Syaikh Abdul Karim Agung Tanara Banten

Perjalanan Wisata Ziarah kali ini Menuju Makam Yang diyakini Ayahanda dari
Syaikh Abdul Karim Tanara, Penyebar Tarekat Qodoriyah Naksabandiyah.






Tidak banyak sejarah yang menceritakan dan tempat kelahiran Syekh Agung Abd Karim Tanara - Banten,
Mungkin sengaja dikaburkan semenjak perlawanan terhadap Belanda sehingga sampai sekarang, tidak banyak yang diungkap tentang sejarahnya. Makam kedua orang tua Guru Tarekat ini sebetulnya sudah penulis temukan semenjak tahun 2002, tetapi hanya berbentuk prasasti yang ditancapkan di tanah dan letaknya dulu di area persawahan, tidak seperti sekarang yang sudah di bangun untuk para peziarah. Dua makam tersebut bernama Syekh Bukhori dan Syaikh Muafa, Mereka di yakini orang tua dari Syaikh Abd Karim. Makam tersebut berada di arah barat Mesjid Agung Tanara dan Makam Syaikh Sunya Raras, anak dari Syaikh Maulana Hasanudin Banten.
Para sepuh menyebut Tanahara bukan Tanara.
Ada juga di lingkungan Mesjid Agung Tanara, Petilasannya Syekh Nawawi
yang menjadi Ulama Besar di Mekah dan Pengarang Kitab.

                                          
 Gbr. Masjid Agung Tanara - Banten


Syaikh Abdul Karim Tanahara, Peletak Tharekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah

Mursyid Tharekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah terakhir yang mampu menyatukan kepemimpinan keseluruhan cabang tarekat itu. Dia murid dan salah satu khalifah Syaikh Ahmad Khatib Sambas, penyusun Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. 
Lewat Syaikh Abdul Karim yang berpusat di Banten, Tharekat ini tersebar ke berbagai daerah di Nusantara. Tidak hanya dalam soal olah batin, lingkaran tarekat Abdul Karim juga terkenal  karena sebagian murid terdekatnya dihubungkan dengan pemberontakan petani melawan Belanda tahun 1888.
Tahun kelahirannya tidak banyak diketahui, tetapi sebuah sumber memperkirakan dia dilahirkan pada tahun 1830 M/1250 H. di desa Lampuyang, Serang, Banten. Nama orang tua dan masa pendidikan kecilnya juga tidak banyak diketahui, kecuali dia tinggal di daerah Banten. Tokoh ini dikenal kemudian belajar ke Mekkah, sezaman dengan para sahabat yang ditemuinya, yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikhona Muhammad Cholil, Syaikh Mahfudz at-Tirmasi, dan lain-lain.
Di Kota Mekkah ini, dia belajar di antaranya kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas yang saat itu sudah menjadi pengajar di Masjidil Haram, sekaligus mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dari bimbingan Syaikh Ahmad Khatib Sambas ini, Syaikh Abdul Karim Tanahara mumpuni di bidang ilmu tasawuf, dan diangkat sebagai salah satu khalifahnya.
Selain Syaikh Abdul Karim, Syaikh Ahmad Khatib juga dikenal mengangkat beberapa khalifah untuk menyebarkan tarekatnya ke Nusantara, yaitu: Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah al-Maduri yang tinggal di Mekkah. Beberapa murid Ahmad Khatib juga mengajarkan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah meskipun tidak ada keterangan apakah benar-benar telah diangkat sebagai khalifah ataukah sekadar sebagai badal.
Setelah memperoleh ilmu di Mekkah, Abdul Karim kembali ke Banten, diperkirakan pada tahun 1860-an, kemudian mendirikan pesantren dan menyebarkan tarekat yang diperoleh dari gurunya. Nama pesantrennya, sayang  tidak diketahui, kecuali hanya informasi bahwa pesantren ini berkembang dan murid-murid tersebar di berbagai pelosok Banten dan daerah lain.
Di antara murid-muridnya adalah Syaikh Tubagus Muhammad Falak Pandeglang. Para pejabat pemerintah juga menghormatinya, karena Syaikh Abdul Karim telah menjadi tokoh terkenal, karismatik, dan oleh masyarakat disebut sebagai Kiai Agung dan waliyullah.
Pada saat dia tinggal di Banten ini, kondisi sosial masyarakat tengah terhimpit oleh pemerintah kolonial, utamanya di kalangan petani. Semangat melakukan perlawanan telah muncul lama di kalangan masyarakat, hingga sebagian murid-murid dan tokoh-tokoh di Banten ingin melakukan pemberontakan kepada pemerintah kolonial. 
Sebagai tokoh karismatik, dia selalu dimintai restu oleh tokoh-tokoh Banten, baik pejabat pemerintah maupun para pemimpin perancang pemberontakan. Beberapa muridnya yang kemudian dianggap berperan dalam mengajak pemberontakan adalah Tubagus Ismail dan H. Mardjuki (yang menjadi salah satu khalifahnya dalam Tharekat).
Hanya saja, sebelum pemberontakan benar-benar pecah di Banten tahun 1888, Abdul Karim pergi ke Mekkah, diperkirakan terjadi pada tahun 1876, setahun setelah meninggalnya Ahmad Khatib Sambas. H. Mardjuki kemudian juga menyusul pergi ke Mekkah sebelum pemberontakan terjadi.
Di Mekkah, Syaikh Abdul Karim semakin dipandang sebagai khalifah yang ditaati oleh para khalifah yang telah diangkat Syaikh Ahmad Khatib. Sampai akhir hayatnya, dia tinggal di Mekkah dan memimpin Tharekat ini, tetapi angka tahunnya tidak diketahui pasti. Sepeninggal beliau Tharekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tidak memiliki pemimpin tunggal yang ditaati oleh seluruh anggota dan hanya menjadi kelompok Tharekat dengan kepemimpinan lokal, meskipun memiliki pengikut yang sangat besar. (Sumber: Ensiklopedia NU)