darma

> Situs Benda Cagar Budaya
> Sendang Mandalawangi




 

Situs Gunung Karang Pandeglang Banten

~ Situs sumur tujuh gunung karang

Lokasi Citaman Kec Ciomas, Kab Serang Banten





Pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir Kronjo Banten



Sekilas Sejarah Syaikh Maulana Hasanuddin Banten
Beliau dilahirkan di Cirebon pada tahun 1479,  Anak kedua perkawinan antara Syekh Syarief Hidayatullah dengan Nyi Kawung Putri Ki Gendeng Anten. Kemudian pada tahun 1526, Pangeran Hasanuddin menikah dengan putri mahkota Sultan Trenggono (Nyi Ratu Ayu Kirana). Setelah menikah beliau dinobatkan menjadi
Sultan Banten Pertama Oleh Sultan Trenggono (demak III) pada tahun 1552 saat berusia 37 tahun.
Pada tahun 1570 beliau wafat dalam usia 91 tahun (1479-1570),  dimakamkan di samping Mesjid Banten.
Silsilah Waliyullah Pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir

A. Maulana Hasanuddin dengan Nyi Ayu Kirana, mempunyai 3 anak yaitu
1. Ratu Fatimah
2. Pangeran Yusuf 
3. Pangeran Arya Jepara

B. Maulana Hasanuddin dengan Raja Indra Pura, mempunyai 1 anak yaitu
1. Pangeran Sabrang Wetan

C. Maulana Hasanuddin dengan Putri Demak, mempunyai 4 anak yaitu
1. Pangeran Suniraras (Tanara)
2. Pangeran Pajajaran
3. Pangeran Pringgalaya
4. Ratu Ayu Kamudarage

D. Maulana Hasanuddin dengan Selir, mempunyai 8 anak yaitu
1. Pangeran Jaga Lautan Pulau Cangkir Kronjo
2. Ratu Keben
3. Ratu Terpenter
4. Ratu Wetan
5. Ratu Biru
6. Ratu Ayu Arsanengah
7. Pangeran Pajajaran Wadho
8. Tumenggung Walatikta


Diedarkan Oleh Pengurus Kramat Pulau Cangkir. Mudah-mudahan bermanfaat

Syaikh Abdul Karim Agung Tanara Banten

Perjalanan Wisata Ziarah kali ini Menuju Makam Yang diyakini Ayahanda dari
Syaikh Abdul Karim Tanara, Penyebar Tarekat Qodoriyah Naksabandiyah.






Tidak banyak sejarah yang menceritakan dan tempat kelahiran Syekh Agung Abd Karim Tanara - Banten,
Mungkin sengaja dikaburkan semenjak perlawanan terhadap Belanda sehingga sampai sekarang, tidak banyak yang diungkap tentang sejarahnya. Makam kedua orang tua Guru Tarekat ini sebetulnya sudah penulis temukan semenjak tahun 2002, tetapi hanya berbentuk prasasti yang ditancapkan di tanah dan letaknya dulu di area persawahan, tidak seperti sekarang yang sudah di bangun untuk para peziarah. Dua makam tersebut bernama Syekh Bukhori dan Syaikh Muafa, Mereka di yakini orang tua dari Syaikh Abd Karim. Makam tersebut berada di arah barat Mesjid Agung Tanara dan Makam Syaikh Sunya Raras, anak dari Syaikh Maulana Hasanudin Banten.
Para sepuh menyebut Tanahara bukan Tanara.
Ada juga di lingkungan Mesjid Agung Tanara, Petilasannya Syekh Nawawi
yang menjadi Ulama Besar di Mekah dan Pengarang Kitab.

                                          
 Gbr. Masjid Agung Tanara - Banten


Syaikh Abdul Karim Tanahara, Peletak Tharekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Mursyid Tharekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terakhir yang mampu menyatukan kepemimpinan keseluruhan cabang tarekat itu. Dia murid dan salah satu khalifah Syaikh Ahmad Khatib Sambas, penyusun Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. 
Lewat Syaikh Abdul Karim yang berpusat di Banten, Tharekat ini tersebar ke berbagai daerah di Nusantara. Tidak hanya dalam soal olah batin, lingkaran tarekat Abdul Karim juga terkenal  karena sebagian murid terdekatnya dihubungkan dengan pemberontakan petani melawan Belanda tahun 1888.
Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, tetapi sebuah sumber memperkirakan dia dilahirkan pada tahun 1830 M/1250 H. di desa Lampuyang, Serang, Banten. Nama orang tua dan masa pendidikan kecilnya juga tidak banyak diketahui, kecuali dia tinggal di daerah Banten. Tokoh ini dikenal kemudian belajar ke Mekkah, sezaman dengan para sahabat yang ditemuinya, yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikhona Muhammad Cholil, Syaikh Mahfudz at-Tirmasi, dan lain-lain.
Di Kota Mekkah ini, dia belajar di antaranya kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang saat itu sudah menjadi pengajar di Masjidil Haram, sekaligus mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dari bimbingan Syaikh Ahmad Khatib Sambas ini, Syaikh Abdul Karim Tanahara mumpuni di bidang ilmu tasawuf, dan diangkat sebagai salah satu khalifahnya.
Selain Syaikh Abdul Karim, Syaikh Ahmad Khatib juga dikenal mengangkat beberapa khalifah untuk menyebarkan tarekatnya ke Nusantara, yaitu: Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah al-Maduri yang tinggal di Mekkah. Beberapa murid Ahmad Khatib juga mengajarkan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah meskipun tidak ada keterangan apakah benar-benar telah diangkat sebagai khalifah ataukah sekadar sebagai badal.
Setelah memperoleh ilmu di Mekkah, Abdul Karim kembali ke Banten, diperkirakan pada tahun 1860-an, kemudian mendirikan pesantren dan menyebarkan tarekat yang diperoleh dari gurunya. Nama pesantrennya, sayang  tidak diketahui, kecuali hanya informasi bahwa pesantren ini berkembang dan murid-murid tersebar di berbagai pelosok Banten dan daerah lain.
Di antara murid-muridnya adalah Syaikh Tubagus Muhammad Falak Pandeglang. Para pejabat pemerintah juga menghormatinya, karena Syaikh Abdul Karim telah menjadi tokoh terkenal, karismatik, dan oleh masyarakat disebut sebagai Kiai Agung dan waliyullah.
Pada saat dia tinggal di Banten ini, kondisi sosial masyarakat tengah terhimpit oleh pemerintah kolonial, utamanya di kalangan petani. Semangat melakukan perlawanan telah muncul lama di kalangan masyarakat, hingga sebagian murid-murid dan tokoh-tokoh di Banten ingin melakukan pemberontakan kepada pemerintah kolonial. 
Sebagai tokoh karismatik, dia selalu dimintai restu oleh tokoh-tokoh Banten, baik pejabat pemerintah maupun para pemimpin perancang pemberontakan. Beberapa muridnya yang kemudian dianggap berperan dalam mengajak pemberontakan adalah Tubagus Ismail dan H. Mardjuki (yang menjadi salah satu khalifahnya dalam Tharekat).
Hanya saja, sebelum pemberontakan benar-benar pecah di Banten tahun 1888, Abdul Karim pergi ke Mekkah, diperkirakan terjadi pada tahun 1876, setahun setelah meninggalnya Ahmad Khatib Sambas. H. Mardjuki kemudian juga menyusul pergi ke Mekkah sebelum pemberontakan terjadi.
Di Mekkah, Syaikh Abdul Karim semakin dipandang sebagai khalifah yang ditaati oleh para khalifah yang telah diangkat Syaikh Ahmad Khatib. Sampai akhir hayatnya, dia tinggal di Mekkah dan memimpin Tharekat ini, tetapi angka tahunnya tidak diketahui pasti. Sepeninggal beliau Tharekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak memiliki pemimpin tunggal yang ditaati oleh seluruh anggota dan hanya menjadi kelompok Tharekat dengan kepemimpinan lokal, meskipun memiliki pengikut yang sangat besar. (Sumber: Ensiklopedia NU)







Pangeran Wijaya Kusuma Jakarta Barat



Habib Husein bin Abubakar Alaydrus Penjaringan Jakarta Barat


Tokoh ini tak bisa dilepaskan dari keberadaan bangunan bersejarah Masjid Jami Keramat Luar Batang yang berada di wilayah Penjaringan, Jakarta Utara.

Habib Husein merupakan seorang ulama dan pendakwah asal Hadramaut, Yaman yang datang ke Indonesia tempatnya ke Batavia pada tahun 1736. Habib Husein dikenal sebagai ulama zuhud namun sangat disegani oleh tentara kolonial Belanda. Kemudian, Habib Husein mendirikan mushola yang kini dikenal sebagai Masjid Luar Batang pada tahun 1739 sebagai tempat berdakwah.

Habib Husein adalah seorang ulama dari Hadramaut. Awalnya Masjid Luar Batang memiliki nama Masjid An-Nur. Namun masjid berubah saat Habib Husein wafat di tahun 1756 dan dimakamkan di area masjid yang kini selalu ramai peziarah. wafat nya beliau berkali-kali dibawa ke pemakaman tiba-tiba jenazah hilang dan sudah ada di area masjid yg akhirnya dimakamkan area masjid tersebut. Sesuai peraturan pada masa itu, bahwa setiap orang asing harus dikuburkan di pemakaman khusus di Tanah Abang. Jasad Habib Husein pun diusung dengan kurung batang (keranda). Namun, keanehan justru terjadi manakala keranda tiba di lokasi pemakaman. Sesampainya di pekuburan, jenazah Habib Husein justri raib dari dalam kurung batang. Jenazah tersebut malah ditemukan di tempat tinggalnya semula.

Masyarakat mengistilahkan bahwa jasad Habib Husein keluar dari kurung batang. Para pengantar jenazah mencoba kembali mengusung jenazah Habib Husein ke pekuburan Tanah Abang, namun lagi-lagi jasadnya kembali ke tempat semula. Kini, Masjid Luar Batang tak pernah sepi oleh para peziarah yang datang dari berbagai daerah bukan hanya warga Jakarta saja.